Elina menunduk, bahunya mengerut seperti daun layu diguyur gerimis. Suaranya keluar lirih, nyaris tenggelam dalam senyap ruang tamu yang hanya diterangi cahaya temaram dari lampu sudut, “Nggak sendiri…”
Raka sudah bisa menebaknya. Ada nada getir di balik ketenangan anak itu. Ia meraih kepala Elina dengan sentuhan lembut, membelai rambut halusnya pelan-pelan.
“Ayah tahu,” ucapnya, suaranya nyaris berbisik, “Bu Kirana pasti yang antar kamu pulang. Ayah juga sudah jelaskan ke Bu Widya, jadi kamu nggak perlu khawatir.”
Sekilas, kerut di dahi Elina mereda. Matanya yang sebelumnya redup, kini sedikit menghangat, meski tak benar-benar bersinar.
Raka menatapnya dalam diam, lalu bertanya dengan hati-hati, “Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu ke rumah Bu Kirana?”
Ia tahu jawabannya. Tapi ia juga tahu, beberapa kebenaran harus terdengar langsung agar bisa dihadapi.
Elina tak menjawab, hanya menggel
Elina menunduk, bahunya mengerut seperti daun layu diguyur gerimis. Suaranya keluar lirih, nyaris tenggelam dalam senyap ruang tamu yang hanya diterangi cahaya temaram dari lampu sudut, “Nggak sendiri…”Raka sudah bisa menebaknya. Ada nada getir di balik ketenangan anak itu. Ia meraih kepala Elina dengan sentuhan lembut, membelai rambut halusnya pelan-pelan.“Ayah tahu,” ucapnya, suaranya nyaris berbisik, “Bu Kirana pasti yang antar kamu pulang. Ayah juga sudah jelaskan ke Bu Widya, jadi kamu nggak perlu khawatir.”Sekilas, kerut di dahi Elina mereda. Matanya yang sebelumnya redup, kini sedikit menghangat, meski tak benar-benar bersinar.Raka menatapnya dalam diam, lalu bertanya dengan hati-hati, “Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu ke rumah Bu Kirana?”Ia tahu jawabannya. Tapi ia juga tahu, beberapa kebenaran harus terdengar langsung agar bisa dihadapi.Elina tak menjawab, hanya menggel
Setelah memastikan Elina tidak mengalami luka atau trauma yang jelas, Jaka pamit dengan singkat. Tak sempat menyesap teh atau menyentuh makanan pembuka, ia melangkah keluar sebelum makan malam dimulai.Suasana ruang tamu terasa hampa sepeninggalnya, meninggalkan jejak keheningan yang tebal, seolah menandai sesuatu yang belum selesai.Raka masih duduk di ruang kerjanya. Udara di ruangan itu hangat dan lembap, dengan aroma samar kayu manis dari diffuser yang tak pernah ia ganti sejak tiga hari lalu.Cahaya kuning lampu meja membuat bayangan buku-buku di rak tampak lebih panjang dari biasanya. Di tengah keheningan yang rapuh itu, ia akhirnya meraih ponsel.Beberapa detik kemudian, suara dering menyusup masuk ke sela-sela keheningan. Ketika Rini mengangkat, suaranya terdengar terburu-buru, nyaris tercekik.“Aku pergi setelah antar Elina... Bu Alesha bilang dia akan pulangin Elina. Apa dia... enggak?” Nada Rini melambat, sarat keraguan.
"Astaga, Neng Elina, bukannya masih di TK? Kok pulang sendirian? Siapa yang anter?" suara Cempaka terdengar nyaring, sarat kecemasan.Matanya celingukan, memeriksa setiap sudut pekarangan rumah yang lengang, seolah berharap menemukan sosok dewasa yang seharusnya mendampingi Elina.Gadis kecil itu hanya tersenyum tipis, seperti tempelan senyum yang baru saja dipaksakan keluar di hadapan Kirana.Begitu langkah kakinya menyentuh ambang pintu rumah, senyum itu luntur perlahan, digantikan kemuraman yang tak mampu ia sembunyikan.Tanpa berkata sepatah pun, Elina menggeleng pelan, lalu menaiki tangga ke lantai atas dengan langkah kecil yang berat.Cempaka menatap punggung mungil itu dengan dahi mengernyit, perasaan tak enak menyelinap di dadanya.Ada yang tidak beres, pikirnya. Ia berdiri terpaku beberapa saat sebelum akhirnya mengambil ponsel dari saku apron dan menekan nomor yang sudah sangat ia hafal.Sementara itu, di dalam mobil yang ma
"Aku nggak akan ketemu Ibu Alesha lagi."Kalimat itu menggelegar pelan di benak Elina, namun getarannya terasa memecahkan. Tubuh mungilnya berguncang, tangisnya pecah seperti langit mendung yang tak bisa lagi menahan hujan.Pipinya basah, napasnya tersengal, dan matanya tak lepas dari sosok perempuan yang sebentar lagi akan pergi dari hidupnya.Kirana tersenyum tipis, pahit, namun berusaha hangat. Ia mengusap rambut Elina yang mulai kusut karena tangis.Jarinya bergerak lembut, seperti ingin menyampaikan kenyamanan yang tak bisa sepenuhnya ia ucapkan."Mungkin ini terakhir kali Ibu bisa ketemu kamu, Ellie," bisiknya, seolah kata-kata itu bisa meredakan gemuruh di dada mereka."Jangan nangis lagi, ya? Senyum, dong."Tapi Elina hanya menggeleng, keras kepala dalam kesedihan yang terlalu besar untuk tubuh sekecil itu. Air matanya mengalir terus, tak peduli pada permintaan Kirana."Jangan pergi, Ibu Alesha..."Kirana membiar
“Aku nggak mau! Aku nggak mau perempuan jahat itu jadi mamaku!” Elina berteriak sekuat tenaga, suaranya menggema di dalam ruang tamu yang temaram oleh cahaya senja.Gorden bergelombang pelan tertiup angin dari jendela yang terbuka separuh, dan aroma lembut bunga kamboja dari halaman depan seperti tak sanggup menenangkan gejolak di dalam rumah itu.Wajah Elina memerah, keringat membasahi pelipisnya meski udara Bandung sore itu cukup sejuk.Matanya yang membara menatap ke arah Kirana, seolah memohon agar dunia berubah hanya demi satu hal: agar perempuan itu, perempuan yang tak disebut namanya, tidak pernah masuk dalam hidupnya.Kirana terdiam, mematung, hanya kelopak matanya yang bergerak menatap Elina dengan hati yang perlahan mengerut.Ia tahu siapa yang dimaksud gadis kecil itu, dan meski hatinya sudah menebak, tetap saja nyeri itu datang seperti tamparan dingin di tengah musim panas.Elina menghentakkan kakinya, suaranya menggu
Kirana memandangi wajah dua putranya yang memohon penuh harap. Mata mereka berbinar seperti bulan sabit yang menyembul malu-malu di langit senja.Ia melirik jam dinding yang berdetak pelan di atas rak buku. Masih pukul dua belas lewat lima belas. Raka pasti masih tenggelam dalam rapat atau dokumen di kantornya yang terletak di tengah hiruk pikuk Bandung.Pikiran itu melintas cepat, namun cukup kuat untuk mengikis sedikit ketegangan di dadanya.Mungkin ini kali terakhir Ellie bisa bermain bersama Aidan dan Bayu, pikirnya.Ia menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan seolah mengeluarkan beban yang bersarang di dadanya.Senyum lembut akhirnya mengembang di wajahnya.“Baiklah. Kamu boleh main sebentar lagi,” ucapnya, suaranya hangat seperti selimut di pagi hujan. Tangan kirinya terulur, mengusap rambut Elina yang halus seperti kapas.“Ayo, main sama Aidan dan Bayu. Nanti Ibu antar pulang, ya?”