Mahendra, Rey dan Rizky segera menemui keluarga Mannaf. Mereka mengajak Haidar dan ayahnya untuk berbicara baik-baik, di ruang kerja Mahendra.
“Pak Mannaf, sebelumnya saya minta maaf,” ucap Mahendra saat mereka sudah berada di ruang kerja Mahendra dan duduk saling berhadapan dengan calon besannya.
“Minta maaf untuk apa, Pak?” tanya Pak Mannaf, bingung dengan maksud dari Mahendra mengajaknya berbicara serius di saat acara pernikahan sedang berlangsung.
“Aisyah, putri saya pergi dari rumah. Jadi, ia tidak bisa menikah dengan anak Bapak. saya sangat menyesal dengan kejadian ini," jawab Mahendra. ia tampak menyesal dengan apa yang terjadi.
“Tapi, kalo Haidar dan Pak Mannaf tidak keberatan, kami akan menukar pengantin wanitanya,” sela Rey dengan cepat.
“Maksudnya gimana, Pak Rey?” tanya Pak Mannaf semakin bingung.
“Anak saya bersedia menggantikan kakaknya sebagai pengantin Haidar,” jelas Rey pada Pak Mannaf sambil melirik Haidar yang duduk di samping ayahnya. Entah apa tanggapan Pak Mannaf nanti, ia tidak peduli yang penting keluarganya sudah memberikan solusi buat masalah ini.
“Gimana Haidar? Apa kamu masih mau meneruskan pernikahan ini?” tanya Pak Mannaf pada anaknya.
“Terserah Papi aja! Dengan Aisyah pun aku belum kenal, jadi dengan siapapun aku menikah sama aja, nggak ada pengaruh buat aku,” jawab Haidar. Ucapannya terkesan dingin dan angkuh.
“Sama siapa pun aku menikah, aku nggak peduli yang penting bisa dapat semua warisan Papi. Kalo udah dapat, aku bakal tendang itu cewek,” ujar Haidar dalam hatinya.
Haidar Mannaf adalah pemuda yang dingin terhadap wanita. Tujuan hidupnya hanyalah menimbun uang sebanyak-banyaknya.
“Cocok nih sama Andin, keponakan kesayangan gue, yang centil dan bar-bar. Siap-siap bucin aja lo Haidar. Gue yakin Andin akan membuat hidup lo menjadi nggak tenang,” ucap Rizky dalam hati sambil tersenyum menahan tawanya.
Andin adalah gadis cantik yang bar-bar, tidak ada yang bisa menolak pesonanya. Dia adalah jiplakan dari sang Bunda Anin.
Ia membayangkan bagaimana bar-barnya sang keponakan. Walaupun begitu, tidak ada yang tidak suka sama dia. Dia gadis yang menyenangkan. Walau kelakuannya sangat menyebalkan untuk orang seperti Haidar.
“Baiklah, saya setuju Pak Rey,” ucap Pak Mannaf sambil tersenyum.”Yang penting saya bisa berbesan dengan keluarga ini. Mudah-mudahan bisa mengubah sifat anak saya yang keras kepala,” ujar Pak Mannaf sambil melirik anaknya yang hanya diam saja.
“Baiklah, Pak. Saya akan mengurus semuanya,” ucap Mahendra.
Setelah selesai berunding. Mereka semua keluar dari ruang kerja Mahendra.
“Mahendra, Rey dan Rizky kembali masuk ke dalam kamar pengantin.
“Haidar udah setuju menikah dengan Andin,” ujar Mahendra sambil tersenyum.
“Rias bidadariku secantik mungkin!” titah Rey pada Inul.
“Okray,” sahut Inul sambil tersenyum. “Yuk, Cin!” Inul mengajak Andin untuk duduk di depan meja rias.
“Bun, masa Bunda nggak kasihan sama anaknya sendiri,” rengek Andin, “Kita nggak kenal satu sama lain. Apa pernikahanku bakal bahagia?” Andin masih merayu sang bunda agar ia bia terlepas dari pernikahan dadakan ini.
“Bunda, sayang sama kamu, Dek. Makanya bunda lebih memilih Bang Haidar untuk jadi suami kamu dari pada si berandal itu,” ujar Aldin, saudara kembar Andin.
“Bang Al, nggak ngerasain gimana rasanya dijodohin,” sahut Andin sambil mengerucutkan bibirnya.
“Abang malah minta dijodohkan aja. Abang yakin pilihan orang tualah yang terbaik,” ujar Aldin pada adeknya yang membuat Andin langsung terdiam.
Di antara mereka berdua Andin yang lebih bar-bar, sedangkan Aldin dia pendiam dan sangat dingin. Tidak banyak tingkah dan tidak banyak teman juga. Aldin termasuk pemilih dalam berteman. Tidak seperti adiknya yang berteman dengan siapa aja.
“Ini baru anak bunda.” Anin memeluk Aldin. Lalu menciumi Aldin dengan gemasnya.
“Bunda, Abang udah gede. Malu kalo dicium kayak anak kecil begitu,” protes Aldin. Kemudian ia mengelap pipinya yang sudah pasti ada bekas lipstik sang bunda.
“Terus aku anak siapa?” rengek Andin. Ia cemburu melihat sang bunda lebih sayang pada abangnya.
“Kamu anak Ayah, Sayang.” Rey memeluk Andin. “Jadilah anak yang berbakti!” bisik sang ayah di telinga Andin.
“Iya, Yah,” jawab Andin, “Tapi, apa aku bisa membuat suamiku jatuh cinta padaku, sedangkan aku sendiri nggak cinta sama dia. Aku tuh pengin kayak Ayah dan Bunda yang saling mencintai.” Andin melepas pelukan sang ayah. Lalu menatap bunda dan ayahnya secara bergantian.
“Kamu pasti bisa, Sayang! Nggak ada yang bisa menolak pesonamu.” Rizky mencolek hidung mancung keponakan tersayangnya. Kemudian memeluk Andin dan mencium puncak kepalanya.
“Minta ajarin sama Bunda kamu! Gimana caranya bunda meluluhkan Ayah Rey yang dingin seperti gunung es,” bisik Tyas di telinga keponakannya.
Mata Andin membulat sempurna. Ia melepas pelukan papinya. “Apa Bunda dan Ayah juga dijodohkan?!” tanya Andin. Ia penasaran dengan awal kisah cinta orang tuanya.
“Lebih tragis dari perjodohanmu,” sahut Bunda Anin, “Makanya kamu mau ya menikah dengan Haidar! Taklukan para cowok yang anti cewek! Buat dia mengemis-ngemis cinta kita. Seperti Ayah dulu,” ujar Anin sambil melirik suaminya.
“Siap, Bunda!” ucap Andin dengan tegas sambil tersenyum.
“Semangat, Sayang,” seru semua orang yang ada di situ untuk menyemangati Andin.
Walaupun Andin merupakan jiplakan sang bunda Anin, tapi sikapnya yang baperan dan mudah terpengaruh sangat mirip dengan sang ayah.
Andin menganggukkan kepalanya. “Ayo, Nul. Rias aku secantik mungkin supaya si gunung es tuir itu klepek-klepek melihat bidadari dari keluarga Pradipta,” ucapnya dengan percaya diri.
Semua orang tampak menahan senyumnya, melihat Andin yang mirip sekali dengan ayahnya yang mudah sekali untuk dipengaruhi.
“Andin mirip banget sama kamu, Sayang,” bisik Anin di telinga Rey.
“Dia, anakku, Bun,” sahut Rey sambil tertawa pelan.
Andin dirias dengan riasan yang natural. Namun, terlihat sangat cantik dan menawan. Rambutnya hanya di sanggul sederhana dan ditambah kain veil berwarna senada dengan gaun pengantin.
Anin terlihat sangat elegan ditambah dengan perhiasan yang berkilau.
“Yey, cakra birawa,” ujar Inul saat Andin selesai dirias.
“Apa lagi tuh?” tanya Andin. “Aku bingung sama bahasa kamu, Nul.”
“Kamu, cantik banget,” jawab Inul sambil tertawa pelan.
“Aku udah cantik dari orok! Lihat aja Bunda dan ayahku, cantik dan ganteng ‘kan? Kalo aku jelek, bakal nggak diakuin sama mer eka,” sahut Andin yang membuat semua orang tertawa.
Nenek Marisa dan Kakek Herman masuk ke dalam kamar pengantin. “Sayang, cucu nenek yang cantik, ayo kita keluar!” Nenek Marisa memutar Andin sehingga berhadapan dengannya.
“Andin!” ucap nenek Marisa sambil memegangi dadanya.
***
Mohon kritik dan sarannya! Silakan sertakan di kolom komentar. Kalo ada yang nggak ngerti bahasa bangsa cowok setengah matang, boleh ditanyakan di kolom komentar. Semoga kakak-kakak sekalian suka dengan ceritanya.
"Nenek!” teriak Andin. Ia mendekati sang nenek karena takut terjadi apa-apa dengan neneknya. Semua orang mendekati Nenek Marisa. Mereka takut sang nenek terkena serangan jantung. Nenek Marisa menghirup udara dalam-dalam kemudian mengembuskannya secara perlahan. “Nenek nggak apa-apa, Sayang,” ucap sang nenek sambil menangkup wajah cantik cucunya. “Mama beneran nggak kenapa-kenapa?” tanya Anin pada mamanya. Ia begitu khawatir dengan keadaan sang mama yang sudah tidak muda lagi. “Kamu maunya Mama kenapa-kenapa?” tanya Nenek Marisa pada sang anak sambil mendelikkan matanya. “Ish, Mama baperan banget deh,” ujar Anin pada sang mama. "Maksudku bukan itu, Ma." “Mama nggak apa-apa. Mama cuma terlalu bahagia, akhirnya Andin menikah. Mudah-mudahan dengan menikah dia nggak berhubungan lagi dengan si berandal itu,” harap Nenek Marisa pada Andin cucunya. “Kenapa sih semua orang nggak ada yang suka sama Roy?” Andin mengerucutkan bibir.
“Adek, udah dong, jangan nangis lagi!” kata sang bunda. Ia menyeka air mata yang menggenang di pelupuk mata Andin. “Cuci muka dulu yuk!” Anin membantu anaknya bangun. Lalu menemaninya ke kamar mandi untuk membersihkan riasannya yang luntur karena air mata. “Adek jangan sedih lagi ya, Mami telepon Kakak dulu,” ucap Tyas menenangkan Andin. Kemudian ia menelpon Aisyah. Sementara Andin di rias ulang setelah mencuci muka. Inul dengan sigap merias ulang sang pengantin. “Cucok meong, Cin,” kata Inul setelah ia selesai merias Andin. “Sayang, Kakak lagi di rumah sakit dan Fadil masuk ICU. Mudah-mudahan ia bisa melewati masa kritisnya, aamiin,” ucap Mami Tyas setelah ia selesai menelpon Aisyah. “Kak Fadil belum mati?” tanya Andin. Ia tampak bahagia mendengar kabar Fadil. Tadinya ia pikir, Fadil sudah meninggal saat sang kakak bilang sudah terlambat. “Sayang, emangnya Fadil hewan!
Haidar duduk di depan penghulu dan calon mertuanya. Ia tampak tenang, tidak sedikit pun ketegangan tergurat di wajahnya. Walapun ia masih terbayang tubuh bahenol calon istrinya, tapi ia menepis semua itu dari bayangannya.Tujuan utama ia menikah adalah untuk memenuhi syarat agar harta warisan sang papi segera jatuh ke tangannya. Ia berjanji tidak akan jatuh cinta pada sang istri nantinya.“Astaga … kenapa gua setegang ini?” ucap Rey dalam hati. Keringat menetes dari pelipisnya.“Kamu kenapa tegang banget, Rey?” bisik Mahendra pada adik iparnya.“Siapa yang tegang,” sangkal Rey. Ia malu mengakuinya.“Lihat calon menantumu! Dia begitu tenang.” Mahendra membandingkan adik iparnya dengan calon menantu untuk meledek Rey.Rey tidak mendengarkan lagi ucapan kakak iparnya. Setelah Pak penghulu selesai membacakan doa, acara ijab kabul segera dimulai.Rey mengulurkan ta
“Tapi, apa, Om?” tanya Andin penasaran. “Kita berdua nggak saling mencintai, tapi jangan pernah merendahkan martabat masing-masing, selama kita masih berstatus suami istri,” tegas Haidar sambil menyentil kening sang istri. “Astaga! Lama-lama benjol jidat gue,” keluh Andin. Ia marah, lalu duduk membelakangi suaminya. Haidar menahan tawanya melihat sang istri marah. “Dasar anak kecil,” gumam Haidar sambil menggelengkan kepalanya. “Dasar berondong alot,” balas Andin. Mereka berdua duduk saling membelakangi seperti anak kecil yang sedang bertengkar. Sisil pergi mengambil makanan untuk sahabatnya. Ia yakin kalo Andin belum makan semenjak turun dari kamarnya. Karena semua keluarganya sedang sibuk dengan para tamu. Sisil menghampiri Aldin yang sedang mengbil kue. “Jangan makan kue itu!” cegah Sisil. Ia melarang Aldin memakan kue klepon. Aldin tidak jadi memakan kue klepon yang sudah berada di depan mulutnya. “Ema
Haidar terkejut melihat bukit kenikmatan di depan matanya. Ia langsung menutup mata kembali. “Pakai bajumu dulu!” titah Haidar dengan suara meninggi.“Aku udah pake baju, Om,” jawab Andin.“Kamu nggak punya baju lagi?” tanya Haidar. Matanya masih terpejam, ia tidak berani membuka matanya. “Itu baju zaman kapan? Udah nggak muat dipake aja,” lanjutnya.“Dasar kolot, ini tuh baju zaman sekarang,” jawab Andin. “Begini nih kalo orang zaman dulu, pikirannya terlalu kolot,” lanjutnya.“Banyak baju model zaman sekarang yang bagus, tapi tetap sopan dan pantas dilihat,” sahut Haidar tidak mau kalah.Walaupun kehidupan Haidar serba mewah, tapi ia tidak suka bermain wanita seperti kebanyakan pemuda sukses lainnya. Ia tidak suka melihat wanita yang terlalu mengumbar tubuh bagian sensistifnya. Lebih tepat
Suara gesekan antara ban mobil dan aspal terdengar begitu ngilu. Haidar mendadak menghentikan laju kendaraannya karena motor Andin tiba-tiba berhenti di depan mobilnya.Andin turun dari motor, berjalan menghampiri mobil yang terus mengikutinya.“Keluar!” Andin memukul kaca mobil tanpa peduli siapa yang berada di dalam mobil tersebut. Ia begitu kesal karena mobil itu terus mengikutinya.Suasana hatinya yang sedang buruk membuat ia tidak bisa mengontrol emosinya. Ia tidak memikirkan kalau yang berada di dalam mobil itu adalah orang jahat.Haidar tersenyum kecil melihat Andin begitu berani menggebrak mobil orang yang tidak dikenalinya. kemudian ia turun dari mobilnya dan menatap tajam pada Andin.Andin tersenyum kecut sambil melipat tangannya di bawah dada saat melihat orang yang keluar dari mobil adalah suaminya sendiri. “Ngapaian, Lo, ngikutin gue?”&n
“Om, mau ngapain?!” Andin sedikit menggeser wajahnya saat wajah sang suami hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya.“Aku cuma mau masang seat belt,” sahut Haidar.“Aku bisa sendiri,” sergah Andin. Ia mendorong tubuh sang suami agar menjauh. “Dasar tukang modus! Pake alasan pasang seat belt,” gerutu Andin sambil memasang seat belt.Haidar memundurkan tubuhnya. Segera ia melajukan mobil menuju rumah tanpa mempedulikan ocehan sang istri.“Kita mau ke mana?” Andin melihat ke luar jendela, memperhatikan jalanan yang bukan menuju rumahnya ataupun rumah Papa Mahendra.“Pulang ke rumahku,” jawab Haidar. Lalu ia kembali fokus pada jalanan di depannya.Andin memiringkan tubuh menghadap sang suami yang duduk di sampingnya sambil menyetir. “Tadi bilang rumah Om satu arah dengan rumah Sisil. Om bohong ‘kan? Tadi tuh sebenarnya lagi ngikutin aku, takut istrimu yang bohay ini dicoel orang.”
Haidar menjatuhkan Andin di tempat tidur. Kemudian ia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi tanpa mempedulikan sang istri.“Abis manis sepah dibuang! Udah nyedot manisnya bibir gue, sekarang gue malah dibuang gitu aja,” oceh Andin. “Dasar Mr. Dolar tua, belagu, nyebelin, pokoknya semua yang jelek-jelek ada di lo, dasar tua bangka.” Andin terus mengumpati suaminya yang sudah masuk ke dalam kamar mandi.Haidar malas meladeni ocehan istrinya. Sebenarnya ia juga menginginkan berciuman lagi dengan sang istri, tapi gengsinya terlalu besar kalo ia harus menjawab ‘Iya aku mau berciuman lagi.’Haidar mencelupkam dirinya ke dalam bathup, berendam air hangat untuk mengendurkan otot-ototnya yang kaku. Badannya terasa sangat lelah, tapi rasa lelahnya terbayarkan oleh ciuman hangat dari sang istri.Ia memejamkan matanya sambil menghirup aroma terapi yang dituangkan ke dalam bathup. Bayangan adegan ciuman dengan sang istri