Share

3. Masih Perawan

Auteur: Pixie
last update Dernière mise à jour: 2024-04-16 10:13:52

Saat terbangun, Emily langsung tersentak. Matanya berkedip-kedip menatap ruangan yang tampak asing baginya.

"Apa yang terjadi? Bukankah terakhir ...."

Tiba-tiba, bayangan pria berpayung melintas dalam ingatannya. Emily sontak terkesiap. Napasnya menderu, matanya membulat.

"Aku tertidur di jalan? Di hadapan laki-laki itu?"

Ia mendesah tak percaya. Panik, ia buru-buru bangkit. Saat selimut tersingkap, jantungnya nyaris melompat dari tenggorokan. Ia tidak mengenakan apa-apa selain sehelai kaos pria!

"Astaga! Apa yang terjadi semalam? Mungkinkah ... laki-laki itu mengambil keuntungan dariku?"

Membayangkan apa yang mungkin telah menimpanya, Emily mencengkeram kepala. Matanya memerah terlapisi kekesalan.

"Kenapa aku ceroboh sekali? Apa yang harus kujelaskan kepada Cayden nanti? Lalu Louis ... dia pasti akan memakiku. Papa dan Mama ... mereka pasti sangat sedih dan kecewa."

Emily memejamkan mata rapat-rapat. Ia berharap itu hanya mimpi. Akan tetapi, penyesalannya malah terasa semakin nyata.

"Kenapa aku harus mengulang nasib Mama? Tidur dengan orang asing? Yang benar saja! Mama beruntung Papa ternyata adalah orang baik. Sedangkan aku ...."

Selagi Emily menerka-nerka pria macam apa yang telah menidurinya, seseorang melangkah masuk dengan secangkir cokelat hangat di tangannya.

"Hei, kau sudah bangun? Bagaimana keadaanmu? Tidak ada yang sakit, kan?"

Emily terbelalak menatap pria tampan yang hanya mengenakan celana pendek itu. Otot-otot sempurnanya terpampang nyata. Emily sampai lupa berkedip memperhatikannya.

"Pria inikah yang meniduriku? Apakah dia sama seperti Papa? Seorang pengusaha sukses yang dijebak untuk meniduri gadis yang tidak dikenalnya?" batin Emily dengan raut tegang.

Selang satu helaan napas, Emily menggertakkan gigi dan mencengkeram selimut di bawah kakinya.

‘Apa gunanya tampan tapi tidak bermoral? Dia jelas-jelas menyebut namaku semalam. Dia tahu siapa aku dan bagaimana kondisiku. Pria baik tidak mungkin tega mengambil kesempatan dalam kesempitan. Laki-laki ini hanyalah psikopat berwajah tampan!’

"Kau!" Emily melompat dari kasur lalu mendorong pundak sang pria dengan sekuat tenaga. Entah karena ia masih lemas atau pria itu yang terlalu kuat, malah dirinya yang terhuyung-huyung ke belakang.

"Dasar laki-laki hidung belang! Mentang-mentang aku pingsan, kau berani mengambil kesempatan?"

Sang pria menatap Emily dengan raut penuh tanya. "Kesempatan?"

Emily meruncingkan telunjuk dan memasang tampang garang. "Kau kira dengan meniduriku, aku akan menuntut tanggung jawab? Kau pikir segampang itu menjadikan aku milikmu? Jangan harap! Aku tidak akan pernah menerima laki-laki bejat sepertimu ke dalam hidupku. Tidak akan pernah!"

"Tunggu dulu." Pria itu mengangkat sebelah tangan. "Kau sudah salah paham. Aku tidak menidurimu. Aku hanya menolongmu."

Tiba-tiba, Emily melayangkan pukulan ke dada sang pria. "Kau kira aku bodoh? Aku terbangun tanpa baju. Lalu kau datang seperti ini."

"Kau masih mengenakan baju. Kau tidak lihat kaosku di tubuhmu?"

Emily tertunduk mengikuti arah pandang sang pria. Menyadari bentuk tubuh yang tercetak pada kaos, ia cepat-cepat menyilangkan tangan di depan dada. Kekesalannya semakin memuncak.

"Kau masih berani mengelak?" pekik Emily geram.

"Nona Harper yang terhormat, tenang. Ini tidak seperti yang kau bayangkan. Aku terpaksa mengganti pakaianmu yang basah. Tapi aku bersumpah, aku tidak melakukan hal bejat. Aku berpenampilan seperti ini karena aku baru selesai berolahraga."

Alis Emily berkerut mempelajari pria itu. Ekspresinya tampak jujur. Namun, ia masih curiga.

"Lihat saja nanti. Kau pasti akan menyesal. Orang tua dan saudaraku tidak mungkin tinggal diam. Mereka akan segera menyewa pengacara terbaik untuk menjebloskanmu ke dalam penjara."

Sang pria mendesah lelah. "Kau tidak bisa menuntutku, Nona. Aku tidak bersalah. Kau lihat sofa itu?"

Emily melirik ke arah yang ditunjuk. Sebuah bantal dan selimut masih berantakan di situ.

"Kita tidur di tempat yang berbeda. Aku bukan laki-laki hidung belang. Apakah kau tidak ingat? Justru aku yang menyelamatkan kamu dari penguntit itu. Sekarang minumlah cokelat panas ini. Tenangkan pikiran. Kau pasti sangat ketakutan semalam."

Emily menatap apa yang disodorkan dengan alis tertaut. Dalam satu gerakan cepat, ia mengambil cangkir itu lalu menuangkan isinya.

"Hei ...." Sang pria menyeka cokelat panas yang membasahi perut dan celananya. "Kenapa kau menyiramku?"

"Itu akibatnya kalau berani mempermainkan aku. Kau pasti sudah memasukkan obat ke dalam situ. Apa rencanamu setelah ini? Menjualku?" tanya Emily lantang.

Wajah sang pria kini dipenuhi kerutan. "Kenapa kau masih tidak percaya padaku?"

"Orang bodoh mana yang percaya dengan omonganmu? Pria dan wanita tidur sekamar tanpa busana? Apa lagi yang bisa sang pria lakukan kalau bukan mengambil keuntungan?"

Wajah tampan itu terpejam sesaat. Selang gelengan samar, ia mendengus pasrah. "Baiklah, terserah kau saja. Kau mau melaporkan aku? Silakan."

Sang pria berbalik menghadap sebuah pintu. Sebelum ia berhasil melangkah, Emily menahan lengannya. "Mau ke mana kau?"

"Ke kamar mandi. Aku harus membasuh perutku. Kau tidak lihat kulitku sudah memerah? Cokelat tadi panas."

Emily terkekeh datar. Kepalanya menggeleng singkat. "Kau pasti mau kabur. Tidak akan kubiarkan sebelum kau bertanggung jawab."

Sang pria lagi-lagi mendesah samar. "Tanggung jawab apa lagi? Kau mau aku menikahimu? Bukankah tadi kau sendiri yang menolak gagasan itu? Lagi pula, apa kata media kalau pewaris Savior Group menikah dengan seorang pria yang tidak jelas latar belakangnya?"

Emily meninggikan dagu. "Kau harus dihukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku."

Pria itu mengurut pelipis. Setelah menarik napas dalam-dalam, ia menatap Emily dengan penuh keseriusan. "Haruskah kita memeriksanya langsung?"

Emily mengerjap. Matanya sedikit melebar. "Memeriksa apa?"

"Kau masih perawan atau tidak."

Kepala Emily tertekan mundur. Belum sempat ia menjawab, sang pria melanjutkan, “Kau belum pernah melakukannya sebelum ini, kan? Karena itu, ayo kita buktikan. Kalau kau masih perawan, itu artinya aku memang tidak menyentuhmu semalam.”

Mata Emily berkedip-kedip cepat. Mengapa ia tidak memikirkan hal itu sebelumnya? Ia tidak perlu menjelaskan apa pun kepada Cayden kalau ia masih perawan. Tapi, mungkinkah pria tanpa kaos itu memang tidak menidurinya?

"B-bagaimana cara membuktikannya?" Bibirnya gemetar.

Sang pria mengangkat alis tak percaya. "Kau memang tidak mengerti atau berharap aku membantumu? Apakah tidak masalah kalau dua jari ini ...." Ia menggerakkan kepala ke arah bawah, menunjuk sesuatu yang seolah enggan dilihatnya.

Emily tanpa sadar menahan napas. Ia bisa merasakan pipinya menghangat. "Mana ponselku?" tanyanya mendadak.

Sang pria menunjuk ke arah meja. Emily langsung mengambil ponsel, masuk ke kamar mandi, lalu menguncinya.

"Benarkah laki-laki itu tidak menyentuhku? Bagaimana cara membuktikannya? Ck, aku tidak seharusnya menghindar setiap kali Mama atau Bibi mau mengajarkan tentang ini kepadaku."

Sembari bersandar di balik pintu, Emily melakukan pencarian di internet. Selang beberapa saat, ia bergidik ngeri.

"Beraninya dia menipuku. Tes dua jari itu tidak valid. Untung saja aku tidak nekat melakukannya."

Sembari menyipitkan mata, Emily membaca artikel lain. Begitu selesai, ia bergeming.

"Hanya itu satu-satunya tanda? Tapi aku tidak merasa nyeri. Itu berarti dia memang tidak menyentuhku?"

Emily terpejam dan menghela napas panjang. Ia menyesal sudah menuduh tanpa bukti yang kuat. Mau tidak mau, ia keluar dengan tampang datar.

"Bagaimana? Kau masih mau menjebloskan aku ke penjara?" tanya sang pria.

Emily menekan bibirnya dengan dagu. "Siapa yang tidak curiga kalau berada di posisiku? Lagi pula, kau sendiri yang salah. Kau seharusnya mengenakan pakaian sopan saat menemuiku, dan kau tidak seharusnya bertanya ada yang sakit atau tidak."

Sang pria mendesah geli. "Aku bertanya begitu karena kepalamu membentur trotoar semalam. Apakah kau tidak berkaca tadi? Pelipismu memar."

Emily terbelalak. Namun, sebisa mungkin, ia menjaga gengsi. "Tetap saja, kau yang salah."

Pria itu mendengus tipis. "Sekarang karena semua sudah jelas, giliran aku yang memeriksa diriku. Kalau sampai terjadi apa-apa, kau harus tanggung jawab."

Emily diam-diam melirik ke bawah. Perut yang penuh otot itu memang memerah, dan cokelat yang mengenai celananya telah meresap dengan sempurna. Ketika pria itu hendak melangkah, ia cepat-cepat menghalangi pintu dengan lengannya. "Tunggu dulu."

"Apa lagi? Kau mau tanggung jawab kalau sampai aku tidak bisa punya anak?"

Emily mengerucutkan bibir. "Apakah kau gay?"

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Pengawal Misterius Nona Pewaris   Extra Chapter 3. Pengalaman Terbaik

    Setibanya di ketinggian 186 meter dari muka jalan, mata Emily langsung berbinar. Ruangan yang baru dimasukinya itu berdinding kaca. Pemandangan kota Auckland terpampang indah di baliknya. "Selamat datang di menara tertinggi di NZ, Paman dan Bibi. Menara ini adalah ikon kota Auckland, dibangun pada tahun 1994 dengan ketinggian total mencapai 328 meter. Dari lantai ini, Paman dan Bibi bisa menikmati pemandangan kota sejauh 360 derajat. Makan malam kalian pasti akan menjadi sangat romantis dan mengesankan," terang Summer dengan penuh antusiasme. Emily tersenyum manis. Sambil merangkul pinggang Cayden, ia berbisik, "Kita tidak salah memilih pemandu." Kemudian, ia kembali menatap si pemandu cilik. "Terima kasih, Nona Hills Kecil. Aku suka sekali tempat ini." Summer mengulum senyum. Rasa bangga memenuhi hatinya. Sambil berkacak pinggang, ia mengangguk mantap. "Kalau begitu, selamat menikmati makan malam, Bibi. Silakan menempati meja yang kami siapkan khusus untuk kalian. Setelah kalian

  • Pengawal Misterius Nona Pewaris   Extra Chapter 2. Bulan Madu

    "Paman Cayden! Bibi Emily!" sapa Summer begitu pengantin baru itu keluar dari gerbang kedatangan. Tangannya yang memegang selembar karton terayun-ayun. Nama Cayden dan Emily yang tertempel di situ nyaris melayang ke udara. Dari kejauhan, Emily melambai ke arahnya. Tawa sang balita pun bergema. Kakinya melompat-lompat girang. Namun, melihat bagaimana si pengantin baru berjalan, keceriaannya berganti menjadi keheranan. "Oh, Mama? Ada apa dengan kaki Bibi? Kenapa dia berjalan seperti itu?" Mendengar celetukan sang putri, Sky mematung. Lengkung bibirnya ikut membeku. "Mama rasa tidak ada yang salah dengan Emily," sangkalnya ragu. "Tidak, Mama. Biasanya Bibi tidak berjalan seperti itu. Dia jadi terlihat aneh. Apakah kakinya masih sakit karena terlalu banyak berdiri di pernikahannya minggu lalu? Atau mungkin, gaunnya terlalu berat? Kakinya jadi kelelahan?" Sky meringis. "Summer, bagaimana kalau kita berhenti membahas itu? Emily adalah seorang perfeksionis. Mood-nya bisa rusak kala

  • Pengawal Misterius Nona Pewaris   Extra Chapter 1. Malam Pertama (+18)

    "My Prince, kau yakin tidak akan menyesal pulang ke sini? Kita masih bisa menyewa hotel untuk malam pertama kita kalau kau mau," bisik Emily saat Cayden menggendongnya menuju kamar. Cayden tertawa lirih. Desah napasnya terdengar menggelitik di telinga Emily. "Bukankah ini rumah kita juga? Apa salahnya pulang kemari?" "Memang tidak ada yang salah. Hanya saja," Emily tertunduk menutupi malu, "orang tua dan saudaraku juga tinggal di sini. Apakah tidak masalah kalau kita melakukannya di dekat kamar mereka?" "Kita akan melakukannya di kamar kita sendiri, Emily. Mereka tidak mungkin mengintip. Lagi pula, kita sudah pernah membahas ini, kan? Kau tidak keberatan." Cayden diam-diam merasa gemas pada sang istri. Emily meringis kecil. "Ya, memang. Saat itu, aku tidak berpikir sejauh ini." "Sejauh apa?" Cayden menaikkan alis. Sekarang mereka sudah tiba di lantai atas. Melihat pintu kamar mereka, jantung Emily semakin berdebar. Ia tanpa sadar menelan ludah. "Aku tidak memperhit

  • Pengawal Misterius Nona Pewaris   108. Kemenangan Sejati

    "Berbahagialah dalam kehidupan barumu nanti. Jangan cengeng lagi," bisik Louis. "Aku sudah tidak cengeng, Louis," sanggah Emily. "Buktinya kau sekarang menangis." Louis memeriksa mata Emily. "Kau juga menangis." Louis menggeleng. "Aku tidak menangis. Mataku terkena hawa AC." Sementara Emily mendesahkan tawa lagi, seorang staf WO datang menghampiri. "Tuan Harper, waktunya beraksi." Emily tercengang melihat boneka lemon yang diberikan staf itu kepada Louis. "Kenapa Yemon ada di sini?" Louis tersenyum usil. "Bukankah dia boneka kesayanganmu? Dia akan sedih kalau melewatkan momen spesialmu. Jadi, dia juga harus ikut andil." "Ikut andil bagaimana?" Louis mengeluarkan kotak cincin dari sakunya. Setelah menggoyang-goyangkannya sejenak, ia masukkan kedua cincin ke dalam saku rahasia Yemon. "Kantong ajaibnya selalu berguna." Ia kedipkan sebelah mata. Emily mendesah tak percaya. Saat Louis mengenakan kacamata hitamnya dan pergi menjalankan tugas, ia hanya bisa menggeleng-geleng t

  • Pengawal Misterius Nona Pewaris   107. Pernikahan Cayden dan Emily

    "Bagaimana kalau kita menepati janji yang sempat tertunda?" bisik Emily, membuat Cayden mengangkat alis. "Maksudmu NZ?" Emily mengangguk. Cayden pun tersenyum. Ia menoleh ke arah ponsel. "Apakah kau keberatan kalau mengunjungi cacing yang menyala dalam gua lagi, Summer?" tanyanya. "Paman dan Bibi mau berbulan madu di NZ?" Suara Summer semakin ringan. Mendapat anggukan dari kedua calon pengantin, tawanya mengudara. "Aku suka pilihan itu. Paman dan Bibi bisa berfoto bersama cacing yang menyala. Lalu, aku akan mengajak kalian menjelajahi pulau utara dan selatan. Kita bisa rafting, bungee jumping, hiking. Semua hal seru bisa kita lakukan bersama. Maksudku, kalian berdua sedangkan aku dan Mama. Kita lakukan bersama-sama tapi secara terpisah!" Emily tersenyum manis membayangkan keseruan itu. "Oh, aku jadi tidak sabar ingin bulan madu." "Menikah saja dulu, baru pikirkan bulan madu," celetuk Sky geli. "Tapi, kuharap kalian tidak menyesal memilih Summer sebagai pemandu." "Kenapa haru

  • Pengawal Misterius Nona Pewaris   106. Kondisi Summer

    Begitu giliran Louis yang diinterogasi, Emily bergegas masuk ke mobil. Ia sudah tidak sabar ingin menghubungi Alice. Hatinya tidak tenang semenjak polisi mengatakan bahwa Sky dan Summer tidak jadi terbang. "Nyonya Hills?" Perasaannya semakin tidak karuan saat melihat Alice berada di rumah sakit. "Apa yang terjadi? Di mana Sky dan Summer? Mengapa mereka tidak jadi terbang ke sini?" Alice tersenyum kecil. "Maaf kalau putri dan cucuku terpaksa membatalkan janji. Sesuatu terjadi tadi, tapi kau jangan khawatir. Masa kritisnya sudah lewat." Emily terkesiap. "Siapa yang kritis?" "Summer. Seseorang memberinya susu almond di bandara. Alerginya kambuh. Epipennya mendadak hilang, tapi untunglah, Sky cepat membawanya ke ruang medis. Sekarang dia sedang dirawat di rumah sakit." Emily menutupi mulut dengan sebelah tangan. Dadanya sesak. Air matanya nyaris tumpah. Cayden yang baru saja masuk ke mobil terbelalak melihatnya. Sambil memegangi pundak Emily, ia berbisik, "Ada apa?" Emily pun men

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status