Sisa perjalanan itu menghabiskan tenaga Dzurriya, hingga akhirnya ia terlelap sambil menyandarkan kepala ke jendela. Sayup-sayup, terdengar suara kaca diketuk-ketuk berjeda.
Dzurriya hanya mengernyitkan dahinya, dan bergeser sedikit dari sandaran kursinya. Ia memindahkan kepala itu dari jendela karena berisik. Matanya terasa begitu berat karena lelah. Ia pun terlelap kembali.
Kini terdengar samar pintu mobil di sampingnya dibuka, dan hidungnya mulai mencium aroma musk yang berbaur dengan wangi pengharum mobil bernuansa orange.
Bau itu makin lama makin menyengat, bahkan sekarang ia bisa merasakan embusan napas seseorang menyapa lembut bagian bawah hidungnya. Ia merasakan debaran jantung yang berpacu dengan teratur. Namun….
‘Ini bukan debar j
Dzuriya terdiam mendengarnya, apalagi tiba-tiba Ryan memandangnya begitu dalam. Seluruh tubuhnya menegang tanpa disadari.Ia merasakan sesuatu yang familiar setelah menatap Ryan cukup lama. Namun entah kenapa, Dzurriya malah merasa tidak nyaman. Ia seperti ingin pergi jauh secepatnya.“Maksudku, di sini.” Ryan tiba-tiba melanjutkan sambil nyengir dan menunjuk dadanya sebelah kiri. “Santailah sedikit, Kak!”Meskipun begitu, Dzurriya tidak sedikit pun merasa lega. Ia hanya balas tersenyum sebagai bentuk sopan, dan supaya Ryan tidak membahasnya lebih jauh.Dzurriya bersyukur karena sepertinya Ryan orang yang cukup peka. Lelaki itu mulai membahas hal lain. Pembawaannya yang santai dan lucu, tanpa sengaja Dzurriya menjadi akrab dengannya. Ia pun
Udara malam semakin menusuk ke dalam pori-pori kulit, sampai bulu kuduk Dzurriya pun ikut berdiri. Apalagi saat angin yang lumayan kencang itu ikut menghampiri, jaket teracotta yang dipinjamkan Ryan bahkan tak mampu menepisnya.Tangannya berkali-kali di gosok-gosokkan, bibirnya pun mulai mengeluarkan kabut-kabut asap tipis ketika mulutnya berbicara.Berbeda dengan Alexa yang terlihat nyaman dengan syal, dan jaketnya yang lumayan tebal, ditambah dekapan sang suami. Tangannya pun sudah masuk ke saku jaket suaminya sedari tadi, padahal ia sudah memakai sarung tangan juga.“Dingin ya, Kak?” tanya Ryan sambil memandangnya dalam-dalam.Namun, belum sempat Dzurriya menjawab, sudah disela oleh suaminya, “Sudah tahu kedinginan, kepala pus
Karena terus memaksa, Dzurriya akhirnya mengganti pakaiannya dengan baju yang dibawakan Ryan. Baru saja ia selesai memakai pasmina, ada seseorang mengetuk pintunya.Suara ketukan itu beradu lirih dengan ketukan air hujan di permukaan genteng dan kaca. Akhir-akhir ini hujan memang sering turun, sepertinya musim mulai berganti.Dzurriya membuka pintu itu, terlihat sedikit demi sedikit sosok punggung lelaki sedang menunggunya di depan kamar. Lelaki itu kemudian berbalik setelah mendengar suara pintu di buka. Ternyata Ryan.“Ada apa?” tanya Dzurriya pelan, berusaha menutupi rasa kecewanya. Ia pikir itu Eshan tadi.Ryan hanya bengong dan tak menjawabnya. Ia memandang Dzurriya dalam-dalam. Terlihat jakunnya naik turun seperti sedang menelan ludah. Sementara m
Eshan menatap keluar jendela mobil. Di luar tampak hujan begitu deras disertai petir menghiasi langit yang beranjak malam. Pikiran Eshan terus dipenuhi Dzurriya. Padahal dia sendiri tadi yang menyuruh Dzurriya naik mobil sendiri bersama pengawalnya. Ia bahkan melarang Ryan untuk menemani Dzurriya, dan malah memintanya mengantar Alexa duluan.Sekarang, wanita itu masih tertinggal di belakang bersama para pengawal. Sementara Eshan dan yang lain sudah lebih dulu berangkat.‘Apa dia baik-baik saja?’Lalu, ia mendesah sendiri, menyadari kalau rasa khawatir ini begitu konyol. Tidak mungkin dia mengkhawatirkan wanita jahanam itu.“Putarlah sesuatu!” perintah Eshan dingin, kepada anak buahnya.“Baik, Pak,” jawab pengawal yang duduk di sebelah sopir sambil memutar radio dan mencari saluran yang pas. Sebuah lagu mengalun merdu, membawa pendengarnya merasakan isi lagu tersebut. Suasana hujan menambah syahdu lagu yang bernada pelan itu.Pikiran Eshan semakin tak tenang. Padahal satu kilometer l
“Jadi kalian semua meninggalkannya sendiri di mobil untuk mencari bantuan? Apa kalian tahu mobil itu ringsek dihantam pohon yang roboh! Hah!”Dzurriya mengernyitkan dahinya di antara sadar dan tidak sadar. Suara hardikan samar-samar itu mengusiknya. Ia membuka matanya pelan-pelan, mengintip keadaan sekitar. Sebentar saja ia sudah tahu jika sudah berada di kamarnya.“Enyah kalian! Jangan pernah muncul di depanku!” suara keras Eshan menggelegar, bahkan dengan pintu yang tertutup.Ini pertama kalinya Dzurriya mendengar Eshan semarah itu. Biasanya, lelaki itu hanya berkata dingin dan menusuk, kadang juga sarkas. Namun kali ini, Eshan benar-benar berteriak.Dzurriya jadi bertanya-tanya, apa yang membuat suaminya itu semarah itu.Selang tak berapa lama, terdengar gagang pintu di tarik turun. Sepertinya seseorang akan masuk. Dzurriya spontan menutup matanya lagi.‘Kalau itu Eshan, aku tak mau kena marah lagi. Lebih baik aku pura-pura tidur saja’Suara langkah kaki yang sangat dikenalnya ter
Kata-kata suaminya itu terdengar seperti ribuan petir yang menyengat habis isi otaknya, hingga ia hanya mampu terpaku lemas. Kakinya pun melunglai hingga hampir jatuh kalau saja tangannya tidak berpegangan pada tembok. “Hari ini kita ada cek lab telur dan sperma, kau tak boleh stres. Sudah, jangan berpikir macam-macam lagi!” suara Eshan berubah menjadi lembut, tapi itu malah membuat Dzurriya semakin terluka.Di sana, istri pertamanya sedang di tenangkan. Di sini, ia sendiri seperti istri yang tak diinginkan tapi harus bertahan….Lantas, Dzurriya segera menyeret langkahnya beranjak dari tempat itu. Ia mengusap air matanya yang tak mau berhenti. Tidak ada orang di sana yang pantas melihatnya menangis.“Dari awal, ini bukan pernikahan baginya , tapi apa yang sedang kamu lakukan, Dzurriya….”Dzurriya terus berjalan sambil terus mengusap air mata yang tak mau berhenti mengalir.Ia masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu dengan keras, kemudian terduduk di belakang pintu itu. Tangannya y
Dzurriya pura-pura bersikap biasa saja, dan mengabaikan keberadaan Eshan. Ia melangkahkan kakinya menuju kulkas, dan melewati Eshan tanpa berbicara sepatah kata pun pada lelaki itu yang menoleh padanya.Ia buka pintu kulkas itu kemudian mengambil sebotol air dan meminumnya. Rasa laparnya langsung lenyap begitu saja, mungkin ia akan minum air saja dan kembali tidur. Dalam kesenyapan, ia menaruh botol itu dan menutup kulkas. Kemudian berbalik dan…“Astagfirullah!”Dzurriya memekik ketika Eshan sudah tiba-tiba berada di hadapannya. Tubuhnya yang tinggi tampak menjulang, menutupi bayangan Dzurriya sendiri. Matanya itu menatap Dzurriya yang lebih pendek darinya. Keduanya beradu pandang beberapa saat, bersamaan dengan detak jantungnya yang berpacu dengan cepat. Apalagi wajah lelaki itu benar-benar hanya berjarak beberapa centi dari dirinya. Dzurriya bisa merasakan hembusan napasnya yang begitu lembut menyentuh dahinya.Pada saat yang sama…“AKU TAK SUDI MENIKAHINYA.”Kalimat itu bergema
Hacih!Setelah siang itu, Dzurriya tetap berada kamar sampai waktu makan malam. Namun, karena ia basah-basahan tengah hari, dan tidak langsung mandi setelah itu, badannya mulai mengalami demam.Puncaknya adalah pagi ini. Kepala Dzurriya terasa berat dan berdenyut, seluruh tubuhnya tiba-tiba juga terasa nyeri. Ia terus bersin sejak bangun tidur, hingga membuat hidungnya itu memerah.Setelah mandi dan berganti pakaian, Dzurriya berniat untuk sarapan. Ini sudah hampir jam setengah 8, Alexa dan Eshan pasti sudah selesai sarapan. Ia tidak ingin merepotkan pelayan yang membawa makanannya ke kamarnya lagi.Dzurriya bersin sekali lagi ketika membuka pintu.Tepat saat itu, seorang lelaki tiba-tiba berhenti melangkah di depan kamarnya karena terkejut. Dzurriya ikut terkejut sampai berhenti menggosok-gosok hidung, dan mengangkat kepalanya. Suaminya ada di sana tengah menatapnya dalam-dalam. Dzurriya yang masih merasa kesal, berlalu begitu saja tanpa menghiraukan atau balik menatapnya. Ia meleng