Home / Romansa / Penjara Cinta Tuan Billionare / Makan Bareng Chef Justin

Share

Makan Bareng Chef Justin

last update Last Updated: 2024-02-23 18:29:47

Inputan pesanan secara otomatis masuk ke ruangan pastry dan tidak berapa lama semua pesanan keluar. Ajeng langsung memanggil pelanggan tadi dia mengulangi pesanan sebagai tanda check barang agar tidak Ada yang tertinggal.

Satu jam berselang shift pagi sudah kembali lagi di area. Mereka semua langsung melakukan pertukaran bergantian untuk istirahat. Dominique berjalan pelan menuju tangga duduk di salah satu anak tangga, tangannya mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menelpon Sophie.

"Iya Dom," suara Sophie dari ujung telpon.

"Gimana keadaan kamu sekarang Sop? Tadi aku di kasih tahu sama bu Ocha."

"Sudah lebih baik Domi hanya saja sementara waktu aku nggak mau naik angkot dulu, masih trauma," ucap Sophie dengan suaranya yang masih berat.

"Iya aku ngerti kok. Terus gimana tuh para begal? Ketangkap?"

"Aku dengar langsung tertangkap soalnya pas laporan kejadian dekat banget dengan polsek jadi laporan langsung di proses dan beberapa jam kemudian mereka semua tertangkap!"

"Syukurlah kalau sudah tertangkap. Jadi tidak meresahkan. Kapan kamu masuk Sop?"

"Mungkin besok kamu kan tahu bu Ririn nggak akan kasih izin lama dia pasti ngoceh!"

"Iya sih "

"Terus nanti malam kamu pulang sendiri dong Domi?"

"Uhm, mungkin. Cuma hari ini dia masuk siang sih," ucap Dominique.

Sophie mengerti maksud arah pembicaraan Dominique tentang chef Justin yang sedang pedekate dengannya.

"Ngomonglah dia pasti mau kok nganterin kamu pulang!"

"Ah liat nanti aja Sop, ya sudah aku istirahat dulu ya!"Dominique menutup telpon dan memasukkan ponselnya ke dalam saku.

"Ehemm" Dominique menoleh kearah suara.

"Makan bareng yuk!" Chef Justin sudah berada di belakang Dominique duduk di salah satu anak tangga di belakang Dominique dan mendengarkan percakapan mereka di telpon.

"Eh emang kerjaannya sudah selesai?"

"Sudah yuk. Ini sudah aku bawakan jaket!" Chef Justin menunjukkan jaket miliknya.

"Uhmm, tapi aku bawa bekal!"

"Nanti bekalnya turunin saja buat ronde kedua anak-anak nanti malam," sahut Chef Justin yang tidak ingin ada penolakan dari Dominique.

"Tapi bekalku kan ..."

"Sudah ayok, kelamaan nanti jam breaknya keburu habis!" Chef Justin tidak sabar langsung memakaikan jaket menarik tangan Dominique.

Di luar Ruko sebuah mobil tampak mengawasi.

"Tuan Haiden, anda tidak turun? Atau mau saya pesankan sesuatu?"

John yang melihat Tuannya memandangi kaca mobil yang sudah dia buka.

"Hmmm."

Lalu dia menyadari sesorang yang sedang dia nantikan melewati mobilnya, bergandengan tangan. Matanya membulat dengan lebar.

"John, siapa dia? Berani sekali dia menyentuhnya. Kau tidak memasukkannya ke dalam laporan!" bentak Haiden sambil mengepalkan tangan meninju kursi kemudi yang di duduki oleh John.

"Maaf Tuan Haiden, saya juga baru melihatnya!"

"Bodoh kau! Cepat bereskan dia, aku tidak mau melihatnya lagi!!"

"Baik Tuan!"

"Kembali ke kantor aku muak melihatnya. Kita jemput dia nanti malam."

"Baik Tuan," sahut John dan langsung mengemudikan mobilnya.

Haiden melihat Dominique sedang makan siang bersama seorang laki-laki.

Cih, berani sekali kau tersenyum bahagia seperti itu. Apa kau lupa dengan janjimu. Batin Haiden menatap kesal pada Dominique.

"John" John melirik tuannya dari kaca spion.

"Iya Tuan"

"Bereskan tokonya!"

"Sedang dalam proses, Tuan"

"Aku mau secepatnya!"

"Baik Tuan"

Tuan-tuan kenapa toko jadi sasaran cemburu anda, padahal anda dengan mudah bertemu dengan nona Dominique. Gengsimu tinggi sekali Tuan. Batin John.

"Malam ini kamu pulang sendiri kan?" ucap chef Justin di sela makan mereka. Dominique hanya mengangguk.

"Aku antar kamu pulang ya!" pinta chef Justin.

"Memangnya kamu bisa pulang cepat biasanya kan aku yang duluan pulang," sapaan Dominique di luar cake shop tidak terlalu formil.

"Bisa dong. Stok barang dan yang lain sudah aku maksimalkan tinggal push beberapa point yang belum nanti setelah break bisa aku kejar dan pulang dengan tepat waktu," sahut Justin meyakinkan Dominique sambil memegang tangannya dan tersenyum.

"Oke aku tunggu di luar saja yah. Tidak enak sama yang lainnya."

Walau Dominique tahu pedekate mereka bukan rahasia lagi buat mereka di dalam lingkup kerja Dominique harus menghormati Justin sebagai atasannya.

"Oya kau sudah dengar belum kalau saham toko kita sudah beralih tangan. Toko kita sekarang pemegang kuasa tertingginya seorang pengusaha terkenal dan sukses dari Inggris."

"Uhm belum, aku baru dengar. Tidak masalah siapa pemegangnya yang penting tiap bulan tidak ada keterlambatan gaji lebih baik lagi ada kenaikan," canda Dominique yang tidak perduli siapapun atasannya sekarang, baginya yang penting salary tiap bulan tetap mengalir ke rekeningnya.

ARAMGYAN COORPOTARE.

John menatap tuannya yang gelisah dan tidak tenang, berulang kali dia dengar dengusan kesal dari mulut tuannya. Mood tuannya sedang tidak baik setelah peristiwa gandengan tangan tadi. Pekerjaan dan beberapa janji langsung di tolaknya John tidak pernah melihat sikap tuannya selama sepuluh tahun di Inggris seperti ini.

Tuannya terus mondar-mandir di ruangan seperti setrikaan. 'Cih, tuan, tuan cemburu sampai seperti itu.'

"John" ucapnya seperti dia habis mendapatkan ide. John meliriknya.

"Anda mau saya pesankan sesuatu Tuan? Mungkin ice chocolate di siang hari pasti akan terasa segar," tawar John sambil tersenyum menggoda Tuannya.

"Cih, kau punya telepati kenapa kau tidak katakan daritadi," umpatnya kesal menendang kaki John.

"Ini saya katakan Tuan, apa ada pesanan lainnya?" seringai John lagi menggoda tuannya dengan alis yang dia naikkan.

Haiden tampak berpikir. "Suruh dia yang antar. Aku penasaran melihat wajahnya dari dekat ketika melihatku, ah atau aku bersembunyi dan menggagetkannya. Dia pasti senang melihatku kembali," celoteh Haiden yang terlihat seperti anak kecil.

'Hmmm tuan Haiden bertemu dengan nona Dominique. Aku jadi tak sabar melihat pertunjukkannya. Nona Dominique pasti'

"Baik Tuan, segera saya laksanakan!"

John yang melihat tuannya berkacak pinggang dan mendelikkan mata kesal menunggu jawaban John.

"Lambat sekali kerjamu!" gerutu Haiden berjalan ke meja kerjanya duduk sambil menggoyakan kursi membayangkan suatu hal. John hanya melihat tingkah tuannya yang seperti anak baru gede.

"Dom, kamu di panggil Bu Natalie," teriak Ajeng saat Dominique akan turun ke area. Dominique mengerutkan dahi.

"Ada apa ya Jeng?" Dominique yang penasaran.

"Jiaahhh mana aku tahu Dom, tadi pas lewat di depan ruangannya bu Natalie cuma bilang itu!" Ajeng berlalu segera turun ke area.

'Ada apa yaa? Kok tiba-tiba buluk kudukku merinding. Ah, sudah temui saja dulu dia.' Dominique berjalan malas ke ruangan bu Natalie. Dominique mengetuk pintu.

Tuk. Tuk!

"Masuk," sahutan dari dalam terdengar Dominique membuka pintu.

"Duduk," perintah Bu Natalie.

"Siang Bu, Ibu panggil saya, ada apa? " Dominique penasaran tumben sekali dirinya di panggil ke ruangan manager biasanya kalau di panggil pasti dia di suruh back up toko lain yang kekurangan personil dia tidak ingin berlama-lama di ruangan bu Natalie.

"Siang Domi. Tolong kamu antarkan pesanan ice chocolate ke," Bu Natalie memberikan secarik kertas yang di lipat dua kepada Dominique.

"Ice chocolate, Bu? Bukannya kita ada pak Nanang delivery kita," Dominique terkejut karena dia merasa ini bukan tugasnya. 'Masak aku sih yang harus ngantar mana di luar lagi panas-panasnya' batin Dominique menolak hebat permintaan bu Natalie.

"Sudah jangan membantah. Cepat antarkan nanti kelamaan dan ingat jangan buat masalah," pesan Bu Natalie.

Dominique tertegun sesaat. 'Sepertinya ada yang aneh' gumanya dalam hati.

"Eh kok malah bengong. Ayo cepat pergi sana!" usir Bu Natalie. Dominique mengkrejapkan matanya, "ma-af Bu, berapa banyak yang harus saya kirim!" Dominique yang tidak bisa membantah lagi.

"Satu saja. Kamu cukup mengantarkan dan segera kembali, mengerti!" ucap Bu Natalie

"Baik Bu, saya berangkat," pamit Dominique beranjak dari duduknya yang membuat hatinya tiba-tiba kesal.

"Oya, ce chocolate sudah di bawah dan ini uang transport pakai ojek online biar cepat!" Bu Natalie menyerahkan selembar uang seratus ribu kepada Dominique. Dominique menerima uangnya dan segera keluar ruangan bu Natalie.

"Domi nih!" Rissa order taker menyerahkan ice chocolate ke tangan Dominique.

"Serius cuma satu, Ris? Orang yang pesan tidak ada kerjaan yaa dan kenapa harus aku yang antar sih kan ada pak Nanang!" Dominique setengah cemberut menerima ice chocolate tadi.

"Sudah cepat antarkan. Nanti keburu cair tuh esnya. Ojek onlinenya sudah menunggu di depan, aku tadi di suruh pesankan sama bu Natalie!" Dorong Rissa agar Dominique segera pergi.

"Iya, iya!" Dominique menyeret malas kakinya menghampiri tukang ojek online yang sudah menunggu. Ojek online langsung melesat ke alamat tujuan. Ojek Dominique berhenti di depan gedung besar dan berlantai tinggi. Panas matahari sampai membuat silau matanya saat menatap gedung.

'Lantai berapa tadi ya' Dominique mengeluarkan kertas tulisan bu Natalie.

"Lantai lima puluh, hah yang benar saja cuma ini doang tulisannya!" Dominique yang baru menyadari saat membuka lipatan kertas tulisan tangan bu Natalie.

Dominique celingak celinguk di depan pintu gedung dia tidak melihat tulisan "ARAMGYAN COORPOTARE" terpampang besar di depan matanya seorang pengawal berbadan besar langsung menghampiri Dominique.

'Ah, itu dia, aku tanya sama dia saja' batin Dominique.

"Selamat siang Pak, Pak, saya mau ke lantai lima puluh lewat mana ya?" ucap Dominique ramah. Pengawal tadi sepertinya sudah mendapatkan perintah segera membawa Dominique untuk mengikutinya menuju lift khusus.

"Pak mau tanya lantai lima puluh ruangan apa ya?" Dominique yang tidak sabar bertanya siapa sih orang iseng yang pesan satu ice chocolate dan menyuruhnya datang kemari. Dominique merasa aneh dengan pesanannya dan dia tidak merasa punya teman apalagi kenalan di gedung semewah ini. Pengawal tadi hanya melirik dan tidak menjawab.

Pintu lift terbuka Dominique melihat satu lorong dengan satu ruangan besar di bagian pojok.

"Sudah sampai Nona, silahkan!" ucapan Pengawal tadi membuat kerutan di dahi Dominique dan langsung menutup pintu liftnya.

'Nona? Apa Aku tidak salah dengar?Dominique berjalan menghampiri meja sekretaris.

"Selamat siang Mbak, saya mau mengantarkan pesanan ice chocolate," sapa Dominique saat di depan meja.

Dominique melihat wanita itu sedang asik dengan peralatan tempurnya mengoles bedak dipipinya. Wanita tadi menatap Dominique dari ujung rambut sampai kaki.

"Oh ice chocolate," sahutnya kesal dan sinis.

'Cih apalagi ini, kenapa jawabannya seperti itu. Apa aku bikin salah? Kenal juga tidak. Kenapa dia tidak ambil saja sih nih ice chocolate harus sekali apa aku yang antar sendiri ... eh, eh ... kok buluk kudukku berdiri yaah ada apa nih, kok tiba-tiba merinding'

Wanita tadi berdiri dengan kesal meletakkan alat tempurnya di meja. "Ikut aku," ucapannya, Dominique mengekorinya dari belakang.

Wanita tadi membuka knop pintu.

Ceklek!

"Tuan ice chocolatenya sudah datang," ucap wanita tadi berjalan menghampiri meja di ikuti dari belakang oleh Dominique.

'Ah pertunjukkannya di mulai' John tersenyum diam.

Haiden langsung berdiri dia tidak sabar melihat reaksi Dominique. 'Ah ini kenapa makin dingin dan merinding ya? Apa AC-nya terlalu dingin buatku' Dominique merasakan ada yang tidak beres apalagi setelah wanita tadi menggeserkan tubuhnya mempersilahkan Dominique untuk memberikan ice chocolate yang dibawanya.

"Terima kasih Mbak," ucap Dominique ramah pada wanita tadi,

"Ini Pak pesanan ice chocolatenya," ucap Dominique sambil menyerahkan ice chocolate tadi kepada orang di hadapannya sambil menunduk. 'Apalagi ini kok diam. Kenapa tidak di ambil sih?'

"Pak maaf ice chocolatenya!" Dominique menarik wajahnya penasaran melihat wajah orang di hadapannya.

'Belagu amat sih' umpat Dominique kesal. Saat mata mereka saling bertatapan mata Dominique langsung membulat lebar.

"Aakkhhh ... SETAANNNN!!!! " Teriak Dominique tangannya tidak sengaja menekan gelas plastik yang berisi ice chocolate tadi sehingga menyiram wajah dan mengotori bajunya ...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penjara Cinta Tuan Billionare    Sebuah Pengampun

    Will menyadari kedatangan istri dan rivalnya. Dia hanya duduk menunggu di samping ruang operasi. Dominique menghampirinya. "Kau berbohong lagi!" cetusnya. Dia masih mode on merajuk. Will menarik tangan istrinya agar duduk disebelah dirinya. Tangan satunya melingkar di pinggang istrinya dan merengkuhnya ke dalam pelukan.Haiden duduk di sebelah istrinya. Hanya bisa menatap setiap perlakuan manis yang diberikan rivalnya. Dia kini sudah tidak pernah cemburu seperti dulu. Mereka berdua, sesama rival sudah sangat mengetahui kondisi masing-masing. Sesekali bertengkar. Namun, bukan pertengkaran yang besar selain berebut lebih dulu siapa yang mendapatkan jatah dari istrinya, selain itu. Mereka tidak pernah bertengkar. Sudah saling mengisi dan memahami. "Maafkan aku, sayang. Kau boleh menghukumku nanti. Aku akan menerima semua hukumannya!" dia mengecup kening istrinya. Mencoba menenangkan kemarahannya. "Iya, aku pastikan akan menghukummu secara berat. Kali ini aku tidak akan melepaskan beg

  • Penjara Cinta Tuan Billionare    Perang Di Siang Hari

    “Jangan sentuh? Kau yakin dengan ucapanmu itu?” goda Willy.“Iya, memangnya aku takut. Aku kan memiliki satu suami lagi, kau pikir, hah!” Dominique tak mau kalah melawan godaan suaminya.“Tidak ada apa-apa sayang, aku memang menginginkannya. Sudah lama sejak kau melahirkan dan mengurus anak-anak kita. Aku kangen!” Willy tetap menutupi hatinya. Mengusap kembali rambut istrinya sambil memandangi wajahnya dengan lembut."Sudah kalau tidak mau bicara, aku akan keluar!" ucap Dominique. Baru saja dia menarik selimutnya akan turun dari ranjang. Entah mereka memang tak mendengarnya atau terlalu fokus saat berbicara. Haiden sudah berdiri dihadapannya sambil melihat kedua tangannya. "Oh, jadi begini cara kalian? Melakukan hal yang enak tanpa mengajakku!" dengusnya kesal. Dominique menarik wajahnya sambil menghela nafas panjang. "Aku sudah selesai, jika kau memang menginginkan bilang saja sendiri!" Willy berjalan turun melenggang tanpa sehelai benang pun masuk ke kamar mandi. "Ah, tidak. Sud

  • Penjara Cinta Tuan Billionare    Bertemu Martha

    Martha masih belum sanggup menatap wajah Will, dia hanya terus tertunduk ketika suaminya berkata seolah ada satu pedang yang langung menancap di dadanya. Will dengan perasaan yang tak bisa dia gambarkan hanya bisa menghela nafasnya. Bingung.“Kau tidak sedang bergurau denganku kan, Pah?” Will masih setengah tak percaya. Tubuhnya bahkan terasa bergetar, masih belum mempercayai semua ucapan ayahnya“Kau bisa bertanya langsung dengannya, apa aku sekarang sedang berbohong padamu atau tidak?” tanpa banyak berkata apapun Baron membalikkan tubuhnya. Jantung Martha benar-benar akan copot di tatap putranya. Meminta penjelasan tentang kehadirannya.“Huh, baiklah, ayo kita masuk, Nyonya. Sepertinya akan banyak hal yang akan kita bicarakan!” kali ini Martha terkejut saat mendengar ucapannya. Datar dan dingin. Berbeda saat pertama kali mereka tak sengaja bertemu.Langkah kakinya mengekori Will masuk ke ruang bacanya. Dia sudah duduk di sofa sambil terus memperhatikan wanita yang bernama Martha

  • Penjara Cinta Tuan Billionare    Penjara Cinta

    “Bersiaplah hari ini kita akan menemuinya!” Baron berkata dengan sangat tegas. Menatap wanita yang duduk dihadapannya. Dia sedang menikmati sarapan paginya.Wanita yang beberapa hari ini telah resmi menjadi istrinya kembali. Dia yang dipaksa olehnya. Martha mau tidak mau menuruti semua kemauan Baron, daripada ada nyawa yang tidak bersalah berkorban untuk dirinya.Martha masih menatap wajah Baron. Bingung dengan ucapannya. Bertanya dalam hati apa yang akan ditemuinya nanti. “Aku hanya memintamu, menemaniku dan menemuinya. Apakah ada masalah? Mengapa kau menatapku seperti itu?” kembali Baron berbicara dengan suara sakrasnya. Membuat Martha tetap diam. Dia tak perduli dengan ucapannya. Dia tahu saat dia mencoba menjawab setiap perkataannya akan timbul hal yang tidak diinginkan.“Baiklah, aku akan bersiap-siap!” ucapnya setengah terpaksa.“Apa kau sebegitu tak sukanya pergi bersamaku?” Baron menaikkan rahangnya dengan kasar menatap Martha yang baru beberapa hari ini resmi menjadi istr

  • Penjara Cinta Tuan Billionare    Ramon Merayu Sophie

    "Jangan mendekat!" Sophie terus bergeser dari ranjangnya, saat Ramon mencoba mendekatinya. Sedangkan, John sibuk dengan dunianya sendiri. Dia seperti mendapatkan mainan baru. Saat pulang kerja dan setelah makan juga mandi hal yang dilakukan pertama kali adalah mengendong anaknya. Dia menjadi bapak siaga saat berada di rumah. "Inikan sudah empat puluh hari lebih, sayang. Masa aku nggak boleh dekat-dekat kamu sih!" Ramon merajuk. Namun, tak menghentikan aktifitasnya saat berusaha menggulingkan pertahanan istrinya. "Cih, kau bersungguh-sungguh? Sebaiknya, kau mencontohnya. Lihat tuh dia sangat akrab dengan, Josh!" cibirnya. Terus menghempaskan tangan Ramon yang berusaha menjamahnya."Cih, kau bersungguh-sungguh? Sebaiknya, kau mencontohnya! Lihat tuh dia sangat akrab dengan, Josh!" cibirnya. Terus menghempaskan tangan Ramon yang berusaha menjamahnya.John hanya meliriknya tanpa mengindahkan semua ucapan yang kelur dari mulut Ramon. Dia bahkan tak perduli dengan cibiran atau umpatan yan

  • Penjara Cinta Tuan Billionare    Kepergian Terry

    "Sungguh, aku tidak apa-apa. Jangan bawa aku kesana!" Martha memohon dengan penuh penekanan. Dia tak ingin seorang pun tahu tentang penyakit yang sedang dideritanya. Baron tak mengindahkan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Dia tahu wanita itu sedang membohonginya. Dia melemparkan tubuh yang tidak muda lagi itu dengan kasar ke kursi penumpang. Setelah penyeretan yang dramatis. Tanpa memperdulikan orang-orang yang menatap mereka. Seperti seorang istri yang sedang kepergok suaminya berselingkuh. "Jangan membantah lagi, jika kau terus terusan menolakku, jangan salahkan jika senjata ini akan langsung bersarang ke perutmu!" ancamnya. Kini Baron sedang tidak bermain-main. Dia menodongkan senjata tepat disamping perutnya. Martha sudah kehilangan akal menghadapi lelaki yang sudah berumur itu. Yang memiliki sikap dan temperamen seperti anak remaja. Merajuk kalau keinginannya tak dituruti. Dia tak bersuara. Pasrah. Hingga Baron memasukkan senjatanya kembali ke jasnya. Dia bertanya

  • Penjara Cinta Tuan Billionare    Kau Tidak Berhak

    Baron masih saja mondar mandir di kamarnya. Menunggu wanita itu benar-benar bisa menenangkan hati, agar mereka bisa kembali pembicaraannya. Sebenarnya bukan berbicara, tapi Baron masih ingin meneruskan rasa penasarannya. Martha menghela nafasnya. Isak tangis terakhirnya sebelum dia benar-benar berhenti.“Apa kita sudah bisa berbicara sekarang?” dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Daripada dia menemani wanita yang sedang menangis. Dia lebih baik memukuli seluruh pengawalnya hingga babak belur.‘Huh, apa kata dunia, jika ada orang yang tahu aku mendengarkan seorang wanita menangis!’Baron meraup wajahnya dengan kasar. Sungguh dia pun tak menyangka bisa menemani wanita itu merajuk. Menangis terseduk selama satu jam.Martha menganggukkan kepalanya. Memberikan tanda, dia siap menerima introgasi dari laki-laki dihadapannya itu.“Jadi, penjelasan apa yang ingin kau berikan padaku?” Baron masih menatapnya tajam.‘Huh, dari dulu dia memang tak pernah mau mengalah. Padahal dia yang salah.

  • Penjara Cinta Tuan Billionare    Keluar Rumah Sakit

    ‘Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia bisa menjadi seperti ini? Apa sungguh aku telah salah mengira dirinya?’Pikiran Baron bergemuruh. Hatinya tiba-tiba saja menjadi tak menentu. Dia bahkan tak tega melihat wanita itu berbaring lemah tak berdaya. Bagaimanapun, dia pernah menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam hidupnya.Dia berjalan perlahan menghampiri ranjangnya. Duduk tanpa bersuara, menatap wanita itu yang terlihat tidur dengan nyaman oleh obat yang habis dia minum. Rasa lelah yang dia rasakan seakan menghilang. Padahal tadi dia berencana akan pulang ke hotelnya untuk beristirahat.‘Ah, hotel!’ Baron keluar dari kamar wanita itu. Mencari keberadaan Markus yang tengah memberikan perintah kepada anak buahnya untuk membersihkan kekacauan yang baru saja mereka buat.“Carikan selimut yang tebal untukku dan segera bawakan untukku!” setengah tak percaya Markus mendengar permintaan Tuannya. Dia sedikit menaikan kedua alisnya saat mendengar tuannya berkata seperti itu.“Cepat!

  • Penjara Cinta Tuan Billionare    Pertemuan Tak Terduga

    Baron memicingkan matanya di kursi penumpang. Matanya ke luar jendela mobilnya. Menatap mantap orang yang dia kenali. 'Aku yakin dia.' Baron tak melepaskan tatapannya sedikitpun. Dia melihat orang itu tengah memegangi dadanya saat berjalan. Sesekali kakinya berhenti dan tangannya menempel pada tembok jalanan. Beberapa detik kemudian dia melihat orang itu ditabrak seseorang hingga membuatnya tersungkur di jalanan. 'Cih, apa dia benar-benar orang itu? Aku rasa mataku salah lihat lagi.' hatinya berkata demikian. Namun, dia menyuruh Markus menghentikan mobilnya. Rasa penasaran dan dia sangat ingin membuktikan sesuatu membuat tekadnya bulat.Menghampiri orang itu yang tengah berusaha bangkit dari orang yang sudah menabraknya tadi. "Ck, ck, ck, apa sungguh kau masih seorang Nona dari keluarga Belvina?" Orang tadi melirik kearah suara. Melihat Baron sudah tepat dihadapannya menaikan rahangnya dengan kasar.Orang tadi berusaha menutupi getaran dalam tubuhnya. Menatap datar wajah orang yan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status