Share

Berpura-pura bahagia

Malam hari di kediaman keluarga besar Nero setelah melakukan resepsi pernikahan. Acara resepsi yang digelar dari jam 19:00 sd 22:00 itu begitu melelahkan bagi Arini. Seluruh persendian tulangnya terasa sakit. Ditambah, pernikahan yang tidak seharusnya terjadi. Hal itu semakin membuat Arini lelah.

Demi menghilangkan rasa letihnya, Arini membersihkan diri. Setelahnya, ia duduk di sofa yang ada di kamar Dave. Lantaran begitu lelah, gadis itu langsung tertidur di sofa dengan pulasnya. Tak berselang lama, pintu kamar terbuka. Dave masuk. 

Pria itu mendapati Arini sudah tertidur. Dave menghampiri Arini dan bermaksud memindahkan sang istri ke tempat tidur dengan perlahan. Dave takut jika tiba-tiba Arini terbangun. Tak disangka, gadis itu tidak bergerak sedikit pun. Dave sekilas melihat senyum yang tersirat di bibir gadis itu. 

'Entah apa yang dia pikirkan sampai dia tersenyum dalam tidurnya?' pikir Dave.

Bukan cuma Arina yang kelelahan. Dave pun demikian. Dia berbaring di tempat tidur tepat di samping Arini. Tak lama, ia pun ikut terlelap. Pukul 00:23, Arini tiba-tiba terbangun. Gadis itu terkejut manakala melihat Dave tertidur di sampingnya. 

Wajah mereka bahkan terlalu dekat hingga napas Dave terasa di kulitnya. Hampir saja Arini berteriak jika tidak secepatnya dia membungkam mulutnya dengan dua tangan. Dia takut membuat heboh seisi rumah jika berteriak. Gadis itu terus menutup bibirnya, berharap Dave tidak terbangun.

"Oh my God! Apa ini? Situasi macam apa ini? Dan di mana aku sekarang?" gumam Arini panik.

Arini mencoba bersikap tenang. Dia bangun dari tempat tidur, memilih untuk berpindah tempat untuk tidur di sofa. Belum sempat bangkit, tangan yang begitu hangat menyentuh bagian perutnya dari belakang. Benar saja, itu tangan Dave. Pria itu bahkan meraih Arini ke dalam dekapannya. Lelaki itu memeluknya. Anehnya, Arini hanya terdiam seolah-olah dia menikmati pelukan itu.

"Marisa," ucap Dave dalam tidurnya.

Dalam pelukan Dave, Arini merasa sedikit sulit untuk bernapas. Sampai butiran-butiran bening dari matanya mengalir di pipi, tapi dengan cepat ia segera menyekanya. Arini takut membasahi tangan Dave yang sedang mendekapnya. 

'Marisa? Siapa Marisa? Mungkinkah lelaki pengantin pengganti ini sudah memiliki seseorang?' pikir Arini.

"Oh Tuhan ... cobaan apa apa lagi ini? Kemarin calon suamiku melarikan diri demi wanita lain. Lalu aku dinikahkan dengan lelaki ini. Lelaki yang bahkan juga sudah punya wanita yang dicintainya," keluh Arini.

"Marisa," kembali Dave menyebut nama itu dan Arini hanya diama saja.

Dave terlalu kuat mendekap Arini. Shingga Arini tidak bisa berbuat apa-apa. Gadis itu hanya bisa pasrah dan mencoba menenangkan hatinya sampai dia tertidur dalam dekapan sang suami. Suami yang telah menikahinya sebagai lelaki pengantin pengganti.

Pagi yang indah ketika matahari bersenandung hangat dan langit membiarkan hamparan biru melebar ketika gunung-gunung terjaga diiringi lembutnya angin menyapa. Mentari pagi telah menyibakkan cahanya di ufuk. Malam telah meninggalkan seorang gadis di atas ranjang. Tidak tahu bagaimana hendak dikatakan lewat kata-kata. Arini terbangun masih dalam dekapan Dave. Dia berusaha melepaskan diri. Namun, sungguh semua sia-sia saja. Tanpa pikir panjang, gadis itu mencoba membangunkan Dave

"Ma ... Mas. Aih, susah memanggilanya," kata Arini terbata-bata. Suaranya berat. Gadis itu mencoba bergerak. Berharap bisa lepas dari pelukan Dave. Namun, beberpa kali mencoba, Arini baru bisa lepas ketika Dave pelan-pelan membuka matanya. "Akhirnya kamu bangun juga," kata Arini.

"Apa yang kau lakukan? Mengapa kau memelukku, Arini?" tanya Dave terkejut melihat Arini berada dalam pelukannya.

"What? Di sini bisa dilihat siapa yang memeluk dan siapa yang dipeluk."

Dave berusaha menata pikirannya. Benar saja, memang saat ini dialah yang sedang memeluk Arini. Dia langsung melepaskan sang istri.

"I am sorry, Arini. Last night I was too tired. Sehingga tanpa sadar berbaring di sampingmu," jelas Dave. Namun, Arini tetap diam. "Aku akan mandi. Kau juga berbenahlah. Sebentar lagi kita akan sarapan bersama Abah dan Umi," kata Dave lagi. Kemudian dia bangkit melangkah ke kamar mandi.

Belum bisa menerima Dave membentaknya tadi, Arini hanya diam saja. Sampai dia memberanikan diri untuk bertanya pada Dave yang masih di ambang pintu kamar mandi.

"Emmm ... Ma-Mas ... siapa Marisa?" tanya Arini ragu-ragu.

Langkah Dave terhenti. Seketika raut wajahnya berubah menjadi sangat datar. Dia membalikkan badan dan menatap Arini.

"Apa maksudmu?"

"Si-si ... siapa Marisa?" tanyanya terbata-bata lantaran sedikit tertekan dengan sikap dingin Dave.

"Dari mana kau tahu nama itu?"

"Semalam kamu menyebut namanya saat tertidur."

Dave melangkah lebih mendekat ke arah Arini. Gadis itu kembali berbaring dengan Dave di atasnya.

"Arini. It is not your business. Lalu, tentang siapa Marisa, itu tidak ada hubungannya denganmu," tegas Dave memicingkan matanya menatap Arini. "Dari kemarin kau tidak pernah berbicara kepadaku. Namun, saat kau berbicara, kau justru mempertanyakan siapa Marisa. Arini, berhentilah bersikap seolah-olah kita ini pasangan suami istri yang saling mencintai. Jangan berpikir kau istriku, maka kau bebas bertanya masalah pribadiku."

Arini diserang rasa takut. Gadis itu begitu tertekan. Matanya terasa hangat. Sesaat kemudian, butiran bening jatuh membasahi pipinya.

"Ma ... maafkan aku. Aku … aku … sungguh, aku tidak bermaksud."

"Kau harus ingat! Aku menikahimu bukan karena cinta, melainkan karena Marvin yang kabur di hari pernimahan kalian. Ingat itu, Arini. Jangan menagis lagi. Berbenahlah lalu turun untuk sarapan. Abah dan Umi sudah menunggu," titah Dave.

Setelah meluapkan amarahnya terhadap sang istri, lelaki itu sedikit menyesal dengan perlakuannya. Namun, semua itu dilakukannya semata-mata agar hanya untuk membuat jarak di atara mereka. Dave takut jika dia baik terhdap Arini, maka gadis itu akan menyukainya. Dave sadar kalau dari awal, Arini bukanlah untuknya, melainkan untuk Marvin.

***

Sepasang suami istri yang baru saja menikah itu, bersama-sama menuruni anak tangga lalu melangkah ke arah meja makan. Di sana sudah ada Aldebarnd Nero dan istrinya Lina Nero. Saat berjalan, Dave merangkul pundak Arini. Perlahan, ia berbisik ke telinga gadis itu dengan suara sedikit menekankan.

"Berlakulah selayaknya kita ini pasangan suami istri yang bahagia di hadapan Abah dan Umi," katanya sedikit mencengkram bahu Arini. "Tersenyumlah," suaranya hampir tidak terdengar. Arini hanya mengangguk pelan. Menandakan dia menerima apa yang Dave katakan. Dave dan Arini kemudian duduk untuk ikut sarapan.

"Good morning, Dave, Arini," sapa Aldebarn.

"Morning, Abah," sahut Arini dengan senyum. Manis sekali. Namun, senyum itu hanya penuh dengan kepura-puraan.

"Bagaimana malamnya?"

"Ah ... huk ... huk!" Arini tersendat roti yang baru saja hendak ditelannya.

Melihat itu, Dave langsung memberikan gelas yang berisi susu hangat pada Arini.

"Pelan-pelan makannya. Minum susunya ya?" kata Dave bertingkah solah dia begitu perhatian terhadap Arini selayaknya pengantin baru yang bahagia.

"Kau tidak apa, Arini?" tanya Lina kemudian.

"Tidak apa-apa, Umi. Arini juga sudah minum."

Lina yang melihat putra dan menantunya terlihat bahagia itu, mengumbar senyum. Senyum bahagia seorang ibu kala menyaksikan kebahagiaan anak dan menantunya.

"Abah, enak ya pengantin baru. Saling perhatian. Serasa Umi pengen jadi pengantin baru lagi."

"Jadi maksud Umi, Abah sudah tidak perhatian sama Umi? Sebab, kita sudah lama menikah? Begitu maksud Umi?" Aldebarn menggoda istrinya.

"Ah. Bukan itu. Abah ini. Sudahlah, jangan merusak kebahagian mereka dengan berdebat di meja makan."

Puas menggoda istrinya Aldebarn menatap Dave.

"Dave. Abah harap kamu tetap berlaku seperti itu terhadap istrimu. Abah tidak ingin melihat kalian tidak bahagia. Jika ada masalah dalam rumah tangga, kalian harus menyelesaikannya dengan kepala dingin. Lalu ingat untuk menjaga rumah tangga tetap awet itu, kalian harus saling percaya.”

"Betul apa yang dikatakan Abahmu, Dave. Lihatlah Abah dan Umi. Masih bersama sampai sekarang. Itu semua karena di saat ada masalah, kami senantiasa saling terbuka."

Arini hanya terdiam. 'Oh, benar saja. Haruskah terus seperti ini? Kita kan cuma pura-pura saja. Untuk apa kita saling seterbuka itu?' pikir Arini.

"Arini. Apa kamu mendengarkan apa yang Abah dan Umi katakan?" tanya Lina yang membuat gadis itu kembali sadar atas lamunannya.

"Arini dengar Umi."

"Baiklah. Lanjutkan makan kalian. Abah dan Umi sudah selesai.” Aldebar bangkit disusul istrinya. "Dave. Hari ini kami akan pergi ke luar negri untuk bisnis dalam tiga bulan," jelas Aldebarn.

"Kenapa tiba-tiba?" tanya Dave.

"Ada bisnis yang harus Abah urus di sana. Semenjak kamu menduduki posisi pemimpin di perusahaan, Abah sudah tidak pernah melakukan pekerjaan di sana lagi. Itu karena semuanya sudah kau handle. Rasanya Abah merindukan pekerjaan itu, Dave. Jadi Abah putuskan untuk mengurus perusahaan yang ada di Amrika sekalian mencari adikmu, Marvin."

"Baiklah. Jika itu yang Abah inginkan," jawab Dave"

Arini langsung terkejut manakala mendengar nama 'Marvin' disebut oleh mertuanya. Kenapa harus menyebutkan nama itu? Dia begitu benci dengan nama itu. Marvin Nero. Nama seorang laki-laki yang membuat impianya tentang pernikahan yang bahagia telah hancur berkeping-keping.

******

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status