Share

02 - Ikhlas dan Sabar

Siang ini aku berniat untuk belanja di pasar. Membeli kebutuhan semua bahan dapur adalah tugas bulananku.

Sudah menjadi jadwal rutinku setiap Mas Ilham gajihan, sebagian besar uangnya kugunakan untuk menyetok bahan dan keperluan.

Sebagian besar? Iya. Semua pengeluaran keluarga kami yang tanggung. Hingga aku tidak bisa menyisihkan sebagian uang untuk kutabung.

Kalau kalian tanya untuk belanja apa saja? Kujawab semuanya. Mulai dari keperluan depan rumah, dalam rumah, dapur, hingga kamar mandi. Semua aku yang urus.

Koq bisa, gitu? Bagaimana dengan mertuamu?

Mertuaku tidak mau tau, euy! Sedih memang. Pernah aku coba-coba saat belanja bulanan meninggalkan beberapa keperluan yang kurasa mertuaku sanggup membantu, tapi apa?? Nihil!

Bukannya membantu, ibu mertuaku malah menceramahiku dari alif sampai ya' yang membuat hati dan jantungku berdegup lebih kencang.

Dilema hidup serumah dengan mertua ya, begini. Aku sudah pernah mengajak Mas Ilham untuk pindah rumah walaupun di kontrakan sepetak, namun putra dari ibu mertuaku itu adalah anak yang sangat berbakti. Katanya, dia tidak tega berpisah dari kedua orang tuanya, dan bla bla bla .... Mas Ilham juga berkata ingin meringankan beban kedua orang tuanya dengan cara menanggung semua keperluan mereka.

Jadi, karena alasan itulah ibu mertua sama sekali tidak mau keluar duit. Padahal gajih Ayah sebagai guru honorer di salah satu sekolahan SMP, lumayan besar. Tapi tetap saja, ibu mertuaku itu tidak mau tahu dengan pengeluaranku yang semakin membengkak. Mengingat semua harga barang naik, kan?

Astaghfirullah, sebenarnya aku tahu harus selalu ikhlas, tapi kenapa ini terasa sangat berat?

"Mbak, beliin paketan, dong. Paketanku sudah habis," ucap Nindi, adik perempuan Mas Ilham.

Aku yang sudah berada di depan teras menoleh cepat ke arahnya. "Bukannya kemarin baru Mbak beliin ya, Nin?" tanyaku. Boros amat 10GB satu hari dah habis.

"Mbak Naima ini kenapa, sih? Nggak ikhlas banget kasih uang ke aku. Nanti aku aduin ke Mas Ilham, lho?"

Lah? Koq malah ngancam??

"Nin, kamu ini sudah kelas tiga SMA, seharusnya bisa sedikit menghemat, dong. Bukannya malah boros kek gini. Mana sebentar lagi mau ujian, habis itu mau kuliah. Kamu pikir biaya semua itu murah??? Nggak bisa banget bantuin kakaknya dengan cara berhemat!"

Aku memaki Nindi, sangking kesalnya. Aku tahu seharusnya aku tidak seperti ini padanya. Tapi, sikapnya yang terlalu foya-foya dengan menggunakan uang Mas Ilham membuatku tidak terima.

Nindi tampak terdiam. Dia tidak membalas ucapanku dan langsung memutar badan masuk ke dalam kamar. Sementara aku terus melanjutkan langkahku untuk pergi ke pasar.

Dengan langkah santai aku berjalan menuju pasar yang letaknya agak jauh dari rumah.

Tiba di pasar aku langsung membeli semua keperluan, hingga entah berapa jam berlalu, aku pun memutuskan pulang.

Dengan kembali berjalan kaki, sambil menenteng barang belanjaan aku menuju rumah.

"Naima!!!" Teriakan ibu mertua menyambutku datang dari pasar.

Aku yang baru saja masuk pagar depan, langsung menghampirinya di ruang keluarga.

"Ada apa, Bu?" tanyaku. Aku sangat penasaran, kali ini kesalahan apa lagi yang akan dipermasalahkan.

Ibu mertua tampak berdiri menghampiriku, dan ....

Plak!

Pipiku terasa amat sangat panas.

Wanita yang berdiri di depanku ini telah mendaratkan telapak tangan kanannya di pipiku.

Aku memekik, mengaduh kesakitan. "Ada apa ini, Bu??"

Sorot mata ibu mertua saat ini benar-benar tajam menatapku. Sudah macam macan betina yang ingin menerkam mangsanya.

"Kamu sudah berani memarahi Nindi, ya! Dasar wanita tidak tahu malu!"

Plak!

Plak!

Kembali, pipiku menjadi sasaran kemarahannya.

Panas, terasa sangat panas dari kulit pipiku yang pasti sudah memerah hingga panas itu merambat ke hatiku. Ya Allah ... hidupku sudah begitu menderita sejak kecil, kini semakin bertambah dengan perlakuan ibu mertua padaku.

Lagi-lagi, aku hanya bisa menunduk pasrah sambil menangis.

"Lain kali jangan bersikap seperti itu kepada Nindi!" bentak ibu mertua lagi kembali mengingatkanku.

Kulirik wanita remaja berkuncir kuda yang sedang duduk di sofa itu tersenyum puas ke arahku. Pasti, dia mengadu kepada ibunya untuk memberi pelajaran padaku.

Awas kamu, Nin!

Tanganku mengepal, aku sangat emosi.

"Jangan cuma diam! Minta maaflah kepada Nindi, sekarang juga!"

Apa???

Aku harus meminta maaf kepada Nindi? Kembali kulirik gadis remaja itu tampak semakin puas mengejekku.

"Cepat!" sentak ibu mertua lagi namun aku masih pada posisiku saat ini.

Bagaimana mungkin keluarga suamiku sama sekali tidak menghargaiku? Apa mereka menerimaku hanya karena ingin menjadikanku babu?

"Naima! Kalau kamu tidak menuruti perkataanku, aku akan menyuruh Ilham untuk menceriakanmu. Sudah tidak bisa memberi keturunan! Kini malah berani sombong! Cepat! Minta maaf pada Nindi!" Kembali, wanita yang sedang berdiri di hadapanku ini meneriakiku. Hingga dengan sangat terpaksa aku menuruti ucapannya. Mau bagaimana lagi? Aku tidak ada pilihan.

Aku melangkah maju menghampiri Nindi yang masih duduk di atas sofa.

"Maafkan aku, Nin," ucapku lirih.

Yang membuatku semakin emosi, gadis remaja itu kembali berlagak. "Apa?? Aku nggak denger! Yang jelas, dong!"

Aku terhenyak, langsung mendongak menatapnya.

"Apa, Lo? Jangan melotot gitu! Mau, tangan Mama meluncur ke pipimu, lagi??" ancamnya.

Aku kembali patuh. "Nindi, maafkan aku," ucapku lagi sedikit berteriak agar gadis remaja ini bisa mendengarku.

"Hah??? Apa??? Ulangi lagi!" titah Nindi lagi yang semakin membuatku terbakar emosi. Anak kecil ini sungguh tidak punya sopan santun!

"Naima! Cepat turuti kemauan Nindi!" Ibu mertua kembali berteriak padaku. Ia memerintahku untuk menuruti permintaan putri tercintanya.

Lagi-lagi, aku manut, pasrah. Aku kembali berucap dengan nada lebih tinggi dari sebelumnya. "Maafkan aku, Nindi."

Komen (2)
goodnovel comment avatar
itme Aing
nindi kasar bnget
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
pergi bodoh jgn diem
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status