Masih pagi buta, ketika langkah Vernon begitu cepat dan mantap di atas lantai marmer koridor rumah sakit. Mantel wol hitamnya berkibar pelan tertiup angin pagi. Di tangan kanannya, ia menggenggam erat sebuah paper bag cokelat tebal yang memancarkan aroma sedap croissant mentega dan quiche lorraine hangat—sarapan khas Paris yang ia buat sendiri di mansion-nya, spesial hanya untuk satu orang. Joana.Wajahnya terlihat letih, mungkin karena tidur yang tidak nyenyak semalam. Akan tetapi, di balik lingkaran gelap di bawah matanya itu, ada tekad yang jelas. Ia ingin menjadi orang pertama yang Joana lihat pagi ini.Begitu menapaki koridor menuju kamar rawat VVIP di lantai tiga itu, Vernon mendapati sesuatu yang aneh. Ada beberapa bruder berdiri di berbagai titik. Seragam putih mereka tampak seperti rohaniwan rumah sakit di mata Vernon, tetapi tatapan mata mereka terlalu tajam, terlalu awas, tidak seperti bruder biasa yang pernah Vernon temui.Beberapa dari mereka menoleh bersamaan, mengikuti
Malam semakin larut, dan Distrik ke-8 Paris mulai tenggelam dalam kesunyian. Di luar kamar rawat VVIP Joana, seorang lelaki jangkung dalam balutan jas dokter putih melangkah hati-hati dan perlahan. Masker medis warna senada menutupi sebagian wajahnya, meninggalkan sepasang mata gelap yang berkilat penuh niat jahat.Ia menunggu.Dari sela kaca kecil di pintu, terlihat Kennard dan Joana sudah berbaring di ranjang pasien. Joana memunggungi Kennard, wajahnya tampak terlelap damai, sedangkan Kennard memeluknya dengan protektif pun posesif dari arah belakang.Dokter palsu itu memeriksa jam di pergelangan tangan kirinya. Jarum panjang tepat di angka dua belas. Waktu yang tepat. Ia menarik napas dalam, lalu perlahan memutar kenop pintu dari luar.Namun, baru satu langkah ia masuki ruangan itu, tiba-tiba ia tersentak. Sebuah tangan kekar muncul dari belakang, membekap mulutnya dengan kain tebal yang berbau menyengat, sementara jarum suntik menancap cepat di lehernya. Cairan bening mendorong ma
Kennard menyudahi perdebatan itu, setelah melihat gurat wajah sedih Joana. Tidak ingin membebani pikiran ibu hamil. Malam pun semakin larut di Distrik ke-8. Lampu-lampu rumah sakit berpendar pucat, lorong-lorong mulai sepi, dan hanya suara langkah perawat serta bunyi mesin infus yang sesekali terdengar dari kejauhan. Joana sudah memunggungi Kennard sejak Vernon dan Ryuzaki pergi. Ia sengaja menaruh batasan dengan tubuhnya sendiri, membentuk jarak, seolah-olah dengan begitu bisa menjaga hatinya yang retak bisa bertahan lebih kuat. Akan tetapi, Kennard tidak bodoh. Ia tahu betul pola pikir istrinya. "Saya tidur di sini, tidak mau di sofa," ucap Kennard tiba-tiba.Joana menoleh sekilas. "Ranjang ini sempit, Ken. Kamu tidur di sofa saja," tolaknya mentah-mentah. "Tidak. Saya tetap mau di sini," sahut Kennard datar, lalu langsung melepas jaketnya, meletakkannya di kursi, dan naik ke ranjang itu dengan santai seakan-akan sudah menjadi milik pribadinya sejak awal.Joana mencebik dalam hat
Menyentuh malam hari, setelah meninggalkan apartemen Edmund, Kennard dan Ryuzaki kembali ke rumah sakit di Distrik ke-8. Mobil mereka meluncur senyap di bawah langit Paris yang gelap tanpa bintang. Hawa di dalam kendaraan seolah-olah lebih dingin dibandingkan suhu di luar. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Kennard gelisah. Wajahnya tegang, pikirannya kalut. Di satu sisi ia mengkhawatirkan Edmund, di sisi lain Joana tak pernah benar-benar hilang dari benaknya.Namun, ia sudah menyuruh agen kepercayaannya untuk melacak Edmund. Dan hal ini tanpa diketahui siapa pun, kecuali Ryuzaki. Jika kali ini operasinya juga bocor, Kennard tahu siapa yang harus dijadikan domba guling. Ryuzaki! Ketika mobil mereka berhenti di pelataran parkir rumah sakit, Kennard langsung turun dan melangkah cepat, diikuti Ryuzaki. Mereka melewati lorong putih panjang menuju kamar rawat VVIP tempat Joana dirawat sekarang.Namun, begitu mereka tiba di depan kamar itu, langkah keduanya terhenti. Dari balik p
Di Distrik ke-8, angin menyusuri celah gedung tua dan menyisakan hawa dingin yang menyusup hingga ke tulang. Di antara nuansa kelam itu, sebuah Mercedes-Benz hitam berhenti perlahan di depan bangunan pabrik tua yang sebelumnya menjadi tempat penyekapan Joana.Kennard turun lebih dulu, diikuti oleh Ryuzaki, sang sahabat yang baru saja ia jemput di apartemen. Lelaki Jepang itu mengenakan jaket kulit dan sarung tangan hitam, menatap sekitar dengan siaga. Sementara Kennard, yang belum tidur semalaman karena cemas akan keadaan Joana di rumah sakit dan kini kehilangan Edmund, terlihat letih dan muram.“Luan?” seru Kennard, memanggil sopir setianya yang berdiri tak jauh dari gerbang besi tua itu.Luan—yang sudah kembali ke sana—segera menghampiri dengan langkah sigap. “Iya, Tuan muda?”“Apa Edmund masih di sini? Kamu tahu dia ke mana? Ponselnya tidak bisa dihubungi. Tidak biasanya dia begini.” Kennard menghela napas putus asa. Luan menggeleng. “Apa? Tuan Edmund tidak ada di sini, Tuan muda.
Suasana sore di distrik elit Paris menggelayut temaram. Sinar mentari memantul anggun di jendela-jendela kafe mewah Château de Verre, tempat Alexa dan Daniella duduk berhadapan di sebuah sudut VIP yang tenang. Aroma kopi mahal dan bunga peony memenuhi udara, tetapi tak mampu meredakan kemarahan yang membara di mata Alexa."Jadi, Aunty pikir aku ini siapa? Boneka yang Aunty bisa atur seenaknya? Kenapa Aunty nggak bilang kalau Kennard ke Austria tiga minggu lalu? Dan yang lebih gila, Aunty menyembunyikan fakta bahwa sekarang ada perempuan lain di kediaman Darriston?" seru Alexa dengan suara rendah, tetapi penuh tekanan.Daniella menyesap tehnya perlahan. Wanita berusia kepala empat yang masih terlihat elegan itu menatap Alexa dengan tenang, seperti biasa. "Alexa, sayang, Aunty tidak ingin menyembunyikan tentang Cia sebenarnya. Hanya saja ... kamu terlalu mudah terpancing emosi. Aunty tidak ingin kamu melakukan sesuatu yang ceroboh dan membuat Ken ilfeel sama kamu. Percayalah," bujuknya.