Carol kembali ke kantor setelah berhasil kabur dari pria aneh di mall tadi. Peluh di pelipisnya semakin terurai sebesar biji jagung. Kakinya lemas setelah berlari cukup jauh. Beruntung pria itu tak mengejarnya. "Kau kenapa?" tegur Damian yang berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya di dada. Carol tengah duduk di pojok ruangan dekat pintu masuk ruangan Damian. Ia tadi berniat ingin masuk ke dalam tapi lututnya tiba-tiba lemas tak bisa digerakkan. "Aku lemas tak bisa jalan. Bisa kau bantu aku?" Damian mengulurkan tangannya untuk membantu Carol berdiri. Ia memapah istrinya masuk ke dalam ruangannya. Ada yang aneh dengan Carol. "Ken, ambilkan air minum dingin dan segelas teh chamomile," perintahnya pada Ken. Asistennya itu segera pergi setelah diperintahkan. Sementara Damian membaringkan tubuh istrinya di kursi lebar dalam ruangan. "Kau kenapa?""Ada seseorang mengikutiku," ucap Carol, sedetik kemudian ia menggeleng. "Bukan, dia tertarik padaku."Damian mengerutkan dahinya bingung.
Mansion keluarga Easton sangatlah mewah. Kabar di luar sana beredar jika mansion itu adalah salah satu mansion tertua di kota Amberfest. Sejak tujuh puluh tahun yang lalu, bangunannya tak pernah berubah. Terhitung sejak kakek Damian lahir hingga sekarang, bangunan itu tetap kokoh berdiri. Saat Carol melangkahkan kakinya masuk ke halaman luas mansion keluarga Easton, suasana di sekitarnya tiba-tiba berubah. Terasa sejuk, tapi ada perasaan sungkan dan canggung di hatinya. "Apa kau akan diam saja di sini?" tanya Damian yang membuyarkan lamunan Carol. Karena sejak tadi, istrinya itu hanya diam mematung tak bergerak sedikit pun. "Kakiku terasa melekat di atas bumi. Bisakah aku pulang lebih dulu?" Carol tersenyum kaku. Kakinya memang tak bergerak. Mungkin efek takut dan ragu yang bercampur menjadi satu."Ada Erik di dalam." Damian menarik tangan Carol, mengajaknya masuk ke dalam mansion mewah itu. Carol terseok-seok walau akhirnya ia mengalah dan masuk dengan tenang ke dalam sana. "Woah
"Rachel itu, istri kedua mendiang kakak Billy yang meninggal karena kecelakaan." Carol duduk di sofa dekat kolam belakang mansion. Tadi Damian mengajaknya untuk bersantai di sana setelah makan malam. Rencananya, mereka juga akan menginap di mansion keluarga Easton yang mewah itu. "Kenapa dia masih di sini?" tanya Carol. "Maksudku, kan suaminya telah tiada. Jadi—""Ayah yang menyuruhnya tinggal di sini." Damian menghela napas berat. Matanya menerawang jauh ke atas langit yang malam ini berwarna terang. Carol mengikuti arah pandang suaminya. "Wanita itu rapuh. Dia butuh perlindungan.""Boleh aku berteman dengannya?" Damian mengangguk. "Kau boleh berteman dengan siapapun. Kecuali keluarga Parker."Carol terkekeh. "Aku bahkan tak memikirkan keluarga itu lagi.""Tapi tetap ingin membalas dendammu kan?"Carol tak membahasnya lagi. Ia sungguh lelah malam ini. Setelah masuk ke dalam kamar, ia langsung merebahkan tubuhnya di ranjang empuk itu. Matanya terpejam sejenak, sebelum seseorang tib
Fakta mengenai siapa Damian sebenarnya, belum ada yang berani membicarakan. Erik mengatakan, apa yang terlihat di depan mata bukanlah yang sebenarnya terjadi. Damian hanya menyembunyikan separuh dari misteri hidupnya. Tak ada yang tahu pasti apakah dia iblis atau malaikat. Carol melihat sosok Damian sebagai sosok dingin dan misterius yang terkadang sering bertingkah aneh. Selama ini, tak pernah sekalipun pria itu ringan tangan padanya. Walau wajahnya nampak sedikit kejam. Setidaknya, ia tetap memakai topeng malaikat di depannya. "Sedang membicarakan aku?" tanya Damian dari balik pintu ruang kerja yang kini terbuka lebar. Carol dan Erik saling melirik. Carol melengos, Erik terkekeh melihat reaksi kakak tirinya itu. "Kau terlalu percaya diri." Carol mencebik. Ia segera pergi dari hadapan Damian dan Erik. Kedua pria itu saling tatap lalu menggelengkan kepalanya. Erik melihat ke arah ruang tengah, memastikan Carol telah pergi dari sana. Setelah itu, ia berbisik perlahan di telinga Dam
Henry begitu menikmati waktunya yang santai bersama Lucy hari ini. Di tengah kesibukannya, ia teringat dengan istrinya yang telah diabaikannya berhari-hari. Wanita yang selalu bersama dengannya itu sungguh bahagia melihat perubahan sang suami. Perhatian inilah yang diharapkannya sejak pernikahan mereka dua bulan lalu."Kau memesan kamar VVIP?" tanya Lucy begitu dirinya masuk ke dalam bioskop. Seorang pekerja bioskop mengajak mereka naik ke lantai dua, di sana terdapat lima kamar VVIP yang diisi khusus bagi pengunjung terpilih. "Aku memesannya tiga hari lalu. Ini kejutan untukmu." Henry tersenyum. Lucy bahagia mendengarnya. Pria yang dicintainya memberikan kejutan di saat dirinya sedang sedih. "Terima kasih." Keduanya kini duduk di kamar VVIP ketiga yang terletak di lantai dua. Sebenarnya Henry ingin di bagian tengah, karena pemandangannya lebih menarik. Tapi di bagian itu, telah dipesan dua jam sebelum dirinya. Kedua mata Henry menyipit, melihat pekerja bioskop berkali-kali masuk
Awal hari yang indah, diawali senin pagi yang membuat semua orang enggan pergi dari peraduannya. Begitu juga dengan Damian. Matanya masih setengah mengantuk, karena tadi malam Carol mengajaknya berkeliling pasar malam tengah kota. Carol mencoba berbagai macam makanan khas tanpa henti. Damian saja yang hanya melihatnya, sangat enggan untuk mencoba. Carol rupanya belum bangun dari tidurnya. Wanita itu masih nyaman bergelung di dalam selimut. Jam dinding telah menunjukkan pukul enam pagi. Sudah waktunya, mereka mempersiapkan diri untuk berangkat menuju kantor. Hari ini, ada presentasi hasil rapat minggu lalu. Akan ada tuan Domsley datang untuk mengawasi. "Carol, bangunlah. Hari ini ada presentasi dari divisi pengembangan. Kau ikut mengawasinya." Damian mengguncang-guncang tubuh Carol yang masih belum mau bergerak. Damian menarik lengannya, lalu memberi satu kecupan di dahi mulus Carol. "Kalau tidak bangun, akan aku cium bibirmu hingga bengkak." Mata Carol tiba-tiba terbuka. Lalu berla
Carol menatap serius ke arah layar proyektor yang menampilkan data hasil pengembangan perusahaan beberapa bulan ke belakang. Data itu pernah dibacanya saat ia baru masuk ke perusahaan Damian. Matanya menyipit dan kedua alisnya berkerut tak nyaman. Tangannya begitu lincah menari di atas kertas putih, mencatat apa saja hal yang dirasanya janggal dan aneh. Saat Jessica masuk ke dalam rencana anggaran, tiba-tiba tangannya berhenti bergerak. Jessica si pembaca presentasi terus berbicara sesuai dengan deretan angka yang tengah diperlihatkan di layar proyektor. "Semua rencana anggaran berasal dari rekomendasi dari berbagai macam pihak. Saya, sudah mendapatkan persetujuan dari tuan Damian dan tuan Marco," ujar Jessica sebelum menyelesaikan presentasinya. Carol mengangkat tangannya. Mulutnya gatal ingin mengomentari isi dari presentasi wanita berambut pendek di depannya. "Saya pernah membaca draftnya beberapa minggu lalu. Semua yang anda ceritakan di depan tadi, sedikit berbeda dengan yang
Henry menggeram menahan marah, mengabaikan panggilan dari asistennya yang sejak tadi berdiri di dekat meja. Satu jam lalu, seseorang memberitahu sebuah informasi yang menurutnya sangat berbahaya untuk masa depan perusahaannya. Henry memejamkan matanya. Ia memikirkan skenario untuk mencegah kerugian apabila apa yang ada di kepalanya benar terjadi. 'Carol bekerja di perusahaan milik Damian.' Sebuah informasi yang cukup membuat darahnya berdesir hebat. Bukan karena kemunculan kembali Carol setelah sekian lama menghilang. Sempat beredar kabar jika dirinya bekerja di Harold Times tapi kini ia malah berada di perusahaan pesaingnya. Bukan, bukan takut hanya saja nasib perusahaan sedang dipertaruhkan kali ini. "Bodoh!" Henry meremas rambutnya. "Kenapa dia berada di pihak Damian? Apa mungkin semua kegagalan yang perusahaanku alami akhir-akhir ini karena ulah Carol dan Damian?"Pintu ruangan diketuk. Asisten Henry masuk bersama nyonya Ferlestin. Istri pamannya itu sering datang mengunjunginy
Pesta pernikahan Damian akan dilangsungkan di sebuah gedung besar milik keluarga Easton. Gedung yang didirikan bersebelahan dengan hotel terbesar di Amberfest. Sungguh kehormatan bagi Carol bisa merasakan kemewahan yang tak pernah dirasakannya saat menikah dengan Henry. Jika dibandingkan, pernikahan pertamanya dulu sangatlah dramatis. Diawali dengan paksaan dan diakhiri dengan pengkhianatan. Tak ingin memikirkan masa lalu, Carol lebih senang mematut gaunnya yang kemarin datang ke rumah. Gaun cantik yang akan membuatnya seperti putri kerajaan saat memakainya. Semalem, Erik datang ke mansion mewah Damian. Carol memukulnya satu kali karena berita yang disiarkan oleh media milik Harold Times membuat kesalahpahaman. Hampir saja Damian diisukan menyukai sesama jenis. Erik meringis dan meminta maaf saat itu. Ia mengatakan, persiapan pernikahannya sudah selesai. Erik bahkan memuji gaun milik Carol dan itu lebih indah daripada yang dikenakan Carol dulu."Sayang, acaranya akan dimulai setenga
Sesuai janjinya pada Damian, Erik telah memerintahkan wartawan entertainment yang selalu terpercaya akan berita gosip di seputar artis untuk datang meliput kedatangan Damian ke sebuah butik terkenal di Amberfest. Butik itu pula yang dulu pernah didatangi oleh Carol saat akan menikah dengan Henry. Si pemilik butik masih ingat dengan wajah cantik Carol saat pertama kali datang ke sana. Hingga lima tahun berlalu, wajah cantik itu masih tetap cantik. Helga, si pemilik butik tak terlalu terkejut melihat siapa pria yang dibawa oleh Carol saat memasuki butiknya. Vivian, salah satu pelanggan butiknya telah memberitahu lebih dulu akan kedatangan Carol dan Damian. Namun tidak dengan para pegawai yang telah menunggu kedatangan mereka sejak satu jam yang lalu. Mereka terkejut hingga menganga lebar begitu melihat sepasang suami istri datang dari balik pintu kaca di depan mereka. Carol dan Damian datang saling menautkan lengan mereka. Mereka tersenyum manis menyapa para pegawai yang berdiri mema
[Breaking news: Damian Easton, pewaris sah Genius groups mengumumkan pernikahannya. Hari minggu ini akan diadakan resepsi pernikahan yang mewah di gedung Bailton. Adapun mempelai wanitanya diberitakan masih menjadi misteri. Damian Easton sendiri akan mengumumkannya dalam acara resepsi tersebut. Rumor menyatakan, jika istri Damian adalah seorang pewaris dari keluarga Dustin.]"Kau yang menulis beritanya?" Damian menunjuk layar tv yang menampilkan berita tentang dirinya yang akan menikah pekan depan. Erik menyeringai. "Kau tidak salah saat mengumumkannya?""Tidak, aku tidak salah. Ada apa?" "Kau menuliskan bahwa calon istriku adalah pewaris keluarga Dustin. Kau tahu, semua orang hanya mengetahui namamu sebagai pewarisnya. Nanti mereka pikir, aku akan menikah dengan—" Erik menepuk dahinya. Ia baru teringat akan hal ini. Di luar sana, hanya nama dirinya saja yang terkenal sebagai pewaris keluarga Dustin. Mungkin saja setelah berita ini tersebar, akan muncul berita lainnya yang akan menj
Damian menyewa seorang detektif untuk mencari keberadaan Rachel yang pergi dari rumah kediaman Easton dua minggu yang lalu. Menurut ayahnya, Rachel bercerita telah mendapatkan pekerjaan di daerah Ilba. Entahlah, itu benar atau hanya alasan dia saja. Namun insting Damian mengatakan, jika sebenarnya Rachel diam-diam menemui keluarga nyonya Ferlestin tanpa sepengetahuan keluarga Parker. Rachel adalah keponakan nyonya Ferlestin. Dia adalah anak saudaranya yang meninggal beberapa tahun silam karena penyakit jantung. Perselingkuhan yang dilakukan oleh anaknya, salah satu penyebabnya. Hal itu pula yang menyebabkan Rachel tak berani pulang ke rumah orangtuanya dan memilih untuk bertemu nyonya Ferlestin. Tebakan Damian tepat. Rachel diketahui berada di kediaman nyonya Ferlestin tanpa ada seorang pun tahu. Keluarga Parker tidak mungkin berada di sana, mereka membenci wanita itu. Sebenarnya, nyonya Ferlestin pun tak menyukai keluarga itu. Hanya karena hubungan dengan suaminya yang mengharuskan
Pertemuan malam itu sedikit banyak membahas mengenai projek yang akan dikerjakan oleh Billy dan Mr Zuck. Damian hanya mengarahkan saja. Billy percaya pada kakaknya, karena intuisinya sangat menguntungkan. Kakaknya tahu semua hal yang berguna dan tidak dari sisi seorang pelanggan atau orang ketiga. Alan tak banyak bicara. Tugasnya hanya mencatat segala hal penting dari pertemuan singkat malam ini. Bukan hanya karena hal itu. Yang paling membuatnya tak bisa berkata-kata adalah mimpinya bertemu dengan Carol dan menyatakan perasaannya kini hilang tanpa bekas. Ya, Alan menyukai Carol sejak pertama kali bertemu. "Anda sangat jenius tuan Damian. Saya sangat senang dengan ide yang anda berikan. Bagaimana tuan Billy?" Billy yang diajak bicara hanya mengangguk. Ia juga sangat setuju. Terlebih, ide yang diberikan oleh Damian sangatlah unik. Bahkan dirinya tak pernah terpikirkan akan hal itu. "Sebenarnya ini adalah saran dari Carol. Kami pernah berdiskusi tentang projek sekolah aktor dan terny
"Tuan Damian." Seseorang berlari memanggil Damian yang berjalan menuju lift petinggi di ujung lorong. Damian menghentikan langkahnya lalu menoleh dengan tatapan tajamnya. "Ada apa?" tanya Damian dengan suara dingin. "Hari ini, Mr Zuck ingin bertemu di restoran. Mereka ingin membicarakan rencana untuk projek yang saat itu dikerjakan oleh tuan Billy." staf yang memanggilnya tadi ternyata adalah salah satu staf yang menangani projek kerjasamanya dengan Billy. "Aku tak bisa. Kau bisa minta dia untuk datang ke rumahku. Kita makan malam bersama di sana." Ken membelalakkan matanya. Ia tak percaya bosnya mengajak orang asing datang ke rumah mewahnya. Damian yang peka dengan keterkejutan Ken hanya tersenyum. Staf yang diperintahkan tadi segera pergi setelah mendapat perintah dari Damian. "Tidak masalah, Mr Zuck datang ke rumah anda?" tanya Ken bingung."Semua bisa datang, kecuali keluarga Parker." Ken mengangguk paham. Ia mengikuti langkah Damian yang tujuannya adalah rumah mewahnya. Ca
Erik tiba lebih dulu di kantor milik Damian. Ruangan besar itu masih tampak sepi, karena pemiliknya belum juga datang. Saat tadi dirinya menginjakkan kaki di ruangan itu, seluruh staf yang berada di sana memindai wajah Erik lekat-lekat lalu berekspresi seperti sedang memikirkan sesuatu di kepalanya. Tak peduli dengan hal itu, Erik memilih duduk dan menikmati secangkir kopi hangat. Tuan David sempat duduk sebentar, lalu pergi setelah asistennya datang memberitahu sesuatu.Sambil menunggu Damian, Erik membuka ponsel mencari sesuatu yang bisa membuatnya tertawa. Sedang sibuknya membuka media sosial, tiba-tiba saja notifikasi dari nomor Carol tertera di layarnya. [Aku kirimkan sesuatu padamu]Ting! Erik mengerutkan dahinya. Ada sebuah rekaman video berdurasi tiga menit yang masuk ke aplikasi pesannya. [Itu video siapa?][Itu mantan kekasih Damian.]Erik membuka video itu lalu memutarnya. Pada awal video, ia hanya melihat mobil mewah di depan pagar yang hancur berantakan. Lalu beralih
"Damian?" Carol mencari sosok Damian di sampingnya. Masih terasa hangat, berarti suaminya itu belum pergi terlalu lama. Carol menggeliat sejenak, merapikan ototnya yang kaku karena sesi percintaan dengan suaminya semalam. Mengingat hal itu, pipi Carol langsung memerah malu. "Morning!" sapa Damian. Pria itu baru saja ke luar dari dalam kamar mandi dengan menggunakan handuk di pinggangnya. Carol meneguk ludahnya kasar. Ia ingat, semalam Damian juga sama berpenampilan seksi seperti itu saat mereka bercinta. "Morning. Maaf, aku bangun terlambat." Carol berusaha beranjak dari tempat tidur namun tangan Damian menahannya. "Tak masalah. Kau hari ini tidak usah masuk kantor. Nanti Ken akan mengantarkan mu pulang ke rumah lalu ke kantorku." Damian duduk di tepi ranjang lalu menarik tubuh Carol yang masih lemas. Wajahnya kusut karena baru bangun, rambutnya pun masih berantakan. Damian mengecup keningnya. "Ya, aku masih merasa lemas dan mengantuk." Carol bangun dari tempat tidurnya. Berjala
"Carol telah mengetahui semuanya." Damian berdiri di depan jendela yang mengarah ke taman belakang rumah ayahnya. Satu helaan napas ke luar dari mulutnya. Sepertinya sangat lelah sekali. "Apa yang dia katakan? Dia marah?" tanya Erik yang tengah memainkan bola kecil di atas meja biliar. Damian mengangguk. "Wajar saja. Kau tahu, dia mengalami banyak penderitaan saat kau pergi. Aku yang menemaninya. Lalu, kakek menikahkannya dengan Henry. Pria jahat itu." Damian menoleh. Tangannya mengepal marah. Hampir saja gelas yang tengah dipegangnya hancur berantakan. Mendengar nama Henry membuat darahnya mendidih. "Pria itu menjadikan Carol sebagai pemikat. Carol sering bercerita, Henry selalu mengancamnya mencari investor untuk membantu projeknya. Lebih gilanya lagi, seluruh hasil desain miliknya diakui oleh Henry." Erik terdiam. Terlalu malas melanjutkan permainan, ia memilih bergabung dengan Damian. "Apa yang dia lakukan setelah itu?"