“Waduh.” Andin terbangun. Lalu berjalan mondar-mandir ke sana ke mari. “Nul, gimana ini?” tanya Andin pada inul, ia terlihat sangat cemas.
“Yey anjas, eike dendiin,” (kamu aja, aku dandanin) ujar Inul.
“Apaan sih, Nul?” tanya Anin. Ia nggak ngerti apa yang diucapkan Inul.
“Capcai pakarena!” Inul mendorong Andin masuk ke kamar mandi.
“Apaan lagi sih?” tanya Andin sedikit geram mendengar Inul berbicara bahasa banci. Andin semakin pusing dibuatnya.
“Cepetan pake!” suruh inul dengan tegas sambil mendorong pelan Andin untuk segera masuk ke dalam kamar mandi.
Andin pun segera masuk ke dalam kamar mandi untuk berganti pakaian. Tidak lama kemudian Andin keluar dari kamar mandi sudah menggunakan gaun pengantin berwarna putih yang terlihat terbuka di pinggirannya sehingga tubuh bagian bawah ketiaknya tampak terlihat.
Andin berjalan mendekati meja rias. Ia berdiri di depan cermin. “Ternyata gue cantik juga ya,” ucapnya dengan sangat percaya diri sambil berlenggak-lenggok di depan cermin.
“Seksoy, Bo!” seru Inul. Ia tampak takjub dengan kecantikan Andin.
Gaun pengantin sang kakak tampak sangat pas di badannya. Andin lebih cocok memakai gaun pengantin itu dari pada kakaknya karena Aisyah menggunakan manset tangan panjang sewaktu memakainya sehingga terlihat sedikit aneh.
Aisyah tidak suka baju terbuka. Beda dengan Andin yang sering memakai baju seksi di kesehariannya. Tubuh Andin pun terlihat berisi di bagian tertentu yang membuat ia terlihat sangat montok dan bahenol.
“Kak, Mama buka ya pintunya.” Mama Dhila beserta Bunda Anin masuk ke dalam kamar pengantin.
“Kamu seksi amat, Kak! Emangnya kamu nyaman pake baju terbuka gitu?” tanya Mama Dhila pada Andin yang dia kira Aisyah karena Andin duduk membelakangi sang mama.
“Ini pasti karena bujukan Andin, si perawan centil itu,” tuduh bunda Anin pada sang anak.
"Ya ampun, Bun. Aku 'kan centil karena turunan dari Bunda," ucap Andin dalam hati.
“Buah jatuh nggak jauh dari pohonnya,” sindir Dhila pada Anin sambil tersenyum.
"Tuh 'kan bener," batin Andin.
“Sekarang mah belain terus keponakannya,” ujar Anin pada kakak iparnya sambil mencebikkan bibir.
Dhila tidak mendengarkan ucapan Anin, ia mendekati anaknya. “Rambut kamu kenapa masih berantakan?” tanya sang mama, “Eh ini kayak rambut Andin.” Dhila membelai rambut Andin.
“Sama anak sendiri nggak kenal,” cibir Andin dalam hati.
Dhila memegang bahu Andin lalu memutar tubuh Andin. “Adek!”
Andin menyeringai memperlihatkan deretan giginya yang putih.
“Kenapa Adek yang pake gaun ini? Kakakmu ke mana?” tanya Dhila pada keponakannya.
“Kakak pergi,” jawab Andin.
Anin segera keluar dari kamar pengantian untuk memanggil suami dan kakaknya. Tidak lama kemudian. Anin masuk kembali ke kamar pengantin bersama dengan Rey, Mahendra, Tyas dan Rizky.
Aldin dan Gilang mengikuti orang tua mereka yang tampak panik setelah sang bunda membisikkan sesuatu yang mencurigakan. Mereka mendengarkan percakapan orang tuanya dari balik pintu.
“Bicara yang jelas! Kakakmu Aisyah pergi ke mana?” tanya Mahendra kepada keponakan kesayangannya.
“Kakak pergi ke rumah Kak Fadil,” jawab Andin sambil menundukkan kepala. “Tadi Kak Fadil ngirim pesan ke Kakak, kalo dia nggak datang, Kak Fadil mau bunuh diri,” jelas Andin dengan suara pelan. Ia takut ayahnya marah karena ia membantu kakaknya untuk kabur.
“Fadil siapa?” tanya Mahendra. Ia heran kenapa anaknya pergi meninggalkan pernikahan demi orang lain.
“Kak Fadil itu, pacarnya Kak Aisyah,” jawab Andin dengan tegas.
“Pacar?” tanya Mahendra. Ia terkejut kalau anaknya sudah punya pacar. Ia menyetujui rekan kerjanya untuk menjodohkan sang anak karena ia pikir Aisyah tidak mempunyai seorang pacar.
“Kenapa Kakak nggak bilang kalo dia punya pacar? Dan kenapa dia nggak nolak waktu dijodohkan.” Dhila terduduk di pinggiran tempat tidur. Ia merasa bersalah karena tidak bertanya terlebih dulu kepada anaknya.
“Gimana caranya aku menjelaskan kepada keluarga Mannaf,” ucap Mahendra. Ia bingung dengan situasi ini.
“Apa mereka nggak merasa dipermalukan kalo kita membatalkan pernikahan ini? Sementara para tamu undangan udah hadir,” tanya Dhila. Tatapannya kosong menerawang ke depan.
“Maafin adek.” Andin tertunduk. “Adek yang membantu kakak kabur,” imbuhnya.
“Kalo gitu, Adek aja yang jadi pengantin Haidar. Kita rundingkan dengan Pak Mannaf dan Haidar. Apa dia bersedia kalo pengantin wanitanya ditukar,” usul Rey.
“Ide bagus itu,” sahut Anin.
“Ayah, Bunda,” rengek Andin, “Adek nggak mau nikah sama om-om. Dia ‘kan nggak jauh umurnya sama Ayah,” protes Andin sambil mengerucutkan bibirnya
“Dari pada kamu sama si berandal itu, lebih baik sama Haidar. Anaknya baik, mapan, bertanggung jawab, nggak begajulan seperti pacar kamu itu,” tegas Rey pada putrinya.
Rey pun mengedipkan matanya pada kakak iparnya. Mahendra pun mengerti maksud Rey.
“Pokoknya Adek nggak mau nikah. Adek mau ngelanjutin kuliah,” tegas Andin sambil melipat kedua tanganya di bawah dada.
“Nikahin aja, Yah,” seru Aldin yang baru masuk bersama gilang.
“Bang Al, tolongin Adek!” rengek Andin pada saudara kembarnya.
“Abang setuju kamu yang menikah dengan Bang Haidar. Dari pada kamu sama si Roy, si berandal itu,” ujar Aldin. Ia pun tidak setuju Andin berpacaran dengar Roy.
“Tapi, dia sama aku baik, Bang,” bela Andin.
“Kamu baru pacaran sebulan, belum tahu sifatnya dia,” sahut Aldin.
“Pokoknya Adek nggak mau menikah, titik!” kata Andin dengan tegas.
“Apa kamu mau mempermalukan keluarga kita? Kamu nggak kasihan sama pa-papa?” tanya Mahendra sambil memegangi dada kirinya. Ia hampir saja terjatuh kalo Rey tidak memeganginya.
“Papa kenapa?” tanya Andin pada kakak kandung Bundanya. Andin menghampiri papanya, ia tampak khawatir dengan kesehatan sang papa.
“Lakukanlah permintaan terakhir pa-papa,” ucap sang papa dengan terbata.
Andin tampak bingung. Ia terdiam memikirkan semuanya. ‘Kenapa harus seperti ini?’
“Udah terima aja, kamu nggak kasihan melihat Nenek, Kakek, Opa sama Oma kalo tau pernikahan cucunya dibatalkan?” ujar sang kakak yang membuat Andin bingung.
“Ya udah, Adek mau,” jawab Andin dengan tegas.
“Pengantin yang tertukar,” ledek Gilang pada Andin sambil tertawa.
“Puas-puasain dah lo ngetawain gue. Sebelum gue ganti status sebagai nyonya Haidar. Orang terkeren sejagat, tapi sayang udah tuir.” Andin masih saja menggerutu.
"Dulu, waktu sekolah, kamu juga pernah pacaran sama guru olah raga kamu," tukas Aldin, saudara kembarnya.
"Abang, jangan bahas masa lalu!" protes Andin pada abangnya.
“Mbak, tolong rias dia biar cantik, manglingin,” titah sang bunda pada perias pengantin.
“Okray,” jawab Inul sambil tersenyum centil.
“Nul, dandani aku biar cantik! Walapun aku nggak suka sama calon suamiku, tapi aku ingin menikah sekali seumur hidupku. Jadi, aku harus terlihat cantik di hari pernikahanku ini,” ujar Andin, “Eh, ntar dulu, Nul! Siapa tau si tua bangka itu menolak.”
***
Hai semuanya, salam kenal! Readers MAW mana nih suaranya? Ada di sini nggak ya? Tinggalin jejak dong! Semoga kalian suka dengan ceritaku ini.
Mahendra, Rey dan Rizky segera menemui keluarga Mannaf. Mereka mengajak Haidar dan ayahnya untuk berbicara baik-baik, di ruang kerja Mahendra. “Pak Mannaf, sebelumnya saya minta maaf,” ucap Mahendra saat mereka sudah berada di ruang kerja Mahendra dan duduk saling berhadapan dengan calon besannya. “Minta maaf untuk apa, Pak?” tanya Pak Mannaf, bingung dengan maksud dari Mahendra mengajaknya berbicara serius di saat acara pernikahan sedang berlangsung. “Aisyah, putri saya pergi dari rumah. Jadi, ia tidak bisa menikah dengan anak Bapak. saya sangat menyesal dengan kejadian ini," jawab Mahendra. ia tampak menyesal dengan apa yang terjadi. “Tapi, kalo Haidar dan Pak Mannaf tidak keberatan, kami akan menukar pengantin wanitanya,” sela Rey dengan cepat. “Maksudnya gimana, Pak Rey?” tanya Pak Mannaf semakin bingung. “Anak saya bersedia menggantikan kakaknya sebagai pengantin Haidar,” jelas Rey pada Pak Mannaf sambil melirik Haidar yang duduk
"Nenek!” teriak Andin. Ia mendekati sang nenek karena takut terjadi apa-apa dengan neneknya. Semua orang mendekati Nenek Marisa. Mereka takut sang nenek terkena serangan jantung. Nenek Marisa menghirup udara dalam-dalam kemudian mengembuskannya secara perlahan. “Nenek nggak apa-apa, Sayang,” ucap sang nenek sambil menangkup wajah cantik cucunya. “Mama beneran nggak kenapa-kenapa?” tanya Anin pada mamanya. Ia begitu khawatir dengan keadaan sang mama yang sudah tidak muda lagi. “Kamu maunya Mama kenapa-kenapa?” tanya Nenek Marisa pada sang anak sambil mendelikkan matanya. “Ish, Mama baperan banget deh,” ujar Anin pada sang mama. "Maksudku bukan itu, Ma." “Mama nggak apa-apa. Mama cuma terlalu bahagia, akhirnya Andin menikah. Mudah-mudahan dengan menikah dia nggak berhubungan lagi dengan si berandal itu,” harap Nenek Marisa pada Andin cucunya. “Kenapa sih semua orang nggak ada yang suka sama Roy?” Andin mengerucutkan bibir.
“Adek, udah dong, jangan nangis lagi!” kata sang bunda. Ia menyeka air mata yang menggenang di pelupuk mata Andin. “Cuci muka dulu yuk!” Anin membantu anaknya bangun. Lalu menemaninya ke kamar mandi untuk membersihkan riasannya yang luntur karena air mata. “Adek jangan sedih lagi ya, Mami telepon Kakak dulu,” ucap Tyas menenangkan Andin. Kemudian ia menelpon Aisyah. Sementara Andin di rias ulang setelah mencuci muka. Inul dengan sigap merias ulang sang pengantin. “Cucok meong, Cin,” kata Inul setelah ia selesai merias Andin. “Sayang, Kakak lagi di rumah sakit dan Fadil masuk ICU. Mudah-mudahan ia bisa melewati masa kritisnya, aamiin,” ucap Mami Tyas setelah ia selesai menelpon Aisyah. “Kak Fadil belum mati?” tanya Andin. Ia tampak bahagia mendengar kabar Fadil. Tadinya ia pikir, Fadil sudah meninggal saat sang kakak bilang sudah terlambat. “Sayang, emangnya Fadil hewan!
Haidar duduk di depan penghulu dan calon mertuanya. Ia tampak tenang, tidak sedikit pun ketegangan tergurat di wajahnya. Walapun ia masih terbayang tubuh bahenol calon istrinya, tapi ia menepis semua itu dari bayangannya.Tujuan utama ia menikah adalah untuk memenuhi syarat agar harta warisan sang papi segera jatuh ke tangannya. Ia berjanji tidak akan jatuh cinta pada sang istri nantinya.“Astaga … kenapa gua setegang ini?” ucap Rey dalam hati. Keringat menetes dari pelipisnya.“Kamu kenapa tegang banget, Rey?” bisik Mahendra pada adik iparnya.“Siapa yang tegang,” sangkal Rey. Ia malu mengakuinya.“Lihat calon menantumu! Dia begitu tenang.” Mahendra membandingkan adik iparnya dengan calon menantu untuk meledek Rey.Rey tidak mendengarkan lagi ucapan kakak iparnya. Setelah Pak penghulu selesai membacakan doa, acara ijab kabul segera dimulai.Rey mengulurkan ta
“Tapi, apa, Om?” tanya Andin penasaran. “Kita berdua nggak saling mencintai, tapi jangan pernah merendahkan martabat masing-masing, selama kita masih berstatus suami istri,” tegas Haidar sambil menyentil kening sang istri. “Astaga! Lama-lama benjol jidat gue,” keluh Andin. Ia marah, lalu duduk membelakangi suaminya. Haidar menahan tawanya melihat sang istri marah. “Dasar anak kecil,” gumam Haidar sambil menggelengkan kepalanya. “Dasar berondong alot,” balas Andin. Mereka berdua duduk saling membelakangi seperti anak kecil yang sedang bertengkar. Sisil pergi mengambil makanan untuk sahabatnya. Ia yakin kalo Andin belum makan semenjak turun dari kamarnya. Karena semua keluarganya sedang sibuk dengan para tamu. Sisil menghampiri Aldin yang sedang mengbil kue. “Jangan makan kue itu!” cegah Sisil. Ia melarang Aldin memakan kue klepon. Aldin tidak jadi memakan kue klepon yang sudah berada di depan mulutnya. “Ema
Haidar terkejut melihat bukit kenikmatan di depan matanya. Ia langsung menutup mata kembali. “Pakai bajumu dulu!” titah Haidar dengan suara meninggi.“Aku udah pake baju, Om,” jawab Andin.“Kamu nggak punya baju lagi?” tanya Haidar. Matanya masih terpejam, ia tidak berani membuka matanya. “Itu baju zaman kapan? Udah nggak muat dipake aja,” lanjutnya.“Dasar kolot, ini tuh baju zaman sekarang,” jawab Andin. “Begini nih kalo orang zaman dulu, pikirannya terlalu kolot,” lanjutnya.“Banyak baju model zaman sekarang yang bagus, tapi tetap sopan dan pantas dilihat,” sahut Haidar tidak mau kalah.Walaupun kehidupan Haidar serba mewah, tapi ia tidak suka bermain wanita seperti kebanyakan pemuda sukses lainnya. Ia tidak suka melihat wanita yang terlalu mengumbar tubuh bagian sensistifnya. Lebih tepat
Suara gesekan antara ban mobil dan aspal terdengar begitu ngilu. Haidar mendadak menghentikan laju kendaraannya karena motor Andin tiba-tiba berhenti di depan mobilnya.Andin turun dari motor, berjalan menghampiri mobil yang terus mengikutinya.“Keluar!” Andin memukul kaca mobil tanpa peduli siapa yang berada di dalam mobil tersebut. Ia begitu kesal karena mobil itu terus mengikutinya.Suasana hatinya yang sedang buruk membuat ia tidak bisa mengontrol emosinya. Ia tidak memikirkan kalau yang berada di dalam mobil itu adalah orang jahat.Haidar tersenyum kecil melihat Andin begitu berani menggebrak mobil orang yang tidak dikenalinya. kemudian ia turun dari mobilnya dan menatap tajam pada Andin.Andin tersenyum kecut sambil melipat tangannya di bawah dada saat melihat orang yang keluar dari mobil adalah suaminya sendiri. “Ngapaian, Lo, ngikutin gue?”&n
“Om, mau ngapain?!” Andin sedikit menggeser wajahnya saat wajah sang suami hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya.“Aku cuma mau masang seat belt,” sahut Haidar.“Aku bisa sendiri,” sergah Andin. Ia mendorong tubuh sang suami agar menjauh. “Dasar tukang modus! Pake alasan pasang seat belt,” gerutu Andin sambil memasang seat belt.Haidar memundurkan tubuhnya. Segera ia melajukan mobil menuju rumah tanpa mempedulikan ocehan sang istri.“Kita mau ke mana?” Andin melihat ke luar jendela, memperhatikan jalanan yang bukan menuju rumahnya ataupun rumah Papa Mahendra.“Pulang ke rumahku,” jawab Haidar. Lalu ia kembali fokus pada jalanan di depannya.Andin memiringkan tubuh menghadap sang suami yang duduk di sampingnya sambil menyetir. “Tadi bilang rumah Om satu arah dengan rumah Sisil. Om bohong ‘kan? Tadi tuh sebenarnya lagi ngikutin aku, takut istrimu yang bohay ini dicoel orang.”