Vernon tertawa lirih saat membaca tajuk berita yang terpampang di koran Rotter Daily. Kabar bahwa dua keluarga besar akan bersatu, menjadi berita panas hari ini. Setelah semalam acara pertunangan antara Radella Softucker dan Prince Loshen menjadi gambaran awal bagaimana bisnis keluarga mereka akan berjalan ke depannya nanti. Dalam semalam, harga saham Loshen Corp. langsung melejit, begitu pula dengan milik keluarga Softuckker, dan hampir seluruh orang di Rotterfort tidak berhenti membicarakan tentang hal itu. Vernon tidak sabar ingin melihat bagaimana reaksi Ben tentang berita ini. Pria itu pasti sangat kecewa, karena rencananya terganggu.
Namun, sepertinya Vernon salah. Ben terlihat biasa saja saat melangkah masuk ke kedainya dan langsung menyambar satu gelas whiski yang baru dituangnya. Tidak nampak raut bingung, kecewa, atau apa pun di wajah pria itu. Bahkan saat matanya membaca tajuk koran, Ben hanya mendengus kecil, lalu kembali menandaskan whiskinya.
“Kau baik-
Ella hampir tersedak ludahnya sendiri saat mendengar kabar bahwa Max memiliki kekasih. Berita itu, jauh lebih tidak lucu dari lawakan yang pernah dilontarkan Grace tentang salah satu dosen mereka. Namun, saat seorang wanita—oh, tidak, bagi Ella, dia lebih terlihat seperti pelacur murahan dari Red District—bergelayut dengan cara paling menjijikan yang pernah Ella lihat. Tentu saja, saat Max membawa pelacur itu diperkenalkan, Ella lebih memilih menjilat es krim murahan dari penjual di tengah taman. “Kau baik-baik saja?” tanya Prince. “Ya, kenapa memangnya?” “Hari ini kau lebih pendiam dari biasanya. Kau juga mau datang ke taman untuk berkencan denganku.” “Kau jangan besar kepala, Prince. Aku datang ke sini, karena tidak ingin mendengar ocehan James yang terus menyuruhku untuk menemuimu,” kesal Ella. “Hari ini, kita hanya perlu duduk dan menunggu wartawan mana pun untuk menangkap basah kita berdua, ‘kan?” “Sayang, kenapa masih bersikap s
Ben menggeram marah, karena gagal mengejar laju mobil Prince. Dirinya tidak menyangka, bahwa pasangan bodoh itu akan mengakalinya sampai seperti ini, bukankah itu artinya Ben lebih bodoh? Kenyataan itu membuat Ben sekali lagi memukul setir mobil, memaki, dan menambah laju mobilnya seperti orang kesetanan. Ben tidak peduli lagi dengan lalu lintas dan makian dari mobil lain, karena saat ini yang paling penting adalah menemukan keberadaan Ella dan menyeret gadis itu pulang.Dan di saat Ben hampir putus asa, dirinya baru menyadari bahwa dia memiliki cara untuk tahu di mana posisi Ella. Ben meraih ponselnya, membuka aplikasi GPS-nya yang terhubung dengan ponsel Ella. Ini sebenarnya adalah standar keamanan yang diterapkan di keluarga Softucker. James benar-benar mempertimbangkan segala hal—khususnya mengenai keselamatan Ella. Oleh karena itu, James diam-diam memasang pelacak di ponsel Ella yang terkoneksi dengan ponsel para pengawal di rumah. Ben tersenyum penuh kemenangan sa
Sialan!Entah sudah berapa kali Ella memaki sampai saat ini. Sudah setengah jam berlalu dan belum ada tanda-tanda jika Max akan segera keluar dari pintu itu. Juga Ella sudah lupa, berapa kali dirinya melirik spion, memastikan bahwa gerombolan di belakang sana semakin mendekatinya. Sebut Ella terlalu besar kepala, mengira gerombolan itu mengincarnya, tapi bagaimana jika itu adalah yang sebenarnya? Kalau gerombolan itu tiba-tiba saja mengepung mobil, Ella tidak tahu bagaimana cara untuk melindungi dirinya. Bisa saja dia berteriak, tapi butuh waktu berapa lama untuk Max mendengar dan segera berlari menyelamatkannya. Bahkan Ella yakin, Max hanya akan berdiri di teras rumah bobrok itu dengan senyum menyebalkannya.Namun, semua pikiran buruk itu, ternyata tidak mampu membuat panas dan rona merah di pipi Ella menghilang. Sejak dirinya membuka mata pagi tadi dan menemukan dirinya dalam pelukan Max, membuat degup jantungnya berantakan. Mengingat bagaimana Max menyentuhnya, memb
Bertahun-tahun lalu, tidak ada yang bisa dibanggakan dari kehidupan seorang Maxwell Cerg, terlebih setelah ia kehilangan istrinya. Membiarkan putra satu-satunya bekerja untuk bisa membeli sebungkus permen. Hingga ia bertemu dengan dua sahabat yang dikenalnya saat menghabiskan uang asuransi istrinya di bar. Beberapa tahun mengenal Arian dan Samuel, benar-benar mengubah kehidupan Max yang miskin, setidaknya ia bisa memperbaiki atap rumahnya yang bocor dan mengajak putranya pergi memancing setiap akhir pekan.“Kau ingin berhenti?”“Ben membutuhkanku. Selama ini aku sibuk bersama kalian, setidaknya aku akan mencari pekerjaan yang tidak terlalu banyak menyita waktuku,” jawab Max.“Apa Sam tahu tentang ini?”Max menggeleng. “Aku belum memberitahunya.”“Aku yakin, dia tidak akan mengizinkanmu berhenti.”“Oh, ayolah, Arian. Mau sampai kapan kau bekerja seperti ini? Kau pikir ayah si nona muda akan memberimu restu, jika kau masih bekerja serabutan seperti ini? Setidaknya, jadilah pelayan di re
Seolah langit turut berduka, tiada matahari bersinar di langit Rotterfort beberapa hari ini. Peristiwa penembakan di depan teater menjadi tajuk utama hampir seminggu lamanya. Selama itu pula Ernest Softucker mengerahkan seluruh sumber daya yang dimilikinya untuk mencari pembunuh istri dan adik perempuannya. Setiap hari, ia akan datang ke kantor polisi dengan satu koper uang untuk informasi apa pun tentang komplotan pembunuh. Namun, sudah hampir seminggu pula, belum ada kabar tentang para pelaku. Polisi menduga para pelaku sudah meninggalkan Rotterfort setelah melakukan pembunuhan. Tentu saja Ernest tidak percaya begitu saja. Diam-diam, ia juga menyewa penyelidik swasta, bahkan sayembara dengan hadiah ratusan juta untuk setiap kepala pelaku.“Sampai kapan kau akan seperti ini?”Ernest mendongak dari lembaran dokumen di mejanya. Tersenyum kecil melihat adik iparnya yang terlihat sama tidak bergairahnya seperti dirinya, setelah kehilangan istrinya. “Kala
“Kau baik-baik saja?” tanya Vernon seraya mendorong segelas brendi ke depan Ben. “Kau sudah dengar kabar terbaru tentang Sam?”Ben mengangkat wajahnya menatap Vernon.“Kuharap, ini tidak ada kaitannya dengan luka di wajahmu, Ben. Atau…” Vernon menghela napas. “Apa yang kau pikirkan? Kenapa kau nekat menemuinya? Apa kau tidak bisa memulai hidup baru seperti yang diinginkan ayahmu?”“Apa kau bisa melakukannya jika ini terjadi pada Peter?”“Bukan begitu, Ben. Maksudku, kau boleh saja menemuinya untuk meminta penjelasan, tapi tidak perlu menghajarnya sampai mati.”Ben menurunkan gelas brendinya, keningnya mengerut. Terakhir kali ia melihat Sam empat hari lalu, Ben yakin pria tua itu masih bernapas, bahkan mengacungkan pistol ke gerombolan yang hendak menculik Ella.“Berita dari mana itu? Aku tidak membunuhnya!” desis Ben tepat di depan wajah Vernon,
Ella memutuskan untuk tinggal sementara waktu di pondok. Entah sampai kapan, tapi setidaknya sampai ia bisa menguasai emosinya dan tidak muntah saat melihat wajah James Softucker. Semua terjadi begitu tiba-tiba, seolah bersamaan menyerbu Ella. Semua hal-hal yang terasa asing, aneh, tapi sangat memengaruhi suasana hatinya. Semenjak ia terbangun di kamar Max beberapa hari lalu, pikirannya yang seolah kembali waras sedang berusaha memproses semua hal itu dengan cepat. Namun, hingga detik ini, Ella belum menemukan jawaban atas segala pertanyaannya. Ella hanya mengerti akan satu hal, yakni: suara yang terus memintanya berlari kala itu adalah suara ibunya—dan Ella yakin akan hal itu.Seolah potongan bayangan yang memenuhi kepalanya itu belum cukup buruk, setiap malam Ella tidak lagi bisa tidur nyenyak. Setiap kali ia memejamkan mata, ia seperti terlempar ke suatu masa, yang ia tidak tahu kapan tepatnya, dan pemandangan seorang pria tergeletak di bawah kakinya, berlumuran dara
Ben menikmati saat-saat seperti ini. Di mana seorang Radella terlihat gelisah, gusar, karena tidak mendapatkan apa yang diinginkannya. Hanya orang bodoh yang tidak bisa melihat perasaan Ella padanya. Meski Ben sendiri juga sebenarnya terlambat menyadari tanda-tanda itu. Tuhan benar-benar membantunya! Kini, Ben hanya perlu membuat Ella semakin menginginkannya, semakin bergantung padanya, dan tidak bisa tanpa dirinya. Kedengarannya terlalu berlebihan? Well, Ben tidak peduli dengan kenyataan itu.“Kau pengawal baru?”Seorang wanita paruh baya dengan rambut yang seluruhnya digelung, dan berpakaian sangat rapi yang menyambut Ella tadi, kini berbalik menatap Ben dengan ekspresi penuh selidik.“Biasanya Dave dan Lucas yang mengantar nona kemari.”Ben mengatur ekspresinya agar tampak sedikit lebih ramah. “Ah, iya, aku pengawal baru. Max,” ujar Ben memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangannya.Wanita itu ters