Hati yang Tak Direstui

Hati yang Tak Direstui

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-08-22
Oleh:  Senja ArunaOn going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
9Bab
11Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Cinta itu sederhana, tapi kadang dunia yang membuatnya rumit. Nura, seorang gadis berhijab yang lembut dan penuh kasih, jatuh cinta pada Arthur—lelaki yang selama ini selalu ada untuknya. Perhatian kecil, tawa bersama, dan doa-doa dalam diam membuat hati mereka saling tertaut. Namun, satu hal yang tak bisa mereka lawan: perbedaan keyakinan. Hubungan yang mereka bangun dengan tulus, justru menjadi luka ketika keluarga mulai menentang. Nura dihadapkan pada pilihan antara mencintai Arthur atau menjaga restu orang tua dan agamanya. Arthur pun terjebak dalam dilema, antara memperjuangkan Nura atau merelakan demi kebahagiaan gadis yang ia cintai. Di bawah derasnya hujan, mereka pernah berjanji untuk tetap bersama. Tapi akankah cinta mampu bertahan jika restu tak pernah diberikan? “Hati yang Tak Direstui” adalah kisah tentang cinta yang indah, tapi penuh luka—tentang ikhlas, doa, dan keberanian untuk melepaskan demi kebaikan yang lebih besar.

Lihat lebih banyak

Bab 1

part 1

_Hujan dan semesta selalu punya caranya sendiri untuk mempertemukan dua hati.. walau pada akhirnya tak ada jaminan pasti bahwa pertemuan itu diciptakan untuk terus bertaut dan selalu bersama_

Hari itu, hujan turun deras, seolah enggan memberi jeda pada siapa pun yang terburu-buru.

Di bawah atap kecil perpustakaan, seorang gadis berdiri dengan wajah gusar. Payungnya tertinggal di rumah, dan satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah menendang-nendang ujung sepatunya dengan kesal, sambil merutuki betapa menyebalkannya hujan yang datang tanpa pemberitahuan.

" hffft.. kapan sih hujannya reda? bisa-bisa aku ga dapet tiket kereta deh.. aaah siaal banget sih hari ini mana payung pake ketinggalan lagi" gerutu Nura, nama gadis itu..

Sampai akhirnya, seseorang muncul di sisinya.

Seorang pria dengan kaos lengan panjang bergaris abu-abu, lengan baju yang sedikit tergulung, rambut basah, dan sepasang mata indah yang menatap tenang. Di tangannya, sebuah payung hitam terlipat—seolah memang ditakdirkan untuk ia buka pada waktu yang tepat.

“Mau pulang ya? Kalau nunggu hujan reda, bisa-bisa kamu beneran ga dapet kereta lho,” ucapnya dengan nada tenang.

Nura tersentak, menoleh, lalu membalas gugup, "oo..eh hmm iya juga sih" seolah baru saja disadarkan dari lamunannya.

Dan ketika pria itu membuka payungnya, lalu mengulurkannya dengan singkat, “Mau bareng?”—sebuah jeda kecil tercipta.

Jeda yang sederhana, tapi cukup untuk membuat jantung Nura berdegup 1000x lebih cepat daripada suara hujan yang menimpa tanah.

Di bawah payung hitam itu, mereka akhirnya melangkah beriringan. Dua orang asing, dipertemukan oleh derasnya hujan, tanpa sadar menuliskan bab pertama dari kisah yang kelak akan sulit mereka lupakan.

...

Langkah mereka pelan, menyusuri trotoar yang mulai tergenang. Payung hitam itu tampak terlalu kecil untuk menaungi dua orang, sehingga mau tak mau jarak di antara mereka jadi begitu dekat.

Sesekali, bahu mereka saling bersentuhan. Nura berusaha menggeser diri, tapi pria di sampingnya dengan tenang sedikit memiringkan payung, memastikan hujan tidak mengenai dirinya.

“Kalau jalan terlalu ke pinggir, nanti sepatumu basah,” ucapnya ringan, tanpa menoleh.

Ada kehangatan yang aneh dalam nada suaranya—tidak berlebihan, tapi cukup untuk membuat Nura menunduk malu, menyembunyikan rona yang tiba-tiba merayap di pipinya.

Di sekitar mereka, kota bertransformasi. Lampu jalan yang berpendar kuning dipantulkan genangan air, menciptakan bayangan bergetar yang terasa sendu. Suara hujan jatuh seperti musik latar yang tak pernah berhenti, menutup dunia luar, menyisakan hanya mereka berdua di bawah kanopi kecil payung hitam itu.

Tangan mereka tidak pernah benar-benar bersentuhan. Namun jarak yang terlampau dekat membuat setiap gerakan terasa seperti kemungkinan yang hampir nyata.

Sebuah awal yang sederhana, namun penuh arti—seperti rahasia kecil yang hanya dimengerti oleh hujan dan semesta.

..

Di antara suara hujan dan langkah pelan mereka, Arthur akhirnya membuka percakapan.

“Kamu mahasiswi Universitas Sanjaka juga ya?” tanyanya, suaranya terdengar hangat, menembus derasnya hujan.

Nura sontak menoleh, agak kaget, sebelum menjawab gugup, “O-oh iya… aku Nura, dari Fakultas Musik. Kalau kamu?”

Arthur tersenyum tipis. “Arthur Chedric dari Fakultas Hukum.”

Ia terdiam sejenak, lalu menambahkan dengan nada kagum, “Keren juga ya kamu ambil fakultas musik. Jarang lho ada yang berani ngambil jurusan itu, ya kebanyakan sih yang aku kenal mereka ambil jurusan yang yah pasti-pasti aja kaya manajemen, ekonomi gitu.. hmm kayanya kamu nih satu-satunya kenalanku yang dari fakultas musik” katanya sambil sedikit terkekeh

Nura menunduk, tak bisa menyembunyikan senyumnya.

Dan di bawah payung hitam itu, hujan masih turun, seolah menjadi saksi atas pertemuan singkat dua hati yang belum tahu akan dibawa ke mana..

...

Langkah mereka masih beriringan, ditemani percakapan singkat yang masih terasa canggung, namun cukup untuk membuat udara di bawah payung itu hangat. Sesekali Nura menanggapi dengan tawa kecil, sesekali Arthur melontarkan komentar ringan yang membuat gadis itu lupa pada gusarnya beberapa menit lalu.

Sampai akhirnya, cahaya neon dari papan stasiun terlihat di kejauhan. Orang-orang bergegas, beberapa menenteng koper, sebagian lain berpayung, semuanya larut dalam hiruk-pikuk sore yang basah.

Arthur memperlambat langkah, menyesuaikan dengan Nura.

“Kereta kamu jam berapa?” tanyanya, dengan suara yang tetap tenang.

“Jam delapan kurang sepuluh,” jawab Nura sambil melirik papan jadwal.

Arthur mengangguk pelan. “Kebetulan sama. Tapi… jalurnya pasti beda, kan?”

Hening sesaat tercipta. Hanya suara hujan yang masih menetes dari pinggiran atap stasiun, menemani jeda itu.

Mereka berdiri di depan pintu masuk, payung hitam masih menaungi. Nura tahu, sebentar lagi mereka harus berpisah. Ada rasa aneh yang hinggap—bagaimana bisa seseorang yang baru ia kenal terasa begitu dekat dalam hitungan menit?

Arthur melipat payungnya perlahan, lalu menoleh. Tatapannya dalam, namun tetap sederhana.

“Kalau memang semesta yang bikin kita ketemu, mungkin kita bakal ketemu lagi” ucapnya pelan, nyaris seperti gumaman.

Nura terdiam. Bibirnya hendak membuka, tapi tak ada kata yang bisa keluar. Ia hanya bisa mengangguk kecil, menahan sesuatu yang tiba-tiba mengganjal di dadanya.

Kereta mereka diumumkan hampir bersamaan. Dan di sana, di antara ramainya stasiun, langkah mereka akhirnya terpisah.

Nura menuju jalurnya, dan Arthur juga menuju jalurnya sendiri.

Namun, sebelum benar-benar hilang dalam kerumunan, Nura sempat menoleh sekali lagi.

Arthur juga menoleh pada waktu yang sama.

Sejenak, seakan dunia berhenti berputar. Hanya tatapan singkat, lalu keduanya kembali berjalan.

Dan di atas sana, hujan yang tak kunjung reda menjadi saksi, bahwa setiap pertemuan—betapapun singkat—selalu menyimpan kemungkinan yang tak bisa ditebak.

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
9 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status