Esti tidak pernah menyangka kehidupan rumah tangganya yang harmonis, seketika terguncang kala menemukan hubungan aneh Haris dengan seorang biduan. Hatinya remuk, tapi Esti memilih untuk tetap berdiri! Lantas, bagaimana kisah Esti selanjutnya?
View More“Bu, lihatlah pakaian Tante Indah. Terlalu ketat, nggak punya malu ya?” kata Mei anak pertama Esti.
Esti yang sedang asyik memainkan ponselnya langsung menoleh ke arah Mei. Ia tampak mengernyitkan dahi. “Ada apa, Mei?” tanya Esti, ia tidak begitu mendengar yang dibicarakan oleh Mei. “Itu lho Bu, Tante Indah pakai kaos ketat terus celana yang pendek sekali. Kayak orang mau senam aerobik di studio saja. Apa dia nggak risih ya?” “Masa sih?” “Benar, Bu. Padahal dulu Tante Indah nggak kayak gitu lho.” Esti penasaran dengan ucapan Mei, ia pun beranjak dari duduknya dan berjalan menuju ke ruang studio yang letaknya di sebelah rumahnya. Suasana studio tampak ramai, semua kru ada disini. Studio ini cukup luas, untuk latihan dan menyimpan peralatan musik, juga sound sistem sebuah orgen tunggal. Indah dan para kru sedang latihan bernyanyi. Besok mereka ada jadwal manggung di acara pernikahan. “Eh, Mbak Esti,” sapa Indah dengan suara serak-serak basah. Ia tersenyum dan mendekati Esti kemudian mengulurkan tangan untuk bersalaman. Beberapa kru juga tersenyum pada Esti, Esti membalasnya dengan menganggukkan kepalanya. “Lanjutkan saja latihannya, aku hanya ingin melihat saja kok,” sahut Esti. Indah dan para kru pun melanjutkan latihannya. Esti duduk bersebelahan dengan Mei, ia berusaha menikmati lagu yang dinyanyikan oleh Indah. Suara Indah memang bagus seperti seorang penyanyi profesional. Pandangan Esti tertuju pada pakaian yang melekat pada tubuh Indah. Memang benar kata Mei, pakaian Indah begitu tampak seksi, memperlihatkan lekuk tubuh Indah yang memang bahenol. Esti saja sangat risih melihatnya. Tak lama kemudian muncul Haris, suami Esti yang baru saja pulang dari kantor. Haris mendekati Esti dan Mei. “Lho Ais kemana?” tanya Haris. “Main ke rumah Vivi, Yah.” Mei menjawab pertanyaan ayahnya. Aisyah Farhana atau yang sering dipanggil Ais adalah anak kedua Esti dan Haris. Masih duduk di kelas empat SD. Sedangkan Mei atau Meidina Salsabila duduk di kelas tujuh SMP. Satu lagu usai dinyanyikan oleh Indah, Haris pun memberikan pengarahan pada kru orgen tunggal miliknya. “Besok pagi, sesudah subuh kalian harus sudah sampai disini ya? Mempersiapkan peralatan. Nanti malam jangan begadang, biar besok tampil prima. Jangan kecewakan orang yang menyewa kita.” “Oke, Pak.” Beberapa kru menjawab secara bersamaan. Esti hanya mengamati interaksi Haris dengan para kru. Tak sengaja ia melihat ke arah Indah yang tampak memandang Haris dengan wajah sumringah. Jantung Esti berdetak dengan kencang, ia pun menarik nafas panjang untuk menetralkan detak jantungnya. “Kenapa Bu?” tanya Mei. “Memangnya kenapa?” Esti malah balik bertanya sambil menoleh ke arah Mei. “Ibu kok menarik nafas?” “Oh, nggak apa-apa. Tiba-tiba dada Ibu sesak.” “Lihat Bu, om-om kru memandang Tante Indah sampai tak berkedip. Mudah-mudahan Ayah nggak kayak gitu.” Mei berbisik pada Esti. Deg! Jantung Esti berdetak kencang lagi. Ia melihat ke arah Haris yang tampak berbicara serius dengan Indah, sedangkan para kru sibuk dengan peralatan musiknya sambil sesekali melirik ke arah Haris dan Indah. “Sejak kapan mereka berdua akrab seperti itu?” kata Esti dalam hati. Esti sangat khawatir melihat keakraban bos orgen tunggal dan biduannya. Ia takut jika sesuatu yang buruk akan menimpa rumah tangganya lagi, seperti beberapa tahun yang lalu. Reno, salah satu kru tampak mengamati perubahan ekspresi wajah Esti. Reno menjadi salah tingkah ketika ia kepergok Esti sedang menatapnya. Reno pun menundukkan kepalanya. “Ada apa dengan Reno? Kok dia menatapku kayak gitu? Apakah dia tahu sesuatu yang tidak aku ketahui?” Esti berkata dalam hati. *** “Mas, Indah kalau nyanyi di panggung pakaiannya bagaimana?” tanya Esti ketika mereka berdua ada di dalam kamar, menjelang tidur malam. Pillow talk ini sering mereka lakukan, sekedar bercerita tentang kegiatan juga tentang anak-anak. Ini dimaksudkan untuk menjaga kedekatan dan keintiman setelah badai yang pernah menimpa rumah tangga mereka. “Maksudnya?” Haris mengernyitkan dahi dan menoleh ke arah Esti. “Kayak biduan-biduan lain yang tampil sangat seksi dan pakaian yang terbuka.” “Namanya juga biduan, ya kayak gitu deh.” Mata Haris beralih ke ponsel yang ada di tangannya. “Apa nggak bisa tampil lebih sopan? Yang dinikmati kan suaranya bukan tubuhnya. Kayak tadi, aku risih melihat pakaian Indah. Apa dia itu nggak sadar kalau sudah punya anak dan nggak muda lagi, harusnya dia tahu itu!” “Kita nggak usah ngatur-ngatur pakaian orang lain. Ia nyaman berpakaian seperti itu, ya biarkan saja.” Haris berkata dengan mata yang masih menatap layar ponselnya. “Bukannya ngatur, Mas. Tapi kan menyangkut citra orgen tunggal Cakrawala. Kalau laki-laki sih senang melihat perempuan berpakaian seperti itu.” Esti mulai kesal karena Haris tampaknya acuh tak acuh menanggapi omongannya. Ia pun melanjutkan bicaranya. “Kasihan ya, mencari uang sambil merendahkan martabat diri sendiri,” lanjut Esti. “Apa maksudmu?” Haris menoleh ke arah Esti. “Itu lho, biduan-biduan tampil diatas panggung dengan pakaian seksi hanya demi saweran. Apa dia nggak malu dengan keluarganya sendiri ya? Pikirkan bagaimana perasaan orang tua, suami dan juga anak-anaknya.” “Tapi kan mereka mencari nafkah halal,” protes Haris. “Halal? Halal itu kalau ia hanya bernyanyi dan berpakaian sopan. Kalau sampai menerima saweran laki-laki yang memberikan uangnya sambil mencolek-colek bagian tubuhnya, apakah itu halal?” “Belum lagi ketika terjadi hubungan haram antara biduan dengan kru yang sudah berkeluarga atau biduan dengan pemilik orgen tunggal,” lanjut Esti sambil menatap wajah Haris, membuat Haris salah tingkah dan mengalihkan pandangan ke arah lain. “Jadi kamu pikir aku ada hubungan dengan Indah?” Seketika Haris tampak kesal dan mulai emosi. Jantungnya berdetak dengan kencang. “Bukan, aku menceritakan pemilik orgen tunggal yang lain. Contohnya orgen tunggal Kencana, pemiliknya hampir saja bercerai. Akhirnya orgen tunggalnya dijual. Orgen tunggal Mitra, Bintang Harapan dan masih banyak lagi contoh lainnya. Eh, kok Mas jadi sewot seperti itu? Aku kan nggak ngomongin Mas?” Esti tampak curiga dengan gelagat Haris yang sepertinya tersinggung dengan ucapan Esti tadi. “Si-siapa yang sewot? Ucapanmu tadi seperti menuduhku.” Haris menjawab dengan gugup, membuat Esti semakin curiga. “Nggak usah gugup gitu, aku nggak menuduhmu kok. Aku hanya menyampaikan pendapatku tentang pemilik orgen tunggal yang lain. Semoga saja tidak terjadi pada orgen tunggal Cakrawala ya?” Esti berusaha untuk berbicara dengan tenang, walaupun dalam hatinya tampak mulai kesal dan emosi. “Sudah malam, tidur! Besok kesiangan ke kantornya,” kata Esti. Ia pun merebahkan tubuhnya dan berbaring membelakangi suaminya. Esti berusaha untuk memejamkan mata, tapi hanya mata yang terpejam, pikirannya berkelana. Drtt…drtt… Terdengar suara ponsel Haris berdering.Haris dan Esti menatap keluar jendela pesawat, melihat awan-awan putih seperti kapas yang bergulung-gulung di bawah mereka. Suara mesin pesawat berdengung pelan, namun entah mengapa, hati Esti terasa ringan. Beberapa minggu terakhir penuh kepenatan, tumpukan pekerjaan, masalah keluarga, dan rasa lelah yang sulit dijelaskan. Semua itu seolah menempel di pundaknya.“Siap untuk liburan tanpa anak-anak?” tanya Haris sambil tersenyum nakal. Esti menoleh dan tersenyum tipis. “Kalau mereka ada, pasti nggak akan sebebas ini,” jawabnya. Haris menggenggam tangannya erat. “Ini waktunya kita berdua. Waktu kita.”Setibanya di Bali, mata mereka disambut langit biru cerah dan aroma laut yang khas. Di bandara, mereka disambut dengan sopan seorang supir hotel yang membawa mereka ke vila kecil di tepi pantai. Saat memasuki vila, Esti terpesona melihat pemandangan laut yang terbentang luas dari balkon. “Wow… ini seperti mimpi,” bisiknya. Haris tersenyum sambil menyerahkan sebotol air dingin.“Dan ter
“Ibu, sama siapa ke sini?” tanya Esti tergopoh-gopoh sambil buru-buru mengelap tangannya di celemek. Senyumnya merekah begitu melihat Bu Siti, mertuanya, berdiri di depan pintu.“Sendirian saja. Dewi sejak pagi sudah ada urusan, jadi Ibu berangkat sendiri,” jawab Bu Siti sambil menepuk-nepuk ujung kerudungnya yang sedikit berdebu.Esti melirik ke arah suaminya, Haris, yang baru saja muncul dari ruang tengah. “Lho, Bu. Kan bisa telepon aku, biar aku jemput,” kata Haris dengan nada setengah menegur, tapi matanya berbinar senang melihat ibunya datang.Bu Siti terkekeh pelan, kerutan di wajahnya seakan ikut tersenyum. “Kalian ini, terlalu mengkhawatirkan Ibu. Masih kuat kok naik angkot sendiri. Belum pikun juga.”Esti tersenyum, tapi hatinya sedikit hangat bercampur cemas. Ia tahu Bu Siti keras kepala soal kemandirian, meski usianya sudah senja. Ada rasa bangga sekaligus khawatir yang selalu muncul tiap kali mertuanya bersikeras melakukan sesuatu sendirian.“Mana anak-anak?” tanya Bu Siti
Dengan tiba-tiba, ia bersimpuh di kaki Haris, membuat semua orang terpaku.“Mas… nikahi aku. Aku berjanji akan sadar posisiku sebagai istri kedua. Aku tidak akan menuntut apa-apa, hanya jangan tinggalkan aku…”Esti terperangah, tangannya menutupi mulutnya, air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Om Wisnu menatap anaknya dengan tatapan marah sekaligus putus asa.Haris menatap Widya yang menangis di kakinya, lalu menatap Esti, pilihan yang akan menentukan segalanya.“Widya…,” ucap Haris pelan, “aku mencintai Esti. Aku tidak bisa dan tidak akan menghancurkan rumah tanggaku. Berdirilah, pulanglah bersama ayahmu.”Widya masih berlutut di kaki Haris, tangisannya tersengal. Tapi tiba-tiba tubuhnya melemas, dan ia jatuh tak sadarkan diri.“Widya!” teriak Om Wisnu panik, langsung memeluk tubuh anaknya.Haris berjongkok membantu, sementara Esti hanya bisa berdiri terpaku, antara iba dan sakit hati.“Cepat! Kita bawa ke rumah sakit sekarang!” kata Haris tegas.Om Wisnu mengangguk, wajahnya pucat. “To
Widya tiba-tiba menangis, air matanya jatuh deras, membuat suasana yang sudah tegang menjadi semakin rumit.“Aku… aku nggak sanggup lagi, Mbak,” suaranya bergetar, nyaris tersedu. “Aku cuma ingin seseorang mendengarkan ceritaku, tapi sekarang aku malah disalahkan seolah aku perebut suami orang.”Esti menatapnya tajam. “Lalu pesanmu itu? Kata-katamu yang jelas mengatakan kamu masih mencintai Haris? Itu hanya keluhan biasa menurutmu?”Widya menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Aku… aku nggak tahu harus bicara sama siapa lagi. Sejak bercerai, semua orang menghakimiku. Aku merasa sepi. Aku cuma ingin ada yang peduli.”Dewi mendengus sinis. “Jangan mainkan peran korban di sini, Widya. Kita semua bisa lihat apa niatmu.”Namun Bu Siti tampak mulai bimbang, melihat tangisan itu. Haris sendiri hanya bisa menunduk, menahan diri untuk tidak bersuara.“Apa salahku mencoba mencari perhatian? Apa salahku ingin merasa dicintai lagi?” seru Widya di sela tangisnya, membuat suasana semakin emosional
Haris menarik napas panjang, lalu menatap Esti dengan sorot mata penuh ketegasan.“Sayang, dengar aku baik-baik. Aku tidak mencintai Widya. Aku mencintai kamu, hanya kamu. Dan sekarang aku akan buktikan.”Tanpa ragu, Haris mengambil ponselnya. Ia mengetik pesan balasan untuk Widya, membacakan setiap kata dengan lantang agar Esti mendengar.[Widya, jangan hubungi aku lagi. Apa pun yang kamu rasakan, aku tidak bisa membalasnya. Aku sudah berkeluarga dan akan menjaga rumah tanggaku. Semoga kamu bisa memahami.]Setelah itu, Haris langsung memblokir nomor Widya. “Sudah. Tidak ada lagi pesan darinya yang bisa masuk,” ucapnya mantap, lalu meletakkan ponsel di meja, menjauhkan dari dirinya.Esti terdiam, masih dengan wajah tegang, namun perlahan ekspresinya mulai melembut. “Kamu yakin ini akan selesai begitu saja?”“Tidak tahu,” jawab Haris jujur. “Tapi aku akan hadapi. Yang penting kamu tahu bahwa aku memilihmu, bukan dia.”Esti menarik napas panjang. Meski masih ada rasa curiga, kejujuran H
Haris kembali ke kantornya dengan langkah berat. Senyum Widya, tatapan matanya, dan kata-katanya terus berputar di pikirannya.Ia duduk di meja kerjanya, mencoba menatap layar komputer, tapi huruf-huruf di laporan tampak kabur."Kenapa aku merasa seperti ini? Aku sudah bahagia dengan Esti… kan?" gumamnya dalam hati.Bayangan masa lalu datang, saat Widya pernah menyatakan perasaannya dengan polos, dan Haris menolaknya demi menjaga hati Esti. Ia yakin keputusan itu benar, tapi mengapa sekarang perasaan itu kembali, justru ketika situasi semakin rumit?Telepon di mejanya berdering, membuatnya tersentak. Ternyata dari Esti. Haris menatap layar ponsel, bimbang beberapa detik sebelum mengangkat.“Mas, jadi pulang cepat, kan? Anak-anak mau kita ajak makan malam di luar,” suara Esti terdengar riang.Haris tersenyum samar, meski hatinya penuh gejolak. “Iya, Sayang. Mas segera selesaikan kerjaan dulu.”Setelah telepon ditutup, Haris bersandar di kursinya. Dalam hati, ia berbisik pada dirinya se
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments