Evan menyalakan mesin mobil, jendela setengah terbuka. Dari kaca spion, ia bisa melihat Alya memeluk Cale, berdiri di tepi jalan makam. Mereka melambai pelan, dan Evan membalasnya sebelum akhirnya melajukan mobil keluar dari kompleks pemakaman.Di dalam mobil, Evan menghela nafas panjang. Ia tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini. Ada desakan tanggung jawab di Jakarta, ada rasa bersalah karena meninggalkan Alya di saat seperti ini. Tapi lebih dari itu, ada kekhawatiran yang tak bisa ia tolak—tentang bagaimana kelanjutan hubungan mereka.Perjalanan kembali ke ibu kota terasa lebih panjang dari biasanya. Angin yang meniupkan kenangan, suara isak Alya, tatapan kosong Cale… semuanya melekat di pikirannya.Sementara itu, di rumah duka, Alya menutup pintu kamar ibunya dengan pelan. Ia baru saja merapikan barang-barang pribadi ibunya. Sepotong syal coklat muda yang masih tersimpan rapi, surat-surat lama, dan sebuah album foto yang sudah menguning di sudut halaman.Ia membuka album itu, sa
Langit Kota Bogor memayungi bumi dengan awan-awan kelabu. Hujan belum turun, tetapi aroma tanah basah yang menggantung di udara seakan menjadi pengantar duka yang tak terucap. Angin berhembus pelan, menyusup di antara pohon-pohon kamboja yang berdiri bisu di kompleks pemakaman itu.Langkah kaki menyusuri tanah merah yang baru tergali. Di antara para pelayat berpakaian hitam dan putih, Alya berdiri paling depan, tubuhnya gemetar dalam balutan kebaya hitam sederhana. Kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, menahan segala perasaan yang nyaris meledak sejak semalam.Di sebelahnya, Evan berdiri dalam diam. Matanya tertuju pada liang lahat yang sudah menelan peti kayu coklat tua, tempat peristirahatan terakhir ibu Alya, wanita yang telah mempertemukan kembali takdir mereka. Pria itu mengenakan jas hitam, dasinya berwarna abu gelap, senada dengan duka yang mengelilingi mereka.Doa-doa mengalun lirih. Suara pengajian dari ustaz yang memimpin prosesi terdengar lembut namun dalam. Setia
Evan menatap sosok lemah di balik dinding kaca ICU dengan mata yang dipenuhi keraguan. Tangannya mengepal, kemudian mengendur ketika ia melirik ke arah Alya yang tengah duduk bersandar di bangku lorong rumah sakit, memangku Cale yang sudah tertidur.Safa berdiri tak jauh dari mereka, matanya mengamati situasi dengan kewaspadaan dan keresahan yang sama dengan sang kakak. Evan melangkah mendekat. Detik itu juga, Alya membuka mata, seperti bisa merasakan kehadirannya. Ia melihat Evan sudah berdiri tak jauh darinya. "Alya," panggil Evan pelan.Alya menatapnya lelah, namun tetap tegar."Boleh aku bicara sebentar dengan Ibu?" tanyanya dengan nada hati-hati, menahan emosi yang bergulat di dadanya.Alya mengerutkan kening. “Untuk apa?” Tentu saja Alya tak tahu apa yang hendak dilakukan oleh pria pada sang ibunya d dalam sana. “Bukan untuk hal yang membuatmu tak nyaman. Aku hanya ingin... meminta maaf padanya. Atas semua yang terjadi padamu dan Cale selama ini. Terutama denganmu,” jawab Eva
Udara pagi masih menyisakan embun di kaca-kaca rumah sakit. Aroma antiseptik menguar tajam saat pintu utama terbuka, menyambut kedatangan Evan yang menggendong Cale dalam dekapan eratnya. Anak kecil itu masih mengenakan jaket tebal berwarna biru laut, kepalanya bersandar di bahu sang ayah, sesekali menguap kecil, menggosok matanya yang masih mengantuk.Evan melangkah cepat menyusuri koridor menuju lantai tiga, tempat Alya menunggunya. Wajah pria itu penuh ketegasan, namun sorot matanya menunjukkan kekhawatiran. Ia menatap layar ponsel sekali lagi, membaca pesan terakhir dari Alya."Tolong bawa Cale ke rumah sakit, Evan. Ibu ingin melihatnya. Mungkin... ini bisa jadi pertemuan terakhir mereka."Ia menghela nafas panjang, dada sesak oleh kemungkinan-kemungkinan buruk yang belum sempat ia cerna sepenuhnya.Saat lift terbuka, Alya sudah berdiri di sana, menunggu mereka dengan mata sembab dan raut lelah. Tatapannya langsung jatuh pada putranya yang kini sudah terlelap di pelukan Evan.“Mom
Deg. Dunia yang semula berwarna kelabu seolah disinari seberkas cahaya. Alya langsung berjalan cepat menuju ke ruangan sang ibu berada, tangannya sedikit gemetar.“Sungguh?” bisiknya nyaris tak percaya.Safa mengangguk cepat. “Sungguh. Aku lihat sendiri. Tapi mbak harus izin dulu buat masuk.”Alya menggenggam tangan adeknya itu erat-erat, seolah mencari pegangan. “Temani aku, ya… Mbak masih takut buat bertemu ibu. Mbak juga bingung harus apa nanti,” jujur Alya merasa belum siap harus jujur dalam kondisi seperti ini pada ibunya. “Selalu. Mbak tenang saja ya. Ibu pasti nggak akan marah dengan Mbak.”Ruang ICU masih senyap. Lampu di langit-langit memantulkan cahaya putih pucat yang menambah aura tegang. Seorang perawat dengan masker dan sarung tangan sedang mencatat sesuatu di ujung ruangan. Alya dan Safa menghampiri dengan langkah hati-hati.“Permisi, Sus” suara Alya nyaris serak. “Bagaimana keadaan ibu saya? Apa saya bisa masuk buat tahu kondisi Ibu?”Perawat itu menoleh, mengamati
Alya memejamkan matanya sejenak, menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi di ruang tunggu rumah sakit. Malam belum benar-benar larut, namun tubuhnya sudah terasa remuk seperti baru saja dihempas ombak keras bertubi-tubi. Aroma desinfektan dan udara dingin dari pendingin ruangan seolah menyatu, membungkus tubuhnya dalam ketegangan yang tak kunjung reda sejak ia tiba di rumah sakit. Meski sang ibu sudah mendapat penanganan terbaik, tetap saja tak kunjung membuat Alya menjadi tenang. Teleponnya bergetar di genggaman. Layar menampilkan nama yang sudah tak asing—Susan. Ya, Alya belum kembali ke Jakarta, hingga malam kembali menyapa. Tak bisa meninggalkan sang ibu yang belum sadar dari komanya. Kabar yang didapat dari Susan. Bahkan, siang hari tadi Cale ikut Evan kerja. Ia tahu, pasti pria itu merasa kesusahan sebab harus menjaga Cale seharian. Dengan gerakan refleks, Alya mengangkat panggilan itu. Suara di seberang terdengar hangat, tapi ada ketegangan samar yang tertangkap jelas di