Share

Bukan Gadis Rendahan

Anna menggeleng dengan raut muka polos. "Aku tidak punya mama, Tante."

Jayden memejamkan mata sejenak, kepalan tangannya meregang karena Anna lebih dulu menjawab. Sesuatu di dalam dada Jayden mendadak sesak dan pedih.

Pupil mata Agatha melebar karena merasa mulutnya sangat lancang. Ia tidak melihat wajah Anna yang bersedih, tetapi itu justru membuatnya merasa bersalah. Agatha pun segera membawa Anna ke dalam dekapannya.

"M–maaf, Anna. Aku tidak tahu."

Anna terkesiap selama beberapa detik, karena ia merasa nyaman dan aman, Anna tersenyum kecil di dalam pelukan Agatha. "Kata papa mama udah bahagia di tempat yang jauh. Dan papa bilang kalau aku tidak punya mama, itu artinya aku anak spesial karena Tuhan sayang sama aku."

Usia Anna menginjak lima tahun, tapi Jayden tidak pernah mengatakan yang sebenarnya. Kejadian buruk di masa lalu, membuat Jayden teramat membenci wanita yang melahirkan Anna. Ia membohongi Anna dengan mengatakan bahwa mamanya sudah ada di surga meski faktanya masih berada di luar sana

Jayden menatap dua orang itu dalam diam. Anna tidak pernah mau dipeluk oleh perempuan asing. Itu juga menjadi penyebab Jayden tidak mau bergaul dengan wanita selain karena dirinya tidak mau lagi jatuh cinta. Tetapi reaksi Anna kali ini di luar dugaan. Jayden merasa bahwa Agatha berbeda dengan kebanyakan perempuan.

"Iya, kamu memang spesial, Anna. Mamamu di sana pasti bahagia melihat kamu juga bahagia." Agatha melepas pelukannya dan menatap Anna dengan senyum. Kendati sedang menahan diri untuk tidak menangis.

Anna menatap Agatha ragu-ragu. "Apa tante mau jadi mamaku?"

Agatha melebarkan mata. "Eh, apa?"

Jayden buru-buru menyahut karena merasa suasana akan canggung. "Anna, sepertinya kita harus kembali ke apartemen. Kamu tidak mau dihukum karena terlambat ke sekolah, kan?"

Agatha menghela napas lega. Pria itu ternyata sangat peka. Namun tiba-tiba ia teringat sesuatu saat mendengar kata sekolah. Ah, benar juga. Ia harus berangkat ke kampus.

Lain halnya dengan Anna yang langsung menoleh sebal pada papanya yang sekarang sudah berdiri. "Tapi aku masih mau berbicara lebih banyak dengan Tante Agatha, Pa."

Jayden menarik sebelah bahu Anna agar berdiri di sebelahnya. "Dia juga sibuk, Anna. Kamu tidak boleh seperti ini."

Agatha juga berdiri di hadapan dua pasangan ayah dan anak itu. "Papa kamu benar, Anna. Sekolah itu penting, kamu harus rajin belajar di sana. Tidak hanya menjadi Anna yang cantik, tapi juga pintar."

"Benarkah tante sedang sibuk? Atau memang tidak mau berbicara lagi denganku?"

Agatha menggeleng. "Sebenarnya tidak cukup sibuk, tapi aku harus ke sekolah juga sepertimu. Dan bukan berarti aku tidak mau mengobrol lagi dengan kamu, Anna."

"Dengarkan itu. Kamu jangan bandel," sahut Jayden seraya menepuk-nepuk pundak anaknya.

Bibir Anna pun mengerut. "Kalau begitu kapan kita bisa bertemu lagi, Tante? Aku ingin bermain denganmu."

Agatha berpikir sejenak, menimang-nimang jawaban yang tepat. Tetapi sepertinya ia hanya mempunyai satu pilihan yang pasti. Pasalnya Agatha jarang sekali bisa menganggur di kontrakan. Selain menyelesaikan skripsi dan mengerjakan jasa joki tugas, ia juga bekerja paruh waktu di kafe.

"Eum, bagaimana kalau hari Minggu? Aku akan menjemputmu ke sini."

Anna tersenyum lebar. "Setuju! Aku akan menantikan hari itu!"

Agatha terkekeh geli dan menarik kedua pipi Anna. "Kalau begitu aku pergi dulu, ya, Anna. Semangat sekolahnya!"

"Tante juga!" balas Anna tidak kalah ceria.

Agatha pun tersenyum, beralih menatap Jayden dan sedikit membungkukkan badan. "Saya permisi dulu. Semoga hari Anda menyenangkan."

Jayden hanya mengangguk singkat sebagai balasan. Tanpa sadar kedua sudut bibirnya tertarik tipis. Insiden pagi ini ternyata yang cukup menyenangkan.

"Sepertinya aku harus mencari tahu tentangnya," batin Jayden sebelum memacu langkahnya bersama Anna.

Beberapa saat setelah Anna selesai bersiap dan rapi, mereka segera ke mobil yang sudah disiapkan Reyhan di depan apartemen. Sebelum berangkat, Jayden melirik sebentar pada Anna yang duduk di kursi belakang.

"Cari tahu indentitas perempuan tadi, Rey," suruh Jayden.

Rey mengangguk meski dengan tatapan bingung. Karena untuk pertama kalinya sang bos tiba-tiba ingin mencari tahu soal wanita.

***

Agatha melangkahkan kakinya dengan lebar menuju kelas. Baru saja duduk, tepukan di pundaknya membuat Agatha menoleh dengan reflek. Aroma parfum yang semerbak, wajah cantik dengan polesan make up tipis, serta pakaian yang terlihat kekinian. Semua itu melekat sempurna pada gadis di hadapannya.

"Aku pikir kamu tidak berani masuk kelas. Tidak lupa, kan, dengan janjimu kemarin, Agatha?"

Kelas masih sepi, Agatha yang menduga setelah ini akan terjadi sesuatu, segera menarik lengan kakak seniornya itu untuk keluar kelas. Grace Natalie menarik tangannya dengan alis menaut saat sampai di luar.

"Kamu sangat tidak sopan dengan senior!"

Agatha mengangguk paham. "Aku minta maaf, Kak. Soal janjiku kemarin, aku tidak lupa. Kamu tidak perlu sampai ke kelas dan membuat masalah lagi denganku."

"Dasar miskin. Kamu duluan yang mencari masalah denganku, ya. Kalau bukan karena iPhone milikku yang kamu pecahkan, aku juga tidak sudi menemuimu," desis Grace sengit.

Agatha memejamkan mata sejenak guna menahan emosinya agar tidak terpancing. "Kamu tidak perlu khawatir kalau aku kabur, Kak. Karena aku bukan pengecut. Sesuai perkataanku kemarin, aku akan mengganti ponselmu dalam waktu satu Minggu."

Grace menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga, lalu menyeringai kecil dan memberi tatapan rendah pada Agatha. "Gadis miskin sepertimu pasti melakukan segala cara untuk mendapatkan uang, tapi tolong, ya, Agatha. Aku harap kamu tidak menggunakan uang haram untuk membelikanku ponsel baru."

"Hei, Kak." Agatha tertawa geli, tapi jemari tangannya mengepal. "Jangan sembarangan kalau bicara. Aku memang miskin, tapi aku bukan gadis rendahan. Sebaiknya kamu berhati-hati menggunakan mulutmu itu."

Grace membulatkan mata dengan ekspresi mengeras. "Lancang sekali kamu mengatakan itu! Jangan sok menasehati, aku tidak sudi mendengarnya! Kalau miskin, ya, miskin saja! Jangan berlagak belagu! Kamu tidak pantas, Agatha!"

"Aku tahu, Kak. Kamu tidak perlu susah-susah berteriak dan memancing keributan."

Dari kejauhan, Aluna yang baru saja dari kamar mandi seketika membulatkan mata karena melihat Agatha beradu mulut lagi dengan Grace si pentolan kampus. Aluna segera berlari mendekat untuk mencegah keributan itu karena bisa saja lebih besar.

"Agatha, hentikan. Kamu tidak sadar kalau menjadi pusat perhatian? Ini masih pagi, loh," bisik Aluna yang sudah berdiri di sebelah Agatha. Benar saja, di koridor itu banyak para mahasiswi yang memperhatikan pertengkaran mereka.

Aluna buru-buru meminta maaf kepada Grace. Agatha sebenarnya hendak mencegah, tetapi sebelum itu dengan tega Aluna mencubit perutnya. Alhasil Agatha hanya bisa meringis sambil menatap dingin ke arah Grace.

"Bilang ke temanmu itu, suruh dia sadar diri. Posisinya rendah, jangan sok meninggi." Grace melempar tatapan tajam pada Agatha dan memberi decihan kecil sebelum berlalu pergi dengan angkuh.

Aluna pun menghela napas lega, kemudian menoleh pada Agatha dengan cemas. "Kenapa lagi? Bukankah masalah kemarin sudah selesai? Kamu sudah sepakat mau mengganti ponselnya, kan?"

Agatha mendengkus keras, alisnya menaut kesal. "Dia mengataiku perempuan rendahan. Mana bisa aku hanya diam. Harga diriku ini mahal, Lun. Dan dia menginjak-injak seenaknya."

"Tapi tetap saja, Agatha. Dia itu putri tunggal donatur terbesar di kampus ini. Kamu bisa dalam bahaya jika terus berurusan dengannya," tutur Aluna sambil menggiring Agatha untuk masuk.

Agatha terdiam, sampai tiba kursinya ia baru mengembuskan napas panjang. "Iya, aku tidak lupa kalau aku miskin."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status