"Nggak mungkin, Meg. Kamu jangan hamil dulu!""Semoga enggak, sih, Mas. Tapi gimana kalau seandainya emang beneran hamil?"Mas Daran mengusap kasar wajahnya. Siapa yang tidak akan frustrasi? Apalagi suamiku seorang perawat, tentu mudah mengetahui siapa ayah biologis dalam kandunganku ini. Lantas haruskah jujur pada keluarga, kemudian menikah dengan dia?Oh, ini berat. Mas Daran sendiri sudah memutuskan untuk hidup melajang. Dia memang yang merenggut kehormatanku pertama kali, tetapi setelah tidur dengan Mas Abryal juga, apa dia akan mempertimbangkan atau justru menolak kasar?Aku perempuan dan di mana-mana dalam kasus yang sama, kamilah yang paling dirugikan. Mas Daran bisa menyangkal untuk sesaat jika mau saat suatu hari nanti kebenaran terungkap. Lagi pula jika dia menikah dengan perempuan lain, mungkin istrinya tidak akan curiga.Mas Daran menatap lekat padaku, sejurus kemudian aku memalingkan pandangan ke luar jendela karena berhasil di buat salah tingkah. "Kamu keberatan kalau ..
"Megy!" Teriakan itu menggema bersamaan dengan tangan aku yang dicekal kuat. Gunting direbut ketika aku membuka mata."Mas Daran?"Dia menggeleng kuat sebagai isyarat bahwa dia tidak memberi izin aku mengakhiri hidup. Dalam satu gerakan, aku sudah berada dalam pelukannya. Tentu hal ini menambah kecurigaan Mas Abryal. Aku pasrah, memejamkan mata untuk sesaat.Tidak kupedulikan hinaan Mas Abryal yang mengatai kami manusia hina. Bahkan sampai lelaki itu pergi, Mas Daran tetap pada posisinya. Untuk waktu yang lama, aku merasa damai.***Tanpa terasa, waktu berputar begitu cepat dan setiap pagi aku harus menahan mual agar keluarga suami tidak curiga. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Mencoba mencari jalan keluar yang sudah pasti buntu?Selain jujur pada mereka, aku tidak akan pernah lepas dari masalah ini. Namun, Mas Daran sudah berjanji ingin membantu meskipun bukan bermaksud akan bertanggungjawab dengan menikah."Aku sudah telat sebulan hari ini, Mas. Kayaknya ... emang lagi hamil."M
"Jujur, aku tinggal di sini itu karena diusir dari rumah. Setelah wisuda, aku ketahuan hamil di luar nikah. Jadi, aku tahu betul gimana orang kalau hamil," lanjut Kania lagi karena aku terpaku memandangnya.Kalau dia pernah hamil, kenapa bapak mertua mau menampungnya di sini? Apa karena rasa kasihan? Namun, sepertinya tidak bagus jika langsung percaya begitu saja. Orang-orang di rumah ini hampir semua bermuka dua.Kembali teringat perkataan Mas Daran tentang dirinya yang seperti diberi obat perangsang malam itu. Jika memang benar, maka siapa yang menjebaknya? Apalagi di saat yang sama, parfum Mas Abryal juga dipakai Mas Daran. Apakah semua memang sebuah kebetulan?Aku memijit kening, melangkah gontai menuju tempat tidur. Andai saja Kania sudah pasti baik dan mendukung aku seperti Mas Daran, aku bisa jujur pada apa yang aku rasakan. Memendam masalah sendirian itu berat dan hanya menambah sesak di dada."Meg, minimal lakukan tes kehamilan. Kalau kamu hamil, mungkin Abryal bisa berubah.
Malam hari, aku yang baru saja keluar dari kamar mandi dikejutkan oleh keberadaan Mas Abryal, duduk di tempat tidur. Biasanya dia akan pulang saat aku sudah terlelap. Itu pun tidak akan mau masuk di kamar kami. Sekarang, entah apa tujuannya.Jantung berdegup tidak normal, aku menelan saliva selaya melebarkan langkah mengikis jarak di antara kami. Mas Abyral menoleh dengan tatapan yang sulit di artikan. Tangan kanannya bergerak menepuk sisi kanan sebagai isyarat bahwa aku diminta duduk di sana."Di sini saja, Mas." Aku menjawab ragu, lalu duduk di sofa kamar.Mas Abryal menghembuskan napas kasar, menatap dalam padaku. "Kamu istriku, Megumi. Jadi, harus menurut sama aku?""Istri?" Aku tersenyum ketus mendengarnya. Setelah apa yang dilakukan selama ini seolah menganggap aku tidak ada, dia berani menganggap istri?Sebenarnya aku memang cukup senang karena Mas Abryal mengakui aku sebagai istri sekarang. Namun, tetap saja khawatir mengingat masalah di antara kami belum menemukan titik teran
"Megumi, buka pintunya. Ini aku, Kania."Aku membuka mata, ternyata setelah mandi pagi tadi, aku justru terlelap dan melewatkan sarapan. Melirik ke dinding, sudah hampir pukul sembilan. Kenapa Kania mengetuk pintu, apa dia sengaja membawa makanan untukku?Entahlah, jawaban itu akan aku dapatkan begitu kami bertemu. Mata masih sedikit perih karena menangis selama berjam-jam tadi malam. Kalimat yang dilontarkan Mas Abryal sangat menyakiti hati apalagi dalam keadaan hamil begini, rasanya mudah tersinggung."Kania, Mas Daran?" Aku terkejut melihat mereka datang bersama. Setelah menengok ke kanan dan kiri, sepi."Aman, Mami sama Papi ada acara di luar dan pulang malam nanti. Abryal juga ada operasi besar di rumah sakit." Kania menjelaskan seperti tahu apa yang terlintas di dalam benak.Aku meminta mereka masuk, lalu mengunci pintu kamar rapat berharap benar-benar tidak ada yang melihat kami atau sengaja menguping untuk mengadu pada Mas Abryal. Jantungku berdegup tidak normal. Mereka berdua
"Itu hukuman setiap kali kamu mencoba melawan." Mas Daran mengucapkan itu ketika menarik diri.Sial, jantung berdegup tidak normal. Aku tahu ini bukan cinta, tetapi rasa gugup karena mendapat kecupan lembut di bibir. Kenapa bukan Mas Abryal yang melakukannya? Aneh, aku bingung kenapa hanya diam dan bukan memberontak atau memakinya."Kamu suka? Kalau suka, nanti kita ulang.""Mas Daran!" pekikku berhasil membuatnya terkekeh pelan.Entah kenapa, kekehan kecil itu seperti menumbuhkan bunga di musim semi. Aku menjadi semakin bingung berada di dekat Mas Daran. Terlalu banyak teka-teki yang tidak bisa dipecahkan dengan mudah.Mobil kembali melaju, aku sengaja memejamkan mata untuk menghindari obrolan yang mungkin tidak masuk akal. Pada intinya sekarang aku merasa bahagia. Mas Daran adalah kakak ipar yang baik dan suatu hari aku akan membalas kebaikannya.Sayang sekali lelaki tampan di sampingku tidak ada keinginan untuk menikah, padahal dari segi paras dia terbilang tampan. Pun pekerjaan ya
"Kania ....""Daran mana? Tadi bukannya kalian pergi bersama?""Aku di sini." Daran memanggil salah satu asisten rumah tangga, memintanya menyimpan susu ibu hamil itu di dapur juga beberapa buah dan cemilan lainnya. Lumayan banyak. Sekarang dia beralih menatap Kania ketika tangannya kosong. "Kania, tolong kamu pantau Megumi. Dia tidak boleh lelah, tetapi tidak boleh terus bersembunyi di dalam kamar.""Kalian sudah ke dokter buat periksa kandungan?"Aku memilih bungkam, melipat bibir karena bingung mau menjawab apa. Saat melirik pada Mas Daran, dia justru merekahkan senyum setelah mengangguk sebelumnya. Mas Daran menjelaskan bahwa hasilnya memang positif dan surat keterangan itu akan dia simpan sendiri.Kania mengangguk. Setelah Mas Daran pergi entah ke mana, aku membawanya sedikit menjauh dari para pekerja yang mungkin bisa menguping pembicaraan kami. Kania tentu saja tidak tahu apa yang sedang terlintas dalam pikiranku.Sesampainya di sudut ruangan dekat kamar mandi tamu, aku melepas
"Mas Abryal ...." Aku mengulum senyum, menatap penuh cinta kepadanya.Namun, lelaki itu tetap dingin seperti biasa padahal kami baru saja melakukan sentuhan fisik walau tidak seberapa. Di matanya tidak ada binar cinta. Kenapa Mas Abryal seperti itu? Apa memang dia masih belum bisa menerima aku seutuhnya?Menghela napas menanti jawaban. Mas Abryal masih menatap aku lekat. Bibirnya terkunci, mungkin menyesali ciuman yang dia beri tadi. Lantas apa yang harus kita lakukan setelahnya, terus diam sepanjang masa sampai kehidupan luar kembali memberi jarak?"Megumi, ada banyak hal yang semestinya kita bicarakan. Bagaimana dengan kehamilanmu ... sudah periksa kandungan?""Kamu peduli sama aku? Mas, akhirnya kamu percaya kalau anak dalam kandungan ini memang darah dagingmu?"Senyum yang baru saja aku ukir dengan tulus, seketika sirna ketika Mas Abryal menggeleng. "Tidak. Aku hanya penasaran siapa ayah biologis anak itu.""Kalau kamu nggak bisa cinta sama aku seperti dulu, ceraikan saja aku. Ent