Share

Bab 9

Zayyan memutus tatapannya pada Hilya, lalu beralih menatap sang nenek. "Saya mau-mau saja, Nek. Mau akad nikah sekarang juga saya siap."

Perkataan Zayyan itu sontak membuat Hilya melotot, dan ingin memaki kakak sepupunya itu. Bagaimana mungkin Zayyan bisa langsung menyetujui begitu saja permintaan sang nenek, seolah-olah permintaan itu bukan sesuatu yang penting, padahal itu menyangkut masa depan mereka.

Asih pun tersenyum, ia senang karena cucu laki-lakinya itu mau menuruti permintaannya. "Memangnya kamu sudah menyiapkan maharnya?"

"Gampang! Setelah ini saya akan cari," jawab Zayyan enteng, lalu kembali menatap Hilya. "Kamu mau mahar apa, Hil?"

Hilya yang ditanya hanya diam saja. Ia justru menampilkan wajah tak bersahabat pada Zayyan seperti biasanya.

Anita, dan Rafi pun ikut menatap Hilya, menunggu jawaban dari gadis itu.

Menyadari bahwa dirinya kini menjadi pusat perhatian, Hilya pun salah tingkah. Ia berdehem untuk menyamarkan sedikit rasa malunya.

"Nek, Nenek sudah minum obat?" Hilya mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Sudah tadi. Kamu jangan mengalihkan topik, Hil. Jawab pertanyaan masmu tadi, kamu pengen mahar apa untuk pernikahan kalian?" ujar Asih. Ia paham betul bahwa cucu perempuannya itu tengah berkelit.

Sementara itu, Hilya semakin bingung sekarang. Jujur dari hati yang terdalam, ia tak mau menikah dengan Zayyan. Bukan hanya karena hubungannya dengan Zayyan yang tidak pernah akur, tapi karena Hilya juga sudah punya pujaan hati sendiri. Namun, untuk berkata bahwa ia tidak bersedia menikah dengan kakak sepupunya itu, Hilya pun tidak mempunyai cukup keberanian sekarang.

Anita memegang lengan tangan Hilya, hingga membuat Hilya refleks menoleh ke arah wanita paruh baya itu. Ibu Zayyan itu tersenyum ke arah Hilya. "Jangan malu-malu, Hil. Bilang saja kamu pengen mahar apa? Kami akan usahakan untuk memenuhinya."

Padahal Hilya belum mengatakan bahwa ia bersedia untuk menikah dengan Zayyan, tetapi semua orang di sini seperti menganggap bahwa Hilya menerimanya. Hal ini membuat Hilya beberapa kali mengumpat dalam hati.

"Emmm ... Pakde sama Bude memangnya tidak keberatan menjadikan aku menantu kalian?" tanya Hilya.

"Tidak, Hil. Kami kan sudah mengenal kamu sejak kecil, sudah pahamlah bagaimana kamu," jawab Rafi.

"Iya, Hil, kami tidak keberatan kok. Kalau kami keberatan, untuk apa bude kemarin datang menemui kamu?" timpal Anita.

"Tapi kan aku cuma lulusan SMA, Pakde, Bude, sedangkan mas Zayyan kan dokter. Kita nggak sekufu. Kalau aku menikah sama mas Zayyan, bisa-bisa keluarga kalian dicibir sama orang-orang karena mas Zayyan punya istri yang nggak sederajat," ujar Hilya.

"Lho, lho, kami tidak pernah berpikiran seperti itu, Hilya," sanggah Rafi. "Kamu ini kan keponakan pakde, jangan pernah merendah seperti itu."

"Semua manusia itu derajatnya sama di hadapan Alloh, Hil. Yang membedakan itu adalah iman, dan takwanya," tutur Asih. "Nenek yakin kamu nantinya bisa menjadi istri yang sholehah untuk Zayyan."

Mendengar ucapan sang nenek, Hilya pun terdiam. Ia sudah tidak punya alasan lagi untuk diutarakan demi menolak menikah dengan kakak sepupunya itu.

"Kalau mau cari alasan untuk menolak menikah dengan saya, setidaknya cari alasan yang lain, Hil. Dikiranya saya menilai orang lain dari status sosialnya apa?" celetuk Zayyan agak ketus.

"Zayyan, jangan ketus gitu dong ngomong sama calon istri," tegur Anita.

Suasana menjadi canggung. Lebih tepatnya Hilya yang merasa canggung berada di sana. Gadis berusia dua puluh tahun itu pun tiba-tiba mengingat ucapan sang ibu ketika di rumah tadi, tentang nasib Hamam, dan Hamim.

Jika Hilya menolak menikah dengan Zayyan, lalu pakde, dan budenya merasa sakit hati, tidak menutup kemungkinan bahwa mereka akan menghentikan bantuan mereka untuk membiayai sekolah Hamam, dan Hamim. Hilya tidak masalah sebenarnya jika hal itu terjadi, karena ia akan berusaha bekerja lebih keras lagi untuk menyekolahkan kedua adiknya. Akan tetapi, masalah tidak hanya itu saja, ke depannya nanti, ia pasti akan canggung dengan pakde, dan budenya itu, serta bisa saja hubungan persaudaraan mereka, dan ibunya akan merenggang.

"Kamu masih tidak mau menikah dengan Zayyan, Hil?" tanya Asih. "Mau melihat nenek sekarat, lalu meninggal begitu?"

"Apa sih, Nek? Nggak gitu," sangkal Hilya.

"Makanya, tinggal bilang kamu mau mahar apa? Begitu saja kok repot!" omel Zayyan yang langsung mendapat pelototan tajam dari Anita.

"Ih! Aku kan belum bilang kalau aku mau menikah sama Mas. Kenapa dari tadi ngomongin mahar mulu sih?" protes Hilya pada Zayyan.

"Saya tidak menerima penolakan dari kamu. Saya sudah setuju untuk menikah denganmu, jadi kamu dilarang menolak!" tegas Zayyan yang kemudian beranjak meninggalkan ruang rawat inap sang nenek itu.

Hilya geram dengan sikap Zayyan yang sesuka hatinya itu, tapi ia coba bersabar, karena tidak mungkin melawan Zayyan di hadapan para orang tua.

"Aduh ... dadaku." Asih tiba-tiba merintih sembari memegangi dadanya. Hal itu membuat semua orang di ruangan itu khawatir, termasuk Hilya.

"Ibu sesak lagi?" tanya Anita dengan raut wajah cemasnya.

"Saya panggilkan dokter dulu ya, Bu," ucap Rafi.

"Tidak perlu, Rafi. Mungkin ini memang sudah waktunya ibu untuk pergi," balas Asih yang masih tampak kesakitan.

"Nenek jangan ngomong gitu dong, Nenek pasti sembuh kok," ujar Hilya.

"Sebelum nenek pergi, nenek cuma pengen kamu menikah dengan Zayyan, Hil. Biar nenek bisa tenang," ucap Asih.

"Bu, kalau Hilya memang tidak mau, jangan terus dipaksa, nanti saya akan cari perempuan lain untuk jadi istrinya Zayyan," ujar Anita.

Asih tak membalas perkataan Anita. Wanita lanjut usia itu tiba-tiba pingsan, dan membuat Hilya bertambah khawatir.

=====

"Kalau sampai nenek kenapa-kenapa, saya tidak akan pernah memaafkan kamu, Hil," ucap Zayyan. "Kalau bisa, sebaiknya kamu jangan tinggal lagi di rumah nenek."

Hilya tak menanggapi ucapan Zayyan, meskipun itu membuatnya semakin kalut. Jika ia tidak boleh tinggal di rumah sang nenek, lantas mau tinggal di mana lagi?

Saat ini Asih sedang ditangani oleh dokter. Hilya, dan yang lainnya menunggu di luar ruangan.

"Udah, Hil, nikah aja sama kak Zayyan. Dia sebenarnya orangnya baik kok. Nanti kalau dia nyakitin kamu, lapor aja ke aku atau ke mama." Tasya coba membujuk Hilya. Adik perempuan Zayyan itu belum lama datang setelah mendapat kabar neneknya kembali drop.

Seorang dokter laki-laki keluar dari ruang rawat Asih. Ia segera diserbu oleh Rafi, dan Anita, menanyakan bagaimana kondisi Asih.

"Ibu Asih sudah sadar. Beliau ingin berbicara dengan yang namanya Hilya," ucap dokter itu.

Hilya yang merasa terpanggil pun segera menegakkan badannya.

"Masuklah, Hil, temui nenek," ucap Rafi.

Tanpa berkata apa-apa, Hilya pun menurut.

Sesampainya di dalam ruang rawat, Hilya mendekat ke arah neneknya. Ia sedikit merasa lega karena setidaknya sang nenek tidak pingsan terlalu lama.

"Menikah sama Zayyan ya, Hil. Nenek mohon," pinta Asih dengan netra berkaca-kaca. "Nenek tidak pernah meminta apapun sama kamu, cuma ini saja."

Mendengar permohonan sang nenek, Hilya merasa tidak tega jika harus kembali menolak.

"Atau kamu mau melihat nenek pergi dengan tidak tenang?" lanjut Asih.

"Nggak, Nek. Nggak gitu. Aku yakin Nenek panjang umur," balas Hilya.

Gadis dua puluh tahun itu memejamkan mata sejenak sembari menghela napas, kemudian kembali menatap sang nenek. "Baiklah, kalau Nenek mau aku menikah sama mas Zayyan, maka akan aku turuti. Semua demi Nenek."

"Kamu serius?" Asih memastikan.

Hilya pun mengangguk. "Iya, Nek, aku serius. Aku mau menikah sama mas Zayyan."

Asih tersenyum. "Alhamdulillah kalau begitu, nenek senang mendengarnya. Ingat ya, kalau kamu sudah setuju, maka tidak ada alasan lagi untuk kamu tiba-tiba tidak jadi mau menikah sama Zayyan."

Dengan berat hati, Hilya kembali mengangguk. Ini keputusan yang sangat berat baginya.

"Begitu dong dari tadi, jadinya nenek tadi tidak drop lagi," celetuk Zayyan yang membuat Hilya berjingkat kaget. Entah sejak kapan laki-laki itu sudah masuk ke ruang rawat. "Sekarang kamu bilang, mau mahar apa?"

Hilya ingin memaki kakak sepupunya itu, tapi ia tahan karena tidak mau membuat neneknya kembali kenapa-kenapa.

"Hilya mungkin masih bingung, Zayyan. Urusan mahar nikah, bisa dibicarakan besok lagi kan?" ucap Asih.

"Tidak bisa, Nek, harus sekarang. Papa sudah menghubungi penghulu untuk menikahkan kami nanti malam," kata Zayyan yang sontak membuat Hilya melotot tak percaya.

"Nanti malam? Jangan bercanda, Mas!" Hilya merasa sebal. Ia memang sudah setuju untuk menikah dengan sepupunya itu, tapi tidak nanti malam juga.

"Siapa yang bercanda? Memang benar kok. Nanti malam kita menikah di sini. Tepatnya nikah siri dulu, baru nikah resminya dua belas hari lagi sekalian resepsi," terang Zayyan.

"Nenek setuju kalau begitu. Lagi pula, lebih cepat menikah, lebih baik bukan?" ujar Asih.

=====

Mendengar Hilya yang sudah setuju untuk menikah dengan Zayyan, semua keluarga merasa bahagia. Terlebih bagi Ratih--ibu Hilya yang memang mengharapkan Zayyan menjadi menantunya.

Rafi sudah berhasil mendapat penghulu yang akan menikahkan Zayyan dan Hilya secara siri nanti malam, beserta beberapa orang yang akan menjadi saksi. Sedangkan Anita kini sibuk memesan catering makanan yang akan dibagikan kepada penghulu, dan para saksi setelah akad nikah nanti selesai.

Sementara itu, Ratih menghubungi Aryo--adik dari suaminya yang berarti paman Hilya. Ratih meminta pada Aryo untuk menjadi wali nikah Hilya.

Ketika para orang tua disibukkan dengan persiapan pernikahan, Hilya justru kini tengah kesal karena lagi-lagi Zayyan menanyakan padanya tentang mahar.

"Tinggal bilang mau mahar apa susah amat," omel Zayyan.

"Terserah deh, Mas Zayyan mau kasih mahar apa, aku nggak ngerti kayak gitu," putus Hilya pada akhirnya.

"Nanti kalau tidak sesuai sama mau kamu bagaimana?" balas Zayyan, dan Hilya memutar bola matanya karena kesal menghadapi sepupu yang akan menjadi suaminya itu.

"Udah, Kak, daripada bingung-bingung, dan berdebat terus, mendingan Kakak beli cincin nikah aja dulu," usul Tasya yang sedari tadi hanya menyaksikan perdebatan kakaknya, dan sepupunya itu. "Perkara nantinya Hilya pengen apa-apa, kan Kakak bisa langsung beliin dengan uang Kakak yang tak terhingga itu."

Zayyan mengangguk. Usul adiknya itu ada benarnya juga. Ia lalu kembali menatap Hilya yang dibalas Hilya dengan tatapan sengit.

"Ayo, ikut beli cincin, biar kamu pilih sendiri cincin seperti apa yang kamu mau," ajak Zayyan.

"Aku ikut ya, biar kalian nggak berduaan karena belum menikah," kata Tasya, dan Zayyan setuju saja.

Hilya berjalan dengan enggan dengan digandeng oleh Tasya. Ia menatap punggung Zayyan yang berjalan di depannya. Masih tidak menyangka bahwa nanti malam dirinya akan diperistri oleh laki-laki yang beberapa tahun belakangan ini selalu membuatnya kesal.

"Zayyan." Seorang wanita tiba-tiba menghampiri.

"Tata?" Zayyan tidak percaya bahwa mantan tunangannya kini berada di depannya. Bukannya ia pergi ke luar negeri bersama pacarnya? "Kenapa kamu ada di sini?"

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status