POV BobbyKejadian yang menimpa Danu membuat rencanaku harus terhenti sementara waktu. Aku juga tak tega melihat Arini yang tengah bersedih karena melihat suaminya harus terbaring lemah dengan alat bantu menempel pada tubuhnya.Kasihan wanita muda itu. Sejak kecil sudah kehilangan kasih sayang dari kedua orang tua, dan kini harus menerima kenyataan pahit bahwa ibu yang sangat ia harapkan kepulangannya justru membawa bencana dalam rumah tangga yang baru saja ia bangun.Arini sangat berbeda dengan Hera, baik dari penampilan maupun karakter. Di mataku ia wanita tangguh dan juga cerdas. Cara memajemen emosi begitu apik. Pembawaannya kalem dan tenang, tidak suka mengedepankan emosi.Yang aku suka dari Arini adalah cara ia menghadapi masalah. Aku belajar banyak hal darinya, termasuk bagaimana cara menghadapi Hera yang arogan. Banyak hal yang aku kagumi dari sosok muda nan lincah itu.Ah, diam-diam kehadiran Arini mengusik pikiranku. Seandainya takdir mempertemukanku dengannya sebelum Hera h
POV DanuMalam telah larut kala lantunan doa untukku mulai terdengar menyentuh langit. Sosok wanita dengan balutan mukena putih sedang bersimpuh. Dengan diiringi rinai bening yang bergulir di pipi, ia terus meminta Sang Pemilik Kehidupan untuk mengembalikanku.Hari ini, tepat dua puluh satu hari aku terpisah dari raga. Keputusasaan dan kekhawatiran tergambar jelas di wajah bidadari surgaku. Malam ini tangisnya lebih mendalam dari sebelum-sebelumnya.Mungkin karena pernyataan ayah tadi sore. Ayah yang tidak tega melihatku terkapar tak berdaya meminta persetujuan ibu dan Arini untuk mencabut semua alat bantu yang menempel di tubuhku.Entah kenapa ayah justru membuatku makin down. Tidak hanya aku, namun juga istriku yang saat ini sedang mengandung benih dariku. Ya, ada Danu junior dalam rahim Arini.Aku belum siap untuk mati. Aku tak akan rela meninggalkan Arini dan anakku, aku juga tak rela jika nantinya Arini menikah lagi dan melupakan aku.Bagaimana pun caranya, aku harus kembali dan
POV DanuDetik jarum jam masih dapat kudengar, menit demi menit waktu terus berlalu tak menghiraukan aku yang dalam kegalauan. Sedari pagi kurapalkan doa, mengharap sebuah keajaiban datang sebelum malaikat benar-benar datang menghampiri.Ayah dan ibu telah bersiap dengan buku kecil. Begitu juga dengan Arini. Pagi ini, ia mengenakan gamis putih polos dengan paduan hijab berwarna putih tulang.Arini duduk di sisiku sembari terus menggenggam jemariku. Bulir bening masih saja mengambang di kelopak netra sembabnya. Bobby yang datang terakhir memilih berdiri di dekat kakiku.Semua hadir untuk doa bersama. Entah doa apa yang sebenarnya mereka inginkan. Jika mereka ingin aku hidup, tak seharusnya menyuruh Arini menandatangani surat yang memaksaku untuk meregang nyawa.Jujur, aku sedih mengetahui itu semua. Di mana letak kemanusiaan mereka? Ini sungguh tidak adil. Harusnya yang mati itu Hera, nenek semlohai penggoda yang ribet banget hidupnya. Ini malah kenapa aku yang harus mati? Jarum jam m
POV DanuTuhan selalu punya cara untuk menunjukkan jalan pada setiap hamba yang sedang kesulitan. Meski kembalinya kesadaranku dengan cara ekstrim, namun tetap patut disyukuri.Ciuman maut milik nenek semlohai hampir saja terulang kembali. Tak bisa kubayangkan detik-detik peristiwa itu, begitu mendebarkan. Ah, mungkin aku yang terlalu lebay.Tapi, baiklah. Sekarang aku tengah menikmati waktuku bersama bidadari surga yang pernah aku anggap lebih beruntung karena mendapatkan aku, pria tampan pujaan para wanita.Pada kenyataannya, justru akulah yang sangat beruntung karena memiliki istri sebaik Arini. Ia ternyata wanita yang sangat tangguh, wanita super dan juga cerdas. Dan satu lagi, dia wanita yang tak pernah komplain dengan kekuranganku.Ya, aku akui ... aku memang sering kepo, keceplosan, kebanyakan mikir ... tapi, semua itu bukan masalah besar. Toh itu semua hal normal yang bisa terjadi pada setiap orang.Ingat, aku bukan lemot atau telat mikir. Aku hanya penuh perhitungan dalam set
Kala bintang itu terus berputar dan menimbulkan rasa nyeri di kepala, segera kuteguk minuman yang telah tersaji di hadapanku. Perlahan pusing itu berkurang, kupijit pelipis dan kembali meneguk air."Kenapa, Mas? Mas Danu nggak enak badan?" Tampak Arini begitu khawatir, mungkin karena keadaanku yang belum benar-benar fit."Nggak, Dek. Kepala Mas hanya sedikit pusing." Kugelengkan kepala dan masih memijat pelipis."Mau pulang saja?" Ia genggam jemariku, tatapannya penuh kecemasan."Nanti saja, Dek. Nggak enak dengan Niko.""Ya, sudahlah. Tapi kalau memang Mas nggak kuat, kita bisa pulang."Sekali lagi kugelengkan kepala. Rasa penasaran lebih menguasai pikiranku. Aku tak boleh melewatkan sedikit pun cerita yang terjadi."Selamat sore semua, terimakasih telah hadir dalam perayaan ulang tahun Yayasan Panti Asuhan Kasih Bunda yang ke-36 tahun." Niko memulai sambutannya."Sebagai anak asuh yang telah mendapat bantuan dari panti asuhan ini, saya benar-benar berterimakasih kepada semua penguru
Kuhempas kasar tubuh ke sofa di ruang tamu. Nyeri yang kurasa tak hanya di kepala, namun juga di hati. Tak habis pikir kenapa Arini lebih memilih wanita itu daripada aku, suaminya.Mungkin Arini terbawa suasana sehingga ia lupa bahwa surga bukan lagi di kaki ibunya, melainkan pada bakti ke suami. Ya, mungkin sekarang ini Arini sedang khilaf dan takut kehilangan sosok wanita yang ia anggap ibu.Kupijat pelipis sembari meluruskan tubuh dan memejamkan netra. Berharap, setelah bangun nanti semua keadaan akan membaik.Percuma, pikiran tetap saja melanglang ke sana kemari, hati juga telah tercuri ketenangannya. Rasa tidak ikhlas merelakan semua yang terjadi begitu mengusik batin.Sungguh, aku masih sulit menerima jika Hera yang telah membuatku sekarat hanya menerima balasan ringan seperti itu. Aku tahu Tuhan itu Maha Adil, mungkin saja karma dia akan tiba nanti. Tapi hati ini benar-benar tak sabar melihat wanita jahanam berlumur dosa itu mendapat karma yang luar biasa menyakitkan.Ah, mungk
Aku bersyukur kehidupanku telah kembali normal. Kebahagian menaungi rumah tanggaku dengan Arini. Semakin lengkap ketika istriku melahirkan dua Danu junior alias kembar.Sungguh nikmat yang tiada tara. Lahirnya Darin Saputra dan Darin Saputri membuat Arini harus resign dari pekerjaannya. Sedangkan aku, oleh Pak Rahman dipercaya mengurus bisnis kuningan yang pangsa pasarnya sudah internasional.Pak Rahman banyak mengajariku ilmu bisnis, bahkan belajar cara mendesain kerajinan dari bahan kuningan juga ia berikan. Sungguh Tuhan telah mengganti semua cobaan dengan nikmat yang tak terhingga.Sore itu aku bersama istri dan anak-anak berkunjung ke Pak Rahman. Sampai di depan gerbang segera kutepikan mobil. Sejenak memperhatikan kendaraan roda empat yang tak asing bagiku."Kenapa, Mas? Kok, nggak langsung masuk?""Itu sepertinya mobil Ayah mertua muda, Dek?""Bang Bobby?""He-um.""Memangnya kenapa kalau itu mobil Bang Bobby? Kan, masih luas halaman parkirnya."Sungguh istri yang tidak peka. A
Sore itu rintik air dari langit datang menyapa senja. Mentari enggan menampakkan wajah sejak siang, ia memilih bersembunyi di balik gumpalan awan hitam yang berarak.Kuhentikan sejenak aktivitas di depan laptop, menyeruput kopi yang hampir dingin kemudian melirik penanda waktu."Hampir maghrib," batinku.Suasana rumah begitu lengang. Sudah dua hari ini Arini di rumah Pak Rahman. Lelaki yang memasuki usia senja itu mengabarkan bahwa sedang tidak enak badan. Setelah meminta ijin denganku, Arini buru-buru ke sana.Pak Rahman tinggal di rumah mewah itu hanya dengan supir dan asisten rumah tangga. Ia memutuskan tidak menikah lagi demi Arini, bahkan hingga saat ini putri semata wayang itu masih terus jadi prioritas.Wejangan demi wejangan selalu ia berikan untukku, terutama pesan untuk terus menjaga puterinya. Tanpa ia minta pun sebenarnya aku akan mati-matian mempertaruhkan segalanya demi wanitaku itu.Tiba-tiba kerinduan terhadap Arini dan dua juniorku menelusup dalam kalbu. Segera kuambi