Share

7. Racun Kelapa

Setelah mendapat izin dari ibunya, Ardo Kenconowoto pun berpamitan kepada sang ibu. Dia memeluk erat ibunya yang menangis karena akan ditinggal pergi oleh putra berbaktinya, meski tidak ditinggal untuk selamanya.

Di saat Upir Rammi menangis, Ardo justru tertawa-tawa, menertawakan ibunya sambil menghibur sang ibu.

“Aku akan seling-seling datang melihat kondisi, Ibu,” kata Ardo. “Aku pamit, Bu. Nyai Sakti sudah menunggu aku.”

Upir Rimma hanya mengangguk sembari tersenyum getir. Ia menyeka air matanya di saat putranya juga memeluk adik baiknya.

“Kakang titip Ibu. Kau halus kuat, Linta,” kata Ardo memberi pesan.

“Iya. Aku akan menjadi wanita kuat, Kakang,” kata Rinta Kemiri optimis.

Ardo lalu berlari kecil menyusul Iblis Jelita yang sudah menunggu di luar.

Upir Rimma meraih sekantung kecil kepeng yang sebelumnya diberikan oleh Iblis Jelita. Dia begitu senang memiliki stok kepeng yang nyaris tidak pernah terjadi selama dia menderita sakit persendian pada kedua kakinya.

Sementara di luar rumah.

“Membungkuklah di sisi kuda agar aku mudah naik!” perintah Iblis Jelita.

“Baik, Nyai,” ucap Ardo patuh.

Ardo lalu pergi membungkuk di sisi kanan kuda. Setelah melihat pose tubuh Ardo sudah kokoh, Iblis Jelita lalu naik menginjak punggung si bocah.

Ardo tahu, ketika majikannya menginjak punggungnya, ada kaki indah yang terangkat dan terbuka lebar. Namun, Ardo tidak berani menengok atau melirik. Dia fokus menatap tanah di bawah wajahnya.

Dengan menjadikan punggung Ardo sebagai bangku hidup, Iblis Jelita bisa naik ke punggung kuda dengan lebih mudah.

Namun, ketika majikan barunya itu menginjak punggungnya, Ardo merasakan injakan itu hangat, seperti ada telur rebus baru matang ditempelkan ke punggungnya.

Memang, tanpa Ardo ketahui, ketika kaki kanan Iblis Jelita menginjak punggung Ardo, ada sinar ungu yang muncul dari injakan itu. Entah sinar ungu apa itu? Hanya Iblis Jelita yang tahu, karena rerumputan yang tumbuh di sekitar gubuk malu untuk bertanya.

“Selama kau menjadi pelayanku, kau harus berlari mengikuti lari kudaku,” kata Iblis Jelita.

“Siap, Nyai!” pekik Ardo semangat.

Mulailah Iblis Jelita menjalankan kudanya. Ardo berlari mengikuti.

Setelah menyeberangi sungai kembali, Iblis Jelita agak mempercepat lari kudanya. Ardo pun mempercepat larinya. Dia masih bisa berlari mengikuti kuda.

Melihat pelayan barunya berlari dengan semangat, meski sudah banjir keringat, Iblis Jelita hanya tersenyum kecil. Dia kemudian menambah gas gebahannya, meninggalkan Ardo agak jauh di belakang.

Meski agak tertinggal oleh ekor kuda, Ardo konsisten dengan kecepatan larinya, karena memang itulah kemampuan maksimalnya.

Setelah agak lama menjauhi Ardo, Iblis Jelita agak menurunkan kecepatan kudanya, membuat Ardo bisa lebih dekat di belakang kuda.

Hingga sampai di sebuah pinggiran lembah, lari Ardo memelan, menunjukkan energinya sudah menuju tanda merah. Daripada Ardo kehilangan majikannya, Iblis Jelita memilih memelankan kudanya yang pada akhirnya berhenti.

“Hah hah hah!” Ardo berdiri dengan membungkuk memegangi kedua lututnya. Dia sangat terengah-engah.

“Ternyata kau pelari yang kuat, Ardo,” puji Iblis Jelita jika menilai jarak lari yang telah ditempuh oleh Ardo.

“I-i-iya, Nyaih. Setiap aku mendapat pelintah, aku selalu belalih, agal cepat dikeljakan. Hah hah hah!” kata Ardo di sela-sela bernapasnya.

Set! Dug!

Iblis Jelita menyentilkan jari kelingkingnya, melesatkan sebutir sinar hitam kecil ke atas sebatang pohon kelapa. Energi itu memutus tangkai kelapa, menjatuhkan dua butir kelapa muda ke tanah.

“Ambil!” perintah Iblis Jelita kepada Ardo yang terperangah monyong melihat kesaktian itu, padahal sebelumnya dia sudah melihat kesaktian majikannya yang lebih hebat.

“Baik, Nyai,” ucap Ardo patuh.

Dia pun berlari kecil karena memang dengkulnya terasa ingin copot. Dia memungut dua kelapa yang masing-masing sudah bercerai dengan tangkainya. Dia bawa dua kelapa itu ke hadapan sang majikan yang masih duduk di punggung kuda.

Tub tub!

Iblis Jelita lalu dengan mudahnya menusukkan kuku telunjuk hitamnya ke kulit samping kelapa sampai satu ruas jarinya tenggelam. Ketika jarinya dicabut, air kelapa langsung mengucur. Buru-buru Ardo mengubah posisi kelapanya agar lubangnya menghadap ke atas.

Hal yang sama Iblis Jelita lakukan kepada kelapa yang kedua.

Setelah itu, dia ambil satu kelapa dari tangan Ardo. Iblis Jelita mendongak seiring dia menuangkan air kelapa ke dalam mulutnya yang menganga. Ardo hanya memandangi pemandangan leher yang putih indah.

“Minum!” hardik Iblis Jelita saat mendapati anak itu justru memandanginya minum. “Jangan sering-sering memandangi majikanmu. Otakmu nanti rusak.”

“I-i-iya, Nyai,” ucap Ardo tergagap karena merasa berlaku salah.

Ardo lalu meminum air kelapa dengan cara menempelkan bibirnya ke lubang, tidak mengucurkannya seperti air pipis anak lelaki sebagaimana yang dilakukan oleh majikannya.

“Habiskan, karena kau masih harus berlari!” perintah Iblis Jelita.

“Iya, Nyai,” ucap Ardo patuh, setelah menjeda tenggakannya. Dia lalu kembali minum sampai habis, terlebih dia memang haus sekali dan butuh banyak cairan seperti banyak iklan yang menganjurkan demikian.

Setelah habis minumannya dan membuang kelapa kopongnya, Ardo meraba bibirnya yang terasa aneh. Saat dia merasakan bibirnya sendiri dengan jari, dia menyimpulkan bahwa kedua bibirnya menebal. Dia tarik bibir bawahnya dan melihatnya. Dia terkejut karena bibirnya berwarna gelap, cenderung kehitaman.

“Bibirmu keracunan,” kata Iblis Jelita enteng.

“Hah! Aku kelacunan, Nyai? Aduh, aku bisa mati, Nyai. Nyai sudah membayalku, tapi aku malah bulu-bulu mati. Bagaimana ini, Nyai?” celoteh Ardo mendadak panik. Ekspresinya pun menunjukkan dia mau menangis, tapi hanya mau, tidak sampai menangis.

“Hihihi!” tawa Iblis Jelita melihat kepanikan Ardo yang lucu, ditambah omongannya yang cadel.

“Aku tidak mau jadi setan yang punya utang, Nyai,” kata Ardo mengiba.

“Kau terkena racun kukuku. Kau tidak akan mati, aku punya penawarnya,” kata Iblis Jelita.

“Waduh waduh! Mukaku mulai kesemutan, Nyai,” kata Ardo semakin panik karena merasakan wajahnya seperti dipenuhi ribuan semut.

Iblis Jelita hanya tersenyum cantik lalu menggebah kembali kudanya. Mau tidak mau, Ardo juga kembali berlari dengan memendam kecemasan atas nasib bibir dan nyawanya.

Karena Iblis Jelita tidak menjelaskan sebab musabab bibir Ardo keracunan, maka sekedar bocoran, penyebab bibir Ardo keracunan karena cara dia meminum air kelapa.

Ketika kuku Iblis Jelita melubangi kelapa, racun yang masuk langsung terbuang oleh air kelapa yang mengucur di awal setelah jari dicabut. Namun, masih ada racun yang tersisa di kulit kelapa sekitar lubang. Maka, ketika Ardo menempelkan bibirnya, dia terkena racun itu. Jadi kesimpulannya, air kelapa bersih dari racun, sedangkan pinggiran lubang tidak. Semoga bisa dipahami.

Kembali ke pelarian Ardo.

Ternyata, jarak tempuh lanjutan dari lari Ardo tidak begitu jauh, tidak sampai selama menghabiskan semangkuk mie ayam.

Mereka tiba di sebuah pinggir sungai yang cukup lebar dan berarus deras. Di tengah-tengah sungai ada sebuah rumah panggung bambu yang cukup besar. Kaki-kaki rumahnya yang tenggelam ke dasar sungai terlihat kokoh. Terlihat pula ada pakaian yang sedang dijemur dan berkibar-kibar tertiup angin.

Tidak ada jembatan untuk sampai ke rumah tersebut dan tidak terlihat ada perahu di pinggiran sungai. Yang ada hanyalah seutas tambang panjang yang terbentang menjadi penghubung. Satu ujung tambang melilit dan terikat kuat pada sebatang pohon besar, sedangkan ujung lainnya terikat kuat di sebuah tonggak kayu yang berdiri kokoh di dekat rumah bambu.

Ada tambang serupa yang menghubungkan rumah bambu dengan pinggir sungai yang di seberang sana.

Sekitar belasan tombak dari rumah tengah sungai ke arah hulu, ada deretan tiang-tiang bambu yang menancap di dasar, seperti pagar berjarak.  Deretan patok bambu juga ada di arah hilir. Mungkin jaraknya sama dengan yang di arah hulu.

Itulah kediaman Iblis Jelita. Deretan patok bambu menunjukkan batas luar daerah perairan sungainya. Jika ada nelayan atau orang asing yang melewati batas itu tanpa izin, maka akan mendapat agresi maut.

Semua nelayan sungai wilayah sekitar sudah tahu bahwa itu kediaman Iblis Jelita. Jadi tidak ada yang berani mendekati batas.

Setelah memberikan tali kudanya kepada Ardo, Iblis Jelita lalu melompat naik ke atas tambang, kemudian dengan mudahnya dia berjalan di titian tali itu. Seperti berjalan di jalan biasa, Iblis Jelita tidak terlihat melakukan upaya jaga keseimbangan karena dia tidak oleng sama sekali.

“Nyai Sakti, lalu aku bagaimana cala menyebelangnya?” tanya Ardo setengah berteriak setelah menambatkan kuda. Dia bingung untuk mengikuti majikannya.

“Pikirkan sendiri. Kau harus sampai ke rumah itu jika tidak mau mati keracunan!” sahut Iblis Jelita tanpa menoleh lagi.

Ardo pun garuk-garuk bibirnya yang hitam dan bengkak seperti bibir karakter animasi gurita yang ikonik. (RH)

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Rudi Hendrik
biar tambah seksi
goodnovel comment avatar
salman alfarisy
aldo lagi gak semangat om. ada lacun dibibil nya...
goodnovel comment avatar
Rudi Hendrik
hup hup hura
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status