Home / Horor / Pengantin dari Dunia Gaib / Malam Penjemputan

Share

Malam Penjemputan

last update Last Updated: 2025-12-05 13:18:40

Gelap.

Tidak ada cahaya.

Tidak ada suara manusia.

Hanya hembusan angin dingin yang menelusup dari segala arah saat Nara membuka matanya. Ia tidak lagi berada di ruang ritual. Lantai semen sudah hilang. Bau dupa dan melati lenyap.

Yang tersisa hanyalah hutan kelam dengan pepohonan tinggi menjulang, seakan mencoba menelan langit.

“Nara!”

Suara Raka terdengar jauh… sangat jauh… seperti dari balik kabut tebal.

Nara berusaha bangkit. Kakinya goyah, kepalanya pusing.

Di antara kabut tipis, ia melihat bayangan putih berdiri beberapa meter di depan—Sari.

Gaun panjangnya seperti helaian kabut sendiri, mengambang tanpa angin. Wajah pucat itu menatap Nara… bukan dengan amarah, melainkan rasa kehilangan yang begitu dalam.

“Kau datang,” bisik Sari.

Suara itu bergema di dalam kepala Nara, bukan lewat telinga.

Nara mundur satu langkah. “Aku tidak ingin berada di sini…”

“Kau yang memanggilku,” jawab Sari. “Saat kau mencoba menjauh dari Raka… hatimu memanggilku.”

“Aku tidak pernah—”

Sari mengangkat tangan.

Hutan tiba-tiba terasa lebih gelap, lebih menekan.

“Raka memilihku,” Sari berbisik. “Tapi aku tidak pernah mendapat kesempatan. Aku mati… sendirian. Tanpa perpisahan. Tanpa penjelasan.”

Air mata hitam mengalir dari matanya.

Nara merasakan sesuatu menusuk dadanya. “Jika kau mencintainya… mengapa kau ingin mengambil nyawanya? Atau nyawa orang lain?”

Sari menunduk, suaranya semakin rapuh.

“Karena… aku tidak diizinkan pergi. Jiwaku tertahan oleh janji keluarga mereka. Aku ingin tenang… tapi mereka memaksaku terus menunggu.”

Nara terdiam.

Jadi bukan hanya dendam… tapi juga kesedihan yang terperangkap.

Sari mendongak perlahan, senyumnya tipis namun menakutkan.

“Dan sekarang… kau pengganti yang dipilihkan untukku. Jika aku tidak mendapatkan pernikahanku… kau yang harus menggantikannya.”

Udara tiba-tiba berubah dingin menusuk.

Akar-akar pohon merayap mendekat ke kaki Nara.

“Nara!!!”

Suara Raka terdengar semakin jelas.

Lari kaki terdengar. Cabang patah. Nafas terengah.

Kabut menipis sedikit, memperlihatkan Raka yang berlari ke arah mereka, wajahnya penuh kepanikan.

“Lepaskan dia, Sari!” teriak Raka.

Sari menatap Raka—dan senyumnya berubah menjadi senyum pahit.

“Raka… kau datang.”

“Aku tidak akan membiarkanmu menyakitinya.”

Sari menggeleng. “Aku tidak ingin menyakitinya. Aku hanya ingin mengambil kembali janjiku yang hilang.”

Raka maju selangkah. “Kalau kau butuh seseorang… ambil aku.”

Nara tersentak. “Raka! Jangan!”

Tapi Sari tidak bergerak.

Wajahnya berubah marah.

“Tidak! Kau sudah meninggalkanku! Kau sudah berjanji… dan kau gagal menepatinya!”

Sari berteriak, suara gaibnya mengguncang tanah.

Akar-akar pohon membelit kaki Raka, menjatuhkannya ke tanah.

Nara berlari ke arahnya, tetapi akar lain menahan tubuhnya.

Ia terjatuh, namun tetap berusaha meraih tangan Raka.

“Raka!!”

“Nara, jangan mendekat!”

Raka berusaha melepaskan diri, tapi akar-akar gaib itu semakin kuat.

Sari melayang mendekati mereka, matanya gelap penuh dendam.

“Jika bukan aku yang menikahinya… maka tidak ada perempuan lain yang boleh.”

Nara menatap Sari dengan air mata bercampur keberanian.

“Aku tidak akan mengambil tempatmu. Aku tidak mau menjadi musuhmu. Tapi jangan ambil Raka! Dia tidak bersalah!”

“Tidak bersalah?” Sari tertawa getir. “Dia membiarkanku mati sendiri!”

“Aku mencoba menolongmu!” balas Raka, suaranya bergetar. “Aku datang terlambat… tapi aku mencoba! Dan aku menyesal setiap hari sejak itu!”

Hutan terdiam.

Sari berhenti bergerak, seolah kata-kata itu menembus sesuatu dalam dirinya.

Air mata hitam kembali mengalir.

Nara memanfaatkan momen itu, meraih tangan Raka sekuat tenaga.

“Aku tidak akan pergi tanpa dia,” bisik Nara.

“Sari… jika kau masih mencintainya, biarkan kami kembali. Kau tidak harus menyakiti siapa pun lagi.”

Kabut mulai berubah warna, dari gelap menjadi pucat.

Hutan bergetar halus.

Sari menatap Nara dan Raka bergantian…

Lalu ia tersenyum—senyum sedih penuh luka.

“Cinta… bukan itu yang membuatku tinggal.”

Sari melayang ke belakang perlahan.

“Yang menahanku adalah… kebenaran yang tidak pernah terungkap.”

Hutan menjadi semakin gelap.

“Dan kalian harus mengetahuinya sebelum aku pergi.”

Akar-akar yang membelit kaki mereka perlahan longgar.

Nara menarik napas lega.

Namun sebelum kabut hilang sepenuhnya, Sari berbisik:

“Seseorang di rumah itu membunuhku.”

Gelap menyelimuti segalanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Wujud Sebenarnya Mulai Terlihat

    Ritual pertama membuat seluruh ruangan terasa berat, seperti udara menjadi lebih tebal dari biasanya. Nara masih bersandar pada Raka, napasnya belum sepenuhnya pulih. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, namun perutnya terasa jauh lebih ringan dibanding sebelum ritual. Beban yang tadinya seperti tangan mencengkeram kini melemah menjadi tekanan lembut.“Aku… merasa dia menjauh sedikit,” bisik Nara, hampir tidak percaya.“Karena ikatan pertamanya sudah putus,” jelas Laksmi. “Tapi dia tidak akan tinggal diam. Dia akan mencoba melakukan serangan balik.”Raka menatap Laksmi. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”“Kita istirahat sebentar,” jawab Laksmi sambil merapikan alat ritualnya. “Setelah itu, kita lihat apakah ada tanda-tanda gangguan. Ritual berikutnya tidak bisa dilakukan langsung—kita harus menunggu agar tubuh Nara tidak rusak.”Nara mengangguk lemah. “Berapa lama aku harus menunggu?”“Paling cepat beberapa jam.” Laksmi memandang keluar jendela. “Tapi melihat betapa gelisahnya

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Ritual Pembersihan Pertama

    Mobil berhenti tepat di depan sebuah gapura kayu tua. Gapura itu dijaga dua patung kecil berbentuk makhluk hutan—bermata bulat, bertaring tetapi tersenyum—ukiran lama yang sudah pudar oleh usia. Lampu-lampu minyak menggantung di sepanjang pagar bambu, membuat suasana desa terlihat seperti tersangkut di antara dunia modern dan masa silam.“Selamat datang di desaku,” ujar Laksmi pelan.Nara memandang sekeliling. Rumah-rumah panggung berdiri berjajar, dikelilingi hutan rimbun dan sungai kecil yang mengalir tenang. Meskipun malam, desa terasa hangat. Namun di balik hangatnya itu, ada sesuatu… sesuatu yang tua dan hidup, seakan desa ini bernapas mengikuti denyut bumi.Raka turun lebih dulu dan membantu Nara. “Kau baik?”“Sedikit pusing,” jawab Nara, memegang perutnya. “Tapi… lebih baik daripada tadi.”Laksmi berjalan di depan, memimpin mereka melewati jalan setapak yang diterangi obor. Penduduk yang masih terjaga memperhatikan mereka dari kejauhan. Sebagian mengangguk hormat pada Laksmi. S

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Desa Belantara & Kekuatan Lama

    Sosok kabut kecil itu melangkah mendekat, perlahan tapi pasti. Setiap langkahnya membuat udara di sekeliling mobil bergetar, seolah kaca tipis yang ditekan dari dua sisi. Raka menahan napas, tangannya tetap memegang setir, tapi mobil tidak ia gerakkan seinci pun.Lampu depan menyorot tubuh kabut itu—tidak padat, namun cukup jelas untuk membentuk siluet anak kecil dengan kepala tertunduk. Di dadanya, cahaya merah samar berdenyut pelan, mirip dengan tanda yang muncul di perut Nara.“Dia mencoba memaksa keluar dari wilayah rumahnya,” gumam Laksmi, matanya menyipit waspada. “Ini… tidak seharusnya mungkin.”Nara menggenggam lengan Raka lebih erat. “Kalau dia berhasil… apa yang terjadi padaku?”“Dia akan punya pijakan lebih kuat di tubuhmu,” jawab Laksmi jujur. “Dan jarak tidak akan berarti lagi. Di mana pun kau berada, dia bisa menyentuhmu.”Raka merasakan amarah dan ketakutan bercampur menjadi satu. “Lalu kita harus menghentikannya sekarang.”Kabut itu berhenti tepat di tengah sorotan lam

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Kedatangan Para Pengamat

    Cahaya-cahaya kecil itu semakin jelas ketika mereka mendekati halaman rumah. Awalnya Alya mengira itu kilatan hewan malam, tetapi semakin dekat, ia melihat bentuknya: titik cahaya bulat sebesar kelereng dengan warna berbeda-beda, melayang tanpa sayap, menyala lembut seperti kunang-kunang namun memiliki pola yang teratur.“Apa itu…?” Alya berbisik, menelan rasa takut yang mulai naik ke tenggorokan.“Mereka Para Pengamat,” jawab Mirza dengan suara yang tiba-tiba berat. “Makhluk-makhluk kecil yang mengikuti getaran energi dari penyatuanmu.”Ardan memperhatikan mereka dengan tajam. “Jika Para Pengamat datang, artinya dunia gaib sedang menilai kita.”Alya melangkah mundur satu langkah. “Menilai… apa maksudnya?”“Menilai apakah penyatuanmu layak diterima atau harus dihentikan,” jawab Mirza tanpa basa-basi.Alya menahan napas. “Dihentikan? Bahkan setelah semua ini?”Mirza mengangguk. “Tidak semua penyatuan manusia dan makhluk gaib dianggap sah. Energi dunia gaib akan memilih—menerima atau me

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Jejak Luka di Antara Dua Dunia

    Rumah itu masih dipenuhi keheningan yang menegangkan setelah bayangan gelap melarikan diri. Lilin-lilin padam, pintu depan rusak parah, dan udara yang tertinggal terasa seperti bekas badai yang baru saja reda. Arya duduk perlahan di lantai, tubuhnya masih bergetar akibat tenaga besar yang mengalir darinya beberapa menit sebelumnya.Alya memandang tangannya—cahaya merah itu sudah menghilang, namun sensasi hangat di kulitnya masih terasa. “Apa… itu benar-benar kekuatanku?” gumamnya ragu.Ardan mendekat, berlutut di depannya. “Ya. Itu bagian dari penyatuan kita.”Alya menatap matanya. Untuk pertama kalinya ia melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya… kagum. Ardan tidak hanya melindunginya—ia terlihat bangga. “Tapi aku tidak mengendalikannya. Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku melakukannya.”Mirza, yang sedang merapikan lingkaran ritual yang hancur, menoleh. “Karena itu bukan muncul dari kekuatanmu semata. Itu respons dari ikatan kalian. Kau bertindak karena terancam… dan ik

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Setelah Cahaya Mereda

    Cahaya merah yang melingkupi Alya dan Ardan perlahan mereda, berubah menjadi kilau lembut seperti bara api yang mulai padam. Ruangan kembali terlihat jelas: lilin-lilin banyak yang tumbang, kertas mantra berserakan, dan udara dipenuhi debu halus yang berkilau.Alya terengah, tubuhnya nyaris ambruk jika Ardan tidak memegangi pinggangnya.“Alya… kau bisa mendengarku?” suara Ardan pelan, namun ditahan oleh kecemasan yang nyata.Alya membuka mata, pandangannya kabur sesaat sebelum akhirnya kembali fokus. “Aku… aku masih di sini.”Mirza mendekat dengan cepat, memeriksa gelang, denyut nadi Alya, dan bekas cahaya yang masih tersisa di udara. “Ritual ini… belum pernah menghasilkan pancaran sebesar itu dalam puluhan tahun,” gumamnya. “Energi yang keluar darimu bahkan melampaui batas normal penyatuan.”Alya memaksakan diri untuk berdiri tegak. “Apa… ritualnya berhasil?”Mirza menatapnya tajam, lalu mengangguk perlahan. “Ya. Ikatanmu dengan Ardan telah terhubung. Setidaknya… setengahnya.”“Seten

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status