“Jangan membahas itu!” decak Javier. Menolak membahas Lori. “Kau benar akan mendukung Esli untuk menjadi walikota? Ia sangat ambisius.” Javier tidak akan ikut campur saat Ed membuat keputusan yang berkaitan dengan politik seperti itu. Tapi ia ingin tahu.“Dan ayah Mayte tidak ambisius juga? Kau seharusnya tidak lupa apa yang dilakukannya di wilayah selatan. Ia terlihat manis tapi memiliki kekayaan tidak terjelaskan lebih besar dari Esli. Mereka sama-sama busuk, maka sama saja siapapun yang akhirnya menjadi walikota. Yang jelas akan menguntungkan kita.”Ed malas bicara sepanjang itu. Tapi harus karena Javier tidak akan berhenti bertanya sebelum puas.“Kau menikahi Liz bukan hanya karena bujukanku.” Javier mengeluh. Setelah mengira kakaknya membuat keputusan hanya karena keinginannya, tentu Javier kecewa saat tahu Ed punya rencana sendiri.“Aku membuat keputusan yang menguntungkan berdasar atas keinginanmu. Ini lebih baik lagi bukan? Kau gembira dan aku melakukan hal yang tepat.” Ed ti
Ed menatap Liz yang kembali menyekop meski keadaan tubuhnya sangat kotor. Tidak tampak terganggu lagi oleh semua keadaan kotor itu. Ia masih memakai topi, tapi Ed bisa melihat keringat menetes. Kalau pakaiannya tidak kotor oleh lumpur, mungkin akan tetap basah oleh keringat.“Kau itu kenapa?”Ed bergumam sambil mengerutkan kening. Semakin heran setelah melihat sendiri wujud laporan Javier.Gadis yang dinikahinya itu menunjukkan banyak sisi yang sama sekali tidak terduga. Jauh dari bayangannya maupun Javier—yang merasa mengenal Liz meski hanya sekilas.Sedang Ed malah tidak lagi melihat jejak Liz yang dulu ditemuinya saat kecil. Selain telah tumbuh, Ed tidak lagi melihat gadis manja cengeng.Ia salah menilainya sebagai cengeng karena saat hari pernikahan mereka kemarin, Liz banyak menangis. Tapi sekarang ia melihat sisi yang jauh berbeda. Sisi yang seharusnya tidak pernah dimiliki oleh anak dari seorang Esli. “Apa kau sungguh akan menyelesaikan semua itu?” tanya Ed. Akhirnya mendekat
“Huh?” Ruby yang sudah menggeliat karena ingin membebaskan diri, kembali diam saat mendengar keanehan itu.“Aku pikir kau sudah lebih waras sekarang, tapi rupanya kau masih ingin menggoda pria lain.” Ed kembali mendesis.“Bukan!” Ruby membantah keras—melupakan semua ketakutannya karena tuduhan yang salah kaprah itu. Ia tidak paham dari mana Ed bisa berpikir seperti itu.“Membantah tapi kau melakukan ini?! Kau ingin memamerkan warna merah ini kepada semua pria itu?!” Ruby menjerit saat tiba-tiba tangan Ed menyusup masuk, menarik pakaian dalamnya di bagian punggung. Ruby terlepas dengan tangan menutupi bagian depan tubuhnya, dan menunduk. Maka terlihat apa alasan Ed bisa menyebut warna pakaian dalamnya dengan sangat tepat.“AGH!” Ruby menjerit lalu bergegas menutupi tubuhnya dengan overall kotor yang tadi telah dilepaskannya. Ruby tidak peduli kotor. Masih lebih baik dibanding kaus putih menerawang itu.Mata Ruby memerah oleh air mata karena teringat kalau tadi bukan hanya Ed pria yang
Tubuh Ruby mungkin sempat menanggapi, tapi perlahan berganti dengan rasa yang jauh berbeda. Ruby tidak bisa lupa pada rasa sakit itu. Kekasaran Ed saat menggerakkan tubuhnya, juga bagaimana pria itu membuatnya merasa sangat murahan. “Jangan…” Ruby berbisik memohon sambil menggeleng. Gemetar yang melanda bukan lagi karena nafsu, tapi ketakutan. “Jangan apa?” Ed menghentikan tangannya dan mengernyit. Tidak paham kenapa wanita yang tadi dengan jelas terpancing, tiba-tiba memohon dengan kata negatif. Ed memandang punggung dan kepala yang menunduk itu. “Apa kau begitu takut pada wajahku?” Ed melepaskan tangannya dan mundur. Pertanyaan itu bahkan tidak berupa bentakan dan tidak butuh jawaban. Ed hanya mengingatkan dirinya sendiri kalau wanita yang ada di depannya pingsan saat melihatnya pertama kali. “Aku lupa.” Ed tersenyum pahit. Lupa kalau ia tidak seharusnya berharap ada wanita yang akan menerimanya, saat Mayte—yang sudah bersamanya cukup lama, merasakan keraguan. Ed lalu membuka
“Ed? Kau masih di sini?!” Mia dan Pedro sama-sama terkejut, tapi Pedro lebih terkejut karena ia terhenyak bangun dengan wajah pucat. “Aku pikir kau sudah kembali ke kota.” Pedro mencoba bersikap santai sementara Ed memandangnya dengan mata tajam. “Kau bernafsu pada siapa?!” bentak Ed. “Itu tuduhan tidak berdasar, Ed. Kau jangan lansung mengambil kesimpulan. Aku tidak berniat apa pun pada Liz. Mia hanya cemburu karena aku ramah padanya. Tapi apa aku salah kalau ramah? Liz istrimu dan aku tahu kau akan menjalin kerja sama dengan Esli Ramos setelah kalian menikah. Aku tidak mungkin kasar padanya bukan? Ini akan mempengaruhi urusanmu.” Pedro langsung berpanjang lebar menjelaskan. Bicaranya meyakinkan, dan isinya benar. Ed tidak pernah meminta Pedro membantunya meski tahu pria itu menginginkannya. Tapi rupanya ia cukup tahu urusannya dengan Esli. Ed melirik Mia yang tampak melipat tangannya di depan dada sambil cemberut. Tapi hanya itu. Tidak melengkapi tuduhannya tadi dengan bukti a
“Apa kau lupa memindahkannya kemana? Cari lagi!” perintah Ed, sambil mengerutkan kening. Tita adalah yang paling tahu apa dimana. Ed tidak bisa bertanya pada yang lain. “Baik.” Tita berlalu dengan wajah kebingungan.. Ed yang gusar berbalik kembali ke kamarnya. Terpaksa mencari kunci mobil yang tadi dipakai. Ed diam sebentar sebelum membuka pintu, memelankan gerakannya. Ed berhati-hati karena tidak ingin Liz berteriak. Ia sering kali menjerit saat kaget. Hari ini saja mungkin lebih dari tiga kali ia mendengarnya. Ed masuk, tapi tidak melihat Liz lagi. Kamar itu kosong. Tapi Liz tidak mungkin keluar dari kamar itu. Ed menengok ke teras dan melihat sosok tersampir di kursi teras. Tertidur di kursi empuk berbentuk seperti ayunan dengan buku tergeletak jatuh di sampingnya. Teras itu memang sejuk, terlindung dari matahari tapi mendapat hembusan angin laut dan suara ombak yang tidak terlalu keras. “Kau tertidur setelah membuatku gelisah?” gerutu Ed. Jengkel melihat betapa damainya Liz
Ed membuka pintu chapel dengan kasar. Lupa pada sopan santun, dan hanya ingin melabrak Javier. Ed menghela napas saat mendapati adiknya sedang berlutut dengan tangan mengatup—berdoa di depan altar. “Kau pikir aku tidak akan tahu apa yang kau lakukan?! Jangan berpura-pura berdoa!” bentak Ed. “Sssttt… Jangan menjadi tidak sopan, Ed. Duduk dan tunggu sampai aku selesai.” Javier menunjuk deretan kursi kayu panjang yang kosong. “Kau itu…” “Ssssttt….” Javier kembali meminta Ed diam dan menundukkan kepalanya lagi. Ed hanya bisa menggeram marah sambil menghenyakkan diri untuk duduk. “Jangan harap aku akan pergi sebeluma kita bicara!” desis Ed. Kurang lebih peringatan kalau ia akan menunggu sampai berapa lamapun Javier berdoa. Javier tidak akan bisa menghindar dengan berpura-pura berdoa. “Ck!” Ed mendecak karena tidak ada lagi jawaban dari Javier. Ia harus menunggu. Ed menopang dagu sambil menatap punggung terbalut jubah hitam itu. Sampai sekarang Ed masih bisa mengingat rasa terkejutnya
“Aku tidak memintamu untuk menjadi tergila-gila padanya secara langsung, tapi beri kesempatan saja dulu pada Liz.” Javier kembali membujuk setelah Ed tidak juga menjawab.“Kau bergitu menyukainya?” Ed melirik dengan heran. Ini kali kedua ia menemui orang yang membela Liz tanpa keraguan.“Ya. Dia manis. Kemarin-kemarin aku berusaha membantu mengurangi beban Liz, dan ia menolak dengan alasan tidak ingin berbohong dan curang. Ia malah menegurku. Mengatakan Pastor tidak seharusnya berbohong. Ia benar juga soal itu.” Javier tampak tersenyum geli. Lucu mengingat saat dirinya perlu diingatkan oleh Liz tentang tempatnya.“Memang apa yang terjadi?” tanya Ed. Penasaran dengan interaksi mereka berdua sampai bisa membuat Javier membelanya.“Aku tidak bisa membuat Tia Mia mendengarku, tapi aku bisa meminta Tita dan yang lain berpura-pura agar Liz tetap terlihat bekerja. Atau paling tidak menangani pekerjaan yang lebih ringan. Tapi rencana itu tertolak, dan Liz bekerja seperti biasa—seperti pelayan