Zayyan memutus tatapannya pada Hilya, lalu beralih menatap sang nenek. "Saya mau-mau saja, Nek. Mau akad nikah sekarang juga saya siap."
Perkataan Zayyan itu sontak membuat Hilya melotot, dan ingin memaki kakak sepupunya itu. Bagaimana mungkin Zayyan bisa langsung menyetujui begitu saja permintaan sang nenek, seolah-olah permintaan itu bukan sesuatu yang penting, padahal itu menyangkut masa depan mereka.Asih pun tersenyum, ia senang karena cucu laki-lakinya itu mau menuruti permintaannya. "Memangnya kamu sudah menyiapkan maharnya?""Gampang! Setelah ini saya akan cari," jawab Zayyan enteng, lalu kembali menatap Hilya. "Kamu mau mahar apa, Hil?"Hilya yang ditanya hanya diam saja. Ia justru menampilkan wajah tak bersahabat pada Zayyan seperti biasanya.Anita, dan Rafi pun ikut menatap Hilya, menunggu jawaban dari gadis itu.Menyadari bahwa dirinya kini menjadi pusat perhatian, Hilya pun salah tingkah. Ia berdehem untuk menyamarkan sedikit rasa malunya."Nek, Nenek sudah minum obat?" Hilya mencoba mengalihkan pembicaraan."Sudah tadi. Kamu jangan mengalihkan topik, Hil. Jawab pertanyaan masmu tadi, kamu pengen mahar apa untuk pernikahan kalian?" ujar Asih. Ia paham betul bahwa cucu perempuannya itu tengah berkelit.Sementara itu, Hilya semakin bingung sekarang. Jujur dari hati yang terdalam, ia tak mau menikah dengan Zayyan. Bukan hanya karena hubungannya dengan Zayyan yang tidak pernah akur, tapi karena Hilya juga sudah punya pujaan hati sendiri. Namun, untuk berkata bahwa ia tidak bersedia menikah dengan kakak sepupunya itu, Hilya pun tidak mempunyai cukup keberanian sekarang.Anita memegang lengan tangan Hilya, hingga membuat Hilya refleks menoleh ke arah wanita paruh baya itu. Ibu Zayyan itu tersenyum ke arah Hilya. "Jangan malu-malu, Hil. Bilang saja kamu pengen mahar apa? Kami akan usahakan untuk memenuhinya."Padahal Hilya belum mengatakan bahwa ia bersedia untuk menikah dengan Zayyan, tetapi semua orang di sini seperti menganggap bahwa Hilya menerimanya. Hal ini membuat Hilya beberapa kali mengumpat dalam hati."Emmm ... Pakde sama Bude memangnya tidak keberatan menjadikan aku menantu kalian?" tanya Hilya."Tidak, Hil. Kami kan sudah mengenal kamu sejak kecil, sudah pahamlah bagaimana kamu," jawab Rafi."Iya, Hil, kami tidak keberatan kok. Kalau kami keberatan, untuk apa bude kemarin datang menemui kamu?" timpal Anita."Tapi kan aku cuma lulusan SMA, Pakde, Bude, sedangkan mas Zayyan kan dokter. Kita nggak sekufu. Kalau aku menikah sama mas Zayyan, bisa-bisa keluarga kalian dicibir sama orang-orang karena mas Zayyan punya istri yang nggak sederajat," ujar Hilya."Lho, lho, kami tidak pernah berpikiran seperti itu, Hilya," sanggah Rafi. "Kamu ini kan keponakan pakde, jangan pernah merendah seperti itu.""Semua manusia itu derajatnya sama di hadapan Alloh, Hil. Yang membedakan itu adalah iman, dan takwanya," tutur Asih. "Nenek yakin kamu nantinya bisa menjadi istri yang sholehah untuk Zayyan."Mendengar ucapan sang nenek, Hilya pun terdiam. Ia sudah tidak punya alasan lagi untuk diutarakan demi menolak menikah dengan kakak sepupunya itu."Kalau mau cari alasan untuk menolak menikah dengan saya, setidaknya cari alasan yang lain, Hil. Dikiranya saya menilai orang lain dari status sosialnya apa?" celetuk Zayyan agak ketus."Zayyan, jangan ketus gitu dong ngomong sama calon istri," tegur Anita.Suasana menjadi canggung. Lebih tepatnya Hilya yang merasa canggung berada di sana. Gadis berusia dua puluh tahun itu pun tiba-tiba mengingat ucapan sang ibu ketika di rumah tadi, tentang nasib Hamam, dan Hamim.Jika Hilya menolak menikah dengan Zayyan, lalu pakde, dan budenya merasa sakit hati, tidak menutup kemungkinan bahwa mereka akan menghentikan bantuan mereka untuk membiayai sekolah Hamam, dan Hamim. Hilya tidak masalah sebenarnya jika hal itu terjadi, karena ia akan berusaha bekerja lebih keras lagi untuk menyekolahkan kedua adiknya. Akan tetapi, masalah tidak hanya itu saja, ke depannya nanti, ia pasti akan canggung dengan pakde, dan budenya itu, serta bisa saja hubungan persaudaraan mereka, dan ibunya akan merenggang."Kamu masih tidak mau menikah dengan Zayyan, Hil?" tanya Asih. "Mau melihat nenek sekarat, lalu meninggal begitu?""Apa sih, Nek? Nggak gitu," sangkal Hilya."Makanya, tinggal bilang kamu mau mahar apa? Begitu saja kok repot!" omel Zayyan yang langsung mendapat pelototan tajam dari Anita."Ih! Aku kan belum bilang kalau aku mau menikah sama Mas. Kenapa dari tadi ngomongin mahar mulu sih?" protes Hilya pada Zayyan."Saya tidak menerima penolakan dari kamu. Saya sudah setuju untuk menikah denganmu, jadi kamu dilarang menolak!" tegas Zayyan yang kemudian beranjak meninggalkan ruang rawat inap sang nenek itu.Hilya geram dengan sikap Zayyan yang sesuka hatinya itu, tapi ia coba bersabar, karena tidak mungkin melawan Zayyan di hadapan para orang tua."Aduh ... dadaku." Asih tiba-tiba merintih sembari memegangi dadanya. Hal itu membuat semua orang di ruangan itu khawatir, termasuk Hilya."Ibu sesak lagi?" tanya Anita dengan raut wajah cemasnya."Saya panggilkan dokter dulu ya, Bu," ucap Rafi."Tidak perlu, Rafi. Mungkin ini memang sudah waktunya ibu untuk pergi," balas Asih yang masih tampak kesakitan."Nenek jangan ngomong gitu dong, Nenek pasti sembuh kok," ujar Hilya."Sebelum nenek pergi, nenek cuma pengen kamu menikah dengan Zayyan, Hil. Biar nenek bisa tenang," ucap Asih."Bu, kalau Hilya memang tidak mau, jangan terus dipaksa, nanti saya akan cari perempuan lain untuk jadi istrinya Zayyan," ujar Anita.Asih tak membalas perkataan Anita. Wanita lanjut usia itu tiba-tiba pingsan, dan membuat Hilya bertambah khawatir.====="Kalau sampai nenek kenapa-kenapa, saya tidak akan pernah memaafkan kamu, Hil," ucap Zayyan. "Kalau bisa, sebaiknya kamu jangan tinggal lagi di rumah nenek."Hilya tak menanggapi ucapan Zayyan, meskipun itu membuatnya semakin kalut. Jika ia tidak boleh tinggal di rumah sang nenek, lantas mau tinggal di mana lagi?Saat ini Asih sedang ditangani oleh dokter. Hilya, dan yang lainnya menunggu di luar ruangan."Udah, Hil, nikah aja sama kak Zayyan. Dia sebenarnya orangnya baik kok. Nanti kalau dia nyakitin kamu, lapor aja ke aku atau ke mama." Tasya coba membujuk Hilya. Adik perempuan Zayyan itu belum lama datang setelah mendapat kabar neneknya kembali drop.Seorang dokter laki-laki keluar dari ruang rawat Asih. Ia segera diserbu oleh Rafi, dan Anita, menanyakan bagaimana kondisi Asih."Ibu Asih sudah sadar. Beliau ingin berbicara dengan yang namanya Hilya," ucap dokter itu.Hilya yang merasa terpanggil pun segera menegakkan badannya."Masuklah, Hil, temui nenek," ucap Rafi.Tanpa berkata apa-apa, Hilya pun menurut.Sesampainya di dalam ruang rawat, Hilya mendekat ke arah neneknya. Ia sedikit merasa lega karena setidaknya sang nenek tidak pingsan terlalu lama."Menikah sama Zayyan ya, Hil. Nenek mohon," pinta Asih dengan netra berkaca-kaca. "Nenek tidak pernah meminta apapun sama kamu, cuma ini saja."Mendengar permohonan sang nenek, Hilya merasa tidak tega jika harus kembali menolak."Atau kamu mau melihat nenek pergi dengan tidak tenang?" lanjut Asih."Nggak, Nek. Nggak gitu. Aku yakin Nenek panjang umur," balas Hilya.Gadis dua puluh tahun itu memejamkan mata sejenak sembari menghela napas, kemudian kembali menatap sang nenek. "Baiklah, kalau Nenek mau aku menikah sama mas Zayyan, maka akan aku turuti. Semua demi Nenek.""Kamu serius?" Asih memastikan.Hilya pun mengangguk. "Iya, Nek, aku serius. Aku mau menikah sama mas Zayyan."Asih tersenyum. "Alhamdulillah kalau begitu, nenek senang mendengarnya. Ingat ya, kalau kamu sudah setuju, maka tidak ada alasan lagi untuk kamu tiba-tiba tidak jadi mau menikah sama Zayyan."Dengan berat hati, Hilya kembali mengangguk. Ini keputusan yang sangat berat baginya."Begitu dong dari tadi, jadinya nenek tadi tidak drop lagi," celetuk Zayyan yang membuat Hilya berjingkat kaget. Entah sejak kapan laki-laki itu sudah masuk ke ruang rawat. "Sekarang kamu bilang, mau mahar apa?"Hilya ingin memaki kakak sepupunya itu, tapi ia tahan karena tidak mau membuat neneknya kembali kenapa-kenapa."Hilya mungkin masih bingung, Zayyan. Urusan mahar nikah, bisa dibicarakan besok lagi kan?" ucap Asih."Tidak bisa, Nek, harus sekarang. Papa sudah menghubungi penghulu untuk menikahkan kami nanti malam," kata Zayyan yang sontak membuat Hilya melotot tak percaya."Nanti malam? Jangan bercanda, Mas!" Hilya merasa sebal. Ia memang sudah setuju untuk menikah dengan sepupunya itu, tapi tidak nanti malam juga."Siapa yang bercanda? Memang benar kok. Nanti malam kita menikah di sini. Tepatnya nikah siri dulu, baru nikah resminya dua belas hari lagi sekalian resepsi," terang Zayyan."Nenek setuju kalau begitu. Lagi pula, lebih cepat menikah, lebih baik bukan?" ujar Asih.=====Mendengar Hilya yang sudah setuju untuk menikah dengan Zayyan, semua keluarga merasa bahagia. Terlebih bagi Ratih--ibu Hilya yang memang mengharapkan Zayyan menjadi menantunya.Rafi sudah berhasil mendapat penghulu yang akan menikahkan Zayyan dan Hilya secara siri nanti malam, beserta beberapa orang yang akan menjadi saksi. Sedangkan Anita kini sibuk memesan catering makanan yang akan dibagikan kepada penghulu, dan para saksi setelah akad nikah nanti selesai.Sementara itu, Ratih menghubungi Aryo--adik dari suaminya yang berarti paman Hilya. Ratih meminta pada Aryo untuk menjadi wali nikah Hilya.Ketika para orang tua disibukkan dengan persiapan pernikahan, Hilya justru kini tengah kesal karena lagi-lagi Zayyan menanyakan padanya tentang mahar."Tinggal bilang mau mahar apa susah amat," omel Zayyan."Terserah deh, Mas Zayyan mau kasih mahar apa, aku nggak ngerti kayak gitu," putus Hilya pada akhirnya."Nanti kalau tidak sesuai sama mau kamu bagaimana?" balas Zayyan, dan Hilya memutar bola matanya karena kesal menghadapi sepupu yang akan menjadi suaminya itu."Udah, Kak, daripada bingung-bingung, dan berdebat terus, mendingan Kakak beli cincin nikah aja dulu," usul Tasya yang sedari tadi hanya menyaksikan perdebatan kakaknya, dan sepupunya itu. "Perkara nantinya Hilya pengen apa-apa, kan Kakak bisa langsung beliin dengan uang Kakak yang tak terhingga itu."Zayyan mengangguk. Usul adiknya itu ada benarnya juga. Ia lalu kembali menatap Hilya yang dibalas Hilya dengan tatapan sengit."Ayo, ikut beli cincin, biar kamu pilih sendiri cincin seperti apa yang kamu mau," ajak Zayyan."Aku ikut ya, biar kalian nggak berduaan karena belum menikah," kata Tasya, dan Zayyan setuju saja.Hilya berjalan dengan enggan dengan digandeng oleh Tasya. Ia menatap punggung Zayyan yang berjalan di depannya. Masih tidak menyangka bahwa nanti malam dirinya akan diperistri oleh laki-laki yang beberapa tahun belakangan ini selalu membuatnya kesal."Zayyan." Seorang wanita tiba-tiba menghampiri."Tata?" Zayyan tidak percaya bahwa mantan tunangannya kini berada di depannya. Bukannya ia pergi ke luar negeri bersama pacarnya? "Kenapa kamu ada di sini?""Ooh, lagi liburan." Tata manggut-manggut. "Baru sampai di sini atau gimana?" "Nggak, Kak, kami udah mau pulang. Ini lagi nunggu pesawat." "Oh, kirain baru sampai." "Kak Tata juga lagi liburan ya?" Sebenarnya Hilya sedikit malas berbasa-basi dengan mantan calon istri Zayyan ini, tapi sudah terlanjur ketemu juga."Iya, aku baru sampai sih. Di sini sebenarnya aku mau tunangan sama pacarku. Tau kalau Zayyan di sini sama kamu, mau aku undang sekalian, eh ternyata kalian mau pulang." Tata menjelaskan dengan raut wajah cerianya. Tata sudah putus dari pacar toxic-nya itu, yang membuatnya tidak jadi menikah dengan Zayyan. Kini Tata akan bertunangan dengan laki-laki yang telah dijodohkan dengannya, dan berharap tidak melalukan hal bodoh seperti dulu lagi. "Waah, mau tunangan ternyata. Selamat ya, Kak, aku ikut bahagia. Maaf nggak bisa hadir." "Iya, makasih ya. Oh ya, kamu namanya siapa? Aku cuma paham kamu istrinya Zayyan, tapi nggak tau namanya, hehe." "Aku Hilya, Kak." "Ooh Hilya. Y
Meski keadaan sudah kembali seperti semula, tapi Zayyan yakin, Hilya masih belum sepenuhnya melupakan kejadian yang hampir menimpanya di apartemen Dimas. Oleh karena itu, kini Zayyan tengah mengajak Hilya liburan di Pulau Dewata. Hitung-hitung sebagai healing, agar bayangan-bayangan menakutkan itu tak lagi berputar di kepala Hilya. Selain itu, ini juga bisa dibilang sebagai momen untuk bulan madu mereka. Sudah lima hari ini mereka berada di Bali. Setiap harinya akan mereka lewati dengan mengunjungi berbagai tempat wisata yang ada di pulau ini. Hilya selalu antusias ketika sampai di setiap tempat wisata, apalagi jika itu pantai. Melihat Hilya yang sudah kembali ceria, dan cerewet, Zayyan pun bahagia. Kebahagiaan laki-laki itu adalah melihat Hilya tersenyum bahagia, seperti saat ini. "Mas, fotoin lagi dong," pinta Hilya yang entah sudah ke berapa kalinya. Meskipun begitu, Zayyan tak pernah sekali pun menolak. "Oke." Mereka menghabiskan waktu seharian ini di pantai yang dekat dengan
Membuka matanya yang terasa berat, Hilya menyingkirkan tangan Zayyan yang melingkari perutnya. Waktu menunjukkan pukul setengah tiga pagi, dan Hilya berniat untuk mandi. Ia turun dari ranjang dengan perlahan, agar Zayyan tidak terganggu. Sore kemarin setelah meminta maaf pada Zayyan, hubungan mereka sudah kembali membaik, pun dengan yang lainnya di rumah ini. Hilya sudah kembali seperti semula yang ceria, dan cerewet. Lalu, malam hari setelah makan malam, dan membantu beres-beres di dapur, Hilya diajak Zayyan ke kamar. Zayyan menginginkan Hilya, dan mau menyalurkan rasa rindunya. Tentu saja Hilya paham, dan tidak menolak. Ia sudah berjanji untuk menjadi istri yang baik bagi Zayyan. Hilya lantas ke kamar mandi untuk melakukan mandi wajib, sesuatu yang harus dilakukan setelah selesai melakukan hubungan suami istri. Biasanya Zayyan akan langsung mengajak mandi, tapi malam tadi justru langsung ketiduran. Hilya tebak, Zayyan terlalu lelah. Usai mandi, dan berwudhu, Hilya memakai mukena
"Kalau begitu, kamu juga harus siap kehilangan pekerjaan kamu. Kamu tidak bisa lagi praktik di rumah sakit saya." Bambang mengancam. Biar bagaimanapun, Dimas adalah anaknya. Sememalukan apa perbuatan anak itu, Bambang akan berusaha menyelamatkannya, meski harus menanggung malu di depan Rafi, dan Zayyan, yang selama ini bermitra bersamanya. Zayyan mengepalkan tangan sembari menatap tajam laki-laki paruh baya seumuran ayahnya tersebut. "Tidak masalah. Lebih baik saya tidak bekerja lagi di rumah sakit Om, daripada harus membebaskan Dimas. Semua ini demi kehormatan keluarga saya, terutama istri saya." Dipecat jadi dokter di rumah sakit yang selama ini menjadi tempat praktiknya? Itu tidak masalah bagi Zayyan. Masih banyak rumah sakit lain yang bisa ia datangi, lalu menjadi dokter di sana. Berbekal pengalaman, dan kemampuannya, Zayyan yakin, tidak sulit baginya untuk mendapatkan tempat praktik baru. Atau, jika seandainya Bambang melakukan blacklist agar Zayyan tidak bisa lagi praktik di
Zayyan memberitahu pada keluarganya bahwa Dimas sudah ditangkap polisi. Anita, dan Rafi cukup senang dengan kabar tersebut, akan tetapi, masih ada rasa sedih yang menyelimuti mereka, karena Hilya masih murung, dan belum mau keluar dari kamar. Mereka juga belum memberitahu Ratih, dan Asih tentang apa yang sudah menimpa Hilya. Jika memberitahu Ratih, mereka takut jika nantinya Ratih akan memarahi Hilya, dan justru akan semakin memperburuk keadaan Hilya. Sedangkan jika memberitahu Asih, mereka takut jika akan menjadi beban pikiran Asih, dan membuat keadaan Asih menjadi drop. Jadilah mereka masih menyembunyikan ini dari keluarga Hilya. Selain itu, juga agar berita itu tidak menyebar luas, dan malah membuat Hilya jadi malu. "Sekarang kamu tenang ya, Hil. Dosen kurang ajar itu sekarang sudah ditangkap polisi. Kamu tidak perlu takut lagi," kata Anita, saat mengunjungi Hilya di kamar. "Iya, Ma." Selama mengurung diri, dan saat dikunjungi oleh keluarganya, Hilya hanya akan menjawab singkat
"Kenapa kalian baru datang sekarang?! Dari tadi kalian ke mana saat istri saya hendak dilecehkan oleh manusia ib*is ini?!" hardik Zayyan pada beberapa security yang memisahkannya saat hendak kembali menghabisi Dimas. "Maaf atas kelalaian kami, Tuan," ucap seorang security bertubuh gempal. Zayyan berdecih. "Percuma gedung apartemen mewah ini, jika punya keamanan payah. Saya bisa laporkan kalian ke polisi atas kelalaian ini." "Sekali lagi kami minta maaf, Tuan. Kami akan mengurus tuan Dimas, dan membereskan kekacauan ini." Menatap tajam pada security itu, Zayyan hendak mengomel lagi, tapi tidak jadi karena Tobi segera menyela. "Pak, lebih baik urus Hilya dulu." Seketika Zayyan teringat tentang sang istri. Ia pun menghampiri Hilya yang saat ini tengah berjongkok, dan menenggelamkan wajahnya. Hilya tengah menangis. "Bangun, Hil. Kamu sudah aman sekarang. Ayo kita pulang," ucap Zayyan, sembari ikut jongkok, dan menyentuh lengan Hilya. Tangisan Hilya yang terdengar memilukan itu men
"Lho, kamu tidak pulang bareng Hilya, Zayyan?" tanya Anita, yang melihat anak laki-lakinya tiba di rumah sendirian, tanpa adanya sang istri. "Saya sudah bilang ke Hilya bahwa hari ini tidak bisa jemput, Ma. Memangnya Hilya belum pulang?" Zayyan justru balik bertanya. Wanita yang telah melahirkan Zayyan itu pun menggeleng. Seketika merasa cemas, takut terjadi sesuatu dengan menantu kesayangannya. "Ooh, mungkin mampir ke rumah nenek, Ma," kata Zayyan. Mungkin nanti ia bisa menjemputnya, jika Hilya benar-benar ada di sana. "Hilya ada bilang ke kamu, kalau mau mampir ke sana?" Anita bertanya lagi. "Tidak." Zayyan menggeleng. Anita menghela napas, lalu berbicara kembali pada sang anak. "Coba telfon Hilya. Pastikan dia ada di mana, Zayyan. Perasaan mama tiba-tiba jadi nggak enak ini." Suami Hilya itu pun mengangguk menuruti perintah sang ibu. Ia mendial nomor Hilya, tapi sayangnya sedang tidak aktif. Zayyan yang tadinya cukup tenang, kini berubah jadi gusar. "Tidak aktif, Ma. Apa mu
Karena besok akhir pekan, Zayyan tidak ada jadwal praktik di rumah sakit. Pun dengan Hilya yang tidak ada jadwal kuliah. Oleh karena itu, Hilya memanfaatkan kesempatan ini untuk menginap di rumah sang nenek. Hilya rindu dengan ibunya, kedua adiknya, juga neneknya. Bagaimana pun sikap ibunya selama ini padanya, tetap saja wanita itulah yang telah melahirkannya, dan Hilya tidak bisa membenci. "Kamu ngapain ikut masukin baju ke tas, Mas?" tanya Hilya heran, saat melihat Zayyan melakukan hal yang sama dengannya. "Aku mau ikut, Hil, nginep di rumah nenek," jawab Zayyan. Tadinya Hilya hanya meminta izin pada Zayyan untuk menginap di rumah sang nenek, tanpa mengajak suaminya itu. "Ngapain sih? Kalau nginep di rumah nenek, nanti Mas nggak bisa tidur lagi," kata Hilya. Masih teringat jelas di kepala Hilya, saat beberapa minggu yang lalu mereka menginap di rumah sang nenek. Waktu itu Hilya belum menganggap Zayyan sepenuhnya jadi suami, jadi Hilya tak mengizinkan Zayyan untuk tidur satu ran
"Bagaimana kuliah kamu hari ini?" tanya Zayyan. Ia sekarang tengah merebahkan tubuhnya di samping Hilya, dengan lengannya yang dijadikan bantalan untuk sang istri. Sejak keduanya berhubungan intim waktu itu, posisi seperti ini memang sering mereka lakukan, dan Hilya pun merasa tidak masalah. Yang terpenting bagi Hilya saat ini adalah Zayyan tidak menyakitinya, tidak marah-marah atau berbicara ketus padanya, seperti dulu sebelum menikah. "Lumayan asik. Aku juga punya beberapa teman baru. Aku jadi nggak kesepian di kampus," jawab Hilya. "Syukurlah kalau begitu." Zayyan turut senang, karena itu artinya Hilya tak mendapat kesulitan yang berarti saat di kampus. "Kamu boleh punya teman banyak, Hil, tapi harus tetap disaring. Berteman dengan mereka yang baik, dan tidak suka buat onar di kampus." "Iya, aku tau kok. Aku juga bukan anak kecil lagi, pasti bisa pilih-pilih temen." "Hmm ... kamu ternyata memang sudah dewasa, Hil. Padahal, rasanya baru kemarin kamu masih sering kugendong karen