Share

Bab 8

Penulis: Aufa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-01-02 09:19:11

Melihat Asih yang tak sadarkan diri, membuat Ratih, dan Hilya cemas. Karena Asih pingsan saat posisi duduk di sofa, ini membuat Ratih, dan Hilya cukup mudah untuk membaringkan Asih di sofa panjang itu.

"Bu, apa sebaiknya kita telfon dokter, atau bagaimana, Bu?" tanya Hilya dengan cemas. Ini baru pertama kalinya melihat sang nenek pingsan.

"Kamu coba telfon pakde Rafi, Hil, cepetan!" perintah Ratih.

Tak mau membuang waktu, Hilya pun menuruti perintah sang ibu. Ia menelfon kakak laki-laki dari ibunya, dan memberitahu tentang apa yang terjadi pada sang nenek.

Selesai menelfon, Hilya menghampiri kedua adik kembarnya di kamar yang sedang belajar, dan memberitahu mereka bahwa nenek mereka pingsan. Setelah itu, Hilya, dan kedua adiknya menghampiri Ratih yang tengah menunggui Asih.

"Ini semua gara-gara kamu, Hilya!" sentak Ratih sambil melirik sebal pada anak perempuannya itu.

"Kok gara-gara aku sih, Bu? Emang aku salah apa?"

"Salah apa? Tadi nenek minta kamu supaya nikah sama Zayyan, tapi kamu malah nggak mau. Ini akibatnya," tukas Ratih.

Hilya ingin membalas perkataan ibunya, tapi urung karena melihat kondisi sang nenek. Sementara Hamam, dan Hamim yang tidak terlalu paham akan pembicaraan sang ibu, dan kakak perempuan mereka pun saling pandang, lalu saling menaikkan bahu.

Terdengar suara ketukan dari pintu depan, menandakan ada orang yang datang. Tanpa diperintah, kedua adik kembar Hilya segera berlari ke depan untuk membukakan pintu.

"Assalamualaikum," ucap seseorang dari luar.

"Wa'alaikumsalam," jawab Hamam, dan Hamim secara serentak, lalu salah satunya membuka pintu.

Setelah pintu terbuka, terpampanglah wajah Zayyan yang menampilkan raut cemas. Kebetulan saat sang ayah menelponnya, dan memberitahu tentang sang nenek, Zayyan sedang berada tak jauh dari lingkungan tempat tinggal Asih. Jadi, Zayyan langsung bergegas ke rumah neneknya itu. "Bagaimana Nenek, Mam, Mim?"

"Pingsan, Mas," kata Hamam.

Tanpa berkata apapun lagi, Zayyan segera memasuki rumah, dan bergegas menuju ruang tengah. Terlihatlah sang nenek yang tengah berbaring terlentang di sofa dengan ditunggui oleh Ratih, dan Hilya.

"Assalamualaikum, Bulik," ucap Zayyan.

Ratih, dan Hilya sontak menoleh ke sumber suara.

"Wa'alaikumsalam, Zayyan, tolong nenek, Yan, nenek tiba-tiba pingsan tadi," ujar Ratih.

Zayyan mengangguk, lalu menghampiri sofa tempat sang nenek berbaring. Ratih, dan Hilya pun sontak menyingkir untuk memberi ruang pada Zayyan untuk memeriksa Asih.

"Sudah berapa lama nenek pingsan, Bulik?" tanya Zayyan sembari memeriksa denyut nadi Asih.

Ratih tidak ingat, ia pun menoleh pada Hilya, dan bertanya pada anak perempuannya itu melalui tatapan mata.

"Mungkin sekitar sepuluh menit yang lalu, Mas." Hilya yang menjawab.

"Sebaiknya kita bawa nenek ke rumah sakit untuk ditangani lebih lanjut. Biar saya telfon ambulans sekarang," ujar Zayyan.

=====

Di luar ruangan IGD, ada beberapa orang yang tengah menunggui Asih yang tengah diperiksa oleh dokter. Mereka adalah Ratih, Anita, Rafi, serta Zayyan. Hilya tidak ikut karena harus menemani kedua adiknya di rumah.

Dokter perempuan berusia empat puluhan yang memeriksa Asih pun akhirnya keluar. Keluarga Asih segera memborbardir pertanyaan pada dokter itu.

"Tidak ada yang perlu dicemaskan pada kondisi ibu Asih. Setelah saya periksa, semuanya normal. Sekarang beliau sudah siuman," terang sang dokter, membuat Rafi, Anita, dan Ratih menghela napas lega.

"Yang benar, Dok? Nenek pingsan cukup lama tadi. Sebelum dibawa ke sini, di rumah pun sudah pingsan cukup lama. Saya khawatir terjadi sesuatu yang serius pada nenek," ujar Zayyan.

"Benar, Dokter Zayyan. Nenek Anda baik-baik saja kok. Kalau Anda kurang yakin, silakan Anda bisa periksa sendiri." Dokter wanita itu pun tersenyum, lalu memberitahu bahwa Asih sudah boleh ditemui, dan boleh dibawa pulang.

Setelah kepergian dokter wanita itu, Rafi, Anita, dan Ratih segera melihat kondisi Asih, sementara Zayyan tetap di luar sembari memikirkan seperti ada yang janggal.

"Ibu mau rawat inap di sini," ucap Asih.

"Tapi Ibu sudah boleh pulang. Kata dokter, Ibu tidak kenapa-napa," balas Ratih.

"Ibu butuh ketenangan, kalau di rumah, pasti nanti Hilya tidak akan mengabulkan permintaan ibu, dan ibu jadi tidak tenang," ujar Asih.

Mendengar perkataan sang ibu, Rafi, dan Anita sontak menatap Ratih seolah meminta penjelasan. Ratih yang ditatap oleh kakak, dan iparnya itu pun menjadi merasa tidak enak.

"Anu, Mas, Mbak, tadi sebelum ibu pingsan, ibu sempat meminta Hilya supaya menikah dengan Zayyan, tapi Hilya menolak," kata Ratih.

Anita menghela napas, lalu mendekat ke arah mertuanya yang tengah berbaring di ranjang rumah sakit itu. "Kalau Ibu mau tetap menginap di sini, tidak apa-apa. Nanti biar kita pesankan kamar VIP untuk Ibu ya, biar Ibu bisa istirahat dengan tenang."

=====

"Nenek gimana, Bu?" tanya Hilya saat Ratih pulang dari rumah sakit pada pagi harinya. Ia sengaja bolos kerja karena ingin tahu keadaan sang nenek.

Ratih mendengkus. "Puas kamu, sudah bikin nenek sakit?!"

Hilya merasa bersalah, dan menyesal, apalagi sedari tadi malam ibunya selalu menyalahkannya.

"Kalau kamu pengen nenek segera sembuh, dan pulang dari rumah sakit, kabulkan permintaan nenek!" titah Ratih.

"Permintaan apa, Bu?"

"Ya permintaan nenek yang tadi malam, yang menyuruh kamu menikah sama Zayyan," tukas Ratih.

"Apa harus menikah dengan mas Zayyan, Bu? Aku masih muda lho, Bu. Kenapa nggak cari perempuan lain aja buat jadi pengantinnya mas Zayyan." Hilya mencoba menolak.

Ratih menghela napas, sambil memikirkan kata-kata yang pas, yang akan diutarakan pada anak perempuannya itu. "Kamu sudah dua puluh tahun, Hil, sudah cocok untuk menikah. Teman-teman seumuran kamu juga sudah ada yang punya anak kan?"

"Tapi kan aku belum sukses, Bu. Sebelum menikah, aku ada target yang ingin dicapai," balas Hilya.

"Target apa sih? Lagian kamu itu suksesnya kapan? Orang kamu saja cuma kerja jadi tukang fotokopi," cibir Ratih.

Mendengar cibiran dari sang ibu, membuat Hilya sedikit kehilangan semangat.

"Kalau kamu nikah sama Zayyan, justru kamu bisa mencapai target kamu. Selain itu, kamu juga bisa ngangkat derajat keluarga kita. Zayyan itu kaya, kalau kamu jadi istrinya, otomatis kita juga bisa kaya, Hil," ujar Ratih. Ia membayangkan nasibnya yang akan berubah jika mempunyai menantu seperti Zayyan.

"Kenapa jadi berharap sama kekayaannya mas Zayyan, Bu?" protes Hilya.

"Ibu kan realistis, Hil. Ibu sudah capek dibilang sama tetangga, kalau ibu bisanya cuma numpang saja sama nenek. Ibu sudah bosan hidup miskin terus," lanjut Ratih.

"Aku kan kerja, Bu. Setiap bulan juga gajiku semua dipegang ibu. Lagian ngapain sih, ngurusin omongan tetangga?"

Ratih mendengkus. "Gaji kamu itu sedikit, Hil. Jangan kan buat beliin ibu emas, buat uang saku sekolah dua adikmu saja nggak cukup. Untungnya nenekmu masih mau ngasih makan kita sehari-hari."

"Nanti aku akan cari kerja tambahan, Bu," kata Hilya.

"Halah! Daripada nyari kerja tambahan, kan mending kamu jadi istrinya Zayyan, Hil," balas Ratih. "Kamu tahu tidak, ibu tuh sampai malu sama pakde, dan budemu karena gara-gara kamu nenek sampai dirawat di rumah sakit."

"Nanti aku ke rumah sakit, dan minta maaf sama nenek, pakde, dan bude, Bu," tutur Hilya.

"Minta maaf saja tidak cukup, kalau kamu tidak mau menuruti permintaan nenek. Lagi pula, apa kamu tidak malu sama pakde, dan bude, Hil?"

"Malu kenapa, Bu?"

Ratih gemas sendiri dengan anak gadisnya yang kurang peka itu. "Pakde sama budemu itu sudah sering bantu kita. Biaya sekolah kamu dulu mereka yang tanggung, pun sekarang biaya sekolah Hamam, dan Hamim. Coba kamu pikirkan, kalau kamu benar-benar tidak mau membantu mereka dengan cara menikah dengan Zayyan, kira-kira mereka akan tetap membiayai sekolah Hamam, dan Hamim atau tidak?"

Hilya merenungi ucapan ibunya. Benar jika selama ini sebagian besar kehidupannya, dan keluarganya dibantu oleh Rafi, dan Anita.

"Kalau mereka berhenti membiayai, bagaimana nasib Hamam, dan Hamim? Jangan bilang kamu yang akan menanggung biaya sekolah dua adikmu itu, karena kamu kerja buat sekedar nyari uang jajan saja sudah ngos-ngosan." Ratih lanjut mengomel. "Jangan cuma mikirin diri kamu sendiri, Hil, pikirkan juga masa depan adik-adikmu. Selain itu, dengan kamu menikah dengan Zayyan, setidaknya kita bisa sedikit membalas budi kebaikan keluarga pakdemu."

=====

Hilya berdiri dengan ragu di depan ruang inap berfasilitas VIP tempat sang nenek dirawat. Di tangannya, ia menenteng sebuah rantang berisi makanan kesukaan sang nenek. Ia ingin masuk, tapi takut neneknya belum menerima kehadirannya.

"Ngapain berdiri di depan pintu? Jadi perawan tua nanti," kata Zayyan yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Hilya, membuat Hilya sedikit tersentak sambil bertanya-tanya dalam hati, dari mana, dan sejak kapan datangnya sepupunya ini.

"Mas Zayyan mau masuk kan? Aku titip ini buat nenek." Hilya menyodorkan rantang yang dibawanya pada Zayyan.

Zayyan hanya melihatnya tanpa mau menerima. "Kamu kasih sendirilah! Lagi pula sudah sampai sini, kenapa tidak sekalian masuk temui nenek?"

Hilya menurunkan tangannya. Ia kesal pada Zayyan, tapi malas untuk mendebat, mengingat sekarang tengah berada di rumah sakit.

Melihat Hilya yang diam saja, Zayyan pun menarik lengan tangan Hilya yang dilapisi baju kaos panjang itu, dan membawanya untuk masuk ke ruangan.

"Ih, apaan sih, Mas, main tarik-tarik!" Hilya mencoba meronta, tetapi gagal karena cekalan tangan Zayyan terlalu kuat. Hingga akhirnya sepasang sepupu beda gender itu tiba di depan ranjang sang nenek.

"Nek, ini Hilya datang," ucap Zayyan sembari melepaskan tangannya dari lengan Hilya.

"Kamu yang menjemput Hilya, Zayyan?" tanya Anita yang kebetulan sedang menemani Asih. Di sana ada Rafi juga.

"Bukan, Ma, dia datang sendiri kok," jawab Zayyan.

"Sini, Hil." Rafi memberi kode agar Hilya mendekat. "Kamu bawa apa itu?"

"Oh ini, Pakde, makanan kesukaan nenek," ucap Hilya. Ia melirik sang nenek yang masih diam saja.

"Wah, pasti nenek seneng nih, apalagi masakan kamu kan enak, Hil," ujar Anita.

Hilya tersenyum pada budenya itu, lalu menghampiri sang nenek. "Nenek cepat sembuh ya. Maafin aku kalau aku ada salah sama nenek."

"Hmm ... entah nenek akan sembuh atau tidak, Hil, sepertinya umur nenek tidak akan lama lagi," ucap Asih dengan sendu.

"Nenek jangan ngomong gitu dong, aku selalu berdoa supaya Nenek panjang umur," balas Hilya.

"Umur tidak ada yang tau, Hil. Meski entah kapan itu waktunya, tetapi nenek ingin sekali merasa tenang saat tiba waktunya nanti," ujar Asih.

"Sudahlah, Bu, jangan bicara seperti itu lagi," tegur Rafi.

"Zayyan, sini mendekatlah," pinta Asih pada cucu laki-lakinya yang sedari tadi diam menyimak obrolannya dengan Hilya.

Zayyan pun mendekat, dan berdiri di samping kiri ranjang bersama Rafi, sementara Hilya berada di sisi kanan bersama Anita.

"Ada apa, Nek? Nenek mau sesuatu? Biar saya carikan nanti," kata Zayyan.

"Sesuai yang kita bicarakan tadi pagi sebelum Hilya datang, Zayyan," jawab Asih. Hilya sontak merasa penasaran.

"Yang mana, Nek?"

"Menikah dengan Hilya, Zayyan. Kamu mau kan?"

Hilya membulatkan matanya. Tadi malam ia yang dipinta oleh sang nenek, kini giliran Zayyan. Ia pikir neneknya sudah melupakan hal itu, tapi ternyata belum.

Gadis dua puluh tahun itu menatap Zayyan yang juga tengah menatapnya. Kemudian Hilya menggelengkan kepalanya, guna memberi kode agar Zayyan menolak permintaan sang nenek.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pengantin Pengganti Sang Dokter Dingin   Bab 45

    "Ooh, lagi liburan." Tata manggut-manggut. "Baru sampai di sini atau gimana?" "Nggak, Kak, kami udah mau pulang. Ini lagi nunggu pesawat." "Oh, kirain baru sampai." "Kak Tata juga lagi liburan ya?" Sebenarnya Hilya sedikit malas berbasa-basi dengan mantan calon istri Zayyan ini, tapi sudah terlanjur ketemu juga."Iya, aku baru sampai sih. Di sini sebenarnya aku mau tunangan sama pacarku. Tau kalau Zayyan di sini sama kamu, mau aku undang sekalian, eh ternyata kalian mau pulang." Tata menjelaskan dengan raut wajah cerianya. Tata sudah putus dari pacar toxic-nya itu, yang membuatnya tidak jadi menikah dengan Zayyan. Kini Tata akan bertunangan dengan laki-laki yang telah dijodohkan dengannya, dan berharap tidak melalukan hal bodoh seperti dulu lagi. "Waah, mau tunangan ternyata. Selamat ya, Kak, aku ikut bahagia. Maaf nggak bisa hadir." "Iya, makasih ya. Oh ya, kamu namanya siapa? Aku cuma paham kamu istrinya Zayyan, tapi nggak tau namanya, hehe." "Aku Hilya, Kak." "Ooh Hilya. Y

  • Pengantin Pengganti Sang Dokter Dingin   Bab 44

    Meski keadaan sudah kembali seperti semula, tapi Zayyan yakin, Hilya masih belum sepenuhnya melupakan kejadian yang hampir menimpanya di apartemen Dimas. Oleh karena itu, kini Zayyan tengah mengajak Hilya liburan di Pulau Dewata. Hitung-hitung sebagai healing, agar bayangan-bayangan menakutkan itu tak lagi berputar di kepala Hilya. Selain itu, ini juga bisa dibilang sebagai momen untuk bulan madu mereka. Sudah lima hari ini mereka berada di Bali. Setiap harinya akan mereka lewati dengan mengunjungi berbagai tempat wisata yang ada di pulau ini. Hilya selalu antusias ketika sampai di setiap tempat wisata, apalagi jika itu pantai. Melihat Hilya yang sudah kembali ceria, dan cerewet, Zayyan pun bahagia. Kebahagiaan laki-laki itu adalah melihat Hilya tersenyum bahagia, seperti saat ini. "Mas, fotoin lagi dong," pinta Hilya yang entah sudah ke berapa kalinya. Meskipun begitu, Zayyan tak pernah sekali pun menolak. "Oke." Mereka menghabiskan waktu seharian ini di pantai yang dekat dengan

  • Pengantin Pengganti Sang Dokter Dingin   Bab 43

    Membuka matanya yang terasa berat, Hilya menyingkirkan tangan Zayyan yang melingkari perutnya. Waktu menunjukkan pukul setengah tiga pagi, dan Hilya berniat untuk mandi. Ia turun dari ranjang dengan perlahan, agar Zayyan tidak terganggu. Sore kemarin setelah meminta maaf pada Zayyan, hubungan mereka sudah kembali membaik, pun dengan yang lainnya di rumah ini. Hilya sudah kembali seperti semula yang ceria, dan cerewet. Lalu, malam hari setelah makan malam, dan membantu beres-beres di dapur, Hilya diajak Zayyan ke kamar. Zayyan menginginkan Hilya, dan mau menyalurkan rasa rindunya. Tentu saja Hilya paham, dan tidak menolak. Ia sudah berjanji untuk menjadi istri yang baik bagi Zayyan. Hilya lantas ke kamar mandi untuk melakukan mandi wajib, sesuatu yang harus dilakukan setelah selesai melakukan hubungan suami istri. Biasanya Zayyan akan langsung mengajak mandi, tapi malam tadi justru langsung ketiduran. Hilya tebak, Zayyan terlalu lelah. Usai mandi, dan berwudhu, Hilya memakai mukena

  • Pengantin Pengganti Sang Dokter Dingin   Bab 42

    "Kalau begitu, kamu juga harus siap kehilangan pekerjaan kamu. Kamu tidak bisa lagi praktik di rumah sakit saya." Bambang mengancam. Biar bagaimanapun, Dimas adalah anaknya. Sememalukan apa perbuatan anak itu, Bambang akan berusaha menyelamatkannya, meski harus menanggung malu di depan Rafi, dan Zayyan, yang selama ini bermitra bersamanya. Zayyan mengepalkan tangan sembari menatap tajam laki-laki paruh baya seumuran ayahnya tersebut. "Tidak masalah. Lebih baik saya tidak bekerja lagi di rumah sakit Om, daripada harus membebaskan Dimas. Semua ini demi kehormatan keluarga saya, terutama istri saya." Dipecat jadi dokter di rumah sakit yang selama ini menjadi tempat praktiknya? Itu tidak masalah bagi Zayyan. Masih banyak rumah sakit lain yang bisa ia datangi, lalu menjadi dokter di sana. Berbekal pengalaman, dan kemampuannya, Zayyan yakin, tidak sulit baginya untuk mendapatkan tempat praktik baru. Atau, jika seandainya Bambang melakukan blacklist agar Zayyan tidak bisa lagi praktik di

  • Pengantin Pengganti Sang Dokter Dingin   Bab 41

    Zayyan memberitahu pada keluarganya bahwa Dimas sudah ditangkap polisi. Anita, dan Rafi cukup senang dengan kabar tersebut, akan tetapi, masih ada rasa sedih yang menyelimuti mereka, karena Hilya masih murung, dan belum mau keluar dari kamar. Mereka juga belum memberitahu Ratih, dan Asih tentang apa yang sudah menimpa Hilya. Jika memberitahu Ratih, mereka takut jika nantinya Ratih akan memarahi Hilya, dan justru akan semakin memperburuk keadaan Hilya. Sedangkan jika memberitahu Asih, mereka takut jika akan menjadi beban pikiran Asih, dan membuat keadaan Asih menjadi drop. Jadilah mereka masih menyembunyikan ini dari keluarga Hilya. Selain itu, juga agar berita itu tidak menyebar luas, dan malah membuat Hilya jadi malu. "Sekarang kamu tenang ya, Hil. Dosen kurang ajar itu sekarang sudah ditangkap polisi. Kamu tidak perlu takut lagi," kata Anita, saat mengunjungi Hilya di kamar. "Iya, Ma." Selama mengurung diri, dan saat dikunjungi oleh keluarganya, Hilya hanya akan menjawab singkat

  • Pengantin Pengganti Sang Dokter Dingin   Bab 40

    "Kenapa kalian baru datang sekarang?! Dari tadi kalian ke mana saat istri saya hendak dilecehkan oleh manusia ib*is ini?!" hardik Zayyan pada beberapa security yang memisahkannya saat hendak kembali menghabisi Dimas. "Maaf atas kelalaian kami, Tuan," ucap seorang security bertubuh gempal. Zayyan berdecih. "Percuma gedung apartemen mewah ini, jika punya keamanan payah. Saya bisa laporkan kalian ke polisi atas kelalaian ini." "Sekali lagi kami minta maaf, Tuan. Kami akan mengurus tuan Dimas, dan membereskan kekacauan ini." Menatap tajam pada security itu, Zayyan hendak mengomel lagi, tapi tidak jadi karena Tobi segera menyela. "Pak, lebih baik urus Hilya dulu." Seketika Zayyan teringat tentang sang istri. Ia pun menghampiri Hilya yang saat ini tengah berjongkok, dan menenggelamkan wajahnya. Hilya tengah menangis. "Bangun, Hil. Kamu sudah aman sekarang. Ayo kita pulang," ucap Zayyan, sembari ikut jongkok, dan menyentuh lengan Hilya. Tangisan Hilya yang terdengar memilukan itu men

  • Pengantin Pengganti Sang Dokter Dingin   Bab 39

    "Lho, kamu tidak pulang bareng Hilya, Zayyan?" tanya Anita, yang melihat anak laki-lakinya tiba di rumah sendirian, tanpa adanya sang istri. "Saya sudah bilang ke Hilya bahwa hari ini tidak bisa jemput, Ma. Memangnya Hilya belum pulang?" Zayyan justru balik bertanya. Wanita yang telah melahirkan Zayyan itu pun menggeleng. Seketika merasa cemas, takut terjadi sesuatu dengan menantu kesayangannya. "Ooh, mungkin mampir ke rumah nenek, Ma," kata Zayyan. Mungkin nanti ia bisa menjemputnya, jika Hilya benar-benar ada di sana. "Hilya ada bilang ke kamu, kalau mau mampir ke sana?" Anita bertanya lagi. "Tidak." Zayyan menggeleng. Anita menghela napas, lalu berbicara kembali pada sang anak. "Coba telfon Hilya. Pastikan dia ada di mana, Zayyan. Perasaan mama tiba-tiba jadi nggak enak ini." Suami Hilya itu pun mengangguk menuruti perintah sang ibu. Ia mendial nomor Hilya, tapi sayangnya sedang tidak aktif. Zayyan yang tadinya cukup tenang, kini berubah jadi gusar. "Tidak aktif, Ma. Apa mu

  • Pengantin Pengganti Sang Dokter Dingin   Bab 38

    Karena besok akhir pekan, Zayyan tidak ada jadwal praktik di rumah sakit. Pun dengan Hilya yang tidak ada jadwal kuliah. Oleh karena itu, Hilya memanfaatkan kesempatan ini untuk menginap di rumah sang nenek. Hilya rindu dengan ibunya, kedua adiknya, juga neneknya. Bagaimana pun sikap ibunya selama ini padanya, tetap saja wanita itulah yang telah melahirkannya, dan Hilya tidak bisa membenci. "Kamu ngapain ikut masukin baju ke tas, Mas?" tanya Hilya heran, saat melihat Zayyan melakukan hal yang sama dengannya. "Aku mau ikut, Hil, nginep di rumah nenek," jawab Zayyan. Tadinya Hilya hanya meminta izin pada Zayyan untuk menginap di rumah sang nenek, tanpa mengajak suaminya itu. "Ngapain sih? Kalau nginep di rumah nenek, nanti Mas nggak bisa tidur lagi," kata Hilya. Masih teringat jelas di kepala Hilya, saat beberapa minggu yang lalu mereka menginap di rumah sang nenek. Waktu itu Hilya belum menganggap Zayyan sepenuhnya jadi suami, jadi Hilya tak mengizinkan Zayyan untuk tidur satu ran

  • Pengantin Pengganti Sang Dokter Dingin   Bab 37

    "Bagaimana kuliah kamu hari ini?" tanya Zayyan. Ia sekarang tengah merebahkan tubuhnya di samping Hilya, dengan lengannya yang dijadikan bantalan untuk sang istri. Sejak keduanya berhubungan intim waktu itu, posisi seperti ini memang sering mereka lakukan, dan Hilya pun merasa tidak masalah. Yang terpenting bagi Hilya saat ini adalah Zayyan tidak menyakitinya, tidak marah-marah atau berbicara ketus padanya, seperti dulu sebelum menikah. "Lumayan asik. Aku juga punya beberapa teman baru. Aku jadi nggak kesepian di kampus," jawab Hilya. "Syukurlah kalau begitu." Zayyan turut senang, karena itu artinya Hilya tak mendapat kesulitan yang berarti saat di kampus. "Kamu boleh punya teman banyak, Hil, tapi harus tetap disaring. Berteman dengan mereka yang baik, dan tidak suka buat onar di kampus." "Iya, aku tau kok. Aku juga bukan anak kecil lagi, pasti bisa pilih-pilih temen." "Hmm ... kamu ternyata memang sudah dewasa, Hil. Padahal, rasanya baru kemarin kamu masih sering kugendong karen

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status