Share

Pengganggu

Huh, Ariel menghembus napas jengah. Iklim sosial semacam ini pasti ada di mana saja. Di sekolah, di tempat tinggalnya, di tempat kuliah, di lingkungan mana pun itu ia selalu menemui jenis ekosistem seperti ini. Orang-orang membentuk kelompok, membangun kawanannya sendiri-sendiri dan bersaing untuk posisi tertentu dalam arena.

Satu kelompok memastikan ia menguasai kantin, mereka bebas menyerobot antrian yang lain, menjahili orang-orang di luar kelompoknya, menciptakan hierarki transparan bahwa mereka berada di atas yang lainnya.

Kelompok lainnya memiliki pemimpin yang tampak berkuasa dan berwibawa dengan seorang wanita bertubuh kekar dan tampak garang berada di sisinya. Mereka disegani dan selalu berjalan bersamaan, memastikan semua orang tunduk pada mereka.

Kelompok lainnya lebih tenang, mengamati. Ia tidak menakuti siapa pun, tapi ada semacam peraturan tak tertulis yang membuat semua orang di sini akan segan. Mereka seperti sesepuh yang keramat untuk diusik.

Sementara yang lain, ada seseorang yang karena penampilan wajah dan fisiknya yang sangar membuat semua orang secara otomatis menjauh. Orang-orang terintimidasi olehnya walau ia tidak melakukan apa-apa. Ia tipe yang tenang dan penyendiri. Ia seperti sosok mitologi yang dipercayai walau tanpa ada aksi nyata.

Untuk orang-orang yang tidak termasuk dalam kelompok, mereka seperti rakyat biasa yang harus tunduk pada pengaturan. Di mana mereka berada, hukum itu yang harus ditaati. Dengan siapa mereka berurusan, kelompok itu yang harus mereka patuhi.

Dan Ariel tidak luput. Untuk beberapa kesempatan, ia secara tidak sengaja berurusan dengan mereka. Misalnya saja antrian makannya yang diserobot, tempat duduknya yang digusur, atau perintah yang harus ia turuti. Hal-hal ini memang berbeda dari penyerangan fisik langsung, tapi siapa pun yang diperlakukan seperti ini secara terus menerus pasti akan merasa dirundung.

Dan Ariel harus menahan semua itu. Ia harus memperhatikan tindakannya. Ia tidak ingin berbuat ulah yang berakibat pada pengurangan jadwal kunjungan untuknya. Atau kalau tidak, ketika orang tuanya datang, ia tidak akan bisa menemui mereka. Jangan sampai. Jadi, Ariel hanya bisa bersabar, meminimalisir masalah walau dalam hatinya ia ingin sekali meladeni mereka yang mengusiknya.

Beberapa hari kemudian, pekan berganti dan ia mendapat satu kunjungan lagi. Ariel memang berharap mama atau papanya atau keduanya akan berkunjung, hanya tidak mengira kalau jarang yang dimaksud ternyata secepat ini.

Ariel dituntun ke ruang kunjungan. Kali ini tempat yang lumayan longgar dengan meja dan kursi, tanpa batasan apapun, ruang yang sama yang ia gunakan saat menerima kunjungan pertama.

Begitu sampai, itu tidak sesuai harapannya. Laki-laki paruh baya dengan jaket hitam itu sudah tentu bukan papanya. Ah, Ariel mengingatnya. Orang itu adalah polisi yang pernah terlibat pembicaraan sengit dengannya.

Karena satu hal ini, Ariel juga menyadari sesuatu. Sepertinya hanya orang-orang dengan jabatan tertentu yang bisa menggunakan ruangan ini untuk kunjungan dan sudah pasti orang tuanya tidak termasuk. Ah, menyebalkan!

"Duduklah." Melihat orang di depannya hanya diam dan menatapnya dengan sengit, Handoko memutuskan menjadi orang yang berinisiatif.

"Apa ini?" Ariel berkata dengan nada dingin.

Tanpa mempedulikan temperamen Ariel yang tidak bersahabat, Handoko segera berdiri dan tanpa aba-aba menangkap pundak Ariel.

Ariel terkejut. Apa yang orang ini lakukan? Ap-apa dia sedang dilecehkan? Menyadari hal itu, Ariel segera memberontak.

"Hei, berhenti! Apa yang kau lakukan? Ini pelecehan!" Ia terus berusaha, tapi orang di belakangnya tidak terganggu sama sekali.

"Ak!" Ariel hampir memekik saat sebuah jari menekan satu titik di punggungnya. Tanpa bisa menerima penghinaan lebih lama lagi, Ariel meraih tangan orang di belakangnya, menggunakan kakinya sebagai tumpuan dan membuat gerakan untuk menjatuhkan orang di belakangnya dengan membantingnya ke depan.

Di luar dugaan, orang itu bisa menyeimbangkan posturnya sehingga ia mendarat dengan sempurna tanpa jatuh atau tergelincir. Sial!

Handoko sedikit terkejut dengan kemampuan pembelaan diri Ariel, tapi tidak mengungkapkannya.

"Memang ada cidera." Katanya. Dan Ariel hanya bisa melotot. Apa yang dilakukan orang ini tadi padanya? Jangan bilang orang ini hanya mengecek cederanya? Cih, alasan!

Meski menyadari kesalahpahaman yang disebabkannya, Handoko tidak merasa perlu untuk menjelaskan. Ia langsung bicara ke intinya. "Perkataanmu tentang jatuh dari tangga harusnya terkonfirmasi dengan cidera ini. Haih, aku harusnya mendapatkan rekam medis penyidikan itu."

"Apa maksudnya ini?"

Handoko masih mengabaikan Ariel dan merespon dengan hal berbeda. "Pokoknya tunggu saja. Sampai aku mendapatkan bukti, kau tidak diizinkan mati di sini."

"Kau ini ngomong apa sih?"

Sekali lagi, Handoko tidak menanggapi Ariel dan beranjak begitu saja untuk meninggalkan ruangan.

Melihat orang itu pergi tanpa penjelasan, Ariel segera menahannya. "Hei! Maksud semua ini apa? Bukti apa lagi? Masih kurang aku sekarang dipenjara begini? Maumu apa sih?"

Merasa repot untuk mengatakan alasannya, Handoko memikirkan kalimat yang paling ringkas untuk merangkumnya sampai ia memilih satu. "Mendapatkan pembunuh sebenarnya."

Ha? Jawaban ini di luar dugaannya. Tangan Ariel yang memegang lengan Handoko melonggar perlahan sampai terlepas.

Melihat tidak ada respon lagi dari lawan bicaranya, Handoko melanjutkan langkah. Namun terhenti setelah beberapa meter ketika mendengar suara Ariel di belakangnya. Ia berbalik.

"Kenapa?" Ariel mengangkat pandangannya yang sempat kosong untuk bertemu tatapan milik orang berjaket hitam itu. "Kenapa kau melakukannya? Saat aku sudah berada di tempat ini, apa untungnya bagimu melakukannya? Mencoba menjadi orang baik?"

Setelah semua yang ia alami, hampir mustahil bagi Ariel untuk mempercayai siapapun, terlebih orang-orang semacam ini: polisi, jaksa, hakim. Baginya, orang-orang ini hanya bermain dengan hukum sesuka mereka, tidak peduli mana kebenarannya, asal mereka percaya maka itulah hukumnya. Sangat-sangat menjijikkan.

Handoko sepertinya menangkap makna dari tatapan itu, ketidakpercayaan.

Ia menghela napas sebelum memberi jawaban singkat. "Karena aku polisi yang menangani kasus ini sejak awal. Jadi, harus kuselesaikan sampai tuntas."

Jawaban itu cukup membuat kedua alis Ariel yang bertaut lepas seketika. Apa-apaan dengan kata-kata orang itu? Terlalu idealis. Apa ini dialog drama?

" Jadi bertahanlah sampai hari itu tiba. Ah! Tapi bagaimana pun, dengan mental dan fisikmu itu, aku yakin kau bisa. Setidaknya kau tidak seharusnya mati dengan mudah." Katanya ringan sebelum membalikkan badannya lagi menuju pintu keluar.

"Aku tidak akan!"

Respon kesal yang Ariel berikan cukup membuat Handoko menyunggingkan senyum tipis sebelum ia benar-benar meninggalkan ruangan.

Sementara itu, Ariel yang ditinggal sendiri di sana masih mencerna situasi. "Apa-apaan orang itu! Siapa juga yang mau mati!"

Ariel juga melangkah pergi, tapi berbalik lagi hanya untuk berdecak dan mengomel ke arah Handoko pergi. "Haih, kenapa dia merusak moodku yang sudah baik belakangan ini? Menyebalkan!" Katanya sambil membuat gerakan akan memukul sebelum benar-benar pergi dari ruangan itu.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status