Share

8. Iblis Sirih

Ketika hendak sampai di rumah bambunya yang bisa dibilang megah, Iblis Jelita mencium aroma yang akrab dan dia kenal, yaitu bau kunyahan sirih.

Karena tidak melihat ada orang lain di luaran rumahnya, Iblis Jelita menduga tamunya sedang ada di dalam.

Jleg!

Bertepatan dengan mendaratnya kaki Iblis Jelita di lantai bambu, dari dalam rumah berjalan keluar seorang lelaki berjubah merah terang, kian memberi warna pemandangan di sungai itu. Sulit mencari warna merah di tempat itu, karena gincu wanita yang biasanya merah, Iblis Jelita justru memakai gincu biru. Entah apa bahan utama dari warna pembiru bibirnya.

Lelaki berjubah merah itu sepuluh tahun lebih tua dari Iblis Jelita. Artinya dia berusia empat puluh lima tahun. Rambut gondrong terbatasnya diikat sederhana di belakang, sehingga terlihat seperti ekor burung berekor pendek. Wajahnya bersih dari kumis dan jenggot. Alisnya pun tipis, seolah-olah hanya digaris pakai arang kayu. Mulutnya mengunyah dan ada bercak-bercak warna merah di bibirnya, tapi bukan darah.

Dia terbilang gagah dengan cara melangkahnya. Dada dan bahunya tegak.

Lelaki itu membawa semangkuk daun sirih yang direndam air. Setelah melirik sejenak kepada kedatangan Iblis Jelita, lelaki itu duduk di balai-balai bambu.

“Apa yang kau lakukan di rumahku, Kakang Iblis Sirih?” tanya Iblis Jelita dengan menyebut nama lengkap si lelaki, yaitu Iblis Sirih.

“Hanya menumpang makan sirih,” kata Iblis Sirih enteng, yang ketika berbicara terlihat jelas cairan merah di giginya.

“Hampir sepanjang hari kau menginang. Istilah dari mana itu ‘menumpang makan sirih’?” kata Iblis Jelita, sambil lewat dan masuk ke dalam rumahnya.

“Anak siapa yang kau bawa itu?” tanya Iblis Sirih kepo. Dia melihat Ardo Kenconowoto sedang merangkak bergelantungan di titian tali dengan kedua kaki juga mengait. Mirip personel militer sedang latihan, bukan mirip monyet.

Meski mendengar pertanyaan kakak seperguruannya,tetapi wanita cantik itu tidak langsung menjawab. Dia mengambil sebutir pil dari dalam tabung kayu yang memang adalah tempat obat.

Iblis Jelita keluar lagi. Dia berdiri sambil memandang perjuangan Ardo yang bergerak seperti ulat bulu.

“Dia pelayan baruku. Anak miskin di ibu kota Gampartiga. Namanya Ardo. Dia anak yang berbakti kepada ibunya, pekerja keras, pelari kencang. Dan yang terpenting, nanti besarnya dia akan menjadi lelaki yang tampan,” jawab Iblis Jelita.

“Apa rasanya anak sekecil itu?” tanya Iblis Sirih.

“Aku akan membesarkannya sehingga dia pantas untukku,” jawab Iblis Jelita.

“Dari getar suaramu, menunjukkan kau terluka. Apakah kau terluka saat melawan Nyai Wetong?”

“Luka ringan. Aku tidak melihatmu saat aku membunuh janda itu.”

“Aku mendapat kabar saja.”

“Cepat sekali berita itu menyebar.”

“Aku punya beberapa telinga sukarela yang suka membawakan kabar penting kepadaku tanpa minta dibayar.”

“Tapi minta perlindungan cuma-cuma sewaktu-waktu?” terka Iblis Jelita.

“Itu namanya berbuat baik kepada orang dekat.”

“Katanya, kalian meributkan burung suami Nyai Wetong?”

“Hampir lima purnama kau tidak datang ke sini, tapi tiba-tiba datang. Apakah hanya untuk menanyakan kebenaran tentang burung suami Nyai Wetong?”

“Cuih! Ya, seperti itulah,” jawab Iblis Sirih santai setelah dia meludahkan ampas sirihnya ke air sungai yang mengalir.

“Lihat itu!” tunjuk Iblis Jelita kepada satu tiang bambu yang di atasnya menggantung sebuah sangkar burung, tanpa burung.

Iblis Sirih memandang sangkar yang dimaksud.

“Dua purnama lamanya aku memelihara burung suami Nyai Wetong, sampai dia bertelur dua kali. Aku rasa, meski kau memiliki ‘burung dan telur’, kau tidak tahu banyak tentang burung itu. Aku tidak tahu nama jenisnya, tetapi itu burung sakti,” kata Iblis Jelita.

“Lalu burungnya di mana?”

“Sedang dipelihara Ratu Senja. Dia juga mengincar telurnya, tetapi dia belum tahu cara membuat burung itu bertelur.”

“Menarik. Ternyata ada burung sakti. Telurnya pasti memiliki keistimewaan.”

“Nyai Sakti, aku sudah tidak kuaaat!” teriak Ardo tiba-tiba dengan posisi bergelantungan di titian dengan dua tangannya, sementara kedua kakinya menggantung setengah depa dari permukaan air sungai. Wajahnya yang sudah bengkak mengerenyit menahan payah.

“Kakimu bisa dimakan buaya!” sahut Iblis Jelita

“Aaak!” pekik Ardo sambil tiba-tiba dia punya kekuatan untuk menaikkan kembali kedua kakinya mengait di tambang. Dia menjerit bukan karena kesakitan, tapi karena ketakutan.

Namun, Ardo tetap tidak bisa bergerak maju. Padahal jarak tubuhnya dengan pingiran lantai bambu sudah dekat.

“Aku tidak akan menolongmu. Berjuanglah sendiri,” kata Iblis Jelita.

“Aduh, Nyaiii!” keluh Ardo meringis. Jika dia sudah mengeluh, pastilah kondisinya memang sudah sangat payah.

Akhirnya, Ardo memilih mematung seperti itu ditambang seperti jemuran. Sepertinya dia diam untuk mengumpulkan sedikit tenaga.

“Jika dia bertelur, berarti burungnya betina. Jika beranak, berarti burungnya lelaki,” kata Iblis Sirih kembali ke topik burung. Sepertinya dia masih penasaran tentang perkara burung itu.

“Omongan macam apa itu?” ucap Iblis Jelita sembari tersenyum kecil.

“Lalu apa istimewanya burung itu?”

“Awet muda.”

“Kau tahu dari mana?”

“Lihat saja Pendekar Tabur Bunga, mati dengan raga masih seperti pemuda, padahal usianya jelas sudah tua. Itu karena khasiat telur burungnya....”

“Apakah cukup dengan dua telur sehingga burung itu kau berikan kepada Ratu Senja?” tanya Iblis Siri memotong.

“Tidak. Aku hanya menghindari tuduhan Nyai Wetong, meski pada akhirnya dia mati di tanganku. Namun, sebentar lagi orang-orang yang menginginkan burung itu akan datang mengeroyok Ratu Senja.”

“Bagaimana jika burung itu mati?”

“Itu burung sakti. Kau tahu, burung itu usianya sudah berapa lama? Lebih dua puluh tahun. Dia kebal terhadap senjata tajam....”

“Itu burung sungguhan atau burung lelaki?” potong Iblis Sirih seakan tidak percaya.

“Kalau kau tidak percaya, datangilah Ratu Senja, bandingkan burung itu dengan milikmu,” tandas Iblis Jelita.

“Lalu bagaimana kau bisa tahu semua tentang burung itu, padahal jenisnya saja kau tidak tahu?”

“Aku tahu dari pemiliknya, Pendekar Tabur Bunga.”

“Jadi kau pernah tidur dengan suami Nyai Wetong itu?”

“Ya, selama dua pekan. Makanya dia mau bercerita tentang burung saktinya itu. Tidak apa-apa kalau kau membocorkan kepada istrinya,” kata Iblis Jelita.

“Nanti kalau aku mati juga, aku laporkan perselingkuhan suaminya dengan dirimu,” seloroh Iblis Sirih tanpa tawa.

“Lihatlah anak itu, tekadnya sangat tinggi,” kata Iblis Jelita.

Iblis Sirih kembali memandang kepada Ardo Kenconowoto yang kembali bergerak merayap di tambang, setelah ada sedikit tenaga yang terbangun dari keterdiamannya. Hingga akhirnya, kedua kakinya mengulur turun dan berpijak pada pinggiran lantai bambu.

“Eek!” pekik Ardo ketika dia melepas pegangannya dari tambang, dia justru oleng dan keseimbangannya hilang.

Dia hendak jatuh ke arah sungai dengan kedua tangan merentang mencoba jaga keseimbangan. Namun, tubuhnya tetap lebih condong ke arah sungai.

“Nyai Saktiii!” teriak Ardo saat tidak sanggup mempertahankan keseimbangannya.

Set! Clak! Brak!

Tiba-tiba Iblis Sirih melesatkan selembar daun sirihnya yang bisa terbang secepat anak panah. Daun itu menempel keras di jidat Ardo, sampai-sampai suara tempelannya terdengar nyaring seperti bantingan kartu gaple. Tanpa jeda, Iblis Sirih menarik dua jarinya yang merapat.

Tubuh Ardo yang sudah bergerak jatuh ke belakang hendak jatuh ke air sungai, mendadak bangun ke depan seperti vampir Tiongkok bangun dari mati. Namun, setelah berdiri lagi, tubuh Ardo langsung terbanting tengkurap di lantai bambu.

Meski menderita sakit, terutama pada wajahnya yang bengkak-bengkak, Ardo buru-buru bangkit dan bersujud. Dia tahu bahwa dirinya ditolong sehingga batal tercebur.

“Telima kasih, Nyai! Telima kasih, Nyai!” ucap Ardo dalam sujudnya. Dia kira majikannyalah yang menolongnya.

“Bukan aku, tapi Iblis Sirih yang mengangkatmu,” ralat Iblis Jelita.

“Telima kasih, Kakang Iblis Silih! Terima kasih, Kakang Iblis Silih!” ucap Ardo kian kencang, sambil mengantuk-antukkan jidatnya di lantai.

Iblis Sirih terbeliak mendengar kecadelan Ardo yang sangat jelas. Jelas cadelnya. Dia bisa langsung membayangkan kondisi Ardo di tengah masyarakat. Dia menduga kuat bahwa anak itu pasti menderita banyak perundungan dari teman-temannya atau orang dewasa. Bayangan itu membuat Iblis Sirih menyimpan satu poin rasa iba kepada anak itu.

Dalam hati dia ada ketertarikan kepada Ardo. Dia menyepakati penilaian adik seperguruannya bahwa anak itu seorang pekerja keras yang pantang menyerah, padahal kondisinya sedang keracunan.

“Jangan panggil aku Kakang Iblis Sirih. Panggil aku Guru!” hardik Iblis Sirih.

“Hah?” Ardo mengangkat wajahnya dan melongo mengenaskan kepada Iblis Sirih.

“Apa-apaan kau, Kakang. Tidak bisa!” hardik Iblis Jelita. “Anak ini milikku sepenuhnya!” (RH)

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rudi Hendrik
barang bagus pasti jadi rebutan
goodnovel comment avatar
🅰️nny Maheswari
wah langsung jadi rebutan dia
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status