“Kang Patra terlalu berlebihan, lagipula di luar sana masih banyak Jawara yang sanggup berduel satu lawan satu dengan Raka Adiyaksa. Saya tidak bisa dibandingkan dengannya, jika saja dia menggunakan ilmu pedangnya maka saya sudah dipastikan kalah,” sanggah Jayadharma.“Hehe.. kau ini, padahal aku sudah berusaha untuk membujuk Indra berguru di sini. Coba bayangkan seperti apa respon Mahaguru Adiyaksa kalau orang yang menguasai ajian gelap ngampar malah berguru di sini,” gerutu Patra.“Hahaha.. Mahaguru Adiyaksa pasti akan menggerutu, dia mungkin saja mau menerima tantangan untuk latih tanding denganku lagi jika hal itu terjadi,” timpal Kusuma Galuh sambil tertawa.“Eh? Memangnya ayah masih sering menantang Mahaguru Adiyaksa?” tanya Jayadharma sembari mengerutkan keningnya.“Tentu saja, enam bulan sekali aku mengiriminya surat untuk melakukan latih tanding. Tapi selalu saja dia tolak,” jawab Kusuma Galuh.“Kelihatannya ayah masih kesal karena lima tahun yang lalu dia kalah telak oleh Ma
Hari demi hari berlalu semenjak Indra dan keluarga Jayadharma meninggalkan Perguruan Linggabuana. Tanpa terasa, satu minggu sudah berlalu di perjalanan. Mereka menyusuri desa-desa kecil dan hutan-hutan belantara yang jarang dijamah oleh manusia, tampak jelas kalau Jayadharma dan Ratri sudah familiar dengan jalan yang mereka lalui tersebut.Selama itu juga Indra tidak menyia-nyiakan kesempatan, dia mendapatkan berbagai pengetahuan tentang beberapa ilmu kanuragan yang ada di Kerajaan Galuh. Terutama ilmu kanuragan unik yang tidak pernah Indra ketahui sebelumnya. Jayadharma dan Ratri tampaknya tidak khawatir dia akan menyalah gunakan informasi tersebut.Malam ini mereka kembali beristirahat di tengah hutan karena tidak menemukan desa terdekat yang bisa dijangkau sore harinya. Jayadharma mengatakan kalau malam ini adalah malam terakhir mereka bersama, sebab besok harinya mereka akan berpisah karena menempuh jalan yang berbeda. Sementara Ratri dan Irgi sudah tidur duluan, Indra dan Jayadha
“Kembali lagi ke cerita awal. Mahaguru Purbakala memanglah orang yang baik pada awalnya. Tapi meski perang besar tiga trah Galuh sudah berhenti dan kedamaian di kerajaan ini tercapai, dia tetap melanjutkan prinsip leluhurnya untuk mengajarkan ilmu kanuragan kepada siapapun tanpa pandang bulu. Murid Margabuana menjadi sangat banyak jumlahnya pada waktu itu, malah ada satu garis keturunan yakni marga Satya yang mana semuanya berguru di sana,” kata Jayadharma menyambung lagi kisahnya.“Paguron besar aliran putih menjadi sangat khawatir dengan hal tersebut hingga beberapa diantaranya ada yang menasehati Purbakala agar mengubah prinsip paguronnya karena kini mereka sudah dalam keadaan yang damai. Tapi dia tetap teguh menolaknya, pada akhirnya malapetaka terjadi. Istri tercinta Purbakala terbunuh secara misterius, saat itulah sikapnya mulai berubah. Hubungan Margabuana dengan paguron lainnya semakin renggang,” tambah Jayadharma.“Bahkan Mahaguru Surawisesa segera bertindak untuk mengambil t
Setelah suara dentingan senjata yang berbunyi terdengar semakin dekat, Indra segera memperlahan langkah kakinya seakan tidak mau terdengar oleh siapapun. Indra berjalan dari balik satu pohon ke pohon lainnya mendekati arah suara dentingan senjata berasal. Samar-samar dari balik pohon dan semak belukar, Indra bisa melihat dua orang pemuda tengah bertarung menggunakan pedang.Satu orang pemuda terlihat lebih dewasa sedangkan yang satunya lagi tampak lebih muda sedikit, Indra segera menyipitkan kedua matanya menatap kedua pendekar yang sedang bertarung tersebut. Seketika itu juga Indra terbelalak kaget saat melihat kedua pemuda tersebut mirip seseorang yang dia kenali.“Tidak mungkin, mereka mirip dengan Eka Loka,” gumam Indra kaget. Dia sama sekali tidak habis pikir bagaimana bisa dia bertemu dengan dua orang sekaligus yang mirip dengan Eka Loka di kerajaan ini.Sementara itu kedua pendekar yang masih saling berhadapan terus melakukan jual beli serangan. Dentingan demi dentingan senjata
‘Celaka!” gumam Indra saat melihat tebasan si pendekar tersebut melesat bersama riuh angin yang bergemuruh kencang ke arahnya. Tekanan udara yang dia tebas kini membentuk tebasan angin yang begitu lebar.‘Tap’‘Bhoomrrr’‘Brugh’Suara dentuman keras terdengar saat tebasan angin dari kejauhan yang dilakukan pendekar muda berhasil menghantam pohon tempat Indra bersembunyi, saat itu juga pohon besar yang terkena serangan itu seketika roboh menghantam tanah sampai menimbulkan suara benturan keras. Sementara itu Indra berhasil menghindari selamat karena keburu menghindar sesaat sebelum serangan yang datang juga mengenainya.“Tri kau terlalu buru-buru! Bagaimana kalau orang yang datang itu hanya warga biasa yang sedang mencari kayu bakar!” bentak pendekar yang lebih tua seakan tidak setuju dengan tindakan adiknya.“Kau terlalu berisik kak, lihatlah sendiri dia itu bukan warga biasa. Dia bahkan bisa menghindari seranganku!” balas si adik yang tampaknya juga tidak senang dinasehati kakaknya.
“Lalu apa yang sedang kalian lakukan di sini?” tanya Indra.“Aku sedang melatih adik ku. Jika di sekitar paguron langsung kami berlatih maka akan banyak murid lain yang malah menontonnya, di tempat yang jauh seperti ini kami bisa lebih bebas berlatih tanpa ada yang menonton,” jawab Dwi Loka.“Oh begitu ya,” ujar Indra.“Sebaiknya kita juga harus segera kembali kak, jika lebih lama di sini bisa-bisa kita kemalaman,” tukas Tri Loka seraya menatap Gunung Mekarbuana di kejauhan.“Ya, sebaiknya kisanak juga ikut bersama kami saja agar ada teman di perjalanan,” kata Dwi Loka sembari berbalik menghadap ke arah Gunung Mekarbuana. Indra hanya mengangguk saja sambil mulai melangkahkan kakinya mengikuti langkah Dwi Loka dan Tri Loka.Mereka bertiga segera berjalan meninggalkan hutan tempat mereka bertemu. Langkah mereka tertuju ke arah Gunung Mekarbuana. Sepanjang perjalanan mereka terus berbincang banyak hal, terutama tentang pertemuan Indra dengan Eka Loka di Kerajaan Panjalu. Tanpa terasa mer
“Aku sendiri tidak mengira kalau ternyata saudara-saudaranya berguru di sini, saat itu dia sama sekali tidak menceritakannya kepadaku,” ucap Indra.“Sudah sejak turun temurun keluarga kami memang berguru di sini,” tukas Dwi Loka.“Eh begitu ya,” ujar Indra sembari menganggukan kepalanya tanda mengerti.Tak lama kemudian Chakra kembali menemui mereka bertiga. Dia mengatakan Mahaguru Sekar Arum meminta Indra untuk menghadapnya. Indra hanya bisa mengangguk lalu pergi menuju kediaman Mahaguru Sekar Arum diantar oleh Dwi Loka. Di kediamannya, Mahaguru Sekar Arum sudah menunggu dengan ditemani oleh salah satu putranya yang bernama Danang Arum.“Jadi kau yang namanya Indra Purwasena?” tanya seorang nenek tua berambut putih dengan tatapan tajam. Meskipun kulitnya sudah keriput pertanda umurnya sudah sangat tua, namun tubuhnya tidak terlihat bungkuk sedikitpun. Tatapannya juga masih sangat tajam, di pinggangnya tampak sebilah pedang tersarung dengan rapi.“Iya Mahaguru. Saya Indra Purwasena da
“Ya. Mungkin kau sudah pernah mendengar bahwa paguron kami ini merupakan tempat para Jawara ahli pedang, sebab kami di sini memang dilatih untuk fokus memperdalam ilmu pedang. Tapi setiap muridnya dikelompokan tergantung kecocokan bakat dan kemampuannya dalam aliran pedang tertentu. Misalanya aku saat ini memperdalam ilmu pedang aliran bunga kamboja, sementara Chakra memperdalam ilmu pedang aliran matahari,” sambung Danu.“Eh? Begitu ya, pantas saja saat diperjalanan sore tadi aku melihat beberapa orang yang sedang berlatih menggunakan gerakan yang berbeda satu sama lainnya,” batin Indra.“Nah, ketujuh orang yang paling menguasai aliran pedang tertentu akan dipilih menjadi salah satu dari Tujuh Kembang Mekarbuana. Tentunya pemilihan itu dilakukan dengan latih tanding satu sama lain,” pungkas Danu.“Luar biasa, itu artinya kau adalah pendekar terhebat yang menguasai ilmu pedang aliran bunga kamboja?” puji Indra.“Hehe.. tidak begitu juga, mungkin kalau dibilang diantara murid yang ada