“Om, mau ngapain?!” Andin sedikit menggeser wajahnya saat wajah sang suami hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya.
“Aku cuma mau masang seat belt,” sahut Haidar.
“Aku bisa sendiri,” sergah Andin. Ia mendorong tubuh sang suami agar menjauh. “Dasar tukang modus! Pake alasan pasang seat belt,” gerutu Andin sambil memasang seat belt.
Haidar memundurkan tubuhnya. Segera ia melajukan mobil menuju rumah tanpa mempedulikan ocehan sang istri.
“Kita mau ke mana?” Andin melihat ke luar jendela, memperhatikan jalanan yang bukan menuju rumahnya ataupun rumah Papa Mahendra.
“Pulang ke rumahku,” jawab Haidar. Lalu ia kembali fokus pada jalanan di depannya.
Andin memiringkan tubuh menghadap sang suami yang duduk di sampingnya sambil menyetir. “Tadi bilang rumah Om satu arah dengan rumah Sisil. Om bohong ‘kan? Tadi tuh sebenarnya lagi ngikutin aku, takut istrimu yang bohay ini dicoel orang.”
Walaupun Andin masih sakit hati dengan ucapan suaminya, tapi ia berusaha untuk berdamai dengan takdir. Biar bagaimanapun ia tetap istri Haidar, entah di anggap apa tidak ia tidak peduli.
Haidar hanya diam saja tanpa menyahuti ocehan sang istri yang terus nyerocos seperti ibu-ibu kehabisan beras untuk dimasak. Ia tetap fokus pada kemudinya.
“Om!” panggil Andin. “Jawab dong!”
Tak ada jawaban dari sang suami, Andin membenarkan posisi duduknya. Ia memalingkan wajahnya ke luar jendela. “Udah tua, belagunya nggak ketulungan, pantes aja nggak laku-laku. Jangan nyesel kalo si Bohay ini banyak yang lirik! Udah untung dapat daun muda yang masih segar kayak gini. Udah cantik, bohay, bahenol, montok. Nggak tahu dia, istrinya primadona kampus,” cerocos Andin, memuji dirinya sendiri.
Haidar tidak mempedulikan ocehan Andin, ia tetap fokus pada kemudinya. Ia tidak mau bertengkar lagi dengan sang istri.
“Nih anak begini amat, ngidam apa emaknya waktu hamil dia,” batin Haidar.
“Om, ngebut,Om!” Andin panik saat melihat mobil hitam di belakangnya terus mengikuti mobil sang suami.
Ia terus memperhatikan mobil itu sejak tadi, tapi ia tidak mau mencurigainya. Mungkin emang jalur mereka searah, tapi setelah masuk komplek perumahan elit, mobil itu terus mengikutinya.
“Om!” sentak Andin. “Kalo mereka orang jahat, gimana? Aku masih muda, nggak mau mati sia-sia. Kalo Om sih udah tua, udah kenyang juga idup di dunia ini. Nggak apa-apa juga kali, kalo Om ….” Andin menutup mulutnya rapat-rapat, ia tidak melanjutkan ucapannya saat sang suami menoleh dengan tatapan tajam bagai elang hendak menyambar mangsanya.
“Maafkan istrimu, ini suamiku yang ganteng,” ucap Andin. “Tapi, sayang udah tuir,” lanjutnya, merendahkan suaranya.
Mobil Haidar memasuki rumah mewah dengan pagar yang tinggi. Andin tampak terpukau dengan kemewahan rumah suaminya.
“Nih, tua bangka, tajir bener ya, lebih tajir dari Ayah gue. Tapi, kenapa nggak laku-laku, harusnya pria tampan plus tajir melintir kayak dia, tinggal milih aja mau cewek model gimanapun, nggak perlu dijodohin segala,” batin Andin.
“Eh itu mobil yang ngikutin kita!” tunjuk Andin. “Kenapa dia ikut masuk?”
Andin semakin takut, melihat empat orang laki-laki bertubuh tegap dengan setelan jas serba hitam, tidak lupa kaca mata hitam yang bertengker di hidung lancip mereka, membuat tampilan mereka terlihat menakutkan, menghampiri mobil suaminya. ‘Eh, tapi mereka ganteng-ganteng, cuma kaku kayak robot.’
Dua bodyguard itu membuka pintu mobil majikannya, tapi Andin malah ketakutan. Ia mengira mereka akan berbuat jahat kalau ia keluar dari mobil.
“Om, aku masih belum mau mati.” Andin memeluk erat Haidar sambil menutup matanya.
“Mereka bodyguardku,” ujar Haidar yang membuat Andin melepaskan pelukannya.
“Kenapa nggak bilang dari tadi?” Andin memukuli lengan Haidar. Tapi, Haidar tidak mempedulikan Andin, ia keluar dari mobilnya dengan ekspresi dingin seperti biasanya.
Andin keluar dari mobil, ia berjalan cepat untuk menyejajarkan langkah panjang suaminya.
“Om!” panggil Andin sambil memukul lengan suaminya. “Budeg banget sih! Dari tadi diajak ngomong, diem aja. Om puasa ngomong?”
Haidar tidak menjawab ocehan sang istri ia terus saja masuk tanpa menghiraukan istrinya. Andin berjalan sambil memukuli lengan sang suami.
Pak Jaya, pelayan setia keluarga Haidar tersenyum melihat istri majikannya. “Sepertinya rumah ini akan lebih berwarna dengan kehadiran Nona muda,” ucapnya dalam hati.
“Ampuni aku ya Tuhan! Dan tolong lepaskan aku dari orang menyebalkan ini!” Andin menghentikan langkahnya dan memohon ampun pada Tuhan.
Haidar menghentikan langkahnya dan berbalik melihat Andin yang sedang menadahkan kedua tangannya ke atas. Ia menghampiri istrinya, tanpa permisi ia langsung membopong Andin.
“Lepasin! Aku bisa jalan sendiri.” Andin memencet hidung suaminya sampai memerah. Tapi, tidak ada sedikit pun reaksi dari Haidar.
“Om, kalo nggak di turunin, aku cium nih!” ancam Andin pada suaminya.
Ia sungkan dengan pelayan di rumah itu. Walaupun mereka semua menundukkan kepalanya, tapi pasti mereka diam-diam memperhatikan majikannya. Jiwa ghibah setiap orang pasti ada, sekali pun itu majikannya sendiri pasti jadi bahan ghibah mereka sebagai hiburan di saat melepas lelah.
“Wah, beneran pengin dicium nih si Om.” Andin melingkarkan lengan pada leher suaminya.
Kemudain ia mencium bibir suaminya dengan sangat lembut. Haidar membuka mata lebar-lebar, ia tidak bisa berbuat apa-apa dengan serangan dadakan sang istri.
Haidar menghentikan langkah kakinya. Jantung Haidar bertalu-talu seperti kendang dangdut koplo. Aliran darahnya terasa menghangat ke sekujur tubuh. Ini adalah kali pertamanya ia berciuman.
Haidar memejamkn matanya menikmati sentuhan lembut bibir sang istri. Andin menikmati ciumannya walaupun terasa dingin tapi manis karena Haidar begitu pasif.
Andin menggigit bibir Haidar sehingga mulut Haidar sedikit terbuka. Ia menyusuri rongga mulut sang suami yang terasa hangat.
Haidar mulai membalas ciuman sang istri. Walaupun ia baru pertama kali berciuman, tapi ia laki-laki dewasa yang pernah melihat adegan dewasa di Film yang ia tonton.
Dengan lembut, Haidar menyesapi bibir sang istri yang terasa begitu manis. Lidah mereka saling berbelit. Keduanya memejamkan mata menikmati ciuman pertama mereka.
Walaupun sebenarnya ini bukan ciuman pertama Andin, tapi ini merupakan ciuman pertamanya dengan sang suami. Mereka berciuman di depan pintu kamarnya.
Andin melepaskan ciumannya karena sudah mulai kewalahan mengimbangi ciuman sang suami. “Kamar kita yang mana?” tanya Andin menutupi kecanggungannya.
Raut wajah Haidar biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa. Walaupun sebenarnya ia merasa malu dengan kejadian barusan, tapi ia berhasil menutupinya dengan sempurna.
Dengan susah payah Haidar memutar kenop pintu kamarnya. Kemudian ia melangkah masuk ke dalam kamar.
Andin terus menatap wajah sang suami yang begitu dekat.
“Kenapa dia biasa aja? Apa dia sering melakukannya dengan wanita lain? Tapi, ciumannya begitu kaku,” pikir Andin dalam hati. “Ah, sudahlah. Dia ‘kan pengusaha sukses, banyak duit, bukan hal yang aneh kalo dia sering nganu. Biarpun udah tua, tapi dia cakep juga,” batin Andin.
Ia memandangi wajah Haidar sambil tersenyum.
“Kenapa senyum-senyum?” tanya Haidar dengan ketus.
“Bibir, Om, manis,” ucap Andin. “Om mau lagi nggak?” Andin menunjuk bibirnya sambil tersenyum.
Haidar menjatuhkan Andin di tempat tidur. Kemudian ia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi tanpa mempedulikan sang istri.“Abis manis sepah dibuang! Udah nyedot manisnya bibir gue, sekarang gue malah dibuang gitu aja,” oceh Andin. “Dasar Mr. Dolar tua, belagu, nyebelin, pokoknya semua yang jelek-jelek ada di lo, dasar tua bangka.” Andin terus mengumpati suaminya yang sudah masuk ke dalam kamar mandi.Haidar malas meladeni ocehan istrinya. Sebenarnya ia juga menginginkan berciuman lagi dengan sang istri, tapi gengsinya terlalu besar kalo ia harus menjawab ‘Iya aku mau berciuman lagi.’Haidar mencelupkam dirinya ke dalam bathup, berendam air hangat untuk mengendurkan otot-ototnya yang kaku. Badannya terasa sangat lelah, tapi rasa lelahnya terbayarkan oleh ciuman hangat dari sang istri.Ia memejamkan matanya sambil menghirup aroma terapi yang dituangkan ke dalam bathup. Bayangan adegan ciuman dengan sang istri
Haidar menyambar handuknya. “Ngapaian kamu ke sini?” tanya Haidar. Ia marah karena malu kalo sampai sang istri tahu apa yang sedang ia lakukan.“Om, ‘kan barusan udah mandi, kenapa mandi lagi?” tanya Andin sambil menutup matanya dengan kedua telapak tangannya karena ia melihat Haidar sedang mandi dibawah shower sambil membelakanginya.“Bukan urusan kamu!” Haidar berjalan melewati Andin yang masih mematung di ambang pintu kamar mandi sambil menutupi matanya.Cepat-cepat Haidar memakai piyama. Lalu menghampiri sang istri yang masih mematung di tempatnya. Ia menyentil kening istrinya.“Lain kali ketuk pintu dulu sebelum masuk! Jangan asal nyelonong aja!” Setelah menyentil kening istrinya ia kembali ke tempat tidur.“Lagian belum satu jam mandi, sekarang udah mandi lagi, ganti baju lagi,” ujar Andin sambil melangkahkan kakinya menuju tempat tidur. “Eh iya lupa kalo Mr. Dolar mah bebas ye mau mandi tiap
“Supaya kampusnya dekat dengan kantorku dan kamu nggak ketemu lagi dengan mantan pacarmu yang seperti preman pasar itu,” jawab Haidar dengan tegas sambil mencondongkan wajahnya ke telinga sang istri. “Sisil juga aku pindahkan,” lanjut Haidar sambil melenggang meninggalkan sang istri.“Nih orang, ngatur-ngatur seenak jidatnya aja,” omel Andin sambil berjalan cepat menyusul suaminya.“Om, nanti Sisil kena serangan jantung, tiba-tiba pindah,” ujar Andin. Ia berjalan cepat menyeimbangkan langkah panjang suaminya. “Om!” bentak Andin. Ia kesal dengan suaminya yang tidak merespons sedikit pun ucapannya.Haidar menghentikan langkahnya. Ia berbalik menghadap Andin. “Semua udah dibicarakan terlebih dahulu dengan Sisil dan biayanya aku yang nanggung,” jawabnya. “Aku nggak ngatur-ngatur orang lain, yang aku atur hanya kamu, istriku,” tegas Haidar, sa
Andin mendekati kebun sayur itu. Ia tertarik melihat warna-warni dari buah tomat. Ada yang masih hijau dan ada yang sudah merah. Ada bermacam-macam sayuran hijau.“Ada lobak, kangkung, bayam, ada selada juga, ini komplit banget.” Andin mengabsen sayuran yang ada di situ. “Apa laki gue, presdir sayur lobak?”Seorang pelayan wanita menghampiri Andin. “Nona muda,” sapanya dengan santun sambil menundukkan kepalanya.Andin menoleh ke samping, di mana sang pelayan wanita yang usianya hampir setengah abad berdiri di sampingnya sambil menundukkan pandangannya. “Tanaman sayuran di sini banyak banget, apa ini untuk dijual?” tanya Andin kepada pelayan wanita yang bernama Bi Narti.“Nggak, Nona. Ini untuk dimasak aja ,” jawab pelayan dengan sopan. Ia bernama Bi Narti, kira-kira berumur lima puluh tahun.“Bi, boleh aku ma
“Aku masih mencintaimu …. Tapi, kita nggak mungkin bisa kayak dulu lagi. Aku udah menjadi istri orang lain,” ucapnya. “Hubungan kita cukup sampai di sini aja. Maafkan aku, udah nyakitin hati kamu.” Andin menunduk menyembunyikan kesedihannya.Bagaimanapun, ia masih sangat mencintai Roy. Walaupun semua keluarganya tidak menyukai Roy, tapi ia tetap berhubungan dengannya. Menurut Andin Roy pemuda yang baik, tidak pernah berbuat tidak sopan padanya.Roy memang terlihat seperti berandal karena pakaiannya yang tidak pernah rapi dan slengean. Sering berkumpul dengan anak-anak jalanan. Tapi, ia pemuda yang baik dan setia kawan.“Andin sudah sah menjadi istri saya. Dia calon ibu dari anak-anak saya,” kata Haidar. “Saya harap kamu nggak mengganggu hubungan kami.” Haidar menggenggam tangan istrinya, lalu menciumnya dengan mesra.Andin sama sekali tidak terbu
“Kenapa?” tanya Haidar, pura-pura polos.“Sakit tahu!” Andin mengerucutkan bibirnya sambil memukul lengan Haidar.Haidar tertawa melihat Andin mengerucutkan bibirnya. “Kamu jelek banget, mata sembab, pipi merah, bibir monyong,” kata Haidar yang membuat Andin menangkupkan kedua telapak tangannya di pipi.“Tadi katanya cantik,” kata Andin sambil mengerucutkan bibir seperti siput.“Tadi ada debu di mataku, yang menghalangi pandangan. Tadi kamu terlihat sangat cantik, tapi kenapa sekarang menjadi jelek sekali,” tukas Haidar, lalu ia pergi melenggang begitu saja meninggalkan sang istri.“Om, tungguin!” teriak Andin sambil berlari menyusul suaminya.“Aww …!” Andin menghentikan langkahnya. Ia duduk di pasir pantai untuk melihat apa yang telah melukai kakinya.
Haidar langsung berlari keluar kamarnya saat mendengar sang istri berteriak. Ia terlihat sangat khawatir. Kemudian masuk ke kamar di sebelah kamarnya.Haidar segera menghampiri Andin. “Ada apa?” tanya Haidar, ia terlihat sangat khawatir dengan istrinya.Andin menoleh ke belakang saat mendengar suara suaminya. Ia langsung memeluk sang suami. “Terima kasih,” ucapnya sambil terisak. “Om, memang suami terbaik.” Andin mencium bibir Haidar sekilas. Membuat Haidar diam mematung, seakan suplai oksigen ke jantungnya terhenti.“Woy! Kalemlah! Jiwa jomlo gue meronta ini,” kata Sisil. “Main sosor sembarangan!”Haidar mengerjap saat mendengar suara Sisil yang cempreng. “Untuk apa? Dari tadi ngucapin terima kasih terus,” tanya Haidar sedikit gugup. “Kenapa kamu nangis? Apa kakimu sakit lagi?” Haidar berusaha menutupi kegugupannya.“Terima kasih untuk semuanya.” Andin melepas pelukannya. “Dekorasi kamar ini persis
“Jangan berisik!” Andin membekap mulut sahabatnya.“Ngomong yang bener!” sergah Sisil.“Dia mau dijodohkan hanya demi harta. Papinya nggak mau menyerahkan harta warisannya pada laki gue, kalo dia nggak mau kawin,” jelas Andin.“Kenapa nggak mau sih? Kawin ‘kan enak,” kata Sisil dengan yakin.“Sok tahu, lo!” Andin menoyor kepala sahabatnya. “Emang lo udah ngerasain?”“Kata orang,” sahut Sisil sambil cengar-cengir.“Kalo dia udah dapat warisan, dia bilang, gue bakal ditendang dari rumah ini,” lanjut Andin. Entah ia harus senang atau sedih jika waktu itu telah tiba nantinya.“Tapi, gue lihat laki lo tulus. Tadi aja, dia sampai lari ngedenger lo teriak,” kata Sisil. “Masa sih dia sejahat itu.” Sisil tidak percaya