Share

Iri Dengki Elias

Author: Erna Azura
last update Last Updated: 2025-04-08 07:10:00

Zanitha terbangun di dalam ruangan asing. Bau logam menyengat hidungnya. Ia menyadari tangan dan kakinya terikat.

Ruangan itu gelap, hanya lampu remang yang tergantung di atas kepalanya.

Elias duduk di kursi seberang, menatapnya seperti patung batu.

“Aku tidak akan menyakitimu… kalau kamu mau jadi milikku,” bisiknya lalu seringai mengerikan muncul di sudut bibir Elias.

Zanitha menahan air mata, jantungnya berdebar kencang. “Elias… jangan lakukan ini. Kita bisa bicara baik-baik.”

Pria itu menggeleng. “Ananta tidak pantas memiliki kamu.”

Air mata Zanitha jatuh, dia menyimpan tangannya di perut yang buncit dan demi apa Elias benci sekali melihat perut buncit Zanitha.

***

Sementara itu di Mansion, Ananta bergerak cepat. Dia tidak memiliki waktu untuk memarahi orang- orangnya yang tidak berguna karena tidak bisa menjaga Zanitha padahal sudah memperketat keamanan.

Tim keamanan keluarga dikerahkan. CCTV di seluruh mansion diperiksa. Taylo
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Pengantin Dari Sebuah Tragedi   Masih Pantas Kah?

    Suasana di sebuah cafe kecil di pusat kota Zurich terasa hangat oleh aroma kopi dan roti panggang.Tapi di salah satu sudut, ketegangan justru memenuhi udara.Ananta duduk di kursi menghadap Rafael, matanya dingin menusuk.“Kamu sibuk mengejar Nayla,” Ananta membuka percakapan dengan nada datar, “Tapi kapan terakhir kali kamu menjenguk Jonas dan Jenny?”Rafael mengatupkan rahangnya, mengaduk kopi di depannya tanpa melihat Ananta.“Aku… aku butuh waktu, Ananta,” gumam Rafael, suaranya berat.Ananta bersandar di kursinya, matanya masih menusuk Rafael seperti belati.“Mereka anakmu, Rafael. Mereka tidak ngerti apa itu ‘butuh waktu’. Yang mereka tahu, daddy mereka tidak ada dan kamu juga yang menginginkan hak asuh jatuh ke tanganmu tapi kamu malah meninggalkan mereka.”Rafael mengepalkan tangan di atas meja.“Aku tahu,” bisiknya, suaranya penuh frustrasi.Lalu, Rafael mengangkat pandangannya, menatap Ananta lurus-lurus.“Aku berusah

  • Pengantin Dari Sebuah Tragedi   Awal Perjalanan Panjang

    Pagi itu, di bawah langit Zurich yang kelabu, Rafael berdiri di depan sebuah pintu kayu sederhana di distrik pinggiran kota.Tangannya terangkat, nyaris mengetuk tapi ragu.Untuk ke sekian kalinya, dia bertarung dengan rasa takutnya sendiri.Takut ditolak.Takut dianggap menjijikkan.Takut kehilangan satu-satunya harapan baru dalam hidupnya.Dengan gemetar, akhirnya Rafael mengetuk pintu.Beberapa detik berlalu, lalu pintu itu terbuka perlahan.Nayla berdiri di sana, mengenakan sweater hangat warna abu-abu dan jeans sederhana.Wajahnya datar, tanpa ekspresi.Tatapannya menusuk, menembus dada Rafael.“Aku sudah bilang, jangan datang lagi, Rafael,” ucap Nayla tanpa basa-basi.Suara Nayla terdengar berat, tegas, penuh luka.Rafael menelan ludah, tetap berdiri di sana.“Aku cuma mau bicara. Lima menit saja. Kumohon,” katanya, suaranya parau.Nayla menghela napas keras, lalu menggeser tubuhnya sedikit memberi jalan.“Lima menit. Tidak lebih,” katanya dingin.Rafael melangk

  • Pengantin Dari Sebuah Tragedi   Resmi Bercerai

    Pagi itu, Zurich dibalut kabut tipis.Udara terasa berat, menyesakkan dada.Di sebuah kamar di mansion kecil yang disediakan keluarga Von Rotchschild untuknya, Winna berdiri di depan cermin besar, mengenakan blazer hitam yang dulu pernah membalut tubuhnya dengan kebanggaan—kini tampak kebesaran, menggantung di bahunya yang mulai mengurus.Tangannya gemetar saat mencoba merapikan rambutnya.Sekali, dua kali, lalu menyerah.Apa gunanya tampil sempurna, kalau ia tahu… dunia yang ia pertahankan selama ini akan runtuh hari ini?Dengan langkah berat, Winna mengambil tas tangan hitam kecil dari atas meja, lalu meraih ponselnya.Pesan pendek dari pengacaranya sudah menunggu.Pengacara : Sidang final jam 09.00. Mohon hadir tepat waktu.Winna menarik napas panjang, mencoba menahan gemuruh ketakutan dalam dadanya.Namun saat kakinya melangkah keluar kamar, tubuhnya terasa goyah—seolah sebagian jiwanya tertinggal di tempat itu.Di dalam mobil yang membawanya ke gedung pengadilan, Winna

  • Pengantin Dari Sebuah Tragedi   Janji

    Malam harinya, di dalam kamar utama Mansion yang paling luas, udara terasa lebih hangat dari biasanya.Lampu tidur menyala temaram, mewarnai ruangan dengan semburat oranye lembut.Zanitha dan Ananta berbaring di atas ranjang, saling berpelukan.Mereka baru saja menidurkan Ares tanpa drama bahkan Ananta tidak selesai membaca dongeng karena Ares terlalu kelelahan bermain dengan mainan barunya. Zanitha mengenakan kaftan tidur tipis, sementara Ananta hanya memakai celana training dan kaus polos.Di antara mereka, keheningan nyaman mengisi udara.Zanitha menyandarkan kepalanya di dada Ananta, mendengarkan detak jantung laki-laki itu yang stabil dan menenangkan.Tangan besar Ananta mengusap-usap rambut Zanitha dengan gerakan lambat.“Aku belum berhenti bersyukur,” bisik Ananta tiba-tiba, suaranya rendah, nyaris serak.Zanitha menoleh sedikit, mengangkat dagunya untuk menatap wajah suaminya.“Bersyukur karena apa?” tanyanya lembut.Ananta menatap dalam ke mata istrinya, matanya ge

  • Pengantin Dari Sebuah Tragedi   Kebahagiaan Yang Menjadi Nyata

    Udara sore di taman belakang mansion Von Rotchschild sejuk, langit biru bersih tanpa awan.Ares, yang kini berusia dua tahun, berlarian sambil membawa pesawat mainan di tangannya. Tawa kecilnya menggema, lincah dan tak pernah kehabisan energi.Namun Zanitha hanya duduk di bangku taman, wajahnya pucat, tubuhnya terasa berat.Matanya mengikuti Ares dengan tatapan kosong karena tubuhnya terlalu lelah untuk bergerak.Biasanya, dia yang paling semangat mengejar Ares, bermain petak umpet, atau sekadar ikut tertawa melihat tingkah putranya.Tapi hari ini…Hari ini rasanya tubuhnya memberontak.“Ares … pelan-pelan ya, Sayang,” tegur Zanitha pelan, hampir seperti berbisik.Ares tertawa, berlari lebih kencang.Zanitha menahan mual di tenggorokannya, memejamkan mata sesaat.Peluh dingin membasahi pelipisnya.Langkah kaki cepat terdengar mendekat.Ananta, mengenakan kemeja santai berwarna biru tua, menghampiri dengan raut khawatir.“Sayang, kamu kenapa?” tanyanya sambil jongkok di de

  • Pengantin Dari Sebuah Tragedi   Tempat Pulang

    Dua hari setelah Nayla menemuinya dengan memberi kabar buruk sekaligus bahagia, Rafael kembali duduk termenung di balkon apartemen kecilnya.Matanya sembab. Di meja, dua cangkir kopi sudah dingin. Satu kosong, satu tak disentuh.Lalu terdengar suara pintu diketuk.Dengan malas Rafael melangkah gontai untuk membukanya tanpa ekspektasi apapun tentang siapa yang ada di depan pintu.Dia lantas mendapati Ananta, berdiri dengan mantel panjang, wajah serius tapi tanpa tekanan.“Aku tidak ada tenaga untuk debat.” Rafael berkata lirih, mencoba menutup pintu kembali.Namun Ananta menahan menggunakan satu tangan.“Aku datang ke sini bukan untuk berdebat,” katanya. “Aku ke sini … karena Zanitha.”Rafael mengerjap.Ananta masuk perlahan, duduk di sofa.Suasana hening sebentar.“Dia minta aku bicara denganmu,” lanjut Ananta. “Dia merasa iba melihat Jonas dan Jenny. Katanya … anak-anak tidak pantas jadi korban keegoisan orang tua.”Rafael duduk perlahan di seberangnya, tatapannya kosong.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status