Alya kembali ke kamarnya. Niat hati ingin menenangkan diri, tapi justru ia kembali dibuat berdebar dengan setiap kalimat pernyataan yang Evan beri pada kedua orang tuanya. Nada dering pesan masuk membuatnya menoleh cepat ke arah meja rias, tempat ponselnya diletakkan. Sebuah pesan dari Vira.Vira: Lihat ini sekarang. Kamu harus tahu.Tautan video menyertai pesan singkat itu. Tanpa pikir panjang, Alya mengetuk layar. Jantungnya hampir berhenti ketika wajah Evan muncul dalam video. Konferensi pers. Mikrofon berjejer di hadapan pria yang pernah ia cintai begitu dalam, dan kini...“Nama saya Evan Ibrahim Sanders,” suara Evan terdengar tegas, namun ada getaran kecil dalam intonasinya. “Saya berdiri di sini bukan sebagai CEO perusahaan keluarga saya, tapi sebagai seorang pria... yang selama ini menyembunyikan bagian terpenting dalam hidupnya. Saya telah menikah. Lima tahun lalu.”Gemetar tangan Alya menggenggam ponselnya. Ia mundur selangkah, lalu terduduk di tepi ranjang.“Nama istri saya
Suasana rumah itu sunyi, terlalu tenang untuk pagi yang seharusnya ramai oleh hiruk pikuk aktivitas. Udara dingin yang merembes dari celah jendela membuat ruangan tampak membeku, seolah waktu ikut berhenti menunggu ledakan yang akan segera terjadi.“Rumahmu terlalu sepi untuk orang yang sedang merayakan kemenangan besar,” suara itu dalam, tegas, dan penuh nada ejekan samar.Evan menoleh pelan. Pria yang berdiri di ambang pintu itu tinggi, dengan jas hitam rapi dan sepatu mengilap. Wajahnya menua, tapi masih menyimpan pesona yang dulu membuat banyak orang tunduk di dunia bisnis. Ibrahim.Ayahnya.“Kalau datang untuk memuji diri sendiri atas kemenangan perusahaan, kau bisa pulang sekarang,” kata Evan datar, lalu menyesap kopinya.Ibrahim tersenyum kecil dan duduk di sofa panjang tanpa diminta. Ia mengambil sikap seperti seseorang yang memiliki tempat itu.“Tidak, aku datang bukan untuk membahas perusahaan. Kita sudah lewat fase itu.”“Ayah bangga. Kamu bisa selesaikan masalah besar deng
Matahari pagi menyelinap pelan dari balik tirai jendela ruang makan yang luas dan penuh cahaya hangat. Aroma roti panggang dan telur orak-arik menggoda indra penciuman, menyatu dengan wangi lembut dari teh melati yang mengepul dalam cangkir porselen di atas meja.Alya duduk di salah satu sisi meja panjang, mengenakan blus putih santai dan celana linen abu-abu. Pasmina santai menghias wajah cantiknya, meski sederhana tetap membingkai indah wajahnya. Wajahnya masih menyisakan rona merah muda yang tak bisa ia sembunyikan, terutama saat matanya melirik ke arah pintu kamar yang tertutup rapat di lantai atas. Di sampingnya, duduk seorang anak laki-laki yang begitu ia sayang, dengan rambut ikal cokelat gelap dan mata besar penuh rasa ingin tahu."Mommy... Ayah Evan belum pulang, ya?" tanya Cale pelan, sembari menggigit roti panggangnya yang dioles mentega keju kesukaannya.Alya sedikit terkejut. Tangannya yang hendak meraih sendok berhenti di udara. Ia mengalihkan pandangan ke arah putranya
Langkah-langkah pelan Alya menyusuri lorong rumah besar itu, sunyi diiringi suara detak jarum jam dinding yang bergema lembut. Di tangannya, sebuah cangkir keramik putih berisi teh jahe hangat beraroma kuat yang baru saja ia buat di dapur. Aroma rempahnya semerbak, seolah ingin menyembuhkan udara yang tegang beberapa waktu lalu.Sesampainya di depan pintu kamar Evan, Alya mengetuk pelan."Evan?" panggilnya, suaranya lirih.Tak ada jawaban.Ia mengetuk sekali lagi, sedikit lebih keras. "Aku hanya membawakan teh jahe. Untukmu."Masih sunyi. Tak ada sahutan dari dalam.Alya menghela napas kecil. Dalam hatinya, ia ragu. Tapi udara dingin malam yang masih menggantung dan bayangan wajah lelah Evan saat baru datang tadi membuatnya mantap untuk masuk. Ia mendorong pintu perlahan, memastikan tidak membuat suara gaduh.Saat pintu terbuka sepenuhnya, pemandangan yang menyambutnya membuat detak jantung Alya seketika melonjak.Evan baru saja keluar dari walk-in closetnya. Tubuh tegapnya terbuka ta
Di rumah Evan, Alya sudah seminggu kembali dari rumah ibunya, suasana mencekam. Alya duduk di depan TV, menatap layar dengan wajah pucat. Vira ada di sampingnya, menggenggam tangan sahabatnya erat.“Kenapa mereka sejahat itu, Mbak? Aku… aku tidak pernah minta apa pun. Tidak pernah cari sensasi…” suara Alya gemetar. Jujur, ia tak pernah berpikir hingga sejauh ini sebab kembali masuk ke kehidupan Evan yang bahkan tidak ia inginkan. “Kamu harus tenang. Jangan berpikir macam-macam. Pak Evan pasti tidak akan tinggal diam.” Vira meyakinkan Alya dan menguatkan jika Evan pasti akan selalu berada di pihaknya. “Aku tak yakin, Mbak. Yang dihadapinya bukan hanya keluarga wanita itu. Tapi keluarganya juga.” Alya sungguh putus asa dan bingung di situasi seperti ini. “Pak Evan sudah berjanji. Dan dia tidak akan mengingkari. Kamu yakin itu,” tegas Vira meyakinkan Alya yang lemah saat ini. Ponsel Alya bergetar. Nama Evan muncul.“Alya…” suara Evan terdengar berat. “Aku minta maaf. Aku tidak bisa m
Langit sore itu menggantung kelabu di atas gedung yang menujlang tinggi di ibu kota. Dari balik jendela lantai ruangan presdir yang berkuasa. Evan Mahardika memandangi awan yang mulai menebal, seakan menjadi pertanda akan datangnya badai. Namun badai itu bukan hanya milik langit—ia telah memasuki ruang kantornya lebih dulu.Pintu ruang direktur utama terbuka perlahan. Sosok tinggi tegap masuk dengan langkah pasti. Ibrahim Sandres, ayah Evan sekaligus pendiri bisnis yang kini Evan kendalikan, membawa serta aura tekanan yang membuat ruangan seketika mencekam. Setelan jasnya rapi, rambut peraknya disisir ke belakang, dan matanya—dingin dan tajam seperti belati."Kita perlu bicara," ujar Ibrahim tanpa basa-basi saat memasuki ruangan mewah sang pemimpin yang tak lain adalah anaknya sendiri. Evan berdiri dari balik mejanya. “Silakan, Ayah. Duduklah.”Namun Ibrahim tak duduk. Ia berdiri tegak, menatap Evan dari seberang meja seperti seorang hakim menatap terdakwa. Tatapan yang menghujam bak