Siang ini aku berniat untuk belanja di pasar. Membeli kebutuhan semua bahan dapur adalah tugas bulananku.
Sudah menjadi jadwal rutinku setiap Mas Ilham gajihan, sebagian besar uangnya kugunakan untuk menyetok bahan dan keperluan.Sebagian besar? Iya. Semua pengeluaran keluarga kami yang tanggung. Hingga aku tidak bisa menyisihkan sebagian uang untuk kutabung.Kalau kalian tanya untuk belanja apa saja? Kujawab semuanya. Mulai dari keperluan depan rumah, dalam rumah, dapur, hingga kamar mandi. Semua aku yang urus.Koq bisa, gitu? Bagaimana dengan mertuamu?Mertuaku tidak mau tau, euy! Sedih memang. Pernah aku coba-coba saat belanja bulanan meninggalkan beberapa keperluan yang kurasa mertuaku sanggup membantu, tapi apa?? Nihil!Bukannya membantu, ibu mertuaku malah menceramahiku dari alif sampai ya' yang membuat hati dan jantungku berdegup lebih kencang.Dilema hidup serumah dengan mertua ya, begini. Aku sudah pernah mengajak Mas Ilham untuk pindah rumah walaupun di kontrakan sepetak, namun putra dari ibu mertuaku itu adalah anak yang sangat berbakti. Katanya, dia tidak tega berpisah dari kedua orang tuanya, dan bla bla bla .... Mas Ilham juga berkata ingin meringankan beban kedua orang tuanya dengan cara menanggung semua keperluan mereka.Jadi, karena alasan itulah ibu mertua sama sekali tidak mau keluar duit. Padahal gajih Ayah sebagai guru honorer di salah satu sekolahan SMP, lumayan besar. Tapi tetap saja, ibu mertuaku itu tidak mau tahu dengan pengeluaranku yang semakin membengkak. Mengingat semua harga barang naik, kan?Astaghfirullah, sebenarnya aku tahu harus selalu ikhlas, tapi kenapa ini terasa sangat berat?"Mbak, beliin paketan, dong. Paketanku sudah habis," ucap Nindi, adik perempuan Mas Ilham.Aku yang sudah berada di depan teras menoleh cepat ke arahnya. "Bukannya kemarin baru Mbak beliin ya, Nin?" tanyaku. Boros amat 10GB satu hari dah habis."Mbak Naima ini kenapa, sih? Nggak ikhlas banget kasih uang ke aku. Nanti aku aduin ke Mas Ilham, lho?"Lah? Koq malah ngancam??"Nin, kamu ini sudah kelas tiga SMA, seharusnya bisa sedikit menghemat, dong. Bukannya malah boros kek gini. Mana sebentar lagi mau ujian, habis itu mau kuliah. Kamu pikir biaya semua itu murah??? Nggak bisa banget bantuin kakaknya dengan cara berhemat!"Aku memaki Nindi, sangking kesalnya. Aku tahu seharusnya aku tidak seperti ini padanya. Tapi, sikapnya yang terlalu foya-foya dengan menggunakan uang Mas Ilham membuatku tidak terima.Nindi tampak terdiam. Dia tidak membalas ucapanku dan langsung memutar badan masuk ke dalam kamar. Sementara aku terus melanjutkan langkahku untuk pergi ke pasar.Dengan langkah santai aku berjalan menuju pasar yang letaknya agak jauh dari rumah.Tiba di pasar aku langsung membeli semua keperluan, hingga entah berapa jam berlalu, aku pun memutuskan pulang.Dengan kembali berjalan kaki, sambil menenteng barang belanjaan aku menuju rumah."Naima!!!" Teriakan ibu mertua menyambutku datang dari pasar.Aku yang baru saja masuk pagar depan, langsung menghampirinya di ruang keluarga."Ada apa, Bu?" tanyaku. Aku sangat penasaran, kali ini kesalahan apa lagi yang akan dipermasalahkan.Ibu mertua tampak berdiri menghampiriku, dan ....Plak!Pipiku terasa amat sangat panas.Wanita yang berdiri di depanku ini telah mendaratkan telapak tangan kanannya di pipiku.Aku memekik, mengaduh kesakitan. "Ada apa ini, Bu??"Sorot mata ibu mertua saat ini benar-benar tajam menatapku. Sudah macam macan betina yang ingin menerkam mangsanya."Kamu sudah berani memarahi Nindi, ya! Dasar wanita tidak tahu malu!"Plak!Plak!Kembali, pipiku menjadi sasaran kemarahannya.Panas, terasa sangat panas dari kulit pipiku yang pasti sudah memerah hingga panas itu merambat ke hatiku. Ya Allah ... hidupku sudah begitu menderita sejak kecil, kini semakin bertambah dengan perlakuan ibu mertua padaku.Lagi-lagi, aku hanya bisa menunduk pasrah sambil menangis."Lain kali jangan bersikap seperti itu kepada Nindi!" bentak ibu mertua lagi kembali mengingatkanku.Kulirik wanita remaja berkuncir kuda yang sedang duduk di sofa itu tersenyum puas ke arahku. Pasti, dia mengadu kepada ibunya untuk memberi pelajaran padaku.Awas kamu, Nin!Tanganku mengepal, aku sangat emosi."Jangan cuma diam! Minta maaflah kepada Nindi, sekarang juga!"Apa???Aku harus meminta maaf kepada Nindi? Kembali kulirik gadis remaja itu tampak semakin puas mengejekku."Cepat!" sentak ibu mertua lagi namun aku masih pada posisiku saat ini.Bagaimana mungkin keluarga suamiku sama sekali tidak menghargaiku? Apa mereka menerimaku hanya karena ingin menjadikanku babu?"Naima! Kalau kamu tidak menuruti perkataanku, aku akan menyuruh Ilham untuk menceriakanmu. Sudah tidak bisa memberi keturunan! Kini malah berani sombong! Cepat! Minta maaf pada Nindi!" Kembali, wanita yang sedang berdiri di hadapanku ini meneriakiku. Hingga dengan sangat terpaksa aku menuruti ucapannya. Mau bagaimana lagi? Aku tidak ada pilihan.Aku melangkah maju menghampiri Nindi yang masih duduk di atas sofa."Maafkan aku, Nin," ucapku lirih.Yang membuatku semakin emosi, gadis remaja itu kembali berlagak. "Apa?? Aku nggak denger! Yang jelas, dong!"Aku terhenyak, langsung mendongak menatapnya."Apa, Lo? Jangan melotot gitu! Mau, tangan Mama meluncur ke pipimu, lagi??" ancamnya.Aku kembali patuh. "Nindi, maafkan aku," ucapku lagi sedikit berteriak agar gadis remaja ini bisa mendengarku."Hah??? Apa??? Ulangi lagi!" titah Nindi lagi yang semakin membuatku terbakar emosi. Anak kecil ini sungguh tidak punya sopan santun!"Naima! Cepat turuti kemauan Nindi!" Ibu mertua kembali berteriak padaku. Ia memerintahku untuk menuruti permintaan putri tercintanya.Lagi-lagi, aku manut, pasrah. Aku kembali berucap dengan nada lebih tinggi dari sebelumnya. "Maafkan aku, Nindi."Ya Allah ... kenapa aku harus mengalami hal ini? Nindi, adik iparku itu semakin bersemangat mengerjaiku. Aku sudah menuruti keinginannya untuk meminta maaf, tapi dia seolah masih kurang puas. Nindi beranjak dari posisinya. "Mbak Naima. Aku tidak akan memaafkanmu sebelum kamu berlutut di kakiku!" ucap Nindi lagi yang membuatku semakin geram. Sungguh! Sikap gadis remaja ini padaku sama persis seperti ibunya.Mendengar permintaannya kali ini membuatku tak habis pikir. Aku yang semakin emosi memilih diam. Sudah berkali kuladeni sikap kasarnya, namun dia sama sekali tidak menghargaiku. "Naima! Cepat lakukan perintah Nindi!" Ibu mertua kembali ikut campur. Tangan kananya menarik kasar lenganku dan memaksaku untuk berlutut di hadapan putrinya. "Ibu!" Aku memekik. Ini sungguh di luar dugaanku. Bisa-bisanya kedua wanita ini semakin bersikap semau mereka padaku. Ibu mertua berhasil mendudukkan tubuhku di bawah kaki anaknya. "Cepat, minta maaflah sekarang!" titahnya lagi dengan sorot mata t
"Mas tahu kamu mendapatkan perlakuan yang tidak nyaman selama ini. Tapi, Mas minta kamu bisa bersabar, ya." Mas Ilham mengatakan itu dengan penuh hati-hati. Sepertinya dia sudah membaca semua isi hatiku hingga apa yang diucapkannya berhasil membuatku diam.Baiklah. Demi Mas Ilham, aku akan berusaha sabar dan mengalah.Mas Ilham mengurai pelukan. Pandangannya tak lepas dari wajahku yang membuatku seketika tersipu. "Ada apa, Mas? Kenapa memandangku seperti itu?""Dek," bisiknya seraya tersenyum."Hmm.""Mas pengen punya anak."Deg! Kenapa tiba-tiba Mas Ilham mengatakan ini? Bukankah beberapa hari lalu dia baik-baik saja karena kondisiku yang tidak kunjung hamil ini?Aku tertegun sesaat tanpa membalasnya."Dek, koq diam?" Pria itu semakin menatap lekat wajahku, yang membuatku sedikit melengos ke samping kanan."Dek, besok ikut Mas, ya!""Ke mana, Mas?" tanyaku tanpa menoleh ke arahnya."Kita periksa ke dokter.""Ke dokter? Periksa apa??" Aku ingin memastikan bahwa apa yang kupikirkan saa
Tanganku gemetar saat mendapati hasil yang begitu mengejutkan bagiku, karena kupikir akulah yang mandul. Namun, ternyata aku salah. Di lembar hasil pemeriksaan ini dengan jelas diterangkan bahwa Mas Ilham-lah yang tidak subur, bukan aku. Aku harus senang atau bagaimana? Jika boleh diminta, aku dan Mas Ilham seharusnya mendapatkan hasil yang sama, tidak ada kemandulan di antara kami. Lama aku tertegun dan berpikir, hingga dokter Yuni kembali bersuara, "Bagaimana, Bu? Apakah Anda puas dengan hasilnya?"Hatiku luruh, walaupun keadaanku baik-baik saja, tapi aku takut kenyataan ini akan membuat Mas Ilham putus asa. Mengingat suamiku itu sudah sangat menginginkan keturunan. Ya Allah, aku harus bagaimana? "Bu ...." Dokter Yuni kembali memanggilku, yang membuatku langsung tersadar dari lamunan. "Oh, maaf, Bu," sahutku seraya memutar otak. Aku tidak ingin melihat kekecewaan di wajah Mas Ilham. "Bu, apakah saya bisa meminta tolong sama Ibu?" tanyaku pada Dokter Yuni. "Minta tolong apa? Bu
"Jangan bicara seperti itu, Bu. Kasihan Naima," Mas Ilham membantah ucapan ibunya, dan malah membelaku, yang membuat hatiku semakin terharu. 'Terima kasih, Mas.' Baru kali ini Mas Ilham bersikap tegas pada ibunya. Tapi, bukan Bu Ratih namanya kalau bisa ditentang oleh anak. Wanita yang telah melahirkan Mas Ilham itu tampak sangat marah. "Oh, jadi kamu lebih memilih istri mandulmu ini," ucapnya dengan tatapan sinis ke arahku, kemudian berpindah pada Mas Ilham lagi. "Mulai hari ini juga, kamu bawa istrimu keluar dari rumah ini! Aku tak sudi melihatnya!" bentak Ibu mertua lagi dengan menunjuk ke arahku. Ya Allah, sakit sekali melihat pemandangan ini. Tapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti Mas Ilham."Kalau memang Ibu pengennya begitu, kami akan terima, karena aku tidak bisa meninggalkan Naima dan malah menikah dengan wanita lain," ucap Mas Ilham lagi semakin menegaskan pilihannya. Mendengar perkataan itu membuatku dilema. Aku sangat senang, tetapi aku juga sedih karena menj
"Naima, ibu seneng banget kamu ke sini," ucap Ibu mertua dengan senyum penuh arti. Sangat-sangat tidak wajar, karena yang selama ini terjadi adalah sebaliknya. Tidak perlu kujelaskan lagi, kan? Karena kalian semua pasti juga sudah pada paham. Ibu tersenyum ke arahku sambil berkata dengan sangat lembut. "Kenapa baru ke sini sekarang? Padahal ibu sudah kangen banget sama kalian," ucapnya lagi, yang seharusnya aku sangat bahagia ketika mendengarnya,tapi entah mengapa hatiku terasa sangat janggal. Hati nurani yang terdalamku tidak membenarkan perubahan sikap ibu ini. Setelah menyapaku, ibu berjalan menghampiri putranya. "Ilham, maafkan ibu ya, Nak. Karena ibu sudah egois sama kalian, khususnya sama Naima." Ibu mengatakan itu dengan raut wajah sedih penuh penyesalan. Aku sih, masih berfirasat ini hanya drama saja. Pasti ada satu hal yang akan dimintanya dari Mas Ilham lagi, karena aku sudah paham betul bagaimana sikap dan watak ibu mertuaku ini. Ya Allah ... padahal niat awal ke sini ada
[Naima, bisakah kita bertemu?]Begitulah isi pesan singkat terakhir dari Malik yang tak kubalas lagi. Entah mengapa mengingat masa-masaku dengannya dulu membuatku jengkel. Aku yang saat itu merupakan anak baru di panti, selalu dikerjainya. Sebenarnya bukan pembullyan, hanya selalu menyuruhku mengambil alih jadwal tugas kesehariannya. Mulai dari nyapu halaman, hingga menyikat wc. Itu kulakukan karena dia memiliki buku diary rahasiaku, yang entah bagaimana caranya buku itu bisa jatuh di tangannya. Dan dia menggunakan beberapa lembar curhatan isi hatiku itu untuk mengancamku.Pasti kalian bertanya kenapa aku bisa patuh pada semua perintahnya hanya karena sebuah diary. Ya, aku memang lebay pada masa itu, menuliskan semua kejadian yang kualami secara detail di sana. Mulai dari hal yang kusuka, bagaimana aku menjalani hari, hingga satu jerawat yang tumbuh di wajah pun tak luput dari coretan tanganku. Karena memang aku sudah hobi menulis sejak SD, jadi kegemaranku itu yang membuatku menulisk
Ma-Malik?Kucoba menelisik wajah pria bertubuh dempal ini dengan seksama. Malik yang kukenal dulu kurus ceking, tapi kenapa tubuh pria ini, gemuk?Namun, semakin dilihat dari raut wajah memang sedikit ada kemiripan. Sepertinya memang benar dia adalah Malik. "Malik? Dari mana kamu tahu aku tinggal di sini?" Mendengar pertanyaanku ia malah tersenyum, dan tanpa permisi ia melangkah masuk ke rumahku. Aku bingung. Mau kuusir, tidak nyaman. Tapi jika kubiarkan Malik masuk, pasti Mas Ilham akan semakin marah padaku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kemurkaan suamiku lagi. Masalah yang kemarin saja belum selesai, jika ditambah lagi maka akan semakin memanas. "Malik, tolong keluar dari rumahku." Aku tidak akan membiarkan hubunganku dengan Mas Ilham akan semakin kacau karena kedatangan Malik. "Lho? Kenapa?" tanya Malik dengan sangat santai. Ya, memang begitulah sikapnya sejak kecil. Tidak pernah memperdulikan perasaan dan keadaan orang lain. "Maaf, suamiku tidak ada di rumah. Tolong k
"Astaghfirullah! Ini beneran Naima??" Aku memekik dengan rasa penasaran. Aku masih tidak percaya jika foto mesra yang kupegang ini adalah foto istriku bersama pria lain. Walaupun postur pria ini tampak sangat jauh dibandingkan, tapi kenapa Naima bisa berselingkuh dengannya? Apa mungkin dia kaya raya? Ya Allah ... Naima. "Benar, Mas. Itu Mbak Naima dan kekasihnya. Kalau tidak salah namanya Malik. Mereka sudah berpacaran sejak kecil, dan katanya mau balikan," jelas Nindi, adik perempuanku dengan penuh keyakinan. "Kamu tahu ini dari mana, Nin? Bukannya kamu tidak begitu menyukai Mbakmu? Jangan-jangan, kamu cuma mengada-ngada?" cecarku. Aku tidak ingin hanya mendengar omongan dari Nindi, membuat hatiku curiga pada Naima. Aku perlu bukti lain, karena Naima yang kukenal sepertinya tidak akan membohongiku. Mendengar penuturanku Nindi malah berdecih. "Ck! Dibilangin kok nggak percayaan sih, Mas. Aku tu dapat info ini dari pria itu langsung. Kemarin tidak sengaja ketemu saat pulang sekolah,