Sebulan sejak pernikahan Dave dengan Arini, semenjak itu pula Dave jarang sekali pulang ke rumah. Dia hanya menghabiskan waktunya di perusahaan atau di club malam tempatnya dan ketiga sahabatnya sering berkumpul. Arini selalu kesepian sejak mertuanya pergi ke Amerika. Orang tuanyan juga sibuk dengan perusahaan mereka.
Setiap harinya, gadis itu hanya ditemani Mbok Ijah, pembantu rumah tangga di rumah itu. Sesekali Dave pulang hanya untuk mengganti pakaian yang kotor dengan yang bersih. Dia juga sengaja menghindari untuk bertemu dengan Arini. Mungkin hanya dua sampai tiga kali Dave bertemu dengan gadis itu selama sebulan setelah pernikahan mereka. Itu pun ketika berpapasan saja seperti saat Dave hendak masuk ke rumah, sedang Arini keluar.
Malam itu, tepat pukul dua puluh lewat dua puluh lima, Arini termenung sendiri di kamar. Sampai malam kian menghilang. Hening semakin nampak kesunyian. Hanya suara hati yang bising di telinganya. Tanpa ada tautan. Apalagi jawaban. Cahaya rembulan pun di tengah awan yang menemani sang malam yang kian larut. Kesunyian yang menggumpal semakin jelas dirasakan gadis itu. Di malam yang sunyi itu, tiba-tiba saja terdengar suara mobil yang memasuki halaman rumah.
"Ah. Rupanya masih ingat juga dia untuk pulang. Aku pikir dia sudah melupakan rumahnya," gerutu Arini yang mengintip di balik tabir jendela.
Dave yang baru saja kembali dari perusahaan, langsung masuk ke kamar.
"Ke mana dia?" tanya Dave pada dirinya sendiri.
Sebelum tidur, dia terlebih dulu membersihkan diri di kamar mandi baru melemparkan dirinya ke pembaringan, bersiap untuk tidur. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Arini masuk lalu ia duduk di sofa.
"Apakah malam ini mau kembali ke perusahaan lagi?" tanya Arini sembari menyalakan televisi.
"Tidak. Semua sudah selesai," sahutnya. Laki-laki itu mendengkus pelan. "Itulah selama sebulan ini aku jarang pulang. Sebab, aku fokus untuk menyelesaikan perkerjaan yang sempat tertunda akibat mempersiapkan pernikahan. Pernikahan yang seharunya tidak terjadi."
Oh, sakitnya perasaan Arini manakala mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Dave. 'Haruskah hal itu selalu diunkit?' jeritnya dalam hati.
"Oo ... tidurlah. Sepertinya kamu terlihat begitu lelah. Biar malam ini aku akan tidur di sofa."
"Okey," jawab Dave singkat.
'What? Apa-apaan? Tega sekali dia membiarkan seorang gadis tidur di sofa. Sementra dia yang seorang pria justru enak-enakan tidur di kasur yang empuk,' keluh Arini dalam hati.
Melihat Dave sudah tertidur, Arini bangkit dan melangkah ke arah Dave. Gadis itu duduk di samping lelaki itu. Arini menatap wajah pria yang tengah tertidur dengan begitu pulasnya. Tangannya bergerak tanpa sadar menyentuh bibir manis Dave. Dia meraba bibir sang suami dengan telunjuknya.
'Oh, Tuhan ... tampannya lelaki ini. Begitu sempurna bentuk wajah dan tubuhnya. Wanita mana pun yang melihatnya dari jarak sedekat ini pasti akan terpesona dengan keindahan yang bagai bunga poppy ini. Walaupun hanya dapat dilihat saja, tapi tidak dapat disentuh.’
"Ugh!" Tiba-tiba Dave bergerak. Namun, tidak sampai terbangun. Dia hanya merubah posisi tidurnya yang tadi menyamping, kini menjadi terlentang.
Arini semakin mengagumi raut wajah Dave. 'Oh, sungguh tampannya suamiku.' Arini terdiam sesaat. 'What? Suami? Astaga Arini. Sadar Arini ...,' teriak Arini dalam hati. Dia baru sadar akan apa yang dilakukannya. 'Mungkin saja semua ini karena sudah lama aku tidak menyentuh wajah seorang pria,' sambungnya. Gadis cantik itu memang jarang bergaul selama duduk di bangku sekolah atas menengah. Dia hanya bergaul dengan Morgan dan Keysia yang kini menjadi sahabatnya serta seorang laki-laki yang sudah menjadi mantan kekasihnya. Pemuda itu adalah Alfarezi Kavindra. Satu-satunya pewaris perusahaan grup Kavindra. Alfarezi saat ini tengah meneruskan kuliahnya di luar neegri dan memutuskan hubungan dengan Arini waktu itu.
Arini kembali ke sofa. Sekilas gadis itu mengingat masa lalu. Hari itu, sang Surya mulai menutup wajahnya. Perlahan sisi-sisi bumi mulai gelap begitu muramnya. Jalanpun terasa gelap. Mendung-mendungpun berkumpul menambah kegelapan. Angin mendesir menerpa rambut dan menghempas dedaunan.
Di bawah pohon yang rindang, sepasang kekasih sedang bersedih. Dia Arini dan Alfarezi. Saat itu Arini masih duduk di kelas dua sekolah menengah atas. Sedang kekasihnya sudah selesai di universitas. Dan ingin melanjutkan sekolahnya ke luar negri.
"Arini. Maafkan aku. Aku harus melanjutkan sekolahku ke luar negri. Kedua orang tuaku sudah mengaturnya. Sebagai pewaris satu-satunya dari perusahaan, mau tidak mau aku harus mengikuti apa yang diinginkan kedua orang tuaku," tutur Alfarezi.
Gadis cantik yang mengenakan seragam sekolah itu hanya tertunduk menangis.
"Tidak apa-apa. Jika memang harus seperti ini. Sungguh tidak apa- apa. Aku mengerti posisimu," kata Arini mulai terisak pilu.
"Maafkan aku, Arini. Sungguhpun aku mencintaimu."
"Tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Ini untuk sebuah masa depan. Maka seharunya dijalani saja," jawab Arini. Suaranya terdengar parau.
Saat itu Alfarezi benar-benar tidak kuasa melihat gadis yang begitu dicintainya menagis terseduh-seduh. Langsung saja dia memeluk Arini seraya membelai lembut rambutnya.
"Arini. Tunggulah aku. Jika nanti sekolahku telah selesai dan perusahaan sudah di tanganku, aku akan kembali padamu. Aku akan menikahimu Arini," ucap Alfarezi berjanji.
Namun, Arini masih terdiam tidak menjawab. Hanya air matanya yang berderai seolah bisa menjawab bahwa dia tidak rela berpisah dengan Alfarezi. Cinta pertamanya.
"Al ..." hanya itu yang keluar dari bibir mungil Arini. Isak tangisnya semakin pilu.
Sebentar Alfarezi melepaskan pelukannya. Lalu diraihnya kedua pipi gadis itu dan mendekatkan wajahnya ke wajah Arini. Alfarezi hendak mencium bibir kekasihnya itu. Tapi, Arini langsung memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Ah. Mafkan aku, Arini. Aku begitu terbawa suasana," kembali Alfarezi memeluk Arini lembut. Arini mengikut saja. Meskipun perpisahan itu berat baginya, tapi dia juga tidak dapat berbuat banyak. "Aku janji. Ketika di luar negri nanti, aku akan senantiasa menghubungimu dan terus memberi kabar padamu. Tunggulah Aku, Arini. Aku mencintaimu," kata Alfarezi.
Sepasang kekasih itu saling berpelukan erat untuk berpisah. Namun, apa yang tidak diketahui oleh mereka bahwa pelukan itu adalah pelukan terakhir mereka sebagai sepasang kekasih.
Air mata yang jatuh di pipi Arini membuat Dave yang melihatnya bangkit dari tempat tidur. Dia medekati gadis yang tertidur sambil duduk itu.
"Arini. Hal apa yang telah kau lalui ? Sampai kau menangis dalam tidurmu? Sebegitu tidak sukanyakah kau dengan pernikahan kita? Sehingga di dalam tidurpun kau terus menagis seperti ini?"
Pelan-pelan Dave menyeka air mata di pipi Arini. Dia takut gadis itu terbangun. Entah setan apa yang merasuki jiwanya. Dia nekat mendekatkan wajahnya ke wajah gadis yang tertidur pulas itu. Lalu sebuah kecupan mendarat di bibir Arini. Arini bergerak tapi tidak terbangun. Dave langsung tersadar.
'Shit ... apa yang sudah kau lakukan Dave? Ingat siapa dia. Dia bukan milikmu. Kau hanya menjaganya, Dave. Tidak pantas kau berlaku seperti bajingan yang kehausan birahi,' maki Dave pada dirinya sendiri.
Sumpah serapah Dave pada dirinya lantaran sudah berani mencium bibir Arini. Jujur saja, ada sebuah debaran di jantungnnya ketika tadi dia mengecup bibir gadis itu. Sebuah debaran yang entah dari mana datangnya. Yang, membuatnya hampir dikuasai oleh nafsu birahinya.
Tidak mau hal itu terulang lagi, Dave membawa Arini ke tempat tidur. Untuk sesaat Dave memperhatikan tubuh Arini yang dibaringkannya itu. 'Oh, Tuhan indahnya tubuh ini,' kata lelaki itu seraya mengecup kembali bibir Arini. Kali ini Dave bahkan memberanikan tangannya meraba benda kenyal di balik baju tidur berwarna biru kembang-kembang yang dipakai Arini. Remasan Dave yang sedikit menekan membuat Arini mengelinjang dalam tidurnya
"Aaa ...," desah Arini dalam tidurnya.
"Hufff Sialan! Apa yang aku lakukan? Kau sialan, Dave. Bjingan. Arini maafkan aku karena telah mengambil kesempataan saat kau tertidur," ucap Dave bangkit. "Sebaiknya aku mandi," katannya kemudian. Betapa tidak, naluri kelelakiannya sudah benar-benar bangkit.
Baru saja Dave hendak berdiri untuk mandi, tiba-tiba Arini menarik pergelangan tangan Dave sambil berkata, "Jangan pergi. Tolong jangan tinggalkan aku," pinta Arini. Air matanya menetes. "Kumohon jangan pergi. Jangan tinggalkan aku."
Berdetak kencang jantung Dave. Dia tidak mampu untuk bergerak. Langkahnya terpaku ketika Arini menarik pergelangan tangannya. 'Tidak mungkin dia tahu apa yang kulakukan,' batin Dave.
Dave mencoba menerawang. Apakah Arini terbangun? Lelaki itu bernapas lega manakala melihat Arini masih tertidur dengan pulasnya.
"Oh, ternyata dia hanya mengigau."
Namun, Arini masih saja menagis dalam tidurnya. Dave memutuskan untuk berbaring di sampingnya. Lalu Dave memeluk Arini dengan berusaha sebisa mungkin menahan naluri kelelakiannya agar tidak meledak.
******
Di perusahaan Dave bekerja seperti biasanya. Tiba-tiba daun pintu ruangan terbuka, Arvin masuk dan menyapa Dave. Dave membalasnya. Namun, laki-laki itu tetap sibuk dengan dokumen-dokumen yang ada di tangannya."Apa yang membwamu kali ini?" Dave menghentikan pekerjaannya, lalu bertanya pada Arvin."Hanya ingin berkunjung saja," jawab Arvin sembari langsung duduk di sofa yang ada di ruang kerja Dave."Oo ...." Dave kembali bertanya "Bagaimana dengan rumah sakit ayahmu?""Sebagai satu-satunya pewaris perusahaan, tentunya rumah sakit Damian akan menjadi tanggung jawabku." Arvin Damian menjawab sambil menghela napas panjang. Sebenarnya laki-laki itu datang untuk mencurahkan keluh kesahnya pada Dave. Dan sebagai sahabat, Dave menjadi pendengar yang setia.Sebentar, Arvin pamit setelah puas meluahkan isi hatinya, terlebih saat ini Arvin adalah salah satu dokter terkenal dan juga satu-satunya pewaris perusahaan Damian. Perusahaan itu juga memiliki sebuah rumah sakit terbesar di kota Metropoli
Mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Dave, Arini tersipu. Wajahnya semakin merona, jantungnya berdetak tidak menentu."Tapi, jika Arini tidak mengijinkan Mas, Mas akan ber-." Arini memotong perkataan Dave. "Huss! Arini istri Mas, Mas berhak atas Arini," ucap Arini seraya membungkam bibir Dave dengan telunjuknya."Sungguh Arini tidak keberatan?" tanya Dave. Arini tidak menjawab, dia hanya tersenyum sambil mengangguk pelan menandakan bahwa dia mengijinkan Dave untuk melakukan apa saja yang Dave inginkan. Toh dia adalah seorang istri, dan harus melakukan tugas dan kewajibannya. "Jika Arini terpaksa, Mas tidak akan melakukannya.""Mas, lakukanlah. Arini ikhlas sepenuh hati."Setelah mendapat persetujuan Arini, Dave yang sudah berusaha menjaga kewarasannya sejak tadi akhirnya jatuh juga. Laki-laki itu, menjatuhkan ciuman di bibir Arini. Gadis itu hanya diam. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Ada sebuah desiran yang mengalir di aliran darahnya."Pertama kali Mas Deve menyentuh bibir
Perkataan Arini membuat Dave tersadar akan prilakunya. Dave mengatur napas dan meredam emosinya, baru berbalik menatap gadis di sampingnya yang terlihat seperti kebingungan bahkan sedikit takut padanya.Saat Dave mencoba meraih pipi Arini, gadis itu sedikit mundur."Ma-Mas Dave," ucap Arini terbata-bata."Maafkan Mas, Arini." Kata maaf yang keluar dari bibir Dave tidak membuat Arini berdelik sedikitpun. Gadis itu diam dan terus menatap Dave dengan tatapan seolah takut terhadap laki-laki itu.Dave sendiri tidak igin larut dalam situasi yang seperti itu, maka dia langsung saja mengemudikan mobil untuk pulang ke rumah. Dan selama di perjalanan, Arini tidak berucap apapun. Dia hanya menatap wajah Dave yang begitu serius mengemudi seakan mencari tahu mengapa Dave tiba-tiba marah.Setibanya di rumah, Arini langsung turun dari mobil tanpa mengucap sepata kata pun pada Dave. Meski Dave mencoba untuk mamnggilnya, tetap saja gadis itu berlalu.Di kamar Arini merabahkan tubuhnya. Gadis itu masih
"Mas Dave," kata Arini lembut seperti biasa."Ada apa, Arini?""Boleh Arini bertanya?""Apa itu, Arini.""Mas Dave," kata Arini sedikit ragu. "Siapa tamu itu?" tanyanya kemudian."Bukan siapa-siapa," jawab Dave singkat dengan nada datar."Tapi.""Arini, aku sudah selesai, Arini lanjut sarapan sendiri." Dave beranjak meninggalkan Arini sendiri. Sedangkan mbok Ijah yang sejak tadi menunggu di di pintu masuk ruang dapur segera menghampiri Arini setelah memastikan kalau Dave sudah pergi. Wanita paruh baya itu mendekati Arini seraya meraih jemari Arini, dia tahu kalau Arini sedikit kesal lantaran Dave menjawab pertanyaannya dengan nada datar. Laki-laki itu bahkan meninggalkannya sendiri di meja makan."Sabar, Nona Arini," ucap mbok Ijah."Mbok." Arini mendongak menatap mbok Ijah. "Memangnya siapa yang datang, Mbok? Kenapa Mas Dave tiba-tiba berubah seperti itu?" tanyanya kemudian."Maafkan Mbok, Non. Mbok tidak berani, sebaiknya nona Arini jangan bertanya lagi." Mbok Ijiah tidak ingin ikut
Malam hari, seperti biasa Arini menunggu kedatangan Dave dari perusahaan sambil menyiapkan makan malam, lalu Arini duduk di meja makan. Namun, beberapa waktu berlalu, Dave tidak kunjung datang. Arini juga sudah menghubungi Dave, tetapi tidak ada jawaban.Malam kian larut. Dave belum juga pulang. 'Mas Deve, ke mana kamu, kenapa belum pulang?' Batin Arini begitu khawatir. Gadis itu melirik jam dinding yang sudah menunjukan pukul 22:10 malam.Mbok Ijah yang melihat Arini menunggu merasa prihatin, terlebih makanan di meja juga sudah dingin."Mbok, nanti kalau Mas Dave kembali, panaskan saja makanannya. Arini ngantuk, Mbok. Sudah kepengen tidur," kata Arini kepada mbok Ijah."Baik, Nona Arini," jawab mbok Ijah.Arini beranjak dari duduknya lalu masuk ke kamar. Sungguhpun dia sudah lelah menunggu begitu lama. Namun, Dave tidak juga muncul. 'Semoga suamiku dalam lidungan Sang Pencipta,' ucap Arini dalam hati sembari menghela napas, baru dia merebahkan diri di pembaringan.Sementara itu, di w
Pagi hari Dave cepat-cepat ke perusahaan dan tidak sempat sarapan meski Arini sudah menawarinya. Dave hanya memberikan satu kecupan yang melayang di kening Arini.Entah apa yang membuat Dave begitu terburu-buru seperti itu, Arini juga tidak bertanya, 'mungkin hanya masalah pekerjaan yang mendesak,' pikir Arini.~Love is the way you want me, jangan kau pergi jauh, L.o.v.e is the way yo want me, tak perlu kau ulang-ulang lagi.~ (Dering ponsel Arini)."Assalamualaikum, Umi,' sapa Arini ketika panggilan tersambung."Waalaikumsalam, Apa kabar, Arini. Arini sehat?" sahut Lina di ujung telfon."Arini sehat, Umi!""Bagaimana? Bahagia kah, tidak kah, Arini menikah dengan anak Umi?""Arini bahagia, Umi. Mas Dave baik terhadap Arini.""Umi minta maaf pada Arini""Sudahlah, Umi. Tidak perlu dibahas lagi. Arini tidak mempermasalahkannya. Kapan Umi dan Abah kembali?""Umi belum tahu, Abah dan Umi berencana tinggal lebih lama sampai anak Umi yang kabur itu ditemukan."Arini terdiam sejenak, dan perc