Ketika hendak sampai di rumah bambunya yang bisa dibilang megah, Iblis Jelita mencium aroma yang akrab dan dia kenal, yaitu bau kunyahan sirih.
Karena tidak melihat ada orang lain di luaran rumahnya, Iblis Jelita menduga tamunya sedang ada di dalam.
Jleg!
Bertepatan dengan mendaratnya kaki Iblis Jelita di lantai bambu, dari dalam rumah berjalan keluar seorang lelaki berjubah merah terang, kian memberi warna pemandangan di sungai itu. Sulit mencari warna merah di tempat itu, karena gincu wanita yang biasanya merah, Iblis Jelita justru memakai gincu biru. Entah apa bahan utama dari warna pembiru bibirnya.
Lelaki berjubah merah itu sepuluh tahun lebih tua dari Iblis Jelita. Artinya dia berusia empat puluh lima tahun. Rambut gondrong terbatasnya diikat sederhana di belakang, sehingga terlihat seperti ekor burung berekor pendek. Wajahnya bersih dari kumis dan jenggot. Alisnya pun tipis, seolah-olah hanya digaris pakai arang kayu. Mulutnya mengunyah dan ada bercak-bercak warna merah di bibirnya, tapi bukan darah.
Dia terbilang gagah dengan cara melangkahnya. Dada dan bahunya tegak.
Lelaki itu membawa semangkuk daun sirih yang direndam air. Setelah melirik sejenak kepada kedatangan Iblis Jelita, lelaki itu duduk di balai-balai bambu.
“Apa yang kau lakukan di rumahku, Kakang Iblis Sirih?” tanya Iblis Jelita dengan menyebut nama lengkap si lelaki, yaitu Iblis Sirih.
“Hanya menumpang makan sirih,” kata Iblis Sirih enteng, yang ketika berbicara terlihat jelas cairan merah di giginya.
“Hampir sepanjang hari kau menginang. Istilah dari mana itu ‘menumpang makan sirih’?” kata Iblis Jelita, sambil lewat dan masuk ke dalam rumahnya.
“Anak siapa yang kau bawa itu?” tanya Iblis Sirih kepo. Dia melihat Ardo Kenconowoto sedang merangkak bergelantungan di titian tali dengan kedua kaki juga mengait. Mirip personel militer sedang latihan, bukan mirip monyet.
Meski mendengar pertanyaan kakak seperguruannya,tetapi wanita cantik itu tidak langsung menjawab. Dia mengambil sebutir pil dari dalam tabung kayu yang memang adalah tempat obat.
Iblis Jelita keluar lagi. Dia berdiri sambil memandang perjuangan Ardo yang bergerak seperti ulat bulu.
“Dia pelayan baruku. Anak miskin di ibu kota Gampartiga. Namanya Ardo. Dia anak yang berbakti kepada ibunya, pekerja keras, pelari kencang. Dan yang terpenting, nanti besarnya dia akan menjadi lelaki yang tampan,” jawab Iblis Jelita.
“Apa rasanya anak sekecil itu?” tanya Iblis Sirih.
“Aku akan membesarkannya sehingga dia pantas untukku,” jawab Iblis Jelita.
“Dari getar suaramu, menunjukkan kau terluka. Apakah kau terluka saat melawan Nyai Wetong?”
“Luka ringan. Aku tidak melihatmu saat aku membunuh janda itu.”
“Aku mendapat kabar saja.”
“Cepat sekali berita itu menyebar.”
“Aku punya beberapa telinga sukarela yang suka membawakan kabar penting kepadaku tanpa minta dibayar.”
“Tapi minta perlindungan cuma-cuma sewaktu-waktu?” terka Iblis Jelita.
“Itu namanya berbuat baik kepada orang dekat.”
“Katanya, kalian meributkan burung suami Nyai Wetong?”
“Hampir lima purnama kau tidak datang ke sini, tapi tiba-tiba datang. Apakah hanya untuk menanyakan kebenaran tentang burung suami Nyai Wetong?”
“Cuih! Ya, seperti itulah,” jawab Iblis Sirih santai setelah dia meludahkan ampas sirihnya ke air sungai yang mengalir.
“Lihat itu!” tunjuk Iblis Jelita kepada satu tiang bambu yang di atasnya menggantung sebuah sangkar burung, tanpa burung.
Iblis Sirih memandang sangkar yang dimaksud.
“Dua purnama lamanya aku memelihara burung suami Nyai Wetong, sampai dia bertelur dua kali. Aku rasa, meski kau memiliki ‘burung dan telur’, kau tidak tahu banyak tentang burung itu. Aku tidak tahu nama jenisnya, tetapi itu burung sakti,” kata Iblis Jelita.
“Lalu burungnya di mana?”
“Sedang dipelihara Ratu Senja. Dia juga mengincar telurnya, tetapi dia belum tahu cara membuat burung itu bertelur.”
“Menarik. Ternyata ada burung sakti. Telurnya pasti memiliki keistimewaan.”
“Nyai Sakti, aku sudah tidak kuaaat!” teriak Ardo tiba-tiba dengan posisi bergelantungan di titian dengan dua tangannya, sementara kedua kakinya menggantung setengah depa dari permukaan air sungai. Wajahnya yang sudah bengkak mengerenyit menahan payah.
“Kakimu bisa dimakan buaya!” sahut Iblis Jelita
“Aaak!” pekik Ardo sambil tiba-tiba dia punya kekuatan untuk menaikkan kembali kedua kakinya mengait di tambang. Dia menjerit bukan karena kesakitan, tapi karena ketakutan.
Namun, Ardo tetap tidak bisa bergerak maju. Padahal jarak tubuhnya dengan pingiran lantai bambu sudah dekat.
“Aku tidak akan menolongmu. Berjuanglah sendiri,” kata Iblis Jelita.
“Aduh, Nyaiii!” keluh Ardo meringis. Jika dia sudah mengeluh, pastilah kondisinya memang sudah sangat payah.
Akhirnya, Ardo memilih mematung seperti itu ditambang seperti jemuran. Sepertinya dia diam untuk mengumpulkan sedikit tenaga.
“Jika dia bertelur, berarti burungnya betina. Jika beranak, berarti burungnya lelaki,” kata Iblis Sirih kembali ke topik burung. Sepertinya dia masih penasaran tentang perkara burung itu.
“Omongan macam apa itu?” ucap Iblis Jelita sembari tersenyum kecil.
“Lalu apa istimewanya burung itu?”
“Awet muda.”
“Kau tahu dari mana?”
“Lihat saja Pendekar Tabur Bunga, mati dengan raga masih seperti pemuda, padahal usianya jelas sudah tua. Itu karena khasiat telur burungnya....”
“Apakah cukup dengan dua telur sehingga burung itu kau berikan kepada Ratu Senja?” tanya Iblis Siri memotong.
“Tidak. Aku hanya menghindari tuduhan Nyai Wetong, meski pada akhirnya dia mati di tanganku. Namun, sebentar lagi orang-orang yang menginginkan burung itu akan datang mengeroyok Ratu Senja.”
“Bagaimana jika burung itu mati?”
“Itu burung sakti. Kau tahu, burung itu usianya sudah berapa lama? Lebih dua puluh tahun. Dia kebal terhadap senjata tajam....”
“Itu burung sungguhan atau burung lelaki?” potong Iblis Sirih seakan tidak percaya.
“Kalau kau tidak percaya, datangilah Ratu Senja, bandingkan burung itu dengan milikmu,” tandas Iblis Jelita.
“Lalu bagaimana kau bisa tahu semua tentang burung itu, padahal jenisnya saja kau tidak tahu?”
“Aku tahu dari pemiliknya, Pendekar Tabur Bunga.”
“Jadi kau pernah tidur dengan suami Nyai Wetong itu?”
“Ya, selama dua pekan. Makanya dia mau bercerita tentang burung saktinya itu. Tidak apa-apa kalau kau membocorkan kepada istrinya,” kata Iblis Jelita.
“Nanti kalau aku mati juga, aku laporkan perselingkuhan suaminya dengan dirimu,” seloroh Iblis Sirih tanpa tawa.
“Lihatlah anak itu, tekadnya sangat tinggi,” kata Iblis Jelita.
Iblis Sirih kembali memandang kepada Ardo Kenconowoto yang kembali bergerak merayap di tambang, setelah ada sedikit tenaga yang terbangun dari keterdiamannya. Hingga akhirnya, kedua kakinya mengulur turun dan berpijak pada pinggiran lantai bambu.
“Eek!” pekik Ardo ketika dia melepas pegangannya dari tambang, dia justru oleng dan keseimbangannya hilang.
Dia hendak jatuh ke arah sungai dengan kedua tangan merentang mencoba jaga keseimbangan. Namun, tubuhnya tetap lebih condong ke arah sungai.
“Nyai Saktiii!” teriak Ardo saat tidak sanggup mempertahankan keseimbangannya.
Set! Clak! Brak!
Tiba-tiba Iblis Sirih melesatkan selembar daun sirihnya yang bisa terbang secepat anak panah. Daun itu menempel keras di jidat Ardo, sampai-sampai suara tempelannya terdengar nyaring seperti bantingan kartu gaple. Tanpa jeda, Iblis Sirih menarik dua jarinya yang merapat.
Tubuh Ardo yang sudah bergerak jatuh ke belakang hendak jatuh ke air sungai, mendadak bangun ke depan seperti vampir Tiongkok bangun dari mati. Namun, setelah berdiri lagi, tubuh Ardo langsung terbanting tengkurap di lantai bambu.
Meski menderita sakit, terutama pada wajahnya yang bengkak-bengkak, Ardo buru-buru bangkit dan bersujud. Dia tahu bahwa dirinya ditolong sehingga batal tercebur.
“Telima kasih, Nyai! Telima kasih, Nyai!” ucap Ardo dalam sujudnya. Dia kira majikannyalah yang menolongnya.
“Bukan aku, tapi Iblis Sirih yang mengangkatmu,” ralat Iblis Jelita.
“Telima kasih, Kakang Iblis Silih! Terima kasih, Kakang Iblis Silih!” ucap Ardo kian kencang, sambil mengantuk-antukkan jidatnya di lantai.
Iblis Sirih terbeliak mendengar kecadelan Ardo yang sangat jelas. Jelas cadelnya. Dia bisa langsung membayangkan kondisi Ardo di tengah masyarakat. Dia menduga kuat bahwa anak itu pasti menderita banyak perundungan dari teman-temannya atau orang dewasa. Bayangan itu membuat Iblis Sirih menyimpan satu poin rasa iba kepada anak itu.
Dalam hati dia ada ketertarikan kepada Ardo. Dia menyepakati penilaian adik seperguruannya bahwa anak itu seorang pekerja keras yang pantang menyerah, padahal kondisinya sedang keracunan.
“Jangan panggil aku Kakang Iblis Sirih. Panggil aku Guru!” hardik Iblis Sirih.
“Hah?” Ardo mengangkat wajahnya dan melongo mengenaskan kepada Iblis Sirih.
“Apa-apaan kau, Kakang. Tidak bisa!” hardik Iblis Jelita. “Anak ini milikku sepenuhnya!” (RH)
Ratu Senja bisa dibilang satu generasi dengan Iblis Jelita. Sama-sama wanita berusia menuju senja. Mereka sama-sama tidak punya anak. Jika Iblis Jelita memang tidak mau punya anak meski berhubungan dengan banyak lelaki dewasa, maka Ratu Senja awalnya adalah janda berkembang, baru nikah sudah ditinggal mati suami. Meski sudah pernah dicocoktanami, tetapi dia tidak hamil.Jadi, Ratu Senja adalah janda yang setia. Bukan di setiap tikungan ada, tetapi memang setia menjanda tanpa main ilegal dengan lelaki manapun. Dia bisa bertahan sampai hampir lebih sepuluh tahun menjanda.Iblis Jelita dan Ratu Senja bisa disebut sahabat, meski Iblis Jelita cenderung berkarakter golongan hitam dan Ratu Senja terbilang wanita baik, terbukti dia teguh mempertahankan keperawanannya terhitung sejak suaminya meninggal.Ratu Senja tinggal di tengah-tengah sebuah kebun petai. Itu miliknya, tetapi orang yang mengurus kebunnya adalah orang bayaran dari kota Gampartiga. Ada dua orang bayaran, keduanya berusia tua
“Kenapa kalian menginginkan burungku?” tanya Ratu Senja yang berdiri di teras rumahnya sambil memegang tampi yang di atasnya ada beras.Ki Rumpuk dan Ketinting Uwok berdiri dengan gaya menantang di depan rumah, sedikit lebih rendah dari Ratu Senja.“Sama sepertimu yang punya tujuan memelihara burung suami Nyai Wetong,” kata Ketinting Uwok sambil menunjuk dengan ujung tongkatnya yang seperti tombak.“Kenapa kau bisa tahu tentang burung itu?” tanya Ratu Senja heran.“Tanyakan saja dengan sahabatmu setan yang jelita itu,” kata Ketinting Uwok.“Tidak mungkin Iblis Jelita memberi tahu kalian,” kata Ratu Senja.“Dia bicara di depan orang banyak kemarin, saat Nyai Wetong menagih burung suaminya. Nyai Wetong sudah mati, jadi burung itu sekarang bukan milik siapa-siapa dan bebas untuk direbut,” kata Ketinting Uwok.“Sembarangan!” bentak Ratu Senja. “Oooh, jadi Nyai Wetong mati dibunuh oleh Iblis jelita? Bisa berbuntut panjang.”“Sudah, lebih baik serahkan burung itu baik-baik, agar kejandaanmu
“Benar-benar cari mati kau, Ki Rumpuk!” teriak Ratu Senja melihat lawan lelakinya telah berkelebat dengan membawa sangkar yang berisi burung sakti.Set!Baru saja hendak mengejar Ki Rumpuk, Ketinting Uwok cepat mengarahkan tangan kanannya ke arah tongkatnya yang menancap di tiang bambu rumah Ratu Senja.Ketika gerakan menarik dengan tenaga dalam yang besar, tongkat itu tercabut dan melesat mundur sendiri menyerang Ratu Senja yang bergerak. Ternyata lesatan tombak itu menghalangi langkah Ratu Senja, sehingga dia tertahan.Sambil menahan luka parahnya di bahu belakangnya, Ketinting Uwok dengan tangkas menangkap batang tongkatnya yang seperti tombak.Setelah itu, Ketinting Uwok memutar-mutar tongkatnya yang ujung-ujungnya menusuk ke arah Ratu Senja.Lagi-lagi Ratu Senja mengandalkan ilmu Tinju Belut Peri untuk menantang tusukan lancip tongkat tersebut.Satu jengkal sebelum pertemuan terjadi, mata lancip tongkat terpeleset tanpa menyentuh tinju Ratu Senja.Keterpelesetan itu membuat Ketin
Ratu Senja telah tiba di pinggir Sungai Ukirati, tepatnya di kediaman Iblis Jelita. Dia membawa sangkar yang berisi burung sakti peninggalan mendiang Pendekar Tabur Bunga.Dia memandang ke rumah bambu yang ada di tengah-tengah sungai. Dilihatnya ada seorang anak lelaki bertelanjang dada sedang menonjoki buah kelapa yang digantung. Posisinya membelakangi arah keberadaan Ratu Senja.Ratu Senja lalu melompat dan berlari di atas titian seutas tambang yang menghubungkan darat dengan rumah bambu. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah tengah sungai tersebut.Jleg!Ratu Senja sengaja sedikit memperkeras pendaratan kakinya di lantai bambu agar si bocah yang sedang menonjoki buah kelapa mendengar kedatangannya.Benar saja, anak itu sontak menghentikan aksinya dan cepat menengok. Dia pun terkejut melihat siapa yang telah ada di belakangnya.“Eh, Nyai Sakti!” sebut anak yang adalah Ardo Kenconowoto. Dia segera berbalik dan menjura hormat.“Rupanya kau, Aldo,” ucap Ratu Senja pula cukup ter
“Dua puluh, Nyaiii!” teriak Ardo saat kepala dan wajahnya keluar dari dalam air sungai.Ardo telah menjadi seorang remaja tanggung yang tampan dan semakin berotot. Rambutnya pun semakin gondrong. Empat tahun telah berlalu. Benar dugaan Iblis Jelita, Ardo semakin dewasa semakin tampan.“Naiklah, ada tugas untukmu!” perintah Iblis Jelita yang saat itu sedang memilah dan memilih buah leunca.Dia memilah dan memilih buah untuk sayur itu bersama Ratu Senja. Namun, ada yang aneh dari kedua wanita dewasa itu.Setelah empat tahun berlalu, wajah keduanya semakin terlihat cantik dan lebih muda, seperti gadis berusia di bawah tiga puluh tahun, padahal usia mereka hampir kepala empat. Sepertinya mereka sukses berbagi resep awet muda yang mereka dapat dari burung sakti, yang hingga saat ini burung tersebut masih sehat bugar.Bruss! Jleg!Kini, Ardo tinggal melakukan lompatan untuk naik dari air sungai dan mendarat di lantai bambu rumah Iblis Jelita.Terlihatlah penampilan Ardo yang sudah bertubuh
Untuk naik ke rumah tinggi Iblis Sirih, Ardo Kenconowoto harus lewat pohon. Setelah ambil ancang-ancang, Ardo berlari naik seperti seekor kucing naik pohon. Gerakannya tidak berhenti menginjak satu dahan naik ke dahan lain, seiring satu tangannya berpegangan. Dia tahu-tahu sampai di lantai teras rumah Iblis Sirih.Dengan berada di teras, Ardo bisa melihat seorang lelaki berusia empat puluh sembilan tahun sedang duduk bersila sambil menulis dengan lidi di lembaran daun sirih.“Sembah holmatku, Gulu,” ucap Ardo sembari menjura hormat di teras.“Apa yang kau bawa, Ardo?” tanya Iblis Sirih tanpa menoleh kepada anak itu.“Sayul nangka muda, Gulu,” jawab Ardo sambil menunjukkan bingkisannya.“Kau yang memasaknya?” tanya Iblis Sirih, kali ini dia menengok kepada Ardo.“Bukan aku, tapi Nyai Sakti,” jawab Ardo.“Itu baru bagus. Kemarikan. Jika kau yang buat, pasti tidak enak,” kata Iblis Sirih sumringah.Ardo pun masuk dan memberikan bingkisan yang dibawanya kepada Iblis Sirih yang tidak berju
Anggar Sukolaga dan Aninda Maya berjalan menuntun kudanya di antara kios-kios para pedagang pasar Gampartiga. Pasar itu memiliki jalan pembelah yang lebar, sehingga orang berkuda pun bisa leluasa berburu belanjaan.Beruntungnya para pedagang di pasar itu, pengunjung pasar selalu ramai dari pagi hingga sore. Pagi adalah puncak ramainya.Saat itu masih siang menuju sore. Sambil berjalan, Anggar Sukolaga memandang ke berbagai arah pasar. Pandangannya jauh-jauh, seperti mencari sesuatu yang tertentu, bukan bermaksud berbelanja. Sementara Aninda memerhatikan berbagai dagangan yang digelar, barang-barang yang tidak ada tersedia di rumah.Anggar Sukolaga akhirnya melihat apa yang dicarinya, yaitu ikatan kain merah di tiang sebuah saung sederhana di ujung sudut pasar. Posisi saung itu agak tinggi karena dibangun di atas tanah yang lebih tinggi dari tanah pasar yang rata.“Aninda, Ayah ingin menemui teman Ayah di saung sudut pasar sana,” kata Anggar Sukolaga kepada putri cantiknya. Keterangan
Plok plok plok!“Wah wah wah! Anak cadel bisa jadi pahlawan sekarang. Hebaaat!”Tepukan tangan dan pujian yang bernada mengejek itu membuat Ardo Kenconowoto dan Aninda Maya menengok ke sumber suara. Mereka melihat Anoman, Gugusan dan Kuncung berjalan mendekat sambil tepuk tangan dan tersenyum mengejek.“Jangan berbuat jahat lagi kau, Anoman. Atau aku akan bertarung melawan kalian!” ancam Aninda Maya sambil memegangi tali kendali kudanya yang baru saja diserahkan oleh Ardo.“Aku takuuut! Hahaha!” ucap Anoman dengan mimik pura-pura takut tapi serius mengejek dan tertawa bersama dua sahabatnya.“Kami sudah selesai denganmu, Aninda. Urusan kami sekarang dengan si cadel itu,” kata Gugusan lalu menunjuk wajah Ardo yang hanya diam memandangi ketiga orang yang suka mem-bully-nya.“Walaupun dengan Aldo!” sentak Aninda mendelik marah, kian membuat kecantikan gadis itu menarik untuk diganggu.“Aldo? Hahaha...!” Anoman tertawa kencang yang diikuti oleh tawa Gugusan dan Kuncung yang sama-sama meny