"Ada apa?"
Wajah dokter yang menangani Damian sedikit pucat. Ia menoleh pada Ken yang bertanya padanya tadi."Saya dapat telpon dari kediaman tuan Damian. Katanya, nyonya Carol tengah kesakitan. Perutnya tiba-tiba kram," jawab dokter setengah panik."Apa!" Damian tiba-tiba berteriak. Sakit di kepalanya hilang seketika. Carol sakit? Di bayangannya, ia melihat Carol tengah memegang perutnya yang tak nyaman. "Ken, siapkan mobil. Kita pulang.""Tuan Damian sedang demam. Kita—""Aku lebih mementingkan kesehatan istriku. Sakit seperti ini telah biasa aku rasakan. Dokter, ayo ikut ke rumah." Damian menyeret dokter paruh baya itu ke luar ruangan. Ia melupakan dua orang yang masih ada di dalam sana. Keduanya saling memandang satu sama lain dengan ekspresi aneh."Erik, kita bagaikan udara yang tak kasat mata di hadapan Damian," celetuk David."Butiran debu di padang pasir," balas Erik.Di dalam mobil, Damian berka"Selamat sore nona Carol." Alan membungkukkan tubuhnya menyapa Carol yang berdiri dengan tatapan bingung di depan pintu rumahnya. Di sebelah Alan, ada Rachel yang pernah dilihatnya di rumah besar keluarga Easton beberapa bulan lalu. Carol memicingkan matanya. "Kalian—""Nona Carol, aku sungguh tidak tahu jika orang yang ingin ditemui oleh Alan adalah dirimu. Dia tadi hanya bercerita ingin bertemu wanita yang pernah berkenalan dengannya di sebuah mall." Rachel mendorong bahu Alan yang malu-malu memegang tengkuk kepalanya. Carol yang masih bingung ikut tersenyum melihat tingkah kedua orang di hadapannya ini. "Kalian, masuklah. Sebentar lagi Damian pulang, kita akan makan malam bersama." Rachel dan Alan mengangguk pelan. Ia mengikuti langkah Carol menuju ruang tengah. Sementara Carol kembali ke kamar untuk mengganti pakaiannya, Samia datang dengan membawa makanan dan juga minuman. Tak lama kemudian, Carol menghampiri kedua tamunya. Sudah lama dirinya tak memiliki teman untuk diajakn
Sejak kembali dari rumah sakit, Damian terlihat bingung. Bukan karena tak suka dengan berita kehamilan Carol, tapi ini terlalu berbahaya bagi dirinya dan juga sang istri tercinta. Carol sangat menginginkan anak, sesuai dengan perjanjian dengannya satu tahun yang lalu. Namun yang jadi masalah, dirinya belum berhasil membalaskan dendam pada Henry. "Apa yang kau pikirkan?" tanya Carol sambil mengusap lengan kekar suaminya. Kepalanya juga ikut bersandar di lengan itu. Carol rasanya ingin terus bermanja-manja seperti ini setiap hari. "Kau tak suka dengan anak ini? Aku juga tidak tahu mengapa ia hadir sebelum semuanya selesai. Aku juga sama takut sepertimu." "Aku mengkhawatirkan keselamatanmu. Kau tahu, aku sedang memulai perang dengan Henry. Pasti sebentar lagi dia akan segera menemui aku dan mengancam." Damian menoleh, menangkup tangan Carol lalu menaruhnya di pipi. Carol bisa merasakan kehangatan menyebar di telapak tangannya yang semula dingin. "Carol, aku masih bisa bertahan kalau it
"Ada apa?" Wajah dokter yang menangani Damian sedikit pucat. Ia menoleh pada Ken yang bertanya padanya tadi. "Saya dapat telpon dari kediaman tuan Damian. Katanya, nyonya Carol tengah kesakitan. Perutnya tiba-tiba kram," jawab dokter setengah panik. "Apa!" Damian tiba-tiba berteriak. Sakit di kepalanya hilang seketika. Carol sakit? Di bayangannya, ia melihat Carol tengah memegang perutnya yang tak nyaman. "Ken, siapkan mobil. Kita pulang." "Tuan Damian sedang demam. Kita—" "Aku lebih mementingkan kesehatan istriku. Sakit seperti ini telah biasa aku rasakan. Dokter, ayo ikut ke rumah." Damian menyeret dokter paruh baya itu ke luar ruangan. Ia melupakan dua orang yang masih ada di dalam sana. Keduanya saling memandang satu sama lain dengan ekspresi aneh. "Erik, kita bagaikan udara yang tak kasat mata di hadapan Damian," celetuk David. "Butiran debu di padang pasir," balas Erik. Di dalam mobil, Damian berka
Ketegangan di dalam ruangan rapat masih terasa. Marco dan Damian masih bersama ego mereka. Damian telah mengira semua ini sangat sulit untuk dilakukan, mengingat ada keterikatan antara ayah dan paman jauhnya. Sebenarnya, apa yang telah Marco perbuat telah melampaui batas. Ia pantas mendapatkan peringatan dan hukuman. Setidaknya, Damian tidak terlalu kejam padanya. Marco hanya ditempatkan di kantor cabang, bukan dipecat secara tak hormat.“Paman, bukankah tindakan Damian sangatlah melampaui batas? Aku berhak mengajukan keberatan.” Marco semakin tak terima dan kini mengadu pada David Easton yang juga pamannya. Di dekat pintu ke luar, ada Erik yang duduk tenang sambil membenahi letak kacamatanya. Ken yang baru saja datang dari ruangannya juga ikut duduk di samping Erik.“Kami tidak bisa menolerir segala bentuk pengkhianatan. Mengirimmu ke Yelva bukan berarti memecatmu. Kami hanya ingin kau renungi sikapmu yang melampaui batas juga,” tegas David.Wajah David sempat menegang. Biar bagaiman
Damian kembali ke pekerjaannya. Hampir satu minggu sejak ia bekerja dari rumah, suasana ruang kerjanya tidak seperti biasanya. Aura tegang menyelimuti suasana di sekitar lorong menuju meja kerjanya seiring dengan isu pemindahan Marco ke kantor cabang Genius grup di Yelva. Menurut rumor yang terdengar, Damian sengaja mengasingkan Marco karena ada desas desus pengkhianatan yang dilakukan olehnya. "Akhirnya kau datang juga, Damian. Ayah menunggumu sejak pagi hari," sapa David yang terdengar berlebihan di telinga Damian. "Mana Carol?" "Dia malas ikut ke kantor. Nanti ada Erik datang kemari untuk bertemu dengan ayah." David hanya menganggukkan kepalanya. Ia ikut duduk di samping Damian, di sofa nyaman tengah ruangannya. "Bagaimana dengan rumor pemecatan Marco? Kau akan melakukannya hari ini?" "Aku hanya memutasinya ke Yelva. Bagaimana menurut ayah?" David mengetuk dagunya berulang kali. Berbagai skenario muncul di kepalanya. Seandainya Damian berani memecat Marco, akan ada perang sauda
Dua menit menuju garis finish, laju kendaraan Erik sedikit melambat. Rupanya, ia ingin sekali lagi memainkan mental Henry dengan membuatnya begitu senang menuju kemenangan. Karena dia adalah raja balap di arena itu, sangatlah mudah rasanya mengecoh lawan menuju garis finish. "Henry, ini saatnya. 3..." Erik menaikkan kecepatannya satu tarikan. Detik selanjutnya, Henry tertinggal satu garis di belakang. Henry mengikutinya dari belakang. "2..." Erik kembali menaikkan kecepatannya saat garis finish. Henry panik. Erik rupanya berhasil membuatnya kembali naik adrenalin. "1..." CkittttMotor yang digunakan Erik melesat lebih dulu dan masuk ke garis finish diikuti oleh motor pebalap lain. Henry masuk di urutan ketiga dengan kondisi motornya yang sedikit berasap karena panas. Riuh rendah suara penonton mengelu-elukan nama Erik, membuat emosi Henry kembali terbakar. Ia membuka helmnya dengan kasar lalu menghampiri Erik yang masih melambaikan tangannya ke arah penonton. Ia dengan cepat me