Share

Bab 8

Melihat Asih yang tak sadarkan diri, membuat Ratih, dan Hilya cemas. Karena Asih pingsan saat posisi duduk di sofa, ini membuat Ratih, dan Hilya cukup mudah untuk membaringkan Asih di sofa panjang itu.

"Bu, apa sebaiknya kita telfon dokter, atau bagaimana, Bu?" tanya Hilya dengan cemas. Ini baru pertama kalinya melihat sang nenek pingsan.

"Kamu coba telfon pakde Rafi, Hil, cepetan!" perintah Ratih.

Tak mau membuang waktu, Hilya pun menuruti perintah sang ibu. Ia menelfon kakak laki-laki dari ibunya, dan memberitahu tentang apa yang terjadi pada sang nenek.

Selesai menelfon, Hilya menghampiri kedua adik kembarnya di kamar yang sedang belajar, dan memberitahu mereka bahwa nenek mereka pingsan. Setelah itu, Hilya, dan kedua adiknya menghampiri Ratih yang tengah menunggui Asih.

"Ini semua gara-gara kamu, Hilya!" sentak Ratih sambil melirik sebal pada anak perempuannya itu.

"Kok gara-gara aku sih, Bu? Emang aku salah apa?"

"Salah apa? Tadi nenek minta kamu supaya nikah sama Zayyan, tapi kamu malah nggak mau. Ini akibatnya," tukas Ratih.

Hilya ingin membalas perkataan ibunya, tapi urung karena melihat kondisi sang nenek. Sementara Hamam, dan Hamim yang tidak terlalu paham akan pembicaraan sang ibu, dan kakak perempuan mereka pun saling pandang, lalu saling menaikkan bahu.

Terdengar suara ketukan dari pintu depan, menandakan ada orang yang datang. Tanpa diperintah, kedua adik kembar Hilya segera berlari ke depan untuk membukakan pintu.

"Assalamualaikum," ucap seseorang dari luar.

"Wa'alaikumsalam," jawab Hamam, dan Hamim secara serentak, lalu salah satunya membuka pintu.

Setelah pintu terbuka, terpampanglah wajah Zayyan yang menampilkan raut cemas. Kebetulan saat sang ayah menelponnya, dan memberitahu tentang sang nenek, Zayyan sedang berada tak jauh dari lingkungan tempat tinggal Asih. Jadi, Zayyan langsung bergegas ke rumah neneknya itu. "Bagaimana Nenek, Mam, Mim?"

"Pingsan, Mas," kata Hamam.

Tanpa berkata apapun lagi, Zayyan segera memasuki rumah, dan bergegas menuju ruang tengah. Terlihatlah sang nenek yang tengah berbaring terlentang di sofa dengan ditunggui oleh Ratih, dan Hilya.

"Assalamualaikum, Bulik," ucap Zayyan.

Ratih, dan Hilya sontak menoleh ke sumber suara.

"Wa'alaikumsalam, Zayyan, tolong nenek, Yan, nenek tiba-tiba pingsan tadi," ujar Ratih.

Zayyan mengangguk, lalu menghampiri sofa tempat sang nenek berbaring. Ratih, dan Hilya pun sontak menyingkir untuk memberi ruang pada Zayyan untuk memeriksa Asih.

"Sudah berapa lama nenek pingsan, Bulik?" tanya Zayyan sembari memeriksa denyut nadi Asih.

Ratih tidak ingat, ia pun menoleh pada Hilya, dan bertanya pada anak perempuannya itu melalui tatapan mata.

"Mungkin sekitar sepuluh menit yang lalu, Mas." Hilya yang menjawab.

"Sebaiknya kita bawa nenek ke rumah sakit untuk ditangani lebih lanjut. Biar saya telfon ambulans sekarang," ujar Zayyan.

=====

Di luar ruangan IGD, ada beberapa orang yang tengah menunggui Asih yang tengah diperiksa oleh dokter. Mereka adalah Ratih, Anita, Rafi, serta Zayyan. Hilya tidak ikut karena harus menemani kedua adiknya di rumah.

Dokter perempuan berusia empat puluhan yang memeriksa Asih pun akhirnya keluar. Keluarga Asih segera memborbardir pertanyaan pada dokter itu.

"Tidak ada yang perlu dicemaskan pada kondisi ibu Asih. Setelah saya periksa, semuanya normal. Sekarang beliau sudah siuman," terang sang dokter, membuat Rafi, Anita, dan Ratih menghela napas lega.

"Yang benar, Dok? Nenek pingsan cukup lama tadi. Sebelum dibawa ke sini, di rumah pun sudah pingsan cukup lama. Saya khawatir terjadi sesuatu yang serius pada nenek," ujar Zayyan.

"Benar, Dokter Zayyan. Nenek Anda baik-baik saja kok. Kalau Anda kurang yakin, silakan Anda bisa periksa sendiri." Dokter wanita itu pun tersenyum, lalu memberitahu bahwa Asih sudah boleh ditemui, dan boleh dibawa pulang.

Setelah kepergian dokter wanita itu, Rafi, Anita, dan Ratih segera melihat kondisi Asih, sementara Zayyan tetap di luar sembari memikirkan seperti ada yang janggal.

"Ibu mau rawat inap di sini," ucap Asih.

"Tapi Ibu sudah boleh pulang. Kata dokter, Ibu tidak kenapa-napa," balas Ratih.

"Ibu butuh ketenangan, kalau di rumah, pasti nanti Hilya tidak akan mengabulkan permintaan ibu, dan ibu jadi tidak tenang," ujar Asih.

Mendengar perkataan sang ibu, Rafi, dan Anita sontak menatap Ratih seolah meminta penjelasan. Ratih yang ditatap oleh kakak, dan iparnya itu pun menjadi merasa tidak enak.

"Anu, Mas, Mbak, tadi sebelum ibu pingsan, ibu sempat meminta Hilya supaya menikah dengan Zayyan, tapi Hilya menolak," kata Ratih.

Anita menghela napas, lalu mendekat ke arah mertuanya yang tengah berbaring di ranjang rumah sakit itu. "Kalau Ibu mau tetap menginap di sini, tidak apa-apa. Nanti biar kita pesankan kamar VIP untuk Ibu ya, biar Ibu bisa istirahat dengan tenang."

=====

"Nenek gimana, Bu?" tanya Hilya saat Ratih pulang dari rumah sakit pada pagi harinya. Ia sengaja bolos kerja karena ingin tahu keadaan sang nenek.

Ratih mendengkus. "Puas kamu, sudah bikin nenek sakit?!"

Hilya merasa bersalah, dan menyesal, apalagi sedari tadi malam ibunya selalu menyalahkannya.

"Kalau kamu pengen nenek segera sembuh, dan pulang dari rumah sakit, kabulkan permintaan nenek!" titah Ratih.

"Permintaan apa, Bu?"

"Ya permintaan nenek yang tadi malam, yang menyuruh kamu menikah sama Zayyan," tukas Ratih.

"Apa harus menikah dengan mas Zayyan, Bu? Aku masih muda lho, Bu. Kenapa nggak cari perempuan lain aja buat jadi pengantinnya mas Zayyan." Hilya mencoba menolak.

Ratih menghela napas, sambil memikirkan kata-kata yang pas, yang akan diutarakan pada anak perempuannya itu. "Kamu sudah dua puluh tahun, Hil, sudah cocok untuk menikah. Teman-teman seumuran kamu juga sudah ada yang punya anak kan?"

"Tapi kan aku belum sukses, Bu. Sebelum menikah, aku ada target yang ingin dicapai," balas Hilya.

"Target apa sih? Lagian kamu itu suksesnya kapan? Orang kamu saja cuma kerja jadi tukang fotokopi," cibir Ratih.

Mendengar cibiran dari sang ibu, membuat Hilya sedikit kehilangan semangat.

"Kalau kamu nikah sama Zayyan, justru kamu bisa mencapai target kamu. Selain itu, kamu juga bisa ngangkat derajat keluarga kita. Zayyan itu kaya, kalau kamu jadi istrinya, otomatis kita juga bisa kaya, Hil," ujar Ratih. Ia membayangkan nasibnya yang akan berubah jika mempunyai menantu seperti Zayyan.

"Kenapa jadi berharap sama kekayaannya mas Zayyan, Bu?" protes Hilya.

"Ibu kan realistis, Hil. Ibu sudah capek dibilang sama tetangga, kalau ibu bisanya cuma numpang saja sama nenek. Ibu sudah bosan hidup miskin terus," lanjut Ratih.

"Aku kan kerja, Bu. Setiap bulan juga gajiku semua dipegang ibu. Lagian ngapain sih, ngurusin omongan tetangga?"

Ratih mendengkus. "Gaji kamu itu sedikit, Hil. Jangan kan buat beliin ibu emas, buat uang saku sekolah dua adikmu saja nggak cukup. Untungnya nenekmu masih mau ngasih makan kita sehari-hari."

"Nanti aku akan cari kerja tambahan, Bu," kata Hilya.

"Halah! Daripada nyari kerja tambahan, kan mending kamu jadi istrinya Zayyan, Hil," balas Ratih. "Kamu tahu tidak, ibu tuh sampai malu sama pakde, dan budemu karena gara-gara kamu nenek sampai dirawat di rumah sakit."

"Nanti aku ke rumah sakit, dan minta maaf sama nenek, pakde, dan bude, Bu," tutur Hilya.

"Minta maaf saja tidak cukup, kalau kamu tidak mau menuruti permintaan nenek. Lagi pula, apa kamu tidak malu sama pakde, dan bude, Hil?"

"Malu kenapa, Bu?"

Ratih gemas sendiri dengan anak gadisnya yang kurang peka itu. "Pakde sama budemu itu sudah sering bantu kita. Biaya sekolah kamu dulu mereka yang tanggung, pun sekarang biaya sekolah Hamam, dan Hamim. Coba kamu pikirkan, kalau kamu benar-benar tidak mau membantu mereka dengan cara menikah dengan Zayyan, kira-kira mereka akan tetap membiayai sekolah Hamam, dan Hamim atau tidak?"

Hilya merenungi ucapan ibunya. Benar jika selama ini sebagian besar kehidupannya, dan keluarganya dibantu oleh Rafi, dan Anita.

"Kalau mereka berhenti membiayai, bagaimana nasib Hamam, dan Hamim? Jangan bilang kamu yang akan menanggung biaya sekolah dua adikmu itu, karena kamu kerja buat sekedar nyari uang jajan saja sudah ngos-ngosan." Ratih lanjut mengomel. "Jangan cuma mikirin diri kamu sendiri, Hil, pikirkan juga masa depan adik-adikmu. Selain itu, dengan kamu menikah dengan Zayyan, setidaknya kita bisa sedikit membalas budi kebaikan keluarga pakdemu."

=====

Hilya berdiri dengan ragu di depan ruang inap berfasilitas VIP tempat sang nenek dirawat. Di tangannya, ia menenteng sebuah rantang berisi makanan kesukaan sang nenek. Ia ingin masuk, tapi takut neneknya belum menerima kehadirannya.

"Ngapain berdiri di depan pintu? Jadi perawan tua nanti," kata Zayyan yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Hilya, membuat Hilya sedikit tersentak sambil bertanya-tanya dalam hati, dari mana, dan sejak kapan datangnya sepupunya ini.

"Mas Zayyan mau masuk kan? Aku titip ini buat nenek." Hilya menyodorkan rantang yang dibawanya pada Zayyan.

Zayyan hanya melihatnya tanpa mau menerima. "Kamu kasih sendirilah! Lagi pula sudah sampai sini, kenapa tidak sekalian masuk temui nenek?"

Hilya menurunkan tangannya. Ia kesal pada Zayyan, tapi malas untuk mendebat, mengingat sekarang tengah berada di rumah sakit.

Melihat Hilya yang diam saja, Zayyan pun menarik lengan tangan Hilya yang dilapisi baju kaos panjang itu, dan membawanya untuk masuk ke ruangan.

"Ih, apaan sih, Mas, main tarik-tarik!" Hilya mencoba meronta, tetapi gagal karena cekalan tangan Zayyan terlalu kuat. Hingga akhirnya sepasang sepupu beda gender itu tiba di depan ranjang sang nenek.

"Nek, ini Hilya datang," ucap Zayyan sembari melepaskan tangannya dari lengan Hilya.

"Kamu yang menjemput Hilya, Zayyan?" tanya Anita yang kebetulan sedang menemani Asih. Di sana ada Rafi juga.

"Bukan, Ma, dia datang sendiri kok," jawab Zayyan.

"Sini, Hil." Rafi memberi kode agar Hilya mendekat. "Kamu bawa apa itu?"

"Oh ini, Pakde, makanan kesukaan nenek," ucap Hilya. Ia melirik sang nenek yang masih diam saja.

"Wah, pasti nenek seneng nih, apalagi masakan kamu kan enak, Hil," ujar Anita.

Hilya tersenyum pada budenya itu, lalu menghampiri sang nenek. "Nenek cepat sembuh ya. Maafin aku kalau aku ada salah sama nenek."

"Hmm ... entah nenek akan sembuh atau tidak, Hil, sepertinya umur nenek tidak akan lama lagi," ucap Asih dengan sendu.

"Nenek jangan ngomong gitu dong, aku selalu berdoa supaya Nenek panjang umur," balas Hilya.

"Umur tidak ada yang tau, Hil. Meski entah kapan itu waktunya, tetapi nenek ingin sekali merasa tenang saat tiba waktunya nanti," ujar Asih.

"Sudahlah, Bu, jangan bicara seperti itu lagi," tegur Rafi.

"Zayyan, sini mendekatlah," pinta Asih pada cucu laki-lakinya yang sedari tadi diam menyimak obrolannya dengan Hilya.

Zayyan pun mendekat, dan berdiri di samping kiri ranjang bersama Rafi, sementara Hilya berada di sisi kanan bersama Anita.

"Ada apa, Nek? Nenek mau sesuatu? Biar saya carikan nanti," kata Zayyan.

"Sesuai yang kita bicarakan tadi pagi sebelum Hilya datang, Zayyan," jawab Asih. Hilya sontak merasa penasaran.

"Yang mana, Nek?"

"Menikah dengan Hilya, Zayyan. Kamu mau kan?"

Hilya membulatkan matanya. Tadi malam ia yang dipinta oleh sang nenek, kini giliran Zayyan. Ia pikir neneknya sudah melupakan hal itu, tapi ternyata belum.

Gadis dua puluh tahun itu menatap Zayyan yang juga tengah menatapnya. Kemudian Hilya menggelengkan kepalanya, guna memberi kode agar Zayyan menolak permintaan sang nenek.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status