"DOMIIII!!!" teriak Haiden kesal melihat ulah Dominique. Dominique tersentak kaget terpental jatuh pantatnya menyentuh lantai. 'Akh, sakit' ringgis Dominique.
John menahan tawanya dia tidak mau tuannya tahu kalau dia mentertawainya.Sedang sekretaris yang baru akan keluar ruangan berbalik mendengar teriakan Dominique. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan.'Astaga dasar wanita gila dia tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa' umpat sekretaris Haiden.Dominique kaget cegukannya kumat ia segera bangun ketika orang tadi menghampirinya. "Ah, setaaaannnn!!!" teriaknya lagi lalu Dominique lari terbirit-birit."John!" Haiden tampak marah dan kesal."Tunggu sebentar Tuan, saya akan kejar dia!" John segera berlari mengikuti Dominique yang sudah keluar lewat lift.Nafas Dominique tidak beraturan. "Tidak, pasti aku salah lihat!" Dominique meyakinkan hatinya dengan apa yang dia lihat barusan.Pintu lift terbuka tanpa menoleh Dominique bergegas lari keluar gedung. Dia mendapati ojek onlinenya masih menunggu, "Neng ongkosnya belum di bayar!" Tukang ojek online tadi langsung menghampiri Dominique.Dominique yang lupa karena saat turun dia langsung masuk gedung dia takut ice chocolate yang di bawanya menjadi mencair. "Eh, iya Bang, maaf saya lupa. Ini Bang, tapi saya ofline ya anterin lagi saya ketempat penjemputan tadi!" Dominique langsung menyerahkan uang seratus ribuannya tadi.Tukang ojek sempat melonggo, "ayo Bang, cepetan!" Dominique langsung mengambil helm dan memakainya pikirannya berkata apapun yang terjadi dia harus segera kabur dari gedung itu.Motor ojek online pun melesat secepat kilat meninggalkan gedung milik Haiden. John yang baru sampai dia tidak berhasil mengejar Dominique."Mana dia, John?" Haiden yang sudah di belakang John tidak sabar ikut mengejar juga."Maaf Tuan, nona Dominique sudah pergi!""Ah sial, kerjamu lambat sekali John. Mengejar satu wanita saja tidak becus," gerutu Haiden dengan wajah dan baju di penuhi coklat."Ma-af Tuan, sebaiknya saya antarkan Tuan ke apartmen." John setengah menahan tawa melihat wajah lucu tuannya berlumuran coklat."Shit!!!" Haiden baru menyadari bahwa dirinya berlarian dengan coklat di wajah dan baju. John segera berlari mengambil Mobil tuannya.'Kenapa kau lari Domi. Aku hanya ingin bertemu denganmu'Dominique berlari menaiki tangga tubuhnya hampir bertabrakan dengan chef Justin. "Kau dari mana?" chef Justin melihat wajah Dominique yang pucat dan berkeringat."Ah itu aku habis antar ice chocolate!" Dominique menjawab terburu langsung meninggalkan chef Justin ke loker.Justin menatap heran biasanya Dominique tidak pernah bersikap acuh.'Aku salah lihat pasti bukan dia. Iya pasti bukan dia!!' Dominique mengunci diri di kamar mandi."Domi, kamu di panggil bu Natalie,"suara Tara menghamburkan gelisahnya.'Ah aku lupa pesan bu Nat jangan bikin masalah. Bagaimana kalau aku di keluarkan gara-gara ini' batin Dominique mendadak ketar ketir tidak karuan. Dominique membuka pintu kamar mandi perlahan, "Bu Nat ada dimana, Ra?" ucap Dominique gugup."Di ruangannya. Cepat kesana. Jangan sampai dimarahi!""Iya terima kasih ya, Ra" Dominique berjalan lemas menuruni anak tangga. Tangganya bergetar saat akan membuka pintu ruangan bu Natalie.Ceklek!"Gimana Dom? Sudah kau antarkan?" Bu Nat yang terlebih dahulu membuka pintu karena dia mau break."Su-sudah, Bu!""Oh, ok. Ya sudah kamu kembali bekerja ya!" Bu Natalie menepuk pundak Dominique dan berlalu dari hadapan Dominique.Hurff. Dominique membuang nafasnya perlahan. 'Ah, selamat. Berarti dia belum telpon melaporkan kejadian tadi'Dominique kembali ke area dengan tidak semangat. Hatinya tidak tenang takut jika Haiden nekat dan muncul di hadapannya.Di apartmen Haiden."Bagaimana dengan tokonya?" Haiden bertanya dia yang sudah mandi dan mengganti pakaian kotornya sambil mengesap kopi."Sudah beres Tuan. Apa Tuan mau mengadakan kunjungan?" tawar John."Tentu saja"'Aku tidak akan membiarkanmu lolos lagi kali ini'"Bagaimana dengan besok Tuan, apa anda setuju?""Segera atur. Jangan terlalu lama kau tunda!"'Hanya satu hari Tuan, menggantikan sepuluh tahun yang anda tunggu'Menunggu jam pulang kerja hari ini terasa sangat lama untuk Dominique, dia tidak seperti biasanya hari ini dia ingin segera pulang dan mengubur dirinya di balik selimut."Tunggu aku, aku ganti baju dulu," bisik Justin menghentikan langkah Dominique yang akan keluar loker.'Ya ampun aku lupa kalau mau pulang bareng Justin' Dominique berjalan pelan menuruni tangga sambil menunggu Justin yang sedang ganti baju."Ehemm, cieee yang di antar pulang," ledek Tara. Dominique tersenyum malu-malu. "Apa sih, Ra""Jadi sudah resmi nih ceritanya? Kapan jadiannya," Tara tambah kepo."Ihhh sudah sana pulang ditungguin Dino tuh nanti dia ngomel-ngomel loh!" Dominique mengingatkan."Ah iya Dinooo, aku duluan ya Domi!" Tara langsung ambil langkah seribu.Dominique terkekeh sendiri melihat tingkah temannya."Husstt usil saja, kasihan anak orang lari sampai segitunya," suara Justin yang sudah ada dibelakang Dominique.Dominique menoleh, "sudah, kok cepat," sahut Dominique yang melihat penampilan berbeda Justin saat tidak mengenakan seragam."Sudah dong aku tidak mau kau menungguku terlalu lama," sambil melenggang mengumbar senyuman. "Aku ambil motor dulu kamu tunggu sebentar di depan ya!" Dominique hanya manggut-manggut.'Ya ampun kereen banget sih dia bikin hati lumer kayak coklat' wajah Dominique yang seketika memerah karena senyuman maut yang di berikan Haiden.Di seberang jalan,"Anda mau turun, Tuan?" John melepas Shitbelt bersiap akan keluar, akan membukakan pintu tuannya."Hmmm," dengan wajah sedikit cemas mata tuannya terus mengintai dari kaca mobil yang dia turunkan. Dominique keluar ia berdiri di pinggir trotoar tidak jauh dari mobil Haiden yang sudah menunggunya dari satu jam yang lalu.Flashback (Satu Jam sebelumnya)Di apartmen Haiden.Haiden membuka lemari bajunya dia mencoba memantaskan dirinya satu demi satu baju dia kenakan berdiri depan cermin buka lalu lempar. Sudah dua jam John menunggu, tapi tanda-tanda tuannya sadar dengan kegilaan yang dia lakukan belum juga nampak.John berdiri mematung sambil menggelengkan kepalanya melihat tingkah tuannya yang masih melempar satu demi satu baju secara sembarangan yang telah di cobanya. Berulang kali tuannya meminta pendapat John apa baju yang dia kenakan cocok."Bagaimana dengan yang ini John, bagaimana penampilanku," tanya Haiden berulang kali."Anda selalu tampan dan keren mengenakan apapun Tuan, sejak lahir anda kan sudah mempesona," puji John berulang kali selama dua jam."Ah sepertinya ada yang kurang." Kemudian Haiden melepaskan bajunya lagi melemparnya sembarangan mengganti dengan yang lain lagi bahkan dia tidak malu bertelanjang hanya menggunakan dalaman saja di hadapan John.'Hentikan kegilaan anda, Tuan. Tuan hanya menjemput nona Dominique bukan mau menghadiri tender milyaran' batin John.Setelah hampir tiga jam akhirnya Haiden memutuskan mengenakan sweater hitam dan celana jeans warna putih. Sweaternya di gulung sedikit dua kancingnya dia buka sehingga tubuh kekar dan tatonya terlihat dengan sangat jelas.Flashback off.'Ah itu dia gadis manis dan imutku' Haiden menebar senyuman saat melihat Dominique menunggu di pinggir trotoar. John hanya melirik dan mengamati tuannya dari kaca spion.'Sudah sepuluh tahun sejak tuan memutuskan meninggalkan nona Dominique aku baru melihatnya tersenyum, semoga nona Dominique bisa merubah hatinya tetap bersama tuan'Baru saja Haiden akan membuka pintu mobilnya matanya membulat lebar keratan dari gigi Haiden terdengar jelas oleh John. John segera mengecek melihat kondisi diluar yang ternyata Dominique sedang di pakaikan helm.Dominique tersenyum manis dengan tatapan matanya penuh cinta. Tangan Dominique memegang pundak seseorang lalu ia menaiki motor triil memeluk tubuh seseorang melaju dan melesat menghilang dari pandangan mata Haiden."John, apa yang kau lakukan bagaimana itu bisa terjadi, hah!" teriak Haiden kesal dan marah membanting pintu mobilnya."Maaf Tuan sepertinya saya kecolongan!" John merasa lalai karena orang suruhannya selama ini melepaskan informasi penting tadi."'Cepat kejar, dia pasti mengantarnya pulang!" Haiden mengepalkan tangannya memukul-mukul jok mobil di depannya.Tatapan mata Haiden berubah dingin Haiden cemburu. Hatinya terbakar seperti kobaran api yang akan melahap habis semua orang yang menyentuhnya.John segera melajukan mobilnya mengejar motor yang Dominique tumpangi.'Berani sekali kau selingkuh. Kau pasti akan kumakan sampai tak bersisa, Domi' tatapan membunuh Haiden.Will menyadari kedatangan istri dan rivalnya. Dia hanya duduk menunggu di samping ruang operasi. Dominique menghampirinya. "Kau berbohong lagi!" cetusnya. Dia masih mode on merajuk. Will menarik tangan istrinya agar duduk disebelah dirinya. Tangan satunya melingkar di pinggang istrinya dan merengkuhnya ke dalam pelukan.Haiden duduk di sebelah istrinya. Hanya bisa menatap setiap perlakuan manis yang diberikan rivalnya. Dia kini sudah tidak pernah cemburu seperti dulu. Mereka berdua, sesama rival sudah sangat mengetahui kondisi masing-masing. Sesekali bertengkar. Namun, bukan pertengkaran yang besar selain berebut lebih dulu siapa yang mendapatkan jatah dari istrinya, selain itu. Mereka tidak pernah bertengkar. Sudah saling mengisi dan memahami. "Maafkan aku, sayang. Kau boleh menghukumku nanti. Aku akan menerima semua hukumannya!" dia mengecup kening istrinya. Mencoba menenangkan kemarahannya. "Iya, aku pastikan akan menghukummu secara berat. Kali ini aku tidak akan melepaskan beg
“Jangan sentuh? Kau yakin dengan ucapanmu itu?” goda Willy.“Iya, memangnya aku takut. Aku kan memiliki satu suami lagi, kau pikir, hah!” Dominique tak mau kalah melawan godaan suaminya.“Tidak ada apa-apa sayang, aku memang menginginkannya. Sudah lama sejak kau melahirkan dan mengurus anak-anak kita. Aku kangen!” Willy tetap menutupi hatinya. Mengusap kembali rambut istrinya sambil memandangi wajahnya dengan lembut."Sudah kalau tidak mau bicara, aku akan keluar!" ucap Dominique. Baru saja dia menarik selimutnya akan turun dari ranjang. Entah mereka memang tak mendengarnya atau terlalu fokus saat berbicara. Haiden sudah berdiri dihadapannya sambil melihat kedua tangannya. "Oh, jadi begini cara kalian? Melakukan hal yang enak tanpa mengajakku!" dengusnya kesal. Dominique menarik wajahnya sambil menghela nafas panjang. "Aku sudah selesai, jika kau memang menginginkan bilang saja sendiri!" Willy berjalan turun melenggang tanpa sehelai benang pun masuk ke kamar mandi. "Ah, tidak. Sud
Martha masih belum sanggup menatap wajah Will, dia hanya terus tertunduk ketika suaminya berkata seolah ada satu pedang yang langung menancap di dadanya. Will dengan perasaan yang tak bisa dia gambarkan hanya bisa menghela nafasnya. Bingung.“Kau tidak sedang bergurau denganku kan, Pah?” Will masih setengah tak percaya. Tubuhnya bahkan terasa bergetar, masih belum mempercayai semua ucapan ayahnya“Kau bisa bertanya langsung dengannya, apa aku sekarang sedang berbohong padamu atau tidak?” tanpa banyak berkata apapun Baron membalikkan tubuhnya. Jantung Martha benar-benar akan copot di tatap putranya. Meminta penjelasan tentang kehadirannya.“Huh, baiklah, ayo kita masuk, Nyonya. Sepertinya akan banyak hal yang akan kita bicarakan!” kali ini Martha terkejut saat mendengar ucapannya. Datar dan dingin. Berbeda saat pertama kali mereka tak sengaja bertemu.Langkah kakinya mengekori Will masuk ke ruang bacanya. Dia sudah duduk di sofa sambil terus memperhatikan wanita yang bernama Martha
“Bersiaplah hari ini kita akan menemuinya!” Baron berkata dengan sangat tegas. Menatap wanita yang duduk dihadapannya. Dia sedang menikmati sarapan paginya.Wanita yang beberapa hari ini telah resmi menjadi istrinya kembali. Dia yang dipaksa olehnya. Martha mau tidak mau menuruti semua kemauan Baron, daripada ada nyawa yang tidak bersalah berkorban untuk dirinya.Martha masih menatap wajah Baron. Bingung dengan ucapannya. Bertanya dalam hati apa yang akan ditemuinya nanti. “Aku hanya memintamu, menemaniku dan menemuinya. Apakah ada masalah? Mengapa kau menatapku seperti itu?” kembali Baron berbicara dengan suara sakrasnya. Membuat Martha tetap diam. Dia tak perduli dengan ucapannya. Dia tahu saat dia mencoba menjawab setiap perkataannya akan timbul hal yang tidak diinginkan.“Baiklah, aku akan bersiap-siap!” ucapnya setengah terpaksa.“Apa kau sebegitu tak sukanya pergi bersamaku?” Baron menaikkan rahangnya dengan kasar menatap Martha yang baru beberapa hari ini resmi menjadi istr
"Jangan mendekat!" Sophie terus bergeser dari ranjangnya, saat Ramon mencoba mendekatinya. Sedangkan, John sibuk dengan dunianya sendiri. Dia seperti mendapatkan mainan baru. Saat pulang kerja dan setelah makan juga mandi hal yang dilakukan pertama kali adalah mengendong anaknya. Dia menjadi bapak siaga saat berada di rumah. "Inikan sudah empat puluh hari lebih, sayang. Masa aku nggak boleh dekat-dekat kamu sih!" Ramon merajuk. Namun, tak menghentikan aktifitasnya saat berusaha menggulingkan pertahanan istrinya. "Cih, kau bersungguh-sungguh? Sebaiknya, kau mencontohnya. Lihat tuh dia sangat akrab dengan, Josh!" cibirnya. Terus menghempaskan tangan Ramon yang berusaha menjamahnya."Cih, kau bersungguh-sungguh? Sebaiknya, kau mencontohnya! Lihat tuh dia sangat akrab dengan, Josh!" cibirnya. Terus menghempaskan tangan Ramon yang berusaha menjamahnya.John hanya meliriknya tanpa mengindahkan semua ucapan yang kelur dari mulut Ramon. Dia bahkan tak perduli dengan cibiran atau umpatan yan
"Sungguh, aku tidak apa-apa. Jangan bawa aku kesana!" Martha memohon dengan penuh penekanan. Dia tak ingin seorang pun tahu tentang penyakit yang sedang dideritanya. Baron tak mengindahkan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Dia tahu wanita itu sedang membohonginya. Dia melemparkan tubuh yang tidak muda lagi itu dengan kasar ke kursi penumpang. Setelah penyeretan yang dramatis. Tanpa memperdulikan orang-orang yang menatap mereka. Seperti seorang istri yang sedang kepergok suaminya berselingkuh. "Jangan membantah lagi, jika kau terus terusan menolakku, jangan salahkan jika senjata ini akan langsung bersarang ke perutmu!" ancamnya. Kini Baron sedang tidak bermain-main. Dia menodongkan senjata tepat disamping perutnya. Martha sudah kehilangan akal menghadapi lelaki yang sudah berumur itu. Yang memiliki sikap dan temperamen seperti anak remaja. Merajuk kalau keinginannya tak dituruti. Dia tak bersuara. Pasrah. Hingga Baron memasukkan senjatanya kembali ke jasnya. Dia bertanya
Baron masih saja mondar mandir di kamarnya. Menunggu wanita itu benar-benar bisa menenangkan hati, agar mereka bisa kembali pembicaraannya. Sebenarnya bukan berbicara, tapi Baron masih ingin meneruskan rasa penasarannya. Martha menghela nafasnya. Isak tangis terakhirnya sebelum dia benar-benar berhenti.“Apa kita sudah bisa berbicara sekarang?” dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Daripada dia menemani wanita yang sedang menangis. Dia lebih baik memukuli seluruh pengawalnya hingga babak belur.‘Huh, apa kata dunia, jika ada orang yang tahu aku mendengarkan seorang wanita menangis!’Baron meraup wajahnya dengan kasar. Sungguh dia pun tak menyangka bisa menemani wanita itu merajuk. Menangis terseduk selama satu jam.Martha menganggukkan kepalanya. Memberikan tanda, dia siap menerima introgasi dari laki-laki dihadapannya itu.“Jadi, penjelasan apa yang ingin kau berikan padaku?” Baron masih menatapnya tajam.‘Huh, dari dulu dia memang tak pernah mau mengalah. Padahal dia yang salah.
‘Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia bisa menjadi seperti ini? Apa sungguh aku telah salah mengira dirinya?’Pikiran Baron bergemuruh. Hatinya tiba-tiba saja menjadi tak menentu. Dia bahkan tak tega melihat wanita itu berbaring lemah tak berdaya. Bagaimanapun, dia pernah menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam hidupnya.Dia berjalan perlahan menghampiri ranjangnya. Duduk tanpa bersuara, menatap wanita itu yang terlihat tidur dengan nyaman oleh obat yang habis dia minum. Rasa lelah yang dia rasakan seakan menghilang. Padahal tadi dia berencana akan pulang ke hotelnya untuk beristirahat.‘Ah, hotel!’ Baron keluar dari kamar wanita itu. Mencari keberadaan Markus yang tengah memberikan perintah kepada anak buahnya untuk membersihkan kekacauan yang baru saja mereka buat.“Carikan selimut yang tebal untukku dan segera bawakan untukku!” setengah tak percaya Markus mendengar permintaan Tuannya. Dia sedikit menaikan kedua alisnya saat mendengar tuannya berkata seperti itu.“Cepat!
Baron memicingkan matanya di kursi penumpang. Matanya ke luar jendela mobilnya. Menatap mantap orang yang dia kenali. 'Aku yakin dia.' Baron tak melepaskan tatapannya sedikitpun. Dia melihat orang itu tengah memegangi dadanya saat berjalan. Sesekali kakinya berhenti dan tangannya menempel pada tembok jalanan. Beberapa detik kemudian dia melihat orang itu ditabrak seseorang hingga membuatnya tersungkur di jalanan. 'Cih, apa dia benar-benar orang itu? Aku rasa mataku salah lihat lagi.' hatinya berkata demikian. Namun, dia menyuruh Markus menghentikan mobilnya. Rasa penasaran dan dia sangat ingin membuktikan sesuatu membuat tekadnya bulat.Menghampiri orang itu yang tengah berusaha bangkit dari orang yang sudah menabraknya tadi. "Ck, ck, ck, apa sungguh kau masih seorang Nona dari keluarga Belvina?" Orang tadi melirik kearah suara. Melihat Baron sudah tepat dihadapannya menaikan rahangnya dengan kasar.Orang tadi berusaha menutupi getaran dalam tubuhnya. Menatap datar wajah orang yan