“Hey, Gunung es! Di mana Andin? Kamu bilang mereka ada di halaman belakang, tapi mana? Nggak ada orang satu pun di sini,” cerocos Sisil pada Aldin.
Aldin dan Sisil berjalan beriringan menuju taman yang ada di halaman belakang rumahnya. Mereka berjalan sambil mengobrol. Walaupun sebenarnya Aldin enggan menjawab setiap pertanyaan Sisil, tapi ia tetap menanggapi setiap ucapan sahabat adiknya itu.
Sisil bertanya pada Aldin untuk menyingkirkan rasa canggungnya. Entah kenapa ia selalu berdebar-debar ketika berada di dekat Aldin.
“Tadi kata Bunda, mereka ada di saung gajebo,” sahut Aldin dengan malas menanggapi ocehan Sisil. Aldin orang yang pendiam, ia tidak suka gadis cerewet seperti Sisil, kecuali saudara kembarnya. Walaupun Andin sangat manja dan berisik, tapi Aldin begitu menyayangi adiknya itu.
“Iya, tapi mereka nggak ada di sini,” kata Sisil sembari menunjuk ke ara
“Ada pasangan baru nih,” kata Bunda Anin sembari tersenyum bahagia melihat putranya menggandeng tangan Sisil. Selama ini Aldin belum pernah mengenalkan seorang gadis sebagai kekasihnya.Bunda Anin merasa senang kalau Aldin dekat dengan sahabat putrinya. Ia sudah mengenal Sisil sejak bersahabat dengan putrinya. Ia gadis yang cocok untuk Aldin, menurutnya.Aldin langsung melepaskan genggaman tangannya. “Apaan sih, Bun. Aku cuma narik tangannya aja supaya dia nggak ganggu Adek sama suaminya yang lagi tidur di saung gajebo,” kilah Aldin. Lalu pergi meninggalkan Bunda Anin dan Sisil setelah melakukan pembelaan.“Beneran juga nggak apa-apa, Bang. Bunda restuin kok,” teriak Bunda Anin sembari tertawa melihat anaknya jadi salah tingkah. “Calon mantu Bunda, temenin masak yuk!” Bunda Anin menarik tangan Sisil agar mengikutinya. Ia ingin mengobrol dengan Si
Aldin datang tiba-tiba saat Sisil dan Bunda Anin sedang membahas dirinya. Sebenarnya dari tadi Aldin mendengar ucapan Bunda dan sahabat adiknya itu, tapi Aldin pura-pura nggak tahu.“Suka sama siapa?” Aldin mengulang pertanyaan yang sama.“Bunda tanya Sisil, suka nggak sama kamu, kata dia cuma suka sebagai teman aja,” jelas wanita cantik itu pada putranya. “Padahal Bunda berharap, kalian saling suka,” imbuhnya dengan pelan.“Aku bukan temannya,” jawab Aldin dengan tegas sembari melirik Sisil. Lalu ia pergi meninggalkan Bunda Anin dan Sisil.“Maafin, Al, ya, Sil,” kata Bunda Anin sembari mengelus punggung tangan Sisil. Ia merasa tidak enak hati dengan Sisil, atas sikap putranya itu.“Nggak apa-apa, Bun,” jawab Sisil. “Aku udah terbiasa dengan sikapnya,” kata Sisil sembari tersenyum manis pada mertu
"Taruhan apa? Siapa yang taruhan?” tanya Bunda Anin sembari melirik Andin lalu melirik Sisil.“Aku sama Sisil,” jawab Andin. “Siapa yang lebih dulu menaklukkan beruang kutub dialah pemenangnya.” Andin berkata dengan semangat sembari memukul lengan Sisil.“Sakit, bego!” umpat Sisil pada Andin. Ia sudah tidak sungkan lagi pada bunda dari sahabatnya.“Beruang kutub, siapa?” tanya Bunda Anin yang merasa bingung dengan apa yang diucapkan putrinya. Ia tidak menghiraukan kelakuan dua perempuan muda itu karena mereka sudah biasa bertingkah seperti itu.“Haidar sama Abang,” jawab Andin. “Siapa yang bisa menaklukkan beruang kutub lebih dulu, dialah pemenangnya,” imbuhnya.“Tapi, kayaknya aku yang menang, Bun. Suamiku udah mulai meleleh,” kata Andin sembari tertawa pelan. “Yang kalah harus menuru
“Heh, oncom, lo mau ngomong apaan?” Sisil menarik tangan Andin. “Awas lo ngomong macam-macam sama Bunda lo!”Andin dan Sisil sangat berisik di dapur. Ada saja yang ia ributkan, yang membuat orang seisi rumah geleng-geleng kepla.“Kalian lagi ngeributin apaan sih?” tanya Bunda Anin pada Andin dan Sisil tanpa melihat ke arah mereka. Ia tetap fokus dengan masakannya.Andin dan Sisil langsung terdiam. “Lo sih!” tukas Sisil sembari melotot pada Andin.“Ini Bun, aku mau ajak Sisil ke belakang, tapi katanya dia nggak enak sama Bunda. Dia mau belajar jadi calon menantu yang baik katanya, Bun,” kata Andin sembari tertawa pelan.Bunda Anin tertawa mendengar ucapan putrinya. Lalu ia mematikan kompor dan berbalik menghadap kedua sahabat itu. “Kamu udah termasuk calon menantu idaman Bunda kok, Sil,” kata Bunda Anin sembar
Andin dan Sisil langsung menghentikan langkah kakinya. Kemudian mereka berbalik badan ke belakang.“Alhamdulillah.” Andin mengelus dadanya. “Aku kira siapa?” ucap Andin pelan. Ia takut kalau Haidar lah yang mendengar pembicaraannya dengan Sisil.“Kamu jangan macam-macam, Dek!” kata Aldin dengan tegas.“Macam-macam gimana? Adek, nggak ngapa-apain,” sahut Andin.“Siapa Zidan?” tanya Aldin pada adiknya. “Kamu udah menikah, Dek, kalau nyari teman tuh jangan sembarangan. Ada hati yang harus kamu jaga.” Aldin menasehati Andin. Ia tidak mau sang adik mendapat masalah nantinya.“Dia teman kuliah aku,” jawab Andin. “Kami nggak ada apa-apa, kok,” imbuhnya.“Mulai sekarang, jauhin Zidan! Jangan sampai dia merusak rumah tangga kamu,” tegas Aldin pada sang adik.
“Kita duduk di situ aja!” kata Aldin sembari menunjuk kursi panjang di bawah pohon mangga. “Aku mau nanya sesuatu.”Aldin berjalan duluan diikuti oleh Sisil yang terpaksa mengikutinya. Sebenarnya Sisil sedang berdebar-debar, penasaran dengan apa yang akan Aldin tanyakan. Ia takut Aldin tahu tentang perasaannya.“Dia mau nanya apa ya?” Sisil bertanya-tanya di dalam hatinya. “Sore-sore olah raga jantung,” gumamya dalam hati.“Ayo duduk, kenapa kamu malah bengong.” Aldin menarik tangan Sisil untuk segera duduk di sampingnya.“Yaelah nih orang bikin gue jantungan aja,” batin Sisil.Sisil mencoba bersikap tenang. Ia tidak mau kalau sampai Aldin tahu jantungnya sedang berolah raga.“Kamu kenapa keringetan kayak gitu?” tanya Aldin pada Sisil yang sedang gugup. Keringat di dahinya men
“Cie … tadi main genggaman tangan, sekarang main gendong-gendongan.” Bunda Anin meledek anaknya yang sedang menggendong Sisil.Sisil membenamkan wajahnya di dada Aldin. Ia merasa malu kalo harus melihat wajah dari bunda laki-laki yang ia cintai.“Bunda, jangan bercanda dulu. Ini Sisil lagi sakit kepalanya,” sahut Aldin. Ia terus melangkah menuju kamarnya tanpa menghiraukan sang bunda.“Astaga,” ucap Bunda Anin. “Bunda ambil kotak obat dulu ya.” Bunda Anin bergegas mengambil kotak obat.Setalah mengambil kotak obat, Bunda Anin bergegas menuju ruang tamu.“Loh, mereka ke mana? Apa Sisil diantar ke rumah sakit? Tapi, aku nggak denger suara mobil Abang,” gumam Bunda Anin.Bunda Anin segera melangkahkan kakinya menuju kamar sang anak. Dengan perlahan membuka kenop pintu kamar putranya. Ia melihat S
"Bun, Sisil kenapa? Kata Bibi, dia sakit.” Andin masuk kamar abangnya dengan tergesa. Ia merasa khawatir mendengar sahabatnya sakit. Padahal, barusan masih sehat-sehat aja.“Aku panggil dokter aja ya,” kata Haidar. Lalu ia pergi ke luar kamar untuk menelpon dokter tanpa persetujuan yang lainnya.“Lo kenapa, Sil?” tanya Andin setelah ia duduk di pinggiran tempat tidur, di samping Sisil. Andin memegangi tangan Sisil. “Tanganmu dingin banget, Sil.”“Nggak apa-apa, gue cuma pusing aja,” jawab Sisil pelan. Ia merasa lemas dan mengantuk. “Kenapa gue jadi pusing beneran,” ucap Sisil dalam hatinya.“Lo istirahat aja!” Andin menyelimuti sahabatnya. “Gue bilang ibu, lo nginep di sini ya,” kata Andin sembari mengeluarkan ponselnya.“Bunda udah nelpon ibunya,” sahut sang bunda ketika Andin hendak menelpon Bu Lastri.“Owh udah ya,” sahut Andin sembari menggaruk kepalanya. “Aku