Langkah Kirana makin cepat saat mendekati gerbang kebun raya, sepatu kanvasnya menimbulkan suara berdebum halus di atas jalan setapak berbatu.
Udara sore yang lembap menusuk hidungnya, menyatu dengan aroma tanah basah dan dedaunan yang mulai menguning.
Hatinya berdegup tidak karuan, seolah mengikuti irama langkahnya yang terburu-buru.
Di bawah lengkungan besi gerbang tua yang dibalut sulur-sulur tanaman rambat, berdirilah Raka. Ia tampak mematung, pandangannya terpaku ke arah jalan setapak yang melingkar ke arah danau.
Bahunya sedikit membungkuk, dan dari jarak segitu pun Kirana bisa melihat ketegangan yang merambat di garis rahangnya.
“Gimana? Ketemu?” tanyanya begitu tiba di sisi pria itu, suaranya terdengar lebih tinggi dari biasanya, nyaris patah.
Raka mengerjap, baru menyadari kehadirannya. Ia menoleh perlahan. Tatapannya bertemu mata Kirana, lalu meluruh pelan menjadi ekspresi muram.
Ia menggeleng sekali, gerakannya
“Memang kamu yang salah!” bentak Raka, tangannya menepis jemari Zelina yang mencoba menahan lengannya.Suaranya keras, nyaring, sekeras kemarahan yang mendidih dalam dadanya. “Kalau kamu nggak niat nyari Ellie, lebih baik kamu pulang. Jangan buang waktuku!”Tanpa menoleh lagi, Raka berbalik dan melangkah cepat ke arah hutan, tubuhnya menyusup masuk di antara batang-batang pinus yang berdiri pucat dalam cahaya bulan yang mengambang samar.Bayangannya lenyap perlahan, ditelan rimbun dan gelap.Zelina berdiri terpaku, tangan yang sempat terangkat kini menggantung lemas di sisi tubuh. Matanya memandangi arah Raka pergi, tapi tidak ada lagi yang bisa ia kejar, tidak ada yang bisa ia bela.Di sisi lain, Zayyan dan tim SAR menyisir setiap jengkal semak dan batang pohon di hutan Ciburial. Lampu senter mereka menyibak kabut tipis yang mulai turun dari langit malam, membentuk bayang-bayang ganjil di sela pepohonan.Waktu terus
Jantung Raka seperti dicekik dari dalam. Dentuman detaknya berdengung di telinga saat ia berjalan cepat kembali ke hotel, langkahnya diseret oleh doa yang tak putus-putus.Setiap sudut jalan yang ia lewati terasa seperti labirin yang menelan waktu. Ketika pintu kamar hotel terbuka dan ia melihat Bayu serta Aidan duduk menanti di atas ranjang, tubuhnya akhirnya mengendur.Napasnya, yang sejak tadi pendek-pendek dan berat, mendesah lega, seolah paru-parunya baru saja kembali menerima udara.“Pak Pradana, Ellie sudah ketemu?” tanya Bayu dengan suara setipis helaian tisu basah, matanya memantulkan harapan yang sudah setengah redup.Raka menggeleng. “Belum,” jawabnya perlahan, pandangannya menyapu ke sekeliling ruangan yang terasa terlalu sunyi untuk ukuran tempat dua anak kecil sedang menunggu.“Ibu kalian yang antar kalian ke sini?”Bayu mengangguk, namun raut cemas semakin mengunci wajahnya. “Ibu langs
Zelina hanya mengangguk singkat, tapi sorot matanya tajam, tegas, seolah mengerti bahwa pada saat genting seperti ini, satu pasang mata tambahan bisa menentukan segalanya.Tanpa menunggu lebih lama, ia segera melangkah cepat menuju lokasi pencarian Elina, langkah-langkahnya mantap menapak jalan berkerikil yang berkelok menuruni lereng.Di tempat lain, Sekar berdiri di balkon kamar hotel, matanya memandang ke arah hutan yang mulai diselimuti kabut senja.Angin dingin Lembang menerpa rambutnya yang disanggul longgar, tapi yang membuat tubuhnya menggigil bukan hanya hawa gunung, melainkan rasa cemas yang terus mencengkeram dadanya.Dengan jari-jari sedikit gemetar, ia menekan nama Raka di layar ponsel.Suara dering menyusup ke udara lembab pegunungan. Raka, yang sedang menyusuri jalur sempit di tepi perbukitan, menghentikan langkahnya.Daun-daun kering berderak di bawah sepatu botnya saat ia mengeluarkan ponsel dari saku jaket. Nama ibunya meny
Bu Rini mengambil alih dengan sigap. “Baik, Ibu mengerti. Kalian tunggu di sini, ya,” katanya lembut namun tegas.“Ibu akan panggil yang lain untuk bantu cari.”Senyum menenangkan disunggingkan sebentar, lalu ia berjalan cepat menjauh, sambil menunduk menulis pesan di ponsel.Jemarinya mengetik kilat di grup WhatsApp orang tua murid, disusul panggilan-panggilan singkat ke staf TK.Suaranya tetap rendah, tapi matanya menyapu sekitar, penuh kewaspadaan. Satu nama: Elina. Hampir semua orang tahu siapa dia, gadis kecil bermata bulat yang selalu menyapa siapa pun dengan senyum selebar mentari.Di tempat lain, aroma hotel yang dingin dan mewah menyergap begitu Kirana mendorong pintu lobi. Bau karpet bersih bercampur aroma bunga segar dari vas besar di sudut ruangan menyentuh inderanya, tapi pikirannya terlalu kacau untuk meresapi itu semua.Lalu ia melihatnya.Zelina duduk di sofa panjang berlapis beludru bi
Langkah Kirana makin cepat saat mendekati gerbang kebun raya, sepatu kanvasnya menimbulkan suara berdebum halus di atas jalan setapak berbatu.Udara sore yang lembap menusuk hidungnya, menyatu dengan aroma tanah basah dan dedaunan yang mulai menguning.Hatinya berdegup tidak karuan, seolah mengikuti irama langkahnya yang terburu-buru.Di bawah lengkungan besi gerbang tua yang dibalut sulur-sulur tanaman rambat, berdirilah Raka. Ia tampak mematung, pandangannya terpaku ke arah jalan setapak yang melingkar ke arah danau.Bahunya sedikit membungkuk, dan dari jarak segitu pun Kirana bisa melihat ketegangan yang merambat di garis rahangnya.“Gimana? Ketemu?” tanyanya begitu tiba di sisi pria itu, suaranya terdengar lebih tinggi dari biasanya, nyaris patah.Raka mengerjap, baru menyadari kehadirannya. Ia menoleh perlahan. Tatapannya bertemu mata Kirana, lalu meluruh pelan menjadi ekspresi muram.Ia menggeleng sekali, gerakannya
Lift menderu pelan menuruni lantai, menyisakan keheningan yang janggal di dalam kabin kecil itu. Lampu kuning temaram menyorot wajah Zelina yang berubah kaku seperti topeng porselen.Di sebelahnya, Elina berdiri mematung, kedua tangannya mengepal erat di sisi rok, kepala tertunduk seperti sedang menahan sesuatu yang terlalu berat untuk diucapkan."Ellie? Ngapain kamu ikut? Di kamar aja sama Ayah, ya?" tanya Zelina, nadanya mengandung teguran yang dibalut senyum tipis.Tapi senyum itu tak sampai ke matanya.Elina hanya diam. Tidak menjawab, tidak menatap. Hanya helai rambut halusnya yang sedikit bergetar karena hembusan AC lift.Zelina mencibir pelan, lalu berpaling, seolah anak itu hanya dinding tambahan yang tak perlu dipedulikan.Suasana di dalam lift menegang, seperti tali yang direntangkan terlalu kencang. Tak ada kata-kata. Hanya bunyi mekanis dari sistem lift dan detak jam tangan di pergelangan Zelina.Ketika pintu terbuka perla