“Tu-an tolong lepaskan saya, saya benar-benar tidak melakukan apapun,” ucap Rina dengan suara bergetar. Namun kata-katanya nyaris tenggelam di antara ketegangan yang membekukan udara. Lucas menatap Rina dengan mata penuh dendam, tubuhnya kaku, siap meledak kapan saja. Di balik kemarahannya, tersembunyi rasa sakit yang dalam, membuat suasana itu terasa seperti neraka yang hidup.
Lucas melangkah semakin mendekat membuat tubuh Rina semakin bergetar. “Tuan ampun…”Lucas memberi kode kepada Bobby membuat Bobby melangkah mendekat untuk memberikan sebuah teko air panas. Bobby melepaskan ikatan tapi Rina, lalu dia bersama seorang bodyguard memegangi tangan Rina. Tanpa mengatakan apapun Lucas menuangkan air itu.“Akh!!!” teriakan terdengar ketika air panas itu mengenai tubuhnya.“Kau sangat berisik.” Suara Lucas terdengar dingin. Dia menghentikan aksinya lalu mengambil sapu tangan dari saku Bobby. Lucas menyumpal mulut Rina menggunakan sapu tangan laluSetelah pamit kepada Bunda Helen, Lucas dan Kiara berjalan berdampingan menuju mobil yang sudah terparkir rapi di depan pintu utama. Bobby, seperti biasa, berdiri tegap di samping pintu belakang dengan wajah serius yang nyaris tak pernah berubah ekspresi.“Pagi, Tuan, Nyonya,” sapa Bobby sopan sambil membukakan pintu untuk mereka.“Pagi, Kak Bobby,” sahut Kiara ramah dengan senyum kecil. Sementara itu, Lucas hanya mengangguk tipis tanpa banyak bicara—sikap khasnya.Lucas masuk lebih dulu ke dalam mobil, lalu menoleh sambil mengulurkan tangan untuk membantu Kiara masuk menyusul. Begitu pintu tertutup, Bobby segera duduk di kursi kemudi dan menyalakan mesin. Mobil mulai bergerak dengan lembut, meninggalkan rumah mereka.Suasana dalam kabin sempat sunyi sejenak sebelum Lucas menoleh ke arah Kiara, bibirnya menyunggingkan senyum khasnya yang menggoda.“Ngomong-ngomong,” ucap Lucas sambil sedikit menyender, “Kamu makin cantik aja hari ini. Apa karena tahu akan satu mo
Kiara memperhatikan Lucas yang sedang mengambil tongkat tunanetra di dekat meja. Alisnya terangkat, wajahnya dipenuhi rasa heran. “Kenapa kamu masih membawa itu?” tanyanya pelan, nada suaranya penuh kebingungan. Lucas menoleh, tersenyum tipis. “Karena orang yang tahu aku bisa melihat hanya mereka yang tinggal di rumah ini. Di luar sana, dunia masih mengenalku sebagai pewaris buta.” Kiara mengerutkan kening, jelas belum sepenuhnya mengerti. Lucas memahami ekspresi bingung istrinya. Ia pun melangkah mendekat, berdiri tepat di hadapan Kiara. “Aku tidak memberitahumu sejak awal karena... rumah ini dulu dipenuhi mata-mata. Aku tak bisa bertindak sembarangan, apalagi mempercayai siapa pun. Satu langkah ceroboh, bisa menimbulkan kecurigaan dan membahayakanmu juga,” jelas Lucas, matanya menatap lurus ke mata Kiara. Ia menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan, suaranya lebih tenang. “Tapi sekarang, mereka semua sudah disingkirkan. Satu per s
Jarum jam telah menunjukkan pukul sembilan malam ketika Kiara melangkah masuk ke dalam walk-in closet. Dia bermaksud mengganti bajunya dengan pakaian tidur. Namun, langkahnya terhenti ketika matanya menangkap beberapa setelan baru yang rapi tergantung di salah satu sisi lemari. “Kapan dia membelinya?” gumam Kiara, alisnya mengernyit penuh tanda tanya. Tangannya terulur, menyentuh salah satu setelan yang terdiri dari celana panjang lembut dan atasan berlengan pendek berbahan satin tipis namun nyaman. Senyum tipis muncul di wajahnya. “Ternyata dia tidak memaksaku pakai gaun tidur seksi,” batinnya lega, mengingat beberapa kali Lucas suka menggoda dengan selera pakaian tidur yang cukup menggoda. Kiara memilih satu set berwarna biru pucat, lalu menggantikan pakaiannya. Setelah selesai, ia melangkah keluar dari walk-in closet. Kamar masih sepi, menandakan Lucas belum masuk. Karena tubuhnya sudah lelah dan suasana hati pun belum sepenuhnya tenang, Ki
Kiara memukul pelan dada Lucas dan berusaha bangkit. “Aku mau istirahat,” ucapnya terbata, mencoba menghindari tatapan intens sang suami.Namun Lucas menahan tubuh Kiara, tak membiarkannya bangkit dari pangkuannya.“Kamu bisa istirahat di sini,” ucapnya sambil menatap Kiara dengan sorot mata menggoda.“Mas!” pekik Kiara tertahan. Wajahnya memerah, membuat Lucas tertawa pelan, geli melihat ekspresi gugup istrinya.“Ada yang ingin aku bicarakan,” ucap Lucas, kali ini dengan nada serius. Tatapannya berubah, lebih dalam.Kiara spontan menatapnya, namun segera mengalihkan pandangannya. “Ubah posisi dulu… aku tidak nyaman,” bisiknya lirih.“Kenapa?” tanya Lucas, masih menatapnya dengan lembut. “Bukankah aku suamimu?”Pertanyaan itu membuat Kiara terdiam. Hatinya berdebar, dan dia tak tahu harus berkata apa.“Maaf karena selama ini membohongi kamu,” lanjut Lucas, suaranya terdengar tulus.Kiara menelan ludah. “A-aku tidak mempermasalahkan itu,” ujarnya g
Ruang makan dipenuhi aroma masakan rumahan yang menggugah selera. Di tengah meja panjang itu, tersaji hidangan lengkap yang menggoda lidah. Helen duduk di ujung meja, Kiara di sampingnya, dan Lucas di sisi lain, tepat berhadapan dengan istrinya.Namun, suasana makan siang itu terasa berbeda. Kiara menyendok sayur dengan hati-hati, matanya lebih sering menunduk ke piring daripada menatap suaminya. Sesekali, ia tersenyum kecil saat Helen menceritakan hal-hal ringan seputar kebun bunga di belakang rumah. Kiara menanggapinya dengan sopan, bahkan sesekali tertawa kecil—lebih untuk menutupi kecanggungan yang menyelinap di hatinya daripada karena benar-benar terhibur.Lucas hanya makan dalam diam. Sesekali, ia melirik ke arah Kiara, tatapannya tenang namun dalam, seolah berusaha membaca sesuatu dari wajah istrinya. Mengetahui Lucas yang bisa melihat justru membuat Kiara merasa semakin kikuk. Ia belum terbiasa dengan sorot mata suaminya yang kini seolah bisa menembus pertahanannya,
Langit masih mendung saat Lucas melangkah masuk ke ruang kerjanya. Udara pagi terasa berat, seperti menandakan bahwa sesuatu yang lebih besar tengah menunggu di depan. Ia belum sempat duduk ketika terdengar dua ketukan di pintu. “Masuk,” ucapnya datar. Bobby masuk dengan langkah cepat dan ekspresi serius. Di tangannya, ia membawa map tebal dan sebuah tablet. Tanpa banyak basa-basi, ia meletakkan dokumen di atas meja Lucas. “Tuan, ini laporan awal yang Anda minta,” ucap Bobby. Lucas hanya menatapnya sekilas, lalu memberi isyarat untuk mulai menjelaskan. Bobby membuka tablet, memperlihatkan beberapa foto dan file yang tersusun rapi. Di antaranya, ada gambar kondisi mobil, hasil pemeriksaan mekanik, hingga tangkapan CCTV. “Kami memeriksa catatan kecelakaan. Mobil itu memang benar mengalami rem blong. Tapi keanehannya adalah… itu mobil sewaan. Pemilik rental menyatakan mobil masih dalam kondisi nor