Dahiku sedikit mengkerut saat mendengar ucapan Sandi yang sama sekali tidak aku mengerti. Lagipula untuk apa dia meminta maaf, bukannya dia sudah banyak membantuku selama ini.
Sambil tersenyum tipis, segera kusingkirkan tangannya yang berada di bahuku dan berkata, "jangan meminta maaf, harusnya Mbak berterima kasih padamu karena sudah ada."
"Jadi, Mbak sudah tahu apa yang aku katakan?" tanya Sandi dengan cepat, membuatku langsung berputar dan kembali menatap manik matanya.
"Ya, mungkin kamu akan meminta maaf karena telah membuat keributan di kantor," jawabku dengan sepenuh hati, karena memang itulah yang aku pikirkan.
Sandi tertunduk, hingga beberapa saat kemudian menggeleng pelan. Tentu saja hal itu membuat aku semakin kebingungan.
"Sebenarnya ... aku sudah mengetahui perselingkuhan Mas Ardi. Hanya saja, aku tidak ingin mengatakan semuanya pada Mbak. Aku--"
Belum sempat aku benar-benar menjauh dari hadapan Mas Ardi, tiba-tiba sebuah teriakan yang cukup mengagetkan menggema di seisi ruangan. Hingga akhirnya, terdengar sebuah suara pukulan yang cukup keras.Saat aku berbalik, terlihat Mas Ardi sudah tergelatak di dekat sopa. Sementara itu, tidak jauh dari tempatnya berada, Sandi terlihat mengepalkan tangan dengan dada naik turun dan rahang mengeras.Dengan gerakan cepat, segera kuhampiri Sandi dan menariknya dengan cukup kasar. Tapi, sayang tubuhnya tidak bergerak sama sekali, tatapannya masih berfokus pada Mas Ardi yang sedang menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya.Sandi kembali melangkah dan siap melayangkan pukulannya ke wajah Mas Ardi. Tapi, dengan sigap aku segera berteriak."Stop!"Mas Ardi maupun Sandi sama-sama menoleh ke arahku. Dengan wajah memerah dan melotot sempurna, Sandi
Waktu terus berlalu, hingga tidak terasa sudah dua hari semenjak kejadian itu menimpaku. Bohong jika aku berkata, kalau rasa sakitku sudah berkurang. Karena pada nyatanya hal itu masih tetap sama.Walaupun merasa ada yang sedikit berbeda, aku tetap harus kembali menjalani kehidupan dengan lebih baik.Saat hendak pergi menuju balkon sambil membawa segelas teh hangat. Indra pendengaranku menangkap sebuah suara yang berasal dari kamar Sandi."Rudi sudah sampai? Baguslah. Bilang padanya untuk menemuiku di sebuah cafe yang sering aku datangi hari ini." Dari celah pintu yang sedikit terbuka, aku melihat Sandi sedang berbicara melalui sambungan telepon."Ya, benar. Pukul 12 siang saja."Tidak beberapa lama kemudian Sandi mematikan sambungan telepon dan menyimpan benda persegi itu di atas ranjang.Ketika Sandi hendak
"Ma-Mas Rudi, apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanya Icha terbata-bata, sementara di sampingnya terlihat Mas Ardi sedang menunduk dalam sambil berusaha merapikan bajunya yang sedikit berantakan.Beberapa hari yang lalu, aku memang menangis, tetapi tidak untuk sekarang. Aku bahagia, karena dapat terlepas dari seorang laki-laki bejad bernama Ardi.Tanpa memperdulikan tatapan orang-orang yang ada di sekitar. Kuhampiri Icha dan menarik dagunya dengan cukup kasar, hingga wanita itu meringis kesakitan.Plak ...Satu tamparan berhasil mendarat dengan mulus di pipi sebelah kanannya. "Itu untuk pengkhianatan yang telah kamu lakukan padaku, Icha." Hingga tamparan yang kedua kembali terdengar. "Dan itu untuk balasan yang telah kamu lakukan padaku tempo hari," geramku dengan nada tinggi.Dari sudut mataku, terlihat Mas Ardi hendak menghampiri. Tapi, dengan sigap aku segera menghentikan
"A-ayah, apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanyaku pada seorang pria paruh baya bertubuh tegap dengan kaca mata hitam yang menghiasi wajahnya. Sengaja tubuhnya bersandar pada mobil yang terparkir di depan rumah Sandi.Pria yang kupanggil ayah itu menoleh ke arahku dan Sandi, sebelum akhirnya menurunkan kacamata, hingga akhirnya manik mata kami saling bertemu satu sama lain."Bukannya Ayah sudah bilang, akan menemuimu hari ini," jawabnya dengan nada santai, tapi terkesan dingin."Kalian habis dari mana?" tambahnya."Kami ... dari luar," jawab Sandi dengan entengnya.Tanpa sepatah kata apapun Ayah langsung berbalik dan melangkah menuju sebuah kursi kayu berada di samping rumah. Ditariknya kursi tersebut ke belakang, sebelum akhirnya duduk di atasnya.Setelah menyuruh Sandi untuk menemani Ayah, aku langsung berlari kecil menuju dapur untuk mengambil minuman.
"Rena, tolong jangan ceraikan aku," lirih Ardi, lalu pandangannya beralih pada Ayah ketika aku tidak meresponnya. "Ayah, saya minta maaf, in--""Pergi!" murka Ayah dengan mata melotot, jari tangannya menunjuk Ardi. Terlihat pula urat dahinya yang sedikit menegang.Selama aku hidup, tidak pernah melihat ayah semurka ini. Biasanya dia hanya menegur. Tetapi, permasalah ini memang cukup besar, pantas saja beliau memperlihatkan sisi lainnya."Ayah, maafkan kesalahan saya. Saya menyesal.""Pergi! Kamu tidak ada hubungannya lagi dengan keluarga kami.""Say--"Diluar dugaan, tiba-tiba suara seorang wanita langsung menghentikan ucapan Ardi. Terlihat Ardi sedikit terbelalak saat melihat kedatangan Icha dari dalam mobilnya.Ah, aku bahkan baru menyadari jika mobilnya terparkir di hadapan mobil Ayah. Tapi, tunggu! Itu bukan mobil Ardi, melainka
Dari kejauhan kulihat Icha keluar dari mobil dengan keadaan tidak karuan. Baju dan wajahnya basah, sehingga riasan yang dia kenakan sedikit berantakan, begitupun juga dengan rambutnya.Gundiknya Ardi benar-benar sangat cantik, bahkan mengalahkan kecantikan artis yang sering aku lihat dalam drama."Cepat, pergi! Kenapa masih berdiri di sana?" teriakku tidak sabar menyaksikan keduanya tersiksa.Icha mendelik sambil bertolak pinggang. Sementara di sisi lain Ardi juga keluar dengan menenteng sebuah tas berwarna pink. Laki-laki itu mau saja dijadikan babu oleh Icha. Maklum saja, cinta sudah membutakan segalanya."Mas! Kita pulang naik apa?" keluhnya dengan bibir tertarik kebawah, kakinya terus saja menghentak tanah."Taksi, apa susahnya," jawab Ardi dengan santai."Pake duit kamu!""Duit aku? Gak ada, semuanya udah dikasih ke kamu Icha.
Sudah satu Minggu semenjak kejadian Ardi dan Icha berada di rumahku dan selama itu pula Ardi terus menghubungiku.Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran laki-laki itu, lagipula untuk apa terus mengusik. Dia pikir, aku akan memaafkannya, tentu saja tidak!Biarkan saja laki-laki pengkhianat bersatu dengan perempuan gatal, bukannya itu adalah perpaduan yang cukup bagus. Mereka pasti bahagia, ketika mendapatkan pasangan hasil curian.Ketika sedang asyik membaca majalah, tiba-tiba gawai yang berada di atas meja bergetar. Kuhembuskan napas kasar, ketika melihat nama Ardi terpampang di layar."Ada apa?" tanyaku tanpa basa-basi."Rena! Apa maksudmu? Untuk apa surat perceraian ini kamu kirimkan padaku?"Ujung bibir sedikit terangkat dan tanpa sadar mataku ikut berbinar ketika mendengar ucapan Ardi. Akhirnya surat itu sampai juga ke tangannya. 
"Pergi!" teriakku dengan intonasi tinggi sambil menunjuk ke arah jalan.Bukannya pergi, wanita berbaju merah maroon dengan sanggul yang menghiasi kepalanya dan beberapa pernak-pernik yang tidak terhitung jumlahnya segera mendekat dan menatapku dengan tajam.Terlihat jelas raut tidak suka tergambar di wajahnya yang lumayan terlihat muda diumurnya yang sekarang. Karena terawat dengan baik. Padahal, jika Ardi tidak bekerja di perusahaanku. Aku yakin, wajahnya tidak akan semulus itu.Dia adalah Marni, perempuan yang seharusnya aku panggil ibu mertua itu mendelik sambil menyeringgai. Wajahnya benar-benar sangat angkuh, aku tidak suka akan hal itu."Baik, kita semua akan pergi. Tetapi, dengan satu hal.""Apa?" tanyaku sewot, karena memang tidak ingin melihat segerombolan orang ini berada di depan rumahku. Cukup menganggu pemandangan."Jangan cerai