Share

03 - Mencari Perlindungan

Ya Allah ... kenapa aku harus mengalami hal ini?

Nindi, adik iparku itu semakin bersemangat mengerjaiku. Aku sudah menuruti keinginannya untuk meminta maaf, tapi dia seolah masih kurang puas.

Nindi beranjak dari posisinya. "Mbak Naima. Aku tidak akan memaafkanmu sebelum kamu berlutut di kakiku!" ucap Nindi lagi yang membuatku semakin geram. Sungguh! Sikap gadis remaja ini padaku sama persis seperti ibunya.

Mendengar permintaannya kali ini membuatku tak habis pikir. Aku yang semakin emosi memilih diam. Sudah berkali kuladeni sikap kasarnya, namun dia sama sekali tidak menghargaiku.

"Naima! Cepat lakukan perintah Nindi!" Ibu mertua kembali ikut campur. Tangan kananya menarik kasar lenganku dan memaksaku untuk berlutut di hadapan putrinya.

"Ibu!" Aku memekik. Ini sungguh di luar dugaanku. Bisa-bisanya kedua wanita ini semakin bersikap semau mereka padaku.

Ibu mertua berhasil mendudukkan tubuhku di bawah kaki anaknya. "Cepat, minta maaflah sekarang!" titahnya lagi dengan sorot mata tajam menatapku. "Awas kamu kalau mengadu pada Ilham. Ingat, aku bisa mengusirmu dari sini, kapan pun."

Bersamaan dengan itu, suara langkah kaki terdengar mendekat ke arah kami dan seketika mampu membuat kami terdiam.

"Ada apa ini?" Mas Ilham menatap penasaran dengan apa yang dilihatnya.

Ibu menarik kasar tubuhku yang masih dalam keadaan bersimpuh di bawah kaki Nindi. Wanita itu mengedipkan mata memberi kode padaku agar aku diam dan segera berdiri.

"Bu? Kenapa ibu diam? Nindi juga. Sebenarnya ini, ada apa?" tanya Mas Ilham lagi semakin penasaran.

Kulirik dua wanita yang sejak tadi merundungku itu tampak saling lembar pandang kebingungan. Sebenarnya aku sangat berharap Mas Ilham sempat mendengarkan perdebatan kami, tapi sepertinya tidak.

Ibu mertua melangkah menghampiri putranya. "Tidak ada apa-apa, Ham," jawabnya dengan senyum keterpaksaan. "Kamu pasti capek, kan baru pulang kerja," jawab ibu mertua sembari tersenyum lagi dimanis-maniskan.

Pandangan wanita itu kini beralih padaku. "Naima, cepat buatkan minuman dingin buat suamimu," titahnya padaku yang langsung kuturuti. Sebenarnya, walaupin tanpa disuruh Aku juga pasti menyiapkannya minum. Ish! Aku kesal sekali.

Mas Ilham tampak diam menatapku sembari meniup napas dalam-dalam. Ya Allah ... aku benar-benar ingin menceritakan semua padanya, tapi ....

Sabar Naima, sabar ....

Dengan langkah pelan aku menuju dapur. Membuka lemari pendingin dan langsung meraih sebotol air dingin yang akan kujadikan air es teh untuk Mas Ilham. Kembali membalik badan, aku berniat mencari toples gua.

"Heh! Mbak! Awas ya kalau sampai mengadu pada Mas Ilham," ancam Nindi padaku, yang seketika membuatku terhenyak. Ternyata, gadis berkuncir itu mengekor dan entah sejak kapan sudah berdiri tepat di belakangku.

"Kenapa? Takut??" Aku sengaja menyulut emosinya. Karena kelakuan gadis manja ini semakin hari semakin mirip ibunya membuatku berani bersikap kasar. Sebenarnya aku bukan wanita bar-bar. Tapi, jika setiap hari aku mendapat perlakuan seperti ini, mau tidak mau, ya harus kulawan.

"Mbak berani, ya!" ancamnya lagi dengan tangan kiri meraih lenganku.

"Aw! Sakit, Nin," pekikku langsung mengusap lenganku yang kena cubit oleh gadis tomboy itu. Tidak kusangka, ternyata Nindi berani main tangan juga.

Sabar, Naima.

Sabar ....

"Makanya kamu jangan macam-macam, Mbak!" ancamnya sekali lagi sambil menunjukkan jari telunjuk tepat di wajahku. Gadis ini benar-benar seperti ibunya!

Selesai membuatkan minuman dingin, aku segera mengantar ke hadapan Mas Ilham yang masih duduk di sofa ruang tamu keluarga. Pria itu masih bersama dengan ibunya. Entah apa yang dibahas. Tapi, begitu aku masuk, pembicaraan mereka terhenti. Membuatku bertanya-tanya, apa mungkin ada yang mereka sembunyikan dariku?

"Wah, seger, nih!" Mas Ilham meraih teh es yang kubuat dan langsung menghabiskannya.

"Alhamdulillah kalau suka, Mas. Mau lag ...."

"Kalau mau, ibu bisa buatkan lagi, Ham. Teh es buatan Ibu lebih manis, dan pastinya jauh lebih seger." Ibu mertua menyambar kalimatku yang belum selesai. Wanita itu melirik sinis ke arahku.

Mas Ilham tersenyum kecil menatap sang ibu. "Ah, tidak perlu, Bu. Ini juga sudah cukup." Pria itu beralih menatapku. "Terima kasih ya, Dek. Mas suka teh esnya. Seger," ucapnya padaku yang otomatis membuat hati ibu kandungnya kembali berasap.

"Teh es mah, di mana-mana ya begitu rasanya. Kalau nggak kurang manis ya kemanisan!" celetuk wanita tua itu lagi menyindirku. Entah kenapa semakin hari, kebenciannya padaku semakin kentara. Apa mungkin sebenarnya dia telah menyesal menjadikanku mantu?

Untung saja Mas Ilham tidak begitu menanggapi celotehan ibunya. Mungkin, ia sudah hapal dengan tingkah ibunya yang super banyak omong itu. Astaghfirullah, maafkan hamba sudah membicarakan keburukan mertua sendiri.

"Ayo masuk, Dek," ajak Mas Ilham. Pria itu meraih tanganku, dan mengajakku masuk kamar. Aku menurut, kami berjalan beriringan melewati ibu mertua yang masih mematung sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.

"Mas," panggilku pada pria yang masih memakai kemeja kerja itu.

Mas Ilham menoleh ke arahku seraya berjalan mendekat. "Ada apa, Dek?"

Aku ingin sekali memberitahunya tentang apa yang dilakukan ibu dan adik perempuannya padaku. Namun, aku urung. Mengingat Mas Ilham yang sangat berbakti pada ibunya membuatku menutup rapat mulutku kembali.

"Ada apa??" tanya Mas Ilham lagi. Saat ini posisinya sudah berada tepat di hadapanku. Kami saling berhadapan.

Entah kenapa, Mas Ilham tiba-tiba memelukku dengan sangat lembut. "Kamu harus sabar ya, Dek. Aku tahu ini pasti berat untukmu."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
itme Aing
dilema mesti
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status