Home / Horor / Pengantin dari Dunia Gaib / Pengantin Dunia Gaib

Share

Pengantin Dunia Gaib

last update Last Updated: 2025-12-05 13:19:45

Cahaya putih menyilaukan ketika Nara membuka mata. Hutan gelap menghilang; ia kini berada di aula tua rumah Wiradipa, tepat di tempat ritual semalam dilakukan.

Namun ruangan itu berubah.

Dindingnya retak, lantainya dipenuhi serpihan kaca, dan asap melati memenuhi udara seperti kabut tipis. Tidak ada lagi keluarga Wiradipa kecuali Raka, yang terbaring lemah di sampingnya.

“Nara…” Raka memaksakan senyum kecil. “Kita kembali.”

Nara memeluknya erat. “Aku kira kita tidak bisa keluar…”

Raka menyentuh wajah Nara dengan lembut. “Kau memanggilku. Itu yang membuatku bertahan.”

Keheningan menyelimuti mereka sebelum sebuah suara lain muncul.

“Belum selesai.”

Sari berdiri di altar, kali ini tidak seram seperti sebelumnya. Wajahnya pucat, tapi tidak memancarkan kebencian—melainkan duka yang dalam, seperti seorang pengantin yang ditinggal di pelaminan.

Raka berdiri menghadapi Sari. “Apa yang kau inginkan dariku?”

Sari menatapnya lama. “Jawaban.”

Raka terdiam.

“Atau… mungkin kau ingin aku mengatakan sesuatu?” Sari mendekat, gaunnya menyeret lantai tanpa suara. “Bahwa aku dibunuh?”

Nara memegang tangan Raka erat-erat. “Siapa yang membunuhmu, Sari?”

Sari menatap Nara—tatapan yang membuat napasnya tercekat.

“Bukan Raka.”

Ia menoleh ke arah pintu aula. Sesosok bayangan muncul perlahan: Surya, kakak Raka.

Wajahnya tegang, matanya merah penuh rasa bersalah.

“Sudah cukup, Sari,” katanya pelan.

Raka membeku. “Kak… apa maksudnya?”

Surya menunduk. “Aku… tidak bermaksud membunuhnya.”

Nara menahan napas.

Surya melanjutkan, suaranya pecah.

“Di malam itu, Sari melarikan diri. Dia ingin membatalkan pernikahan. Dia tahu keluarga kita menyembunyikan banyak hal. Aku mengejarnya. Kami bertengkar… dia jatuh… dan kepalanya membentur batu. Aku panik. Aku…”

Raka menutup wajahnya. “Kau… membunuh tunanganku?”

“Bukan sengaja!” Surya berteriak. “Aku takut! Aku… aku tidak tahu harus bagaimana. Jadi aku membuatnya terlihat seperti ia ditemukan olehmu.”

Nara melihat Sari. Roh itu memandang Surya dengan campuran amarah dan kesedihan.

“Dan mereka menyalahkanku…” bisik Raka, tubuhnya gemetar. “Bahkan aku sendiri menyalahkan diriku selama ini…”

Sari menatap Raka. “Aku tidak pernah menyalahkanmu.”

Air mata Nara mengalir tanpa ia sadari.

Ada cinta yang sangat dalam namun mustahil di antara manusia dan roh ini.

Sari mendekat. “Yang menahanku bukan dendam pada kalian. Tapi ketidakadilan yang memaksaku tinggal.”

Surya menunduk, tangisnya pecah.

“Aku mohon… ampuni aku…”

Sari memandangnya, lalu menggeleng.

“Aku bukan hakim. Tapi aku bisa memilih untuk melepaskan.”

Ruangan tiba-tiba menjadi hangat. Cahaya putih mulai menyelimuti tubuh Sari. Nara menyadari—ini bukan bentuk roh yang marah, tetapi roh yang akhirnya akan pergi.

Namun sebelum menghilang, Sari menatap Nara penuh arti.

“Nara… Raka butuh seseorang yang bisa membuatnya hidup, bukan yang terus mengingatkannya pada kematian.”

Nara tercekat. “Aku… bukan penggantimu.”

“Bukan,” Sari tersenyum tipis. “Kau adalah dirinya sendiri. Dan itu sudah cukup.”

Cabang gaun putihnya mulai berubah menjadi debu cahaya.

Sari menatap Raka terakhir kali.

“Aku bahagia pernah dicintai olehmu… meski sesaat.”

Raka terisak pelan. “Maafkan aku.”

“Tidak ada yang perlu dimaafkan,” bisik Sari. “Aku akhirnya pulang.”

Dan dalam cahaya putih yang lembut,

perlahan-lahan Sari menghilang, meninggalkan ketenangan yang tidak pernah terasa di rumah itu selama bertahun-tahun.


Ruangan kembali sunyi.

Raka memandangi altar kosong, matanya basah.

Nara berdiri di sampingnya, memegang tangannya erat.

“Dia sudah pergi,” bisik Nara.

Raka mengangguk pelan.

“Ya… tapi dia bukan hanya pergi. Dia akhirnya bebas.”

Surya mendekat, berlutut di depan Raka.

“Maafkan aku…”

Raka menatap kakaknya dengan luka yang dalam, tetapi tidak ada kebencian.

“Kebenaran sudah muncul. Kita tidak bisa kembali ke masa lalu… tapi kita bisa memperbaikinya.”

Surya menangis, menggenggam lengan Raka.

Nara memandang keduanya. Ada duka, ada luka, namun juga ada harapan.

Ketika Raka berdiri dan menatap Nara,

ada sesuatu yang berbeda dalam matanya—tak ada lagi bayang-bayang ketakutan.

Hanya ketulusan.

“Nara,” katanya lembut, “kalau kau tetap ingin pergi… aku tidak akan menahanmu. Tapi jika kau bersedia tinggal…”

Nara menatapnya dengan senyum kecil. “Kutukan sudah hilang, kan?”

Raka mengangguk. “Sudah.”

Nara menarik napas panjang.

“Kalau begitu… mungkin aku bisa belajar mencintaimu. Bukan sebagai penggantinya, tapi sebagai diriku.”

Raka memeluk Nara, erat, dalam, dan hangat—pelukan seorang lelaki yang akhirnya bebas dari bayangan masa lalu.

Dan di luar rumah… angin malam berembus pelan.

Tidak ada tawa gaib.

Tidak ada langkah misterius.

Untuk pertama kalinya dalam tiga tahun,

rumah Wiradipa benar-benar tenang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Wujud Sebenarnya Mulai Terlihat

    Ritual pertama membuat seluruh ruangan terasa berat, seperti udara menjadi lebih tebal dari biasanya. Nara masih bersandar pada Raka, napasnya belum sepenuhnya pulih. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, namun perutnya terasa jauh lebih ringan dibanding sebelum ritual. Beban yang tadinya seperti tangan mencengkeram kini melemah menjadi tekanan lembut.“Aku… merasa dia menjauh sedikit,” bisik Nara, hampir tidak percaya.“Karena ikatan pertamanya sudah putus,” jelas Laksmi. “Tapi dia tidak akan tinggal diam. Dia akan mencoba melakukan serangan balik.”Raka menatap Laksmi. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”“Kita istirahat sebentar,” jawab Laksmi sambil merapikan alat ritualnya. “Setelah itu, kita lihat apakah ada tanda-tanda gangguan. Ritual berikutnya tidak bisa dilakukan langsung—kita harus menunggu agar tubuh Nara tidak rusak.”Nara mengangguk lemah. “Berapa lama aku harus menunggu?”“Paling cepat beberapa jam.” Laksmi memandang keluar jendela. “Tapi melihat betapa gelisahnya

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Ritual Pembersihan Pertama

    Mobil berhenti tepat di depan sebuah gapura kayu tua. Gapura itu dijaga dua patung kecil berbentuk makhluk hutan—bermata bulat, bertaring tetapi tersenyum—ukiran lama yang sudah pudar oleh usia. Lampu-lampu minyak menggantung di sepanjang pagar bambu, membuat suasana desa terlihat seperti tersangkut di antara dunia modern dan masa silam.“Selamat datang di desaku,” ujar Laksmi pelan.Nara memandang sekeliling. Rumah-rumah panggung berdiri berjajar, dikelilingi hutan rimbun dan sungai kecil yang mengalir tenang. Meskipun malam, desa terasa hangat. Namun di balik hangatnya itu, ada sesuatu… sesuatu yang tua dan hidup, seakan desa ini bernapas mengikuti denyut bumi.Raka turun lebih dulu dan membantu Nara. “Kau baik?”“Sedikit pusing,” jawab Nara, memegang perutnya. “Tapi… lebih baik daripada tadi.”Laksmi berjalan di depan, memimpin mereka melewati jalan setapak yang diterangi obor. Penduduk yang masih terjaga memperhatikan mereka dari kejauhan. Sebagian mengangguk hormat pada Laksmi. S

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Desa Belantara & Kekuatan Lama

    Sosok kabut kecil itu melangkah mendekat, perlahan tapi pasti. Setiap langkahnya membuat udara di sekeliling mobil bergetar, seolah kaca tipis yang ditekan dari dua sisi. Raka menahan napas, tangannya tetap memegang setir, tapi mobil tidak ia gerakkan seinci pun.Lampu depan menyorot tubuh kabut itu—tidak padat, namun cukup jelas untuk membentuk siluet anak kecil dengan kepala tertunduk. Di dadanya, cahaya merah samar berdenyut pelan, mirip dengan tanda yang muncul di perut Nara.“Dia mencoba memaksa keluar dari wilayah rumahnya,” gumam Laksmi, matanya menyipit waspada. “Ini… tidak seharusnya mungkin.”Nara menggenggam lengan Raka lebih erat. “Kalau dia berhasil… apa yang terjadi padaku?”“Dia akan punya pijakan lebih kuat di tubuhmu,” jawab Laksmi jujur. “Dan jarak tidak akan berarti lagi. Di mana pun kau berada, dia bisa menyentuhmu.”Raka merasakan amarah dan ketakutan bercampur menjadi satu. “Lalu kita harus menghentikannya sekarang.”Kabut itu berhenti tepat di tengah sorotan lam

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Kedatangan Para Pengamat

    Cahaya-cahaya kecil itu semakin jelas ketika mereka mendekati halaman rumah. Awalnya Alya mengira itu kilatan hewan malam, tetapi semakin dekat, ia melihat bentuknya: titik cahaya bulat sebesar kelereng dengan warna berbeda-beda, melayang tanpa sayap, menyala lembut seperti kunang-kunang namun memiliki pola yang teratur.“Apa itu…?” Alya berbisik, menelan rasa takut yang mulai naik ke tenggorokan.“Mereka Para Pengamat,” jawab Mirza dengan suara yang tiba-tiba berat. “Makhluk-makhluk kecil yang mengikuti getaran energi dari penyatuanmu.”Ardan memperhatikan mereka dengan tajam. “Jika Para Pengamat datang, artinya dunia gaib sedang menilai kita.”Alya melangkah mundur satu langkah. “Menilai… apa maksudnya?”“Menilai apakah penyatuanmu layak diterima atau harus dihentikan,” jawab Mirza tanpa basa-basi.Alya menahan napas. “Dihentikan? Bahkan setelah semua ini?”Mirza mengangguk. “Tidak semua penyatuan manusia dan makhluk gaib dianggap sah. Energi dunia gaib akan memilih—menerima atau me

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Jejak Luka di Antara Dua Dunia

    Rumah itu masih dipenuhi keheningan yang menegangkan setelah bayangan gelap melarikan diri. Lilin-lilin padam, pintu depan rusak parah, dan udara yang tertinggal terasa seperti bekas badai yang baru saja reda. Arya duduk perlahan di lantai, tubuhnya masih bergetar akibat tenaga besar yang mengalir darinya beberapa menit sebelumnya.Alya memandang tangannya—cahaya merah itu sudah menghilang, namun sensasi hangat di kulitnya masih terasa. “Apa… itu benar-benar kekuatanku?” gumamnya ragu.Ardan mendekat, berlutut di depannya. “Ya. Itu bagian dari penyatuan kita.”Alya menatap matanya. Untuk pertama kalinya ia melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya… kagum. Ardan tidak hanya melindunginya—ia terlihat bangga. “Tapi aku tidak mengendalikannya. Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku melakukannya.”Mirza, yang sedang merapikan lingkaran ritual yang hancur, menoleh. “Karena itu bukan muncul dari kekuatanmu semata. Itu respons dari ikatan kalian. Kau bertindak karena terancam… dan ik

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Setelah Cahaya Mereda

    Cahaya merah yang melingkupi Alya dan Ardan perlahan mereda, berubah menjadi kilau lembut seperti bara api yang mulai padam. Ruangan kembali terlihat jelas: lilin-lilin banyak yang tumbang, kertas mantra berserakan, dan udara dipenuhi debu halus yang berkilau.Alya terengah, tubuhnya nyaris ambruk jika Ardan tidak memegangi pinggangnya.“Alya… kau bisa mendengarku?” suara Ardan pelan, namun ditahan oleh kecemasan yang nyata.Alya membuka mata, pandangannya kabur sesaat sebelum akhirnya kembali fokus. “Aku… aku masih di sini.”Mirza mendekat dengan cepat, memeriksa gelang, denyut nadi Alya, dan bekas cahaya yang masih tersisa di udara. “Ritual ini… belum pernah menghasilkan pancaran sebesar itu dalam puluhan tahun,” gumamnya. “Energi yang keluar darimu bahkan melampaui batas normal penyatuan.”Alya memaksakan diri untuk berdiri tegak. “Apa… ritualnya berhasil?”Mirza menatapnya tajam, lalu mengangguk perlahan. “Ya. Ikatanmu dengan Ardan telah terhubung. Setidaknya… setengahnya.”“Seten

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status