“Iya, ke kampungku, Shena. Memangnya kau punya berapa banyak uang untuk bertahan di kota metropolitan ini? ini saja kita hanya menginap di motel. Kau tahu berapa hotel-hotel yang biasa kau dan ayahmu menginap satu malam? Anggap saja kau memiliki uang, tahan berapa lama hanya untuk membayar hotel? Belum makan, anggap saja hotel memberikan free breakfast, lalu makan siang dan malam? Jangan kau katakan kau hanya akan makan satu kali dalam sehari,” oceh Kastara panjang lebar.
Shena terdiam mendengar ocehan Kastara. Memang masuk akal semua yang dikatakan Kastara, tapi di mana letak kampung itu? Seberapa jauh dari kota?
“Di – mana letak – kampungmu, Kastara? Jauh kah dari sini?” tanya Shena pelan. Dia tidak sanggup membayangkan hidup di kampung, yang harus berjalan kaki kemana-mana, jalan berdebu dan tidak di aspal, iuuhh! Baru membayangkannya saja, kakinya langsung terasa lemas. Bagaimana ini?
Untuk pertama kalinya, Shena merasakan enaknya berada di atas kereta api. Selama ini dia hanya pernah naik kereta gantung dan kereta api cepat di luar negeri.“Ternyata enak juga naik kereta api, Kastara. Apa aku bisa tidur di sini?” tanya Shena pada lelaki yang sejak tadi hanya diam menatap pemandangan yang berlari cepat di samping jendela gerbong.Kastara tidak menyahut, dia hanya mengangguk. Shena langsung meraih ransel Kastara untuk dijadikan bantal kepala. Dan lagi-lagi lelaki itu hanya diam seribu kata membiarkan Shena melakukan apa yang ingin dilakukannya.“Kau tidak ingin tidur?” tanya Shena sambil membenahi ransel itu agar terasa agak tak nyaman di kepalanya.“Tidak. Kau tidur saja, aku akan berjaga di sini,” jawab Kastara datar. Shena menatapnya dengan pandangan yang tak dipahaminya sendiri.“Memangnya apa ada penjahat di sini?
Selesai makan, Kastara mengajak Shena untuk kembali ke gerbong mereka. Tetapi gadis itu menolak, dia msih ingin berada di gerbong makanan ini karena dari jendela yang ada di gerbong makanan itu mereka bisa mendapatkan pemandangan di luar dengan lebih leluasa. Tidak ada tirai-tirai yang ditutup seperti di gerbong mereka karena cuaca yang panas di luar.Kastara hanya bisa menuruti keinginan gadis muda itu. Tiba-tiba ponsel yang ada di kantong celananya bergetar, dia segera mengangkatnya.“Ada apa?” sapa Kastara pendek tanpa melihat layar lagi, dia sudah tahu siapa yang menghubunginya.Lalu terdengar suara samar-samar dari seberang ponsel. Shena mengernyit, suara wanita … siapa dia? Gadis itu mendekatkan telinganya ke arah Kastara untuk mencoba mendengar. Tetapi sampai ponsel dimatikan dia sama sekali tidak memperoleh info tentang siapa yang menghubungi penjaga-nya itu.“Ayo kit
“Aku tidak menyumpahimu, Nona Shena, hanya mengingatkan agar kau jangan berbicara saat sedang makan. Kau kan tidak tahu apa yang akan kau telan atau tertelan seperri tadi. Lagi pula tersedak makanan itu berbahaya, kau bisa kehilangan nyawa tanpa bermaksud untuk bunuh diri. Kau bisa meihat data berapa banyak orang yang meninggal gara-gara tersedak,” balas Kastara panjang lebar. Lalu dia menarik napas sebelum melanjutkan makannya yang tertunda.Shena mendelik.“Iya—iya … profesor Kastara, aku mengerti,” jawab Shena sewot.Kastara tertawa melihat kelakuan gadis itu yang mendelik dengan mata yang membulat.Selesai makan, Kastara mengambil ranselnya dan mengeluarkan jaket tebal untuk digunakannya sebagai bantal. Dia mengantuk.“Kau mau apa?” tanya Shena melihat ransel yang empuk menjadi kempes.“Aku mau tidur. Karena kau sudah tidur lama, jadi gantian kau yang berjaga, Shena,” jawab Kastara santai sambil menguap lebar.“Haaa?” Shena terkejut ketika Kastara menyurunya untuk berjaga. Belum p
“Masih satu jam lagi. Baiklah ayo kita makan dulu sebelum kereta tiba di stasiun. Nanti akan susah mencari makan jika sudah berkendara,” ajak Kastara sambil berdiri dan merapikan pakaiannya yang lusuh karena tidur tadi.”Shena mengangguk cepat dan langsung mengikuti Kastara yang sudah berjalan lebih dulu darinya.Begitu memasukki gerbong makanan, mereka langsung disambut dengan aroma makanan yang super sedap hingga membuat perut Shena kembali berdendang.“Aku mau nasi goreng kemarin, Kastara,” bisik Shena cepat sambil melirik ke deretan kursi yang penuh dengan penumpang kereta karena sekarang memang jam sarapan pagi.Kastara mengangguk. Dia melihat sambil mencari meja kosong, tetapi sepertinya di jam-jam begini tidak ada meja dan kursi yang kosong.Setelah memesan dua nasi goreng dan dua jus jeruk, Kastara juga mengambil beberapa gorengan dan kue-kue
“Apa maksudmu membawa gadis itu pulang, Kastara!” suara Tuan Bastian Kusuma menggelegar memenuhi seluruh ruang makan menandakan bahwa dia tidak senang dengan keputusan Kastara membawa Shena ke rumah.“Dia diusir dari rumah gara-gara kesalahanku, Pa. Sebagai laki-laki aku harus bertanggung jawab. Bukankah itu yang selalu Papa tegaskan padaku?” jawab Kastara tegas. Bukan berniat membantah ayahnya tetapi dia hanya melakukan apa yang dia anggap sebagai tanggung jawabnya.“Tanggung jawab?!?” Batian tertawa menyindir.“Tanggung jawabmu itu ada pada Alina, Kastara! Kau sudah dijodohkan sejak kalian dalam kandungan! Bukan gadis antah berantah itu! Kalau kau bisa menyentuhnya berarti dia bukanlah gadis baik-baik. Pulangkan dia ke kota. Papa tidak mau dia di sini. Lalu nikahi Alina. Dia dengan sabar menunggumu kembali dari kota, Kastara! Jangan ragukan kesetiaan seorang wanita,” Sent
“Heii … rapatkan mulutmu itu sebelum nyamuk dan lalat masuk ke mulutmu, Shena! Aku tdak terlalu menarik sampai kau melongo seperti itu,” ucap Kastara tertawa melihat gadis itu melongo melihatnya yang baru keluar dari kamar mandi.Shena terkejut dan dengan cepat menutup mulutnya dan tidur dengan selimut menutupi kepalanya. Dia malu. Wajahnya pasti memerah seperti tomat saat ini.‘Ya ampun, Shena! Kau seperti tidak pernah melihat tubuh lelaki saja. Apa kau tidak ingat sudah melakukan intim dengannya?’ seru suara di kepala Shena dengan keras.“Sudah, tidurlah dulu. Kau pasti lelah sekali setelah kemarin tidur di kereta yang berjalan,” ucap Kastara naik ke ranjang dan menarik selimut setelah mengecilkan suhu AC di kamarnya.“Kastara … apa aku membuatmu terlibat dalam masalah serius? Ayahmu marah? Aku mendengar suaranya,” bisik Alana dari balik
“Al—Alina? Kenapa kau bisa kemari? Siapa yang memberitahumu?” tanya Kastara dengan suara tercekat.“Ayahmu mengabari ayahku, Tara. Aku … aku gembira karena kau akhirnya kembali ke kampung, Tara,” jawab Alina Wirawan pelan dan lirih.Kastara hanya mengangguk, lalu melanjutkan ke dapur untuk membawa gelas kosong itu, kemudian kembali lagi ke ruang tamu.“Duduk saja, Alina. Anggap rumah sendiri. Kau juga bukan tamu di sini. Ingat?” ujar Kastara dengan tawa kecil.Gadis itu menangguk dan duduk di salah satu sofa yang ada di ruang tamu itu, dan Kastara duduk di hadapannya.“Maaf aku belum sempat ke rumahmu, Alina. Aku baru tiba kemarin sore,” ucap Kastara membuka percakapan.Alina mengangguk sambil menunduk tersipu dengan wajah memerah.“Tidak apa-apa, Tara. Jadi bagaimana pekerjaanmu di Jakarta? Apa kau memperoleh cuti? Berapa lama kepulanganmu kali ini?” tanya Alina ingin tahu.“Aku kembali kali ini … berapa lama, aku belum tahu, Alina. Tapi … ada sesuatu yang terjadi di kota sebelum aku
Paul mengangguk, lelaki kelahiran Amerika itu tersenyum dengan sumringah membuat Kastara terheran-heran.“Kau ingin Alina? Menjadi istrimu?” tanya Kastara lagi.“Iya, Tara. Kalau kau tidak ingin mempersunting dia, aku ingin menikahi dia … tapi jika dia juga mau denganku,” jawab Paul enteng.Kastara terdiam sesaat.“Baiklah, kau boleh mempersunting Alina jika dia juga menginginkanmu, Paul. Sebenarnya ….” Kastara menggantung kalimatnya hingga membuat Paul penasaran.“Sebenarnya apa? Jangan katakan kau menyukai gadis itu,” potong Paul sambil berdiri bersandar di tembok pagar.“Bukan. Aku suka dia, tetapi hanya sebagai teman, Paul, bukan sebagai pasangan. Tadinya aku akan meminta ayahku untuk menjodohkan dia pada Bayu, kau tahu kan Bayu sepupuku? Tapi ya belum kukatakan pada ayah, aku keburu ke J