Hari kedua di Nottingham, Juliete dan Joane bersiap di kamar hotel mereka. Malam ini berbeda, mereka tak hanya meneliti tumpukan dokumen, tapi mendekat lebih jauh pada sosok Henry Walter. Penyelidikan tersembunyi dalam kumpulan pesta para pejabat dan juga aristokrat. Joane berjalan mondar-mandir sambil membuka koper dan lemari, wajahnya masam. Usianya memang pertengahan 30, tapi sikapnya malam ini sama gelisahnya seperti asisten muda yang baru belajar terjun ke pesta elite. “Sial, aku benar-benar tidak memperkirakan ini. Gaunku ketinggalan di London!” gumam Joane kesal, tangannya menepis-nepis lipatan baju kerja yang jelas tak pantas untuk pesta ulang tahun pernikahan walikota Henry Walter—apalagi pesta topeng dengan tamu bangsawan dan politisi. Juliete hanya duduk di sofa, kaki bersilang, laptop di pangkuannya. Ia menatap Joane tanpa ekspresi, hanya jemarinya sibuk mengetik catatan file kasus di layar. “Haruskah kita benar-benar datang ke pesta itu?” tanyanya datar, tak terde
Malam itu, lampu meja di kamar hotel menjadi satu-satunya penerang. Cahaya kuningnya menyorot wajah Juliete yang menunduk di depan laptop. Jari-jarinya sesekali mengetik cepat, lalu berhenti, lalu mengetik lagi. Di layar, terbuka berkas digital berisi catatan riwayat hidup Garvin Cavendish. Nama yang kini sudah lama dikubur di halaman belakang rumah tua itu. Juliete menatap data yang berulang kali dia baca tapi tak ada yang benar-benar baru. Garvin tak pernah punya anak. Istrinya, Madeline, adalah satu-satunya pendamping hidupnya selama puluhan tahun. Mereka tinggal berdua di rumah yang sekarang dipenuhi garis polisi dan bercak darah di lantai ruang tamu. Lahan ratusan hektar itu adalah sebidang tanah yang seharusnya jadi warisan, kini hanya seonggok sengketa. Tak ada surat sah, tak ada catatan legal yang bisa menahan ambisi para birokrat. Yang menahannya dulu hanya satu nama, Cavendish. Nama belakang setajam pagar kawat berduri. Selama Garvin hidup, siapa pun di Nottingham ta
Setelah suara tembakan menggema, keheningan sempat menelan seluruh rumah tua itu. Juliete menempelkan punggungnya di dinding koridor, napasnya memburu, jari telunjuknya masih membidik gagang pintu. Lalu… suara kriet — derit jendela kayu terbuka. Suaranya samar, tapi cukup memecah fokus Juliete. Dia menajamkan telinga, mendengar langkah tergesa. Dengan hati-hati, dia mendorong pintu kamar terbuka kembali. Pistol teracung mantap di kedua tangannya, tubuhnya setengah menunduk siap bidik. Ruangan itu kini kosong — hanya debu beterbangan di udara, dan tirai renda yang berkibar liar ditiup angin. Jendela besar di sudut kamar terbuka lebar. Juliete maju beberapa langkah, mendekat ke jendela. Tepat saat dia mencondongkan tubuh, matanya menangkap bayangan hitam pria bertopeng itu — melompat turun ke halaman belakang. Tanpa pikir panjang, Juliete menekan pelatuk. BRAK! — peluru menembus angin, melesat nyaris mengenai bahu pria itu. Tapi sosok hitam itu hanya sedikit terhuyung, lalu langsun
Juliete dan Joane akhirnya tiba di Nottingham tepat di jam makan siang. Begitu keluar dari pintu kedatangan bandara, sebuah SUV hitam berlogo kecil Hawthorne & Carter LLP sudah menunggu di tepi trotoar — fasilitas resmi yang disediakan firma untuk mempermudah pekerjaan para pengacaranya. Setelah makan siang singkat di sebuah restoran bergaya klasik tak jauh dari bandara, keduanya langsung melanjutkan perjalanan ke lokasi tanah sengketa. Selama di perjalanan, Juliete lebih banyak diam, menatap jendela mobil — memorinya sibuk mencocokkan poin-poin sengketa dengan peta yang ditunjukkan Joane di tablet tadi. Hanya butuh sekitar dua puluh menit hingga mereka tiba di pinggir jalan beraspal lebar, di mana hamparan tanah kosong terbentang — nyaris seperti ladang liar yang dibiarkan tumbuh semak liar. Di kejauhan, tampak pohon-pohon tua merapat membentuk jalur setapak samar. Joane melirik Juliete yang menurunkan kaca jendela, membiarkan angin dingin Nottingham masuk sebentar. “Ini tanah wa
Bunyi ding lift terdengar pelan. Pintu logam bergeser membuka di lantai tiga menampakkan sosok Margaret berdiri di ambang pintu, bahu tegap, wajah anggun seperti biasa. Matanya membulat sedikit, melihat putra sulungnya dan menantunya berdiri terlalu rapat di sudut lift. “Wah…” Margaret terkekeh kecil, senyum lembutnya muncul di sudut bibir. “Pasangan favorit mommy rupanya sedang bermain di lift, ya?” Suaranya ringan, tapi tatapannya tajam menembus Jaiden. Juliete reflek ingin melepaskan pelukannya di pinggang Jaiden, wajahnya memanas seketika. Namun tangan Jaiden justru merapatkan cengkeramannya di lengan Juliete menahan, sengaja memerangkap. Sebuah senyum licik merayap di sudut bibir Jaiden, tatapannya menatap Margaret tanpa dosa. Juliete hanya mendesah kecil, mengumpat dalam hati. Margaret melangkah masuk ke lift, berdiri anggun di samping mereka. Sorot matanya bergeser ke arah tangan Jaiden yang menahan tangan Juliete di perutnya. Ia tersenyum simpul, nada bicaranya hangat
Lima dummy di hadapan Juliete roboh nyaris serempak, suara tembakan bergema di ruang latihan senjata Cavendish. Nafas Juliete masih teratur meski pelipisnya berkeringat, kacamata pelindung masih bertengger di hidungnya. Di belakangnya, Jaiden berdiri terlalu dekat, satu tangan membungkus pinggangnya, bibirnya sibuk mencium kulit leher Juliete — menebarkan gigil di antara bau mesiu yang masih segar. “Kau makin cantik saat sedang menembak, sayang…” bisik Jaiden, suaranya berat menelusup di tengkuk Juliete. Juliete menggeram kecil, jemarinya masih menekan pelatuk, namun tembakan terakhir hanya menghantam dada dummy — bukan kepala, bukan sasaran sempurna seperti yang dia mau. Dengan kesal, Juliete menurunkan senjata, membuka kacamata pelindungnya, dan menatap Jaiden dengan tatapan tajam penuh protes. “Shit?!” desisnya, hampir mendesis seperti kucing marah. Jaiden terkekeh pelan, pura-pura mengangkat bahu seolah dirinya tak bersalah. Senyum miringnya menambah panas kuping Julie