Share

5. Diusir Dari Rumah

“Pergi dari rumah ini, Shena! Aku tidak mau melihat tampangmu masih berada di sini!” seru Iwan Duarte keras.

“Papa! Dengarkan aku dulu, Pa. kami dijebak, Pa. kami juga korban, Pa,” seru Shena membela diri dengan linangan air mata.

“Aku tidak peduli kau dijebak atau pun tidak, kau sudah mencoreng nama baikku. Kau anak jahanam!” seru Iwan tegas.

Air mata mengalir semakin deras saat Shena menyadari ayahnya bahkan mengumpat dirinya dengan tegas. Ya Tuhan, ini seperti mimpi buruk yang tidak pernah dia bayangkan akan menimpa dirinya.

“Kau, Kastara! Tidak ada gaji maupun bonus! Kau sudah gagal dalam tugasmu! Pergi jauh-jauh dari sini, aku tidak mau melihat tampangmu juga dia!” seru Iwan mengusir Kastara juga Shena.

Kastara hanya diam dan mengangguk. Dia hanya bekerja di sini … tetapi diusir seperti seorang pencuri seperti ini rasanya sakit sekali.

Dia menghela napas.

“Bawa dia pergi!” hardik Iwan menunjuk Shena yang masih belum bergerak dari posisinya sejak datang tadi.

“Nona ….” Kastara mencoba membantu Shena berdiri, tetapi gadis itu malah mengempaskan tangannya.

“Jangan sentuh aku! Semua gara-gara kau ada di pesta itu! Harusnya aku pergi sendiri saja!” seru Shena meraung menangisi nasibnya yang berubah tiga ratus enam puluh derajat.

“Jangan bermain drama di sini! Aku hitung sampai tiga, kalau kalian masih juga berada di sini aku akan memanggil polisi untuk mengusir kalian keluar dari sini!” ancam Iwan Duarte dengan nyaring.

“Papa, ampuni Shena, Pa!” seru Shena memohon. Dia berlutut dan menyembah Iwan yang ada di depannya sampai kepalanya terantuk keramik lantai berkali-kali.

“Nona! Hentikan! Tuan Duarte sedang marah, sebaiknya kita segera pergi dari sini, ya,” bujuk Kastara yang iba melihat Shena memohon pada ayahnya sendiri.

Dia mungkin tahu apa yang menyebabkan Iwan Duarte berubah seperti itu. Padahal Shena adalah putri kesayangannya, tetapi dia begitu emosi sampai mengamuk dan mengusir seperti ini.

“Pergi kau!” hardik Iwan menyepak tubuh Shena yang mencoba mengiba di kaki lelaki paruh baya itu dengan kuat hingga gadis itu terguling jauh ke pintu.

Chelsea, adik tiri Shena turun dari lantai dua sambil membawa koper besar penuh berisi. Dia menaruh koper itu di dekat Iwan Duarte.

“Bawa ini! Semua barang-barangmu! Aku peringatkan pada kalian jangan pernah membukakan pintu untuk anak jahanam ini! Siapa saja yang melanggar akan aku usir dari rumah! Tiada ampun!” seru Iwan dengan suara menggelegar agar semua penghuni rumah mewah itu mendengar apa yang dikatakannya. Dia melemparkan koper itu hingga keluar dari pintu rumah.

“Papa ….” Shena masih mencoba mengiba pada Iwan Duarte, tetapi kemarahan lelaki paruh baya itu sudah tidak terbendung lagi.

Kastara mengangkat koper milik Shena dan menarik gadis itu agar segera meninggalkan rumah mewah itu.

“Aku tidak tahu harus ke mana, Kastara,” ujar Shena masih terus menangis.

“Kita akan mencari penginapan dulu untuk malam ini, Nona,” jawab Kastara pelan. Dia menghentikan taksi dan menaikkan koper Shena ke taksi, lalu naik bersama Shena. Gadis itu masih saja menangis.

Sesampai di motel, Kastara masuk dan memesan satu kamar dengan dua ranjang terpisah. Lalu dia mengajak Shena turun dan gadis itu menurut. Tangisannya sudah berhenti tetapi mendung tetap mengelayut di wajah cantiknya itu.

“Nona … apa kau lapar?” tanya Kastara yang melihat jam di dinding kamar hampir jam makan siang. Tadi saja dia bisa mengeluh lapar, apalagi sekarang setelah menangis sekian lama.

Shena mendelik. Wajahnya tampak memerah dan matanya mulai bengkak.

“Aku tidak lapar dan … berhenti memanggilku nona, Kastara,” jawab Shena mengambil tisu untuk mengelap air yang keluar dari hidungnya.

Kastara mengernyit.

“Baiklah, aku akan keluar sebentar untuk membeli sandwich. Jangan tinggalkan kamar karena kau tidak mengenal lingkungan sini,” pesan Kastara sambil mengambil jaket yang baru saja dilepaskannya beberapa menit yang lalu.

“Memangnya aku mau ke mana dengan wajah seperti ini?”

Kastara tertawa kecil, lalu keluar. Kamar mereka berada di lantai dua gedung motel ini. Tidak terlalu ramai yang menginap, hanya ada beberapa mobil kecil di parkiran. Dia terus berjalan hingga keluar ke jalan raya. Tadi dia sempat melihat ada kedai sandwich di pinggir jalan raya. Jadi dia berminat ke sana.

Sementara Shena masih terus mengusap matanya yang basah sampai terasa perih , mata dan hidung. Dia masih terus memikirkan kejadian kemarin malam. Dia merasa bodoh sekali karena sampai tidak sadar bahwa seseorang mengerjai dia … ah bukan … seseorang menjebaknya!

Tetapi siapa yang menjebaknya?

Dia mengambil ponsel yang ada di kantong celana dan mulai membaca beberapa pesan yang masuk sejak tadi malam hingga siang ini. Tidak ada yang aneh.

Lalu dia membuka akun media sosial dan matanya terbelalak saat melihat sebuah video dengan namanya tertera di sana!  Video berdurasi satu menit di mana terlihat wajahnya dengan jelas sedang di atas ranjang dengan seorang lelaki bertelanjang dada. Tubuh mereka di blur karena jelas tidak tertutup sehelai benang pun. Shena menutup mulutnya yang terbuka lebar! Jantungnya berdebar dengan hebatnya hingga dia merasa akan mati saat itu juga.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Kastara masuk, lalu menyentak ponsel dari tangan Shena.

“Jangan lihat!”

“K-kau kau tahu video itu?” tanya Shena tergagap dan panik.

Kastara mengangguk, lalu menaruh sandwich yang dibelinya di atas meja.

“Aku melihatnya tadi saat menunggu sandwich. Mungkin itu yang membuat Tuan Duarte marah besar padamu. Tapi aku sungguh minta maaf padamu, Shena. Seharusnya aku sudah curiga saat teman-temanmu mengajak bermain kata itu,” jawab Kastara dengan penuh penyesalan, tetapi nasi sudah menjadi bubur.

“Mereka jahat sekali, padahal semua masih termasuk sepupu jauhku!” ucap Shena kembali menangis.

Kastara diam.

“Terkadang justru bencana datang dari orang-orang terdekat, Nona,” timpal Kastara.

“Jangan panggil aku Nona, Kastara. Jadi sekarang apa yang harus kuperbuat? Menuntut mereka? Tapi aku tidak punya bukti,” jawab Shena mengambil beberapa helai tisu untuk menghapus air mata yang kembali membasahi wajah dan sedikit bajunya.

“Makanlah dulu sandwich itu. Aku rasa kau pasti sudah sangat lapar,” balas Kastara lagi sambil mencari ide harus kemana mereka pergi, tidak mungkin terus berada di motel ini. Walau harga sewa motel tidak seberapa, tetapi uang yang dia punya tidaklah banyak.

Shena menurut. Dia turun dari ranjang dan mengambil satu buah sandwich dan memakannya dengan lahap. Kastara benar, dia sangat lapar.

Sesaat kemudian Kastara keluar dari kamar dan berdiri di depan kamar sambil menelepon seseorang, hampir setengah jam kemudian, dia masuk ke kamar.

“Kita pulang ke kampungku,” tegas Kastara tanpa basa basi.

“Ke kampungmu?” Shena terperangah.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Buyung Krupuk
jshat kali teman seprti itu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status