Share

Menjadi istri yang baik

Pukul tujuh lewat lima detik, Arini terbangun lagi dalam pelukan Dave. Wajahnya terlalu dekat dengan wajah lelaki itu. Sehingga dia merasakan hembusan napas lelaki itu. Dia terus memerhatikan wajah Dave. Jantungnya tiba-tiba berdetak tidak menentu. Gadis cantik itu kemudian membenamkan wajahnya di dada bidang Dave. Untuk sesaat gadis berparas cantik itu menikmati aroma mint. Aroma khas dari tubuh Dave. Untuk sesaat Arini terlena di dalam dekapan lelaki dingin yang begitu tampan, sebelum dia mulai tersadar kembali.

"Aargh!" Teriakan Arini membangunkan Dave.

Dave yang terbangun karena terkejut langsung kalang kabut. "Apa? Apa? Ada apa, apa yang terjadi?" Melihat gelagat Dave seperti itu, tawa kecil keluar dari bibir mungil gadis itu. "Hei, kenapa kau tertawa? Di mana malingnya?" tanya Dave menyapu pandang seluruh ruangan.

"Maling?"

"Bukankah kau berteriak karena ada maling?"

"Ops!" Arini menutup bibirnya. "Sorry, i was just shocked so i shouted."

"Kau ini. Padahal aku baru saja tertidur subuh tadi."

"Apa yang membuatmu sampai tidak bisa tidur?" tanya Arini.

"Semua ini karenamu, Arini."

"Karenaku?" Arini mengerutkan kening, "Apa yang aku lakukan?" lanjutnya.

"Ah, sudahlah. Aku akan mandi kemudian berangkat ke kantor." Dave beranjak dari tidurnya lalu hendak untuk mandi.

"Apakah malam ini Mas Dave akan pulang?" tanya Arini menghentikan langkah lelaki itu.

Dave berbalik menatap gadis itu. Dia seakan tidak percaya bahwa gadis itu berani bertanya padanya.

"Ya," jawab Dave singkat.

Baru kemudian masuk ke kamar mandi. Berlalunya Dave membuat Arini mengembuskan napas lega. “Apa yang salah terhadapku? Mengapa aku bersikap seolah-olah kami adalah pasangan yang saling mencintai? Apa aku sudah jatuh hati kepadanya? Tidak. Itu tidak mungkin,” gumamnya sambil melamun.

Sebuah pesan masuk ke ponsel Arini membuyarkan lamunannya. Dia segera membaca isi pesan itu.

“Arini, Minggu depan Morgan mengadakan acara ulang tahunnya di sebuah Bar xx. Kamu harus datang, ya?” Isi pesan dari Keysia.

Setelah membaca pesan itu, Arini berpikir daripada memikirkan Dave yang tidak begitu penting baginya, dia lebih memilih untuk pergi berbelanja. Tidak lama Dave selesai mandi. Arini yang sudah tidak sabar untuk berbelanja, meraih bathrobe. Dia berlari masuk ke kamar mandi. Bahkan dia sempat menyambar Dave dan tidak memperdulikannya.

"Cih!" Dave mengerutkan kening. "Tidak punya sopan santun."

Tidak mau ambil pusing, Dave lebih memilih untuk berbenah. Sebab, sebentar lagi dia akan ke perusahaan. Namun, baru saja dia mengencangkan dasinya, tiba-tiba lelaki dingin itu dikejutkan oleh suara yang datang dari kamar mandi.

'Apa lagi sekarang?'

"Mas ... help me please," teriak Arini. Tapi Dave mengabaikannya dan terus merapikan pakaian. Hingga beberapa saat, tidak ada lagi suara dari dalam kamar mandi. Ada sedikit rasa khawatir pada diri Dave. Dia mendekat lalu mengetuk daun pintu.

"Arini ... Arini ..." panggil Dave dari luar kamar mandi. Tapi, dia tidak mendengar adanya jawaban dari dalam sana. "Shit! Persetan dengan semuanya," kata Dave lagi memaksa membuka pintu.

Ketika pintu terbuka, Dave sedah mendapati Arini tersungkur di lantai kamar mandi tanpa kain sehelaipun yang menutup tubuhnya. Membuat dia langsung memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Mas Dave. Sakit," ringis Arini.

Dave diam saja. Bukannya dia tidak mau membantu. Hanya saja dia merasa canggung. Betapa tidak, Arini saat ini sedang tidak memakai apa-apa.

Bukan hanya Dave yang canggung. Arini pun demikian juga merasakannya. Tapi harus sampai kapan dia akan terus seperti itu, sedangkan Arini terus merintih kesakitan. Dave Akhirnya tidak bisa menahan untuk tidak membantunya.

"Baiklah. Aku akan menutup mata," kata Dave sembari menggendong Arini ke tempat tidur, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Gadis itu sempat melihat Dave menelan salivanya dan terdapat beberapa butir tetesan keringat di dahi. Bahkan, wajah laki-laki itu sempat merona ketika dia membantunya.

"Thank you."

"No problem."

Dave kemudian meraih tas yang selalu dibawanya ke perusahaan. Belum sempat dia keluar dari kamar, Arini berusaha bangkit untuk menghentikan langkahnya. Tapi karena persendian lututnya masih sakit, gadis itu tersungkur ke lantai.

"Mas Dave," katanya mencoba menggapai tangan Dave.

"Sial. Apa lagi sekarang?"

"Aku ingin berbelanja," kata Arini yang masih berada di lantai.

Mendengar itu, Dave berbalik menatap gadis itu tajam. Tatapannya membuat gadis itu merinding, seakan hendak menerkamnya hidup-hidup. Lelaki itu melangkah ke arahnya. Dia berjongkok seraya meraih dagu gadis itu.

"Jangan menyebabkan banyak masalah. Tetap diam di rumah," kata Dave tegas.

"Tapi."

"Diam."

Dave berlalu meninggalkan Arini yang masih tersungkur di lantai. Sementara dia mulai meneteskan air matanya. Dia merasa sakit hati manakala Dave terus saja membentak. Sedangkan ayah dan bundanya saja tidak pernah melakukan hal yang seperti itu terhadapnya.

Malam hari, Dave kembali dari perusahaan. Nampak seorang gadis cantik berlari ke arahnya ingin membantu dan menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri untuk melayani suami.

"Mas Dave," sapa Arini senyum sembari menarik tas di tangannya. Senyumnya manis sekali.

Dave hanya diam saja. Tapi betapa terkejutnya dia manakala Arini bersimpuh di kakinya sesaat setelah dia merebahkan diri di sofa. Lebih terkejut lagi ketika gadis itu mengangkat kakinya.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Dave menarik kakinya ketika Arini mencoba membantunya melepas sepatunya.

Arini tidak menghiraukan Dave. Gadis itu terus melakukan apa yang ingin dia lakukan. Meski dia tidak mencintai Dave, setidaknya dia ingin melakukan tugasnya sebagai seorang istri. Jujur saja, gadis itu juga tidak ingin melakukan hal tersebut. Hanya saja, siang tadi Laudia menghubunginya dan memintanya supaya dia menjadi istri yang baik. Mau tidak mau, sebagai anak yang berbakti, dia harus menuruti apa yang dikatakan bundanya.

"Berhenti!" bentak Dave bangkit. "Berhenti bersikap seperti istriku. Kau harus ingat apapun yang terjadi, kau dan aku menikah hanya demi menyelamatkan nama baik keluarga. Dan sampai kapanpun tidak akan ada yang terjadi antara kita," katanya dingin.

Baru kemudian meninggalkan Arini sendiri. Sebentar setelah Dave berlalu, Arini menatap jari-jarinya. Matanya terasa hangat. Sedetik kemudian butiran bening jatuh membasahi pipinya. Gadis itu merasa tidak seharusnya Dave seperti itu padanya. Biarpun pernikahan mereka memang hanya untuk menyelamatkan nama kedua keluarga. Gadis itu tentunya juga tahu kalau Dave tak sedikitpun tertarik padanya. Itu dapat disimpulkannya saat Dave tertidur, Arini sering kali mendengar lelaki itu menyebutkan nama seorang perempuan yang Arini tidak tahu siapa perempuan itu. Dia hanya tahu perempuan itu bernama Marissa.

Tidak mau larut dengan kesedihannya, dia beranjak ke kamar. Gadis itu kemudian meminta Dave untuk menjadi imamnya ketika hendak mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa.

"Mas Dave," katanya pelan. "Tuntun Arini menuju syurganya."

Bergetar hati Dave mendengar apa yang dikatakan Arini. Tanpa ragu, lelaki yang selalu bersikap dingin itu mengindahkan apa yang diinginkan Arini.

"Baiklah."

Dave menuntun dan menjadi imam Arini untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.

"Mas Dave," kata Arini menjulurkan tangannya.

Dave meraihnya, membuat gadis itu tersenyum hangat. Manis sekali. Jantung Dave berdetak lebih kencang. Wajahnya yang dingin dan kaku tapi tampan berubah. Dia bahkan salah bertingkah dan nampak begitu kikuk. "Mas, mau makan bersama Arini?" tanya Arini masih dengan senyum hangatnya.

"Boleh."

Arini bangkit, tetapi hal yang tidak terduga terjadi. Gadis itu tidak sengaja menginjak kakinya dan sepersekian detik kemudian, dia sudah berada di pelukan Dave yang belum beranjak. Keduanya saling menatap. Bola mata yang sedikit kecoklatan milik Dave nampak wajah Arini di dalamnya. Begitupun sebaliknya. Ada sedikit getaran yang mengalir di setiap pembuluh nadi. Yang membawa sebuah rasa masuk ke hati. Ada debaran-debaran dari dada keduanya.

******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status