Home / Horor / Pengantin dari Dunia Gaib / Rumah Pengantin yang Terikat Janji

Share

Rumah Pengantin yang Terikat Janji

last update Last Updated: 2025-12-05 13:15:48

Jalan menuju rumah keluarga Wiradipa terasa lebih panjang daripada biasanya. Mobil hitam yang menjemput Nara bergerak pelan melewati pepohonan besar yang menaungi jalan desa. Udara pagi tampak berkabut, seolah matahari enggan menyinari perjalanan itu.

Nara duduk di kursi belakang, ditemani ibunya yang tampak terus menahan tangis. Surya Wiradipa mengemudi tanpa banyak bicara, hanya memandangi jalan lurus di depannya dengan ekspresi datar.

“Surya…” Nara memberanikan diri bertanya, “perempuan tadi malam… siapa?”

Surya tidak langsung menjawab. Suara mesinnya terdengar lebih keras dari sebelumnya.

Akhirnya ia berkata pelan, “Kau tak perlu mengingatnya.”

“Tapi aku melihatnya. Dia memanggilku.”

“Tidak semua yang memanggilmu pantas dijawab,” ucap Surya singkat.

Ibunya menggenggam tangan Nara lebih erat. “Nak, dengarkan paman Surya. Jangan banyak bertanya.”

Mereka tidak tahu bahwa kalimat itu justru membuat Nara semakin takut.


Rumah keluarga Wiradipa tampak seperti bangunan megah peninggalan zaman kolonial. Pilar-pilar tinggi berdiri kokoh, namun warna dindingnya kusam oleh usia. Embun pagi membuat halaman terlihat berkilau, tetapi kesan angker tak dapat disembunyikan.

Saat gerbang besi terbuka, angin dingin bertiup dari arah rumah, membuat bulu kuduk Nara merinding.

“Selamat datang,” ucap seorang pelayan tua, wajahnya tanpa ekspresi.

Nara menatap ibunya, berharap sang ibu masuk bersamanya.

Namun ibunya menggeleng cepat.

“Aku… tidak diizinkan masuk,” bisiknya.

Nara tersentak. “Kenapa?”

Surya menjawab sebelum ibunya sempat menjelaskan.

“Rumah ini hanya untuk keluarga inti. Dan calon pengantin.”

Nara mematung. Rasanya jantungnya jatuh ke dasar perut.

Surya memberi isyarat pada pelayan tua itu. “Tunjukkan kamarnya.”

Pelayan itu berjalan perlahan, langkahnya berat seolah menahan sesuatu.

Rumah itu sunyi. Terlalu sunyi.

Tidak ada suara burung, tidak ada aktivitas pelayan lain.

Hanya denting jam dinding tua yang terdengar… lambat, menakutkan, dan seperti memantau.

Di sepanjang lorong, Nara melihat kain putih menutupi cermin-cermin besar.

Setiap cermin ditutupi rapat dengan kain selendang merah darah.

Ia menunjuk salah satunya. “Kenapa ditutup?”

Pelayan itu berhenti, menatap kain merah itu lama.

Baru kemudian ia menjawab, “Pantangan pertama, Neng. Tidak boleh berkaca setelah jam dua belas malam. Roh suka melihat dirinya lewat cermin.”

Nara menelan ludah. “Roh siapa?”

Pelayan itu tidak menjawab. Hanya melanjutkan berjalan.

Mereka tiba di sebuah pintu kayu besar. Pelayan itu membuka pintunya perlahan.

“Inilah kamar Neng Nara. Kamar pengantin.”

Kamar itu luas, indah, dan terlalu rapi.

Ada ranjang kayu berukir, meja rias antik, dan jendela besar yang menghadap kebun belakang rumah. Di meja rias, Nara melihat sesajen kecil berisi bunga melati dan dupa yang sudah padam.

“Untuk apa ini?” tanya Nara.

“Pantangan kedua,” jawab pelayan. “Setiap pengantin harus diberi penjaga. Dupa itu untuk menenangkan mereka.”

“Mereka… siapa?”

Pelayan tua itu kembali terdiam. Ia seperti takut mengatakan sesuatu.

Ia menambahkan, “Pantangan ketiga… Neng tidak boleh membuka pintu belakang rumah, apa pun yang terjadi.”

“Kenapa?”

Pelayan itu menunduk. “Di sana… tempat pertama kali roh itu muncul.”

Nara bergidik ngeri.

Tiba-tiba suara langkah terdengar dari ujung lorong. Mereka menoleh.

Seorang pria berjalan perlahan ke arah mereka. Tinggi, berwajah tenang namun tampak lelah. Mata hitamnya memandang lurus pada Nara.

Surya muncul dari belakangnya.

“Nara,” katanya, “ini Raka.”

Nara menghela napas tanpa sadar.

Pria itu… tampak berbeda dari rumor: tidak dingin, tidak kejam.

Justru ada kesedihan yang begitu dalam di matanya.

Raka mendekat.

“Nara,” suaranya lembut namun berat, “maafkan aku karena kau harus datang ke sini dengan cara seperti ini.”

Nara menatapnya ragu. “Apakah semua ini… karena roh perempuan itu?”

Raka mengembuskan napas dalam-dalam, menunduk.

Dan ketika ia menatap Nara lagi, mata itu dipenuhi rasa bersalah.

“Ya,” jawabnya lirih.

“Dia belum pergi. Dan dia… masih mencintaiku.”


Di luar kamar, angin berdesir keras.

Cermin di ujung lorong bergetar halus—padahal masih tertutup kain merah.

Seolah seseorang… sedang memperhatikan mereka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Wujud Sebenarnya Mulai Terlihat

    Ritual pertama membuat seluruh ruangan terasa berat, seperti udara menjadi lebih tebal dari biasanya. Nara masih bersandar pada Raka, napasnya belum sepenuhnya pulih. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, namun perutnya terasa jauh lebih ringan dibanding sebelum ritual. Beban yang tadinya seperti tangan mencengkeram kini melemah menjadi tekanan lembut.“Aku… merasa dia menjauh sedikit,” bisik Nara, hampir tidak percaya.“Karena ikatan pertamanya sudah putus,” jelas Laksmi. “Tapi dia tidak akan tinggal diam. Dia akan mencoba melakukan serangan balik.”Raka menatap Laksmi. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”“Kita istirahat sebentar,” jawab Laksmi sambil merapikan alat ritualnya. “Setelah itu, kita lihat apakah ada tanda-tanda gangguan. Ritual berikutnya tidak bisa dilakukan langsung—kita harus menunggu agar tubuh Nara tidak rusak.”Nara mengangguk lemah. “Berapa lama aku harus menunggu?”“Paling cepat beberapa jam.” Laksmi memandang keluar jendela. “Tapi melihat betapa gelisahnya

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Ritual Pembersihan Pertama

    Mobil berhenti tepat di depan sebuah gapura kayu tua. Gapura itu dijaga dua patung kecil berbentuk makhluk hutan—bermata bulat, bertaring tetapi tersenyum—ukiran lama yang sudah pudar oleh usia. Lampu-lampu minyak menggantung di sepanjang pagar bambu, membuat suasana desa terlihat seperti tersangkut di antara dunia modern dan masa silam.“Selamat datang di desaku,” ujar Laksmi pelan.Nara memandang sekeliling. Rumah-rumah panggung berdiri berjajar, dikelilingi hutan rimbun dan sungai kecil yang mengalir tenang. Meskipun malam, desa terasa hangat. Namun di balik hangatnya itu, ada sesuatu… sesuatu yang tua dan hidup, seakan desa ini bernapas mengikuti denyut bumi.Raka turun lebih dulu dan membantu Nara. “Kau baik?”“Sedikit pusing,” jawab Nara, memegang perutnya. “Tapi… lebih baik daripada tadi.”Laksmi berjalan di depan, memimpin mereka melewati jalan setapak yang diterangi obor. Penduduk yang masih terjaga memperhatikan mereka dari kejauhan. Sebagian mengangguk hormat pada Laksmi. S

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Desa Belantara & Kekuatan Lama

    Sosok kabut kecil itu melangkah mendekat, perlahan tapi pasti. Setiap langkahnya membuat udara di sekeliling mobil bergetar, seolah kaca tipis yang ditekan dari dua sisi. Raka menahan napas, tangannya tetap memegang setir, tapi mobil tidak ia gerakkan seinci pun.Lampu depan menyorot tubuh kabut itu—tidak padat, namun cukup jelas untuk membentuk siluet anak kecil dengan kepala tertunduk. Di dadanya, cahaya merah samar berdenyut pelan, mirip dengan tanda yang muncul di perut Nara.“Dia mencoba memaksa keluar dari wilayah rumahnya,” gumam Laksmi, matanya menyipit waspada. “Ini… tidak seharusnya mungkin.”Nara menggenggam lengan Raka lebih erat. “Kalau dia berhasil… apa yang terjadi padaku?”“Dia akan punya pijakan lebih kuat di tubuhmu,” jawab Laksmi jujur. “Dan jarak tidak akan berarti lagi. Di mana pun kau berada, dia bisa menyentuhmu.”Raka merasakan amarah dan ketakutan bercampur menjadi satu. “Lalu kita harus menghentikannya sekarang.”Kabut itu berhenti tepat di tengah sorotan lam

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Kedatangan Para Pengamat

    Cahaya-cahaya kecil itu semakin jelas ketika mereka mendekati halaman rumah. Awalnya Alya mengira itu kilatan hewan malam, tetapi semakin dekat, ia melihat bentuknya: titik cahaya bulat sebesar kelereng dengan warna berbeda-beda, melayang tanpa sayap, menyala lembut seperti kunang-kunang namun memiliki pola yang teratur.“Apa itu…?” Alya berbisik, menelan rasa takut yang mulai naik ke tenggorokan.“Mereka Para Pengamat,” jawab Mirza dengan suara yang tiba-tiba berat. “Makhluk-makhluk kecil yang mengikuti getaran energi dari penyatuanmu.”Ardan memperhatikan mereka dengan tajam. “Jika Para Pengamat datang, artinya dunia gaib sedang menilai kita.”Alya melangkah mundur satu langkah. “Menilai… apa maksudnya?”“Menilai apakah penyatuanmu layak diterima atau harus dihentikan,” jawab Mirza tanpa basa-basi.Alya menahan napas. “Dihentikan? Bahkan setelah semua ini?”Mirza mengangguk. “Tidak semua penyatuan manusia dan makhluk gaib dianggap sah. Energi dunia gaib akan memilih—menerima atau me

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Jejak Luka di Antara Dua Dunia

    Rumah itu masih dipenuhi keheningan yang menegangkan setelah bayangan gelap melarikan diri. Lilin-lilin padam, pintu depan rusak parah, dan udara yang tertinggal terasa seperti bekas badai yang baru saja reda. Arya duduk perlahan di lantai, tubuhnya masih bergetar akibat tenaga besar yang mengalir darinya beberapa menit sebelumnya.Alya memandang tangannya—cahaya merah itu sudah menghilang, namun sensasi hangat di kulitnya masih terasa. “Apa… itu benar-benar kekuatanku?” gumamnya ragu.Ardan mendekat, berlutut di depannya. “Ya. Itu bagian dari penyatuan kita.”Alya menatap matanya. Untuk pertama kalinya ia melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya… kagum. Ardan tidak hanya melindunginya—ia terlihat bangga. “Tapi aku tidak mengendalikannya. Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku melakukannya.”Mirza, yang sedang merapikan lingkaran ritual yang hancur, menoleh. “Karena itu bukan muncul dari kekuatanmu semata. Itu respons dari ikatan kalian. Kau bertindak karena terancam… dan ik

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Setelah Cahaya Mereda

    Cahaya merah yang melingkupi Alya dan Ardan perlahan mereda, berubah menjadi kilau lembut seperti bara api yang mulai padam. Ruangan kembali terlihat jelas: lilin-lilin banyak yang tumbang, kertas mantra berserakan, dan udara dipenuhi debu halus yang berkilau.Alya terengah, tubuhnya nyaris ambruk jika Ardan tidak memegangi pinggangnya.“Alya… kau bisa mendengarku?” suara Ardan pelan, namun ditahan oleh kecemasan yang nyata.Alya membuka mata, pandangannya kabur sesaat sebelum akhirnya kembali fokus. “Aku… aku masih di sini.”Mirza mendekat dengan cepat, memeriksa gelang, denyut nadi Alya, dan bekas cahaya yang masih tersisa di udara. “Ritual ini… belum pernah menghasilkan pancaran sebesar itu dalam puluhan tahun,” gumamnya. “Energi yang keluar darimu bahkan melampaui batas normal penyatuan.”Alya memaksakan diri untuk berdiri tegak. “Apa… ritualnya berhasil?”Mirza menatapnya tajam, lalu mengangguk perlahan. “Ya. Ikatanmu dengan Ardan telah terhubung. Setidaknya… setengahnya.”“Seten

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status