Home / Horor / Pengantin dari Dunia Gaib / Legenda Pengantin yang Dibunuh

Share

Legenda Pengantin yang Dibunuh

last update Last Updated: 2025-12-05 13:16:47

Raka duduk di kursi rotan antik di sudut kamar, sementara Nara berdiri kaku di dekat pintu.

Ia ingin pergi, tetapi rasa takut dan penasaran membuatnya tetap di sana.

“Duduklah,” ucap Raka pelan. “Sulit membicarakan ini sambil berdiri.”

Nara menelan ludah, lalu duduk di ujung ranjang. Jarak mereka agak jauh—tetapi suasananya terasa terlalu dekat, terlalu sunyi.

Raka menatap jendela yang tertutup rapat. “Apa yang kau lihat tadi malam… bukan manusia. Dia adalah Sari.”

Nara membeku. Nama itu terasa asing namun menakutkan.

Raka melanjutkan. “Sari adalah tunanganku.”

Nara mengerjap pelan. “Tunang… sebelum aku?”

Raka mengangguk, tetapi ekspresinya sangat jauh, seperti menelusuri luka lama. “Tiga tahun lalu, Sari meninggal. Tepat malam sebelum pernikahan kami.”

Nara merinding. “Bagaimana dia meninggal?”

Raka memejamkan mata. “Itu yang sampai sekarang tidak bisa dijelaskan. Ia ditemukan di dekat pintu belakang rumah ini… tubuhnya kaku, wajahnya pucat, dan tatapannya mengarah ke langit-langit, seolah melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat manusia.”

Pelayan tua yang mengantar Nara sebelumnya berdiri di luar, seperti sengaja menguping meski berpura-pura merapikan kain cermin.

“Sejak malam itu,” lanjut Raka, “rumah ini berubah. Kami mendengar suara langkah, tangisan, dan… kadang seseorang mengetuk pintu kamar tidurku.”

Nara memeluk lengannya sendiri. “Kenapa dia… masih di sini?”

“Karena dia tidak rela,” jawab Surya tiba-tiba dari ambang pintu.

Nara terkejut—ia tidak mendengar Surya datang.

Surya masuk, wajahnya serius. “Sari percaya bahwa pernikahan itu tidak boleh berakhir. Dia tetap menunggu. Dia tetap merasa dirinya pengantin.”

Raka mengangguk pelan. “Dan karena pernikahan kami tidak terjadi… dia menuntut penggantinya.”

“Pengganti?” Nara menatap keduanya dengan mata membesar. “Jadi aku… aku dipilih menjadi pengganti?”

Surya menghela napas panjang. “Bukan kami yang memilih. Dia.”

Jantung Nara berhenti sesaat.

“Sejak malam lamaran tiba, kamu menjadi orang pertama yang bisa melihat bayangannya. Itu tanda bahwa roh itu mengikatmu.”

Nara menggeleng panik. “Tidak! Aku tidak mau menjadi pengantin roh!”

Raka menatapnya, ada rasa bersalah dan iba. “Aku tahu ini tidak adil.”

Nara menahan air mata. “Aku bukan bagian dari keluarga kalian. Kenapa aku yang harus menanggungnya?”

Surya menunduk. “Leganda tua keluarga Wiradipa menyebutkan bahwa roh pengantin akan memilih sendiri ‘pengganti’ yang cocok dengannya. Kami hanya… mengikuti.”

“Tapi ini gila,” Nara berbisik.

Raka beranjak mendekatinya, namun tetap menjaga jarak aman. “Aku tidak ingin menyeretmu ke sini. Tapi… jika kita menolak, dia akan mengambil seseorang. Bahkan bisa saja keluargamu.”

Nara merasa napasnya terhenti. Sari bukan hanya roh cemburu—dia roh yang menuntut korban.

“Bagaimana cara menghentikannya?” tanya Nara.

Raka menggeleng kecewa. “Tidak ada yang tahu. Sejak dulu, setiap pengantin yang dipilih… akhirnya tidak selamat.”

Nara merasa darahnya berhenti mengalir.

Surya menambahkan, “Sari bukan hanya roh penasaran. Dia terikat dendam. Dan dendam itu tidak akan hilang sampai ia mendapatkan apa yang dia mau.”

Nara berdiri gemetar. “Tidak. Aku tidak bisa menikah dengan seseorang yang terikat roh.”

“Sari mencintaiku,” ucap Raka lirih. “Cinta yang berubah menjadi kutukan.”

Suara angin tiba-tiba terdengar dari balik jendela.

Curtain bergetar pelan.

Nara memalingkan wajah reflex.

Namun di kaca jendela yang gelap… ia melihat sesuatu.

Seorang perempuan—bergaun putih, rambut panjang menutupi wajah—berdiri di luar.

Kepalanya miring… sangat miring… seperti tulangnya patah.

Nara menjerit kecil.

Raka langsung melihat ke jendela, tetapi sosok itu sudah hilang.

“Dia datang karena kita membicarakannya,” bisik Surya.

Nara menggigit bibir hingga terasa asin. “Kenapa dia memandangku seolah aku merebut sesuatu darinya?”

Raka menatap Nara dalam-dalam, matanya sendu.

“Karena,” katanya pelan, “di matanya… kau adalah perempuan yang mengambil tempatnya.”

Dan saat itu juga, Nara sadar—
Cinta yang mati tidak kalah berbahaya dari kebencian.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Wujud Sebenarnya Mulai Terlihat

    Ritual pertama membuat seluruh ruangan terasa berat, seperti udara menjadi lebih tebal dari biasanya. Nara masih bersandar pada Raka, napasnya belum sepenuhnya pulih. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, namun perutnya terasa jauh lebih ringan dibanding sebelum ritual. Beban yang tadinya seperti tangan mencengkeram kini melemah menjadi tekanan lembut.“Aku… merasa dia menjauh sedikit,” bisik Nara, hampir tidak percaya.“Karena ikatan pertamanya sudah putus,” jelas Laksmi. “Tapi dia tidak akan tinggal diam. Dia akan mencoba melakukan serangan balik.”Raka menatap Laksmi. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”“Kita istirahat sebentar,” jawab Laksmi sambil merapikan alat ritualnya. “Setelah itu, kita lihat apakah ada tanda-tanda gangguan. Ritual berikutnya tidak bisa dilakukan langsung—kita harus menunggu agar tubuh Nara tidak rusak.”Nara mengangguk lemah. “Berapa lama aku harus menunggu?”“Paling cepat beberapa jam.” Laksmi memandang keluar jendela. “Tapi melihat betapa gelisahnya

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Ritual Pembersihan Pertama

    Mobil berhenti tepat di depan sebuah gapura kayu tua. Gapura itu dijaga dua patung kecil berbentuk makhluk hutan—bermata bulat, bertaring tetapi tersenyum—ukiran lama yang sudah pudar oleh usia. Lampu-lampu minyak menggantung di sepanjang pagar bambu, membuat suasana desa terlihat seperti tersangkut di antara dunia modern dan masa silam.“Selamat datang di desaku,” ujar Laksmi pelan.Nara memandang sekeliling. Rumah-rumah panggung berdiri berjajar, dikelilingi hutan rimbun dan sungai kecil yang mengalir tenang. Meskipun malam, desa terasa hangat. Namun di balik hangatnya itu, ada sesuatu… sesuatu yang tua dan hidup, seakan desa ini bernapas mengikuti denyut bumi.Raka turun lebih dulu dan membantu Nara. “Kau baik?”“Sedikit pusing,” jawab Nara, memegang perutnya. “Tapi… lebih baik daripada tadi.”Laksmi berjalan di depan, memimpin mereka melewati jalan setapak yang diterangi obor. Penduduk yang masih terjaga memperhatikan mereka dari kejauhan. Sebagian mengangguk hormat pada Laksmi. S

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Desa Belantara & Kekuatan Lama

    Sosok kabut kecil itu melangkah mendekat, perlahan tapi pasti. Setiap langkahnya membuat udara di sekeliling mobil bergetar, seolah kaca tipis yang ditekan dari dua sisi. Raka menahan napas, tangannya tetap memegang setir, tapi mobil tidak ia gerakkan seinci pun.Lampu depan menyorot tubuh kabut itu—tidak padat, namun cukup jelas untuk membentuk siluet anak kecil dengan kepala tertunduk. Di dadanya, cahaya merah samar berdenyut pelan, mirip dengan tanda yang muncul di perut Nara.“Dia mencoba memaksa keluar dari wilayah rumahnya,” gumam Laksmi, matanya menyipit waspada. “Ini… tidak seharusnya mungkin.”Nara menggenggam lengan Raka lebih erat. “Kalau dia berhasil… apa yang terjadi padaku?”“Dia akan punya pijakan lebih kuat di tubuhmu,” jawab Laksmi jujur. “Dan jarak tidak akan berarti lagi. Di mana pun kau berada, dia bisa menyentuhmu.”Raka merasakan amarah dan ketakutan bercampur menjadi satu. “Lalu kita harus menghentikannya sekarang.”Kabut itu berhenti tepat di tengah sorotan lam

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Kedatangan Para Pengamat

    Cahaya-cahaya kecil itu semakin jelas ketika mereka mendekati halaman rumah. Awalnya Alya mengira itu kilatan hewan malam, tetapi semakin dekat, ia melihat bentuknya: titik cahaya bulat sebesar kelereng dengan warna berbeda-beda, melayang tanpa sayap, menyala lembut seperti kunang-kunang namun memiliki pola yang teratur.“Apa itu…?” Alya berbisik, menelan rasa takut yang mulai naik ke tenggorokan.“Mereka Para Pengamat,” jawab Mirza dengan suara yang tiba-tiba berat. “Makhluk-makhluk kecil yang mengikuti getaran energi dari penyatuanmu.”Ardan memperhatikan mereka dengan tajam. “Jika Para Pengamat datang, artinya dunia gaib sedang menilai kita.”Alya melangkah mundur satu langkah. “Menilai… apa maksudnya?”“Menilai apakah penyatuanmu layak diterima atau harus dihentikan,” jawab Mirza tanpa basa-basi.Alya menahan napas. “Dihentikan? Bahkan setelah semua ini?”Mirza mengangguk. “Tidak semua penyatuan manusia dan makhluk gaib dianggap sah. Energi dunia gaib akan memilih—menerima atau me

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Jejak Luka di Antara Dua Dunia

    Rumah itu masih dipenuhi keheningan yang menegangkan setelah bayangan gelap melarikan diri. Lilin-lilin padam, pintu depan rusak parah, dan udara yang tertinggal terasa seperti bekas badai yang baru saja reda. Arya duduk perlahan di lantai, tubuhnya masih bergetar akibat tenaga besar yang mengalir darinya beberapa menit sebelumnya.Alya memandang tangannya—cahaya merah itu sudah menghilang, namun sensasi hangat di kulitnya masih terasa. “Apa… itu benar-benar kekuatanku?” gumamnya ragu.Ardan mendekat, berlutut di depannya. “Ya. Itu bagian dari penyatuan kita.”Alya menatap matanya. Untuk pertama kalinya ia melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya… kagum. Ardan tidak hanya melindunginya—ia terlihat bangga. “Tapi aku tidak mengendalikannya. Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku melakukannya.”Mirza, yang sedang merapikan lingkaran ritual yang hancur, menoleh. “Karena itu bukan muncul dari kekuatanmu semata. Itu respons dari ikatan kalian. Kau bertindak karena terancam… dan ik

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Setelah Cahaya Mereda

    Cahaya merah yang melingkupi Alya dan Ardan perlahan mereda, berubah menjadi kilau lembut seperti bara api yang mulai padam. Ruangan kembali terlihat jelas: lilin-lilin banyak yang tumbang, kertas mantra berserakan, dan udara dipenuhi debu halus yang berkilau.Alya terengah, tubuhnya nyaris ambruk jika Ardan tidak memegangi pinggangnya.“Alya… kau bisa mendengarku?” suara Ardan pelan, namun ditahan oleh kecemasan yang nyata.Alya membuka mata, pandangannya kabur sesaat sebelum akhirnya kembali fokus. “Aku… aku masih di sini.”Mirza mendekat dengan cepat, memeriksa gelang, denyut nadi Alya, dan bekas cahaya yang masih tersisa di udara. “Ritual ini… belum pernah menghasilkan pancaran sebesar itu dalam puluhan tahun,” gumamnya. “Energi yang keluar darimu bahkan melampaui batas normal penyatuan.”Alya memaksakan diri untuk berdiri tegak. “Apa… ritualnya berhasil?”Mirza menatapnya tajam, lalu mengangguk perlahan. “Ya. Ikatanmu dengan Ardan telah terhubung. Setidaknya… setengahnya.”“Seten

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status