Dalam waktu dua hari hidup Kiara jungkir balik. Mendadak dia dilamar duda kaya dan mengubah status gadisnya menjadi mama muda. Kebahagiaan seorang pengantin baru sama sekali tak dirasakan Kiara karena dia hanya seorang istri rasa pengasuh. Namun demi kelangsungan hidup keluarganya, Kiara harus bertahan meski sang suami hanya menorehkan luka dalam pernikahannya. Di saat Kiara menyerah, pria bergelar suami itu mulai berbalik arah. Sekali lagi Kiara dipaksa untuk memilih dan sekali lagi pula kebahagiaan hidupnya dipertaruhkan. Bertahan menyakitkan, pergi melukai hati.
View More"Kalau nggak bisa naik motor jangan berkendara di jalan raya!"
Seperti tuli, gadis berhijab yang masih memakai seragam mengajar bergegas menegakkan kembali motornya, tanpa melihat ke arah pengendara mobil yang ia tabrak akibat ia tidak menyadari bahwa ia melajukan motor matic merahnya di jalur yang salah.Tanpa mengatakan satu patah kata pun, Kiara Ramadhani kembali menaiki motornya dan melajukan benda itu kembali, mengabaikan ucapan-ucapan dari sosok berpakaian mewah yang ia tabrak tadi."Hei! Kamu mau ke mana? Kamu terluka!" teriak pria tersebut.Meski awalnya marah-marah, melihat gadis yang bertabrakan dengannya terluka, sisi kemanusiaan pria itu tersentil.Akan tetapi, Kiara sudah telanjur pergi. Gadis itu bahkan tidak merasakan sakit, padahal darah merembes di bagian lutut dan sikunya yang tadi terbentur aspal jalanan.Air mata Kiara terus mengalir. Pandangan matanya membuaram karena terhalang oleh genangan air yang tak berhenti mengalir. Bayangan sang ayah yang tergolek lemah di rumah sakit terus menjajah pikirannya.Ia belum akan tenang sebelum mengetahui nasib ayahnya.Sesampainya di rumah sakit, Kiara memarkir motornya begitu saja dan langsung mendatangi ibunya yang menunggu di depan ruang ICU."Bu, bagaimana keadaan Ayah?" Kiara langsung bersimpuh di hadapan ibunya.Kiara melihat wajah sembab sang ibu dan menggenggam tangan wanita paruh baya itu lebih erat, mencoba menguatkan.Wanita paruh baya itu menghela napas panjang sebelum mengatakan, "Kata dokter, ayahmu terkena serangan jantung.”Sepasang mata Kiara membelalak. "Ke-kenapa bisa, Bu?"Namun, pertanyaan itu tidak langsung mendapat jawaban karena detik itu, Siska, wanita yang melahirkan Kiara menyadari kondisi putrinya yang terlihat kacau."Sayang, kenapa ada banyak darah di bajumu?” tanya Siska panik. Sejenak ia melupakan kondisi suaminya yang belum sadar di dalam sana. “Apa yang terjadi, Nak?"Spontan Kiara melihat dirinya. Kedua bola matanya langsung membelalak melihat noda darah yang cukup banyak di bagian siku dan lututnya.Baru saat itu ia mulai merasakan perih yang mendera."Kamu kenapa, Sayang? Katakan pada Ibu!" Siska mengguncang bahu Kiara yang masih mematung menatap dirinya sendiri."Ta-tadi Kia jatuh, Bu," ucap gadis itu lirih."Astaghfirullah, bagaimana bisa? Sekarang ayo kita ke UGD! Lukamu harus segera diobati biar nggak infeksi!""Tidak, Bu! Kia mau lihat kondisi ayah dulu!" Gadis itu menolak. Pikirannya masih belum bisa tenang sebelum bisa memastikan keadaan ayahnya."Tapi ayahmu juga belum bisa ditemui.” Sang ibu terdengar tegas. “Ayo, sebaiknya kita obati dulu lukamu. Jangan membuat Ibu semakin khawatir, Nak."Kali ini Kiara menurut karena tidak tega dengan tatapan memohon dari sang ibu."Apa yang terjadi sama Ayah, Bu?" tanya Kiara lagi setelah luka-lukanya diobati. Siku dan lututnya terluka akibat jatuh tadi. Tidak terlalu dalam, tapi cukup membuat dua organ itu harus diperban.Siska kembali menghela napas, seakan-akan ada beban yang terlampau berat di dada."Perusahaan ayahmu bangkrut. Manajer keuangan melarikan uang perusahaan hingga menyebabkan kerugian yang cukup besar,” jelas sang ibu dengan suara pelan. “Ayahmu langsung pingsan mendengar berita itu.”"Astaghfirullahaladzim,” ucap Kiara. Ia menutup mulutnya, tidak percaya dengan kabar tersebut. “Kenapa tega sekali orang itu, Bu? Bukankah selama ini Ayah sudah memperlakukan para karyawannya dengan baik?"Ibu Kiara menggeleng pelan. “Ibu tidak tahu, Nak. Yang jelas … sekarang para karyawan menuntut gajinya yang belum dibayar.” Tangis Siska yang sejak tadi berusaha ia bendung, akhirnya jebol juga. “Kalau sampai seminggu ke depan belum dibayarkan … ayahmu akan dituntut.Kiara diam. Yang terdengar hanyalah suara tangis sang ibu.Gadis itu sedang berusaha memproses sederet informasi baru yang masuk. Tentang ayahnya, tentang manajer yang kabur, tentang tuntutan karyawan ….Semuanya terlalu tiba-tiba.Perusahaan ayahnya sebenarnya tidak terlalu besar, tapi jika bangkrut … sudah pasti kerugiannya juga tidak sedikit.“Sayang, dari mana kita dapat uang sebanyak itu?"Suara sang ibu kembali menyadarkan Kiara, hingga gadis itu akhirnya mengambil keputusan."Kita jual saja rumah kita, Bu," ucap Kiara.Spontan Siska menatap putrinya tak percaya.Rumah itu satu-satunya aset berharga yang mereka seharusnya mereka pertahankan hingga akhir.Jika rumah itu ikut dijual juga, di mana mereka akan tinggal selanjutnya?"Tapi, Nak–""Bu, Ayah lebih penting dari rumah itu. Kia nggak mau Ayah masuk penjara." Gadis berhijab itu menatap sang ibu dengan penuh keyakinan."Harusnya manager itu yang masuk penjara!" tukas wanita paruh baya itu."Benar, Bu. Tapi dia sudah kabur kan? Sembari mencari orang itu, lebih baik kita segera selesaikan dulu urusan ini. Kia nggak mau Ayah semakin sakit kalau sampai para karyawan menuntutnya, Bu.”Kiara menatap manik wanita yang melahirkannya ke dunia itu dengan penuh permohonan. "Percayalah, Bu. Kita pasti bisa bangkit lagi."Gadis itu berusaha meyakinkan sang ibu.."Nanti sisanya bisa kita pakai untuk mengontrak rumah sederhana, Bu. Untuk pengobatan Ayah biar Kia yang berusaha untuk mencarinya.”Namun, meski begitu, tak ayal hati Kiara meringis ngilu.Jika ayahnya harus dioperasi, pasti membutuhkan uang yang tidak sedikit. Dari mana dia mencari uang sebanyak itu dalam waktu dekat sedangkan honornya mengajar masih akan ia terima awal bulan depan? Itu pun jumlahnya tidak seberapa.Tampaknya, pemikiran Kiara disadari oleh sang ibu.Tatapan mata Siska pada putrinya semakin sendu. Seharusnya di usia putrinya yang sekarang, gadis itu bisa menikmati masa mudanya dengan bersenang-senang.Akan tetapi, putri semata wayangnya itu terpaksa harus banting tulang untuk mencari uang demi keluarga.Hati ibu mana yang tidak sedih melihat betapa tersiksanya sang buah hati?"Tapi gajimu tidak akan cukup untuk membiayai pengobatan ayahmu, Sayang. Apalagi kalau sampai operasi," ucap Siska kemudian.Rasanya wanita itu tak tega membiarkan putri satu-satunya itu harus bekerja keras sendirian sedangkan dirinya tidak mampu lagi untuk ikut bekerja karena fisiknya yang juga tidak terlalu kuat."Kia akan mencari pekerjaan tambahan, Bu. Alhamdulillah barusan Kia mendapatkan informasi pekerjaan dengan gaji dua kali lipat dari sekolah."Kedua mata Siska membelalak mendengar pengakuan putrinya."Pekerjaan apa?" tanya Siska. Perasaannya mulai tak nyaman sekarang."Mengajar les di rumah orang kaya, Bu. Setiap sore, Kia harus mengajari anak itu. Doakan Kia bisa diterima ya, Bu. Agar bisa melunasi biaya rumah sakit ayah," jawab Kiara tersenyum sembari membayangkan wajah cantik murid barunya.Helaan nafas lega terdengar dari mulut sang ibu. Setidaknya, bukan pekerjaan aneh-aneh yang dimaksud putrinya. Meski dalam keadaan sulit sekalipun, ia tak mau putrinya terjerumus dalam lembah dosa."Maafkan ibu dan ayah, Sayang. Seharusnya kamu tak perlu menanggung semua ini sendiri. Harusnya kamu fokus untuk dirimu sendiri, bukan malah menjadi tulang punggung begini." Mata Siska tampak sudah basah kembali."Jangan bicara seperti itu, Bu. Kia anak Ayah dan Ibu satu-satunya. Sudah jadi kewajiban Kia untuk menggantikan Ayah di saat Ayah sakit begini. Tolong doakan Kia ya, Bu. Doakan Kia bisa mendapatkan uang banyak agar kita nggak perlu menjual rumah."Kia meraih tangan ibunya dan meletakkan di atas kepalanya. Ada rasa hangat saat tangan berlumur kasih sayang itu mengelusnya pelan. Untuk sesaat beban yang ia rasakan seperti terangkat."Keluarga Bapak Hadi?" Suara perawat menginterupsi ibu dan anak itu."Bagaimana keadaan Ayah saya, Sus?" tanya Kiara dengan tatapan harap-harap cemas."Ada penyumbatan di jantung, jadi harus dilakukan tindakan operasi secepatnya."Bahu Kiara langsung terkulai mendengar penjelasan itu. Meskipun sudah memprediksi sebelumnya, tapi mendengar langsung dari pihak rumah sakit tetap saja membuatnya syok.Perawat itu menjelaskan mengenai apa yang harus dilakukan oleh Kiara, termasuk mengurus administrasi.Pikiran Kiara tak lagi mampu bekerja dengan benar. Ia membubuhkan tanda tangan pada setiap tempat yang ditunjukkan tanpa membaca lagi isinya. Tatapan gadis itu tampak kosong."Untuk sementara mbaknya bisa deposit 50 juta dulu. Selebihnya bisa dibayarkan kalau pasien sudah boleh pulang."Mendengar nominal yang harus dibayarkan saat ini membuat bahu Kiara terkulai lemas.Jika sekarang harus deposit 50 juta, itu artinya biaya yang dibutuhkan lebih dari itu. Dari mana ia bisa mendapatkan uang sebesar itu dalam waktu singkat?Di dalam mobil pun hanya kesunyian yang mendominasi. Jika biasanya mereka akan mengobrol saling membicarakan pekerjaan masing-masing kali ini tidak. Untuk mengusir jenuh, Kiara memilih untuk mengeluarkan ponselnya dan berbalas pesan dengan sekretarisnya. Sesekali senyum tersungging di wajahnya kala sang sekretaris mengatakan sesuatu yang membuat Kiara tak bisa menahan senyumnya. Hal itu tak luput dari perhatian Samudra dan semakin menambah kesalahpahaman padanya. Pukul sembilan malam Samudra yang biasanya masih berkutat di ruang kerja memilih untuk masuk ke kamar. Ia berharap bisa berbicara pada sang istri mengenai foto yang dikirim orang tak dikenal tadi pagi. Walaupun Kiara sudah mengatakan kalau dirinya bertemu dengan Paurina atau Melisa, tapi Samudra menganggap bahwa sang istri telah membohonginya. Sayangnya ketika ia masuk kamar, tak didapati sang istri di sana. Ada segumpal kecewa menekan dadanya. Perlahan pria itu berjalan menuju ke ranjang. Menjatuhkan tubuhnya di sana denga
Samudra duduk di kursi Kiara dengan dada bergemuruh. Bayangan wanita yang ia cintai sedang berkencan dengan pria lain memenuhi otaknya hingga membuat dirinya kesulitan bernafas. "Pantas saja mereka tampak akrab. Rupanya ada main di belakangku!" gumam Samudra. Tangan pria itu menggenggam erat ponselnya setelah melihat kembali foto itu. Foto yang sebenarnya tidak seperti apa yang ia pikirkan. Andai lelaki itu bisa berpikir dengan jernih dan tidak terhasut oleh provokasi nomor tak dikenal itu, pasti ia bisa menilai seperti apa wanita yang ia nikahi itu. Terkadang emosi memang menutupi logika. Daya nalar tetiba menjadi tumpul ketika amarah sedang membakar diri. Pria itu menunggu kedatangan sang istri dengan gelisah. Ia pandangi jarum jam dinding yang berputar konstan, berpindah dari satu titik ke titik lain hingga berputar dan kembali ke titik semula. Lalu jarum pendek berpindah ke angka di atasnya. Namun Kiara tak kunjung datang. Satu setengah jam Samudra duduk dengan posisi yang sam
"Kamu sudah menghancurkan rumah tanggaku sekali. Jangan harap kamu bisa mengahncurkannya sekali lagi. Dasar pem.bu.nuh!" Kiara tak lagi menahan diri untuk meluapkan emosinya. Selain lama ia mencoba untuk melupakan semua kisah pilu masa lalunya. Namun dengan berani dan percaya diri wanita penyebab kehancuran rumah tangganya justru kembali dan ingin merebut kembali seseorang yang pernah ia rebut. Kedua mata Paurina membelalak. Kedua tangannya terkepal di atas meja dengan sorot mata tajam. "Aku bukan pembunuh!" teriaknya tanpa sadar hingga beberapa pengunjung kafe yang sedang menikmati sarapan menoleh padanya. "Kamu merebut suamiku lalu dengan sengaja menabrakku hingga aku keguguran dan kehilangan bayiku. Apa namanya kalau bukan pembunuh?" Suara Kiara tidak terlalu keras, tapi ia menekan setiap kata hingga membuat orang-orang yang mulai penasaran menatapnya dengan tatapan ingin tahu. Paurina samakin emosi. Tangannya terangkat hendak melayang ke pipi Kiara. Spontan kedua mata Kiara la
Mendadak Kiara mengingat bahwa ada Liana diantara mereka. Spontan ia menyenggol sepatu Damian dengan sepatunya untuk tidak melanjutkan berbicara lagi. Damian paham. Dia langsung fokus pada pembahasan utama lagi. Namun sebuah notif pesan di HP Kiara membuyarkan konsentrasi keduanya. Kiara termenung di balkon kamarnya. Merasakan lembutnya angin menerpa kulit wajahnya yang polos tanpa make up. Sepulang dari kantor tadi, sikap Kiara memang berubah pendiam. Samudra hanya diam. Bukan karena tak peduli pada sang istri. Dia hanya bingung saja dengan situasi ini. Tadi siang waktu di kantor masih baik-baik saja tapi sekarang wanita yang sudah menduduki kita pada hatinya itu mendadak diam seribu bahasa.Ketika di rumah Samudra memilih untuk menyibukkan diri di ruang kerja sembari membiarkan sang istri menikmati waktu sendiri. Berulang kali Kiara menarik nafas panjang seolah ingin membuang sesak yang menghimpit dadanya. Isi pesan misterius tadi siang benar-benar sudah menjajah kepalanya sehingg
Kiara memutar otaknya dengan cepat untuk meredam kecemburuan suaminya. Dia tahu apa yang dilakukan Damian kali ini memang terlalu nekat. Namun ia juga tak berani untuk menegurnya terlebih orang itu adalah Damian. "Mas, Kami mau ada meeting sebentar lagi. Hanya saja Kak ... eh Pak Damian datang terlalu pagi sehingga membawa sarapan. Bu-bukankah begitu, Pak?" Kiara menatap Damian dengan tatapan seolah meminta dukungan. Beruntung Damian sangat mengenal dan memahami Kiara. Sehingga kode melalui tatapan mata itu bisa ditangkap dengan mudah. "Ya. Kebetulan saya menginap di hotel dekat sini. Jadi karena saya malas sarapan sendiri saya sengaja membawa sarapan banyak ke sini. Mari Pak Samudra, kita bisa sarapan bersama." Damian menunjuk sofa yang kosong untuk ditempati Samudra. "Tadinya saya mau meminta tolong sekretaris Kiara ... Bu Kiara untuk memanggilkan anda. Tapi Anda sudah di sini."Damian mengatakan itu dengan sangat tenang. Berbeda sekali dengan Kiara yang tampak gugup. Andai Kiar
Pagi ini udara terasa segar. Aroma hujan sisa-sisa semalam masih terasa. Mentari pagi malu-malu menampakan diri di balik celah dedaunan. Kiara sudah siap untuk berangkat ke kantor bersama dengan suaminya. Sedangkan Cantika untuk hari ini langsung aja diliburkan mengingat peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini. Kedua orang tua gadis kecil itu merasa situasi belum aman untuk melepaskan buah hati mereka kembali ke sekolah. Tadi pagi selepas salat subuh Kiara menceritakan pesan ancaman yang ia terima semalam kepada suaminya. Dan akhirnya diputuskanlah bahwa Cantika tidak di sekolahkan di sekolah umum lagi melainkan homeschooling dengan mengundang guru privat ke rumah. Awalnya bocah kecil itu menolak karena dengan sekolah di rumah pasti tidak bisa bertemu dengan teman-temannya. Namun setelah diberi pengertian akhirnya dia mau menerima walaupun dengan berat hati. "Papa sama Mama berangkat dulu ya sayang. Cantik baik-baik di rumah. Dua hari ini nanti bebas bermain apa saja di rumah sambil
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments