Share

Bab 8. Ibu Kota Terres

Author: Aniha
last update Huling Na-update: 2023-06-25 23:37:33

‘Setelah pohon ceri merah, ambil arah timur…,’ pikir Azura di dalam hati.

“Hei Azura! Lihat!” Seru Elenio sambil menunjuk gapura kuno di depan.

“Gapura…,” lirih Azura.

“Yeay! Akhirnya kita bisa keluar dari hutan ini." Kata Elenio sambil meloncat penuh semangat.

Azura terdiam dan hanya berkata di dalam hati. 'Aku kira keluar dari hutan ini membutuhkan perjalanan yang lama.'

"Hup, Hah. Aku kira, aku tidak bisa merasakan udara di luar hutan lagi." Ujar Elenio sambil sesekali menghirup udara segar di sekelilingnya.

Azura menoleh dan menatap Elenio dengan datar. “Memangnya kau pikir benaran akan mati?”

“Tidak, bukan begitu." Sahut Elenio sambil menggelengkan kepala dengan cepat.

"Lalu?" Azura memiringkan kepalanya penuh penasaran.

"Saat aku dengan kelompokku waktu itu, kami sulit sekali menemukan jalan keluar. Konon, masyarakat mengenal Hutan Florestia itu adalah hutan kramat,” jelas Elenio.

“Ha ha.” Azura lantas tertawa setelah mendengar perkataan Elenio yang menohok.

“Kau menertawaiku?”

“Tidak, aku tidak menertawaimu. Aku hanya bingung, memangnya seseram apa Hutan Florestia? Soalnya, selama aku di sana, aman-aman saja kok.”

“Benarkah? Hm, penuh misteri.” Ujar Elenio sambil menopang dagunya seakan berpikir keras.

“Ha ha, misteri apa? Kau ini, ada-ada saja,” sahut Azura dengan santai.

“Ya sudah deh, yang terpenting sekarang adalah kita sudah keluar dari hutan. Mari kita ke Ibu Kota Terres!” Ajak Elenio sambil berjalan meninggalkan Azura.

Azura menoleh ke belakang selama beberapa saat. ‘Aku harap, kita dapat bertemu lagi, Camaro, Camari.’

“Oy Azura! Cepatlah!” seru Elenio yang sudah berada jauh di depan.

“Ah iya. Tunggu!” Sahut Azura sambil berlari menghampiri Elenio.

***

“Orang-orang ini mau ke ibu kota juga?” bisik Azura kepada Elenio.

“Iya, memangnya kau pikir mereka mau antri sembako?” tanya balik Elenio dengan nyeleneh.

"Oh benar juga ya."

“Permisi, bisa tunjukkan tanda pengenalnya?” Tanya salah seorang penjaga gerbang sambil mencegat jalan Azura dan Elenio.

“Elenio Damon.” Kata Elenio sambil memperlihatkan tanda pengenalnya.

Para penjaga gerbang lantas saling bertatapan satu sama lain.

“Ada apa?” tanya Elenio.

“Hormat kami, Pangeran.” Kata para penjaga gerbang secara serempak sambil membungkukkan tubuh selama beberapa saat.

“Ah ya, senang bertemu dengan kalian juga,” sahut Elenio.

“Silahkan, Pangeran!” Para penjaga tersebut mempersilahkan Elenio untuk memasuki gerbang, tetapi tidak dengan Azura.

“Hei Nona, bisa tunjukkan tanda pengenalmu?” tanya seorang penjaga gerbang dengan tatapan yang tajam.

Glek!

Azura tertegun dan gemetar.

‘Tanda pengenal? Ah maksud dia kartu tanda penduduk? Eh tapi aku bukan penduduk asli sini. Apa aku kasih kartu tanda penduduk yang aku punya saja? Ah jangan, nanti heboh,’ timbang Azura di dalam hati.

“Hei Nona, kau bisa mendengar saya?” Penjaga gerbang itu kembali bertanya dan mendesak jawaban dari Azura.

‘Ah aku ada ide!’ kata Azura di dalam hati.

Azura seketika tersenyum manis, lalu berteriak. “Elen sayang, aku tidak boleh masuk sama penjaga ini.”

Para penjaga gerbang lantas tercengang setelah mendengar perkataan Azura.

“Sa-sa-sayang?” tanya salah seorang penjaga dengan terbata.

Azura menganggukkan kepalanya dengan cepat.

“A-a-ah maaf, dia temanku.” Kata Elenio sambil menggenggam tangan kanan Azura.

Para penjaga gerbang masih terpaku membisu.

“Kami pergi dulu ya, dah!” pamit Elenio.

‘Yeah! Akhir berhasil,’ kata Azura di dalam hati.

Setelah menjauh beberapa meter dari gerbang perbatasan, tiba-tiba Elenio menghempaskan tangan Azura dari genggamannya.

“Hei kau! Pelan-pelan dong! Kasar banget,” kesal Azura.

Elenio menatap Azura dengan tajam.

“Ada apa? Kau marah denganku?” tanya Azura.

“Aku hanya kesal kepadamu. Mengapa kau memanggilku dengan sebutan sayang? Ah menjijikkan sekali.”

“Ya habisnya, kau seenaknya berjalan sendiri dan membiarkanku dicegat oleh para penjaga gerbang itu.”

“Lah mengapa kau khawatir? Tinggal tunjukkan tanda pengenalmu saja, bukan? Ribet banget jadi perempuan.” Ujar Elenio sambil bertolak pinggang.

“Hah.” Azura menghela napasnya sejenak.

‘Sepertinya aku harus bersandiwara lagi,’ kata Azura di dalam hati.

“Hei Azura, mengapa kau diam?” Elenio mendesak jawaban.

“Aku dari negara lain, aku rasa kau ingat itu.”

“Ya kalau dari negara lain memangnya kenapa? Tinggal tunjukkan tanda pengenal,” sahut Elenio.

“Itu masalahnya. Tanda pengenalku hilang.”

“Hilang?” Elenio seketika kaget.

Azura menganggukkan kepalanya dengan cepat, lalu memasang raut wajah sedih.

“Hilang di mana? Mengapa kau tidak mengatakannya dari tadi kepadaku?”

“Kau sendiri tidak bertanya.”

“Memangnya harus aku tanya?”

“Tidak juga sih.”

“Ah perempuan memang sangat menyebalkan,” umpat Elenio.

Azura hanya terdiam membisu.

‘Setidaknya dia percaya kalau tanda pengenalku hilang,’ kata Azura di dalam hati.

“Ya sudah, mari ikut aku!” Seru Elenio sambil berjalan lebih dulu dan meninggalkan Azura.

“Elen, kau mau kemana?” tanya Azura.

Elenio menghentikan langkahnya, lalu menoleh dan menatap Azura.

“Kau ini bodoh ya! Kau bilang tadi tanda pengenalmu hilang, bukan?” tanya balik Elenio.

Azura menganggukkan kepalanya dengan cepat.

“Ya sudah, mari aku antarkan bikin tanda pengenal,” ucap Elenio.

“Benarkah? Wah terima kasih.” Kata Azura sambil menghampiri Elenio.

Azura berjalan beriringan dengan Elenio sambil memperhatikan beberapa manusia yang berlalu-lalang di sekelilingnya.

'Kata Camaro, Negara Tirakia diisi oleh berbagai macam makhluk, tetapi sejauh ini aku hanya melihat manusia,' kata Azura di dalam hati.

"Azura, sebenarnya kau mau kemana?" tanya Elenio.

"Hah? Maksudnya? Buat tanda pengenal, bukan?" tanya balik Azura.

"Tidak, bukan begitu. Maksudku, sebenarnya tujuanmu mau kemana? Lalu, dari mana kau berasal?"

Azura tersenyum tipis. 'Aku seperti sedang diinterogasi.'

"Hei, kau melamun?"

Azura dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak melamun. Aku mendengarkan pertanyaanmu kok."

"Kalau begitu jawablah!"

"Iya iya, ini mau aku jawab. Aku berasal dari negeri yang sangat jauh. Mungkin kau sendiri juga belum pernah kesana. La-," perkataan Azura seketika dipotong oleh Elenio.

"Sombong sekali kau! Aku ini seorang pangeran! Memangnya negeri mana yang tidak aku tahu, hah?!"

"Ya, bukan seper-."

Bruk!

Tiba-tiba terlihat seorang anak kecil berpakaian lusuh ditendang oleh seorang pria gemuk di depan kedai makanan. Azura pun dengan refleks langsung berlari menghampiri anak kecil tersebut.

"Hei, kau tidak apa-apa?" Tanya Azura sambil membantu anak kecil itu berlari.

Anak kecil itu hanya menggelengkan kepalanya sambil terus tertunduk lesu.

"Woi Nona, siapa kau? Apakah kau kenal dia?" tanya pria gemuk sambil bertolak pinggang dengan angkuhnya.

"Aku tidak mengenalnya, tetapi mengapa kau tega memperlakukan dia sejahat itu?" Tanya balik Azura sambil menatap tajam pria gemuk di depannya.

"Dia itu rakyat jelata! Dia masuk ke kedaiku, meminta makanan dengan tidak tahu malu dan mengotori kedaiku dengan dirinya yang bau!" jawab pria gemuk itu.

"Jika kau tidak ingin memberinya makan, tidak usah menendangnya sekasar itu!"

"Ha ha, apa pedulimu? Kau juga hanya dapat berbicara, bukan?"

Azura mengepalkan kedua tangannya dengan penuh kekesalan.

"Bawakan dia makanan yang paling enak! Kerajaan akan membayarnya." Seru Elenio sambil menunjukkan tanda pengenalnya.

"Da-da-damon?" Pria gemuk itu seketika kaget dan terpaku.

"Mengapa kau diam? Apakah kau hanya memiliki mulut tanpa melengkapinya dengan telinga?" 

"Ba-ba-baik! Saya akan buatkan makanan yang Anda minta." Kata pria gemuk itu sambil berlari masuk ke dalam kedai.

Sejenak Elenio menoleh dan menyengir kepada Azura.

'Dia bisa diandalkan juga,' kata Azura di dalam hati.

"Pangeran, ini makanan yang Anda minta." Ucap pria gemuk sambil memberikan sebungkus makanan yang masih hangat.

"Baiklah terima kasih." Kata Elenio sambil menerima sebungkus makanan itu.

Pria gemuk hanya menganggukkan kepalanya.

"Ini buat kamu!" Ujar Elenio sambil memberikan sebungkus makanan pada anak kecil itu.

"Te-te-terima kasih." Ucap anak kecil itu sambil menerima sebungkus makanan, lalu berlari pergi dengan tunggang langgang.

"Hei tu-." Azura berusaha menghentikan anak kecil itu, tetapi Elenio dengan cepat melarangnya.

"Sudah, tidak usah dipanggil!"

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Penyihir Terhebat di Dunia Lain   Bab 76. Perasaan Bimbang

    "Sudah lama ya kita tidak duduk berdua seperti ini," ucap Azura."Yah kau saja yang terlalu sibuk." Sahut Elenio, lengkap dengan senyum sinisnya."Aku ada tugas misi, mau bagaimana lagi.""Tapi kau hebat, Azura," puji Elenio.Azura lantas menoleh dan menatap Elenio. "Hebat kenapa? Kau bicara apa, Elen?""Iya, kau sangat hebat tau!" Tutur Elenio sambil menganggukkan kepalanya."Mana ada," gumam Azura."Kau hebat, Azura. Aku mohon kau jangan menyangkal itu.""Sekarang, coba jelaskan, aku hebat karena apa?""Banyak hal yang kau lalui. Kau juga hebat bisa mengalahkan banyak iblis," jawab Elenio."Hah." Azura menghela napasnya sejenak.Syuuu.Pepohonan bergoyang diterpa semilir angin."Aku berkali-kali hampir mati. Perutku saja sampai bolong," ucap Azura."Bo-b-b-bolong?!" Elenio terkaget setelah mendengar perkataan Azura.Azura menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Iya bolong, perlu aku tunjukkan?""Mana? Aku mau lihat!""Tidak boleh!" larang Azura."Cih, tadi kau menawarkan.""Aku perem

  • Penyihir Terhebat di Dunia Lain   Bab 75. Selalu Bertengkar

    "Memangnya kenapa aku tidak boleh ikut dalam misi itu?" Tanya Azura sambil menatap Pangeran Elzenath dengan tajam."Hola, semua!" Sapa Laurel dari kejauhan yang berhasil memecah suasana."Cih," desis Pangeran Elzenath."Kalian sedang bicara apa? Sepertinya asik sekali?" Tanya Laurel sambil merangkul pundak Pangeran Elzenath."Kau ini, datang di saat yang tidak tepat!" Decak Pangeran Elzenath sambil mengepalkan kedua tangannya."Loh, emang iya?""Pake nanya lagi!" bentak Pangeran Elzenath."Hue he he, maaf ya. Aku tidak tahu." Sahut Laurel sambil tertawa kecil."Kenapa kalian bekerja sama untuk mencegahku menjalankan misi dari Guru La Gramarye?" tanya Azura dengan tegas."Ho ho ho, misi apa? Memang si Kakek tua itu memberikanmu misi apa sih? Aku saja ti-.""Diam!" potong Azura.Laurel langsung terdiam."Aku tidak ingin basa-basi. Aku butuh kepastian! Mengapa kalian bekerja sama mencegahku menjalankan misi itu? Apa kalian memandangku dengan lemah? Apa menurut kalian, aku tidak mampu men

  • Penyihir Terhebat di Dunia Lain   Bab 74. Pertemuan yang Batal

    Azura berjalan menyusuri lorong menara sihir yang cukup gelap.'Aku seperti berjalan di film horor,' decak Azura di dalam hati.Syuu. Cletak.Hembusan angin yang kencang, berhasil membuka paksa jendela usang di sisi lorong."Tanpa permisi." Gumam Azura sambil melihat jauh ke luar jendela.Prak. Prak.Langkah kaki perlahan mendekati Azura."Elizabeth, apa kabar?" tanya Azura."Saya sungguh terpukau. Kau menyadari kehadiranku dengan cepat."Azura tersenyum tipis, lalu ia pun berbalik dan menatap Elizabeth."Bukankah kita teman?" seloroh Azura.Elizabeth tersenyum kecil, lalu ia memejamkan matanya beberapa saat."Kau belum menjawab pertanyaanku loh." Ucap Azura sambil berdekap tangan."Kabarku baik. Bagaimana denganmu?" Tanya Elizabeth sambil menatap nanar mata Azura."Aku baik. Meskipun beberapa kali berada di ambang kematian." Jawab Azura sambil menatap pemandangan di luar jendela."Syukurlah jika begitu," ujar Elizabeth.Puk. Puk."Jika kau mati, mungkin Guru akan depresi." Sambung El

  • Penyihir Terhebat di Dunia Lain   Bab 73. Kembali ke Istana

    "Hah, aku lemas sekali." Lirih Azura seraya berjalan dengan lunglai."Maaf, kita tidak bisa masak daging," ucap Laurel.Azura menunjuk Laurel sambil berkata. "Ini semua gara-gara kau!""Hah?" Laurel pun menyanggah dengan mulut yang lebar."Iya! Gara-gara kamu! Kamu sih masak dagingnya lama, jadi keburu ada iblis," ujar Azura."Heleh, bukankah ini semua gara-gara kau?!" Laurel seketika menghentikan langkahnya."Kok aku?!" Azura yang tidak mau kalah, langsung berbalik tanya dengan mata yang membulat sempurna."Iya kamu! Coba saja jika kamu tidak marah-marah dan ngambek selayaknya bocah, kita mungkin sudah membakar daging dan menikmatinya sebelum para iblis itu datang." Decak Laurel sambil bertolak pinggang seperti seorang ayah yang memarahi putrinya."Apa?! Kau ini sebenarnya laki-laki atau perempuan sih?! Seenaknya sekali menilai seseorang!""Aku? Menilai? Aku menilai kamu? Hei, aku bukan menilai, tapi aku berbi-."Belum sempat Laurel melanjutkan perkataannya, tiba-tiba sesuatu menimpa

  • Penyihir Terhebat di Dunia Lain   Bab 72. Perjalanan ke Ibu Kota

    “Hoam, aku tidak mengerti mengapa kau malah mengajakku jalan saat dini hari.” Ujar Azura seraya menguap.“Agar kita cepat sampai ke Ibu Kota Tirakia.” Jelas Laurel yang memimpin jalan.“Mengapa harus cepat-cepat? Santai saja tidak sih?” gerutu Azura.“Kalau sudah sampai mah enak,” sahut Laurel.“Tapi kalau jalan dini hari seperti tadi bisa-bisa kita bertemu iblis.”“Siang hari juga kita bisa bertemu iblis.”“Tapi besar kemungkinan kita bertemu iblis kalau gelap.”Laurel menghentikan langkahnya.Bruk!Azura yang selama ini berjalan mengantuk, seketika menabrak punggung Laurel.“Aduh! Punggungmu keras sekali,” decak Azura.“Lagi pula mengapa kau malah menabrakku? Jika mau memelukku, bilang saja,” sahut Laurel.“Cih, mana ada. Hoam.”Laurel menoleh dan menatap Azura.“Kau sungguh mengantuk?” tanya Laurel dengan khawatir.Azura menganggukkan kepalanya dengan cepat.“Ya sudah, kita beristirahat dulu saja di sini!” Seru Laurel sambil mengarahkan Azura untuk duduk di bawah pohon mangga yang

  • Penyihir Terhebat di Dunia Lain   Bab 71. Sebuah Surat

    “Baik, kalau begitu saya permisi.” Ucap seorang perempuan berambut pendek seraya pergi.“Siapa itu? Muridmu?” tanya Azura.“Oh, itu?” Tanya balik Laurel sambil menoleh dan menatap Azura.“Iya, memang kau berpikir apa, hah?!” Sahut Azura sambil berdekap tangan.“Dia bukan muridku.” Jelas Laurel sambil tersenyum tipis.“Lalu?”“Nih, dia memberiku sebuah surat ini.” Kata Laurel sambil menyodorkan Azura sebuah amplop putih.“Surat cinta?” ledek Azura.“Kau berpikir apa sih, ha ha ha.”“Yah, lalu apa? Mengapa juga kau malah memberikan surat itu kepadaku?” heran Azura.Laurel langsung meraih tangan Azura dan meletakkan amplop putih itu di atas telapak tangan Azura.“Heh?” Azura semakin bingung dengan sikap Laurel.“Surat itu untukmu.” Kata Laurel sambil berpaling dari pandangan Azura.“Untukku? Untuk apa? Apa sih maksudmu? Tinggal bicara saja, mengapa harus ada surat begini?”“Itu bukan surat dariku,” lirih Laurel.“Heh? Lalu?” Azura menaikkan kedua alisnya.“Itu dari pengawal kerajaan,” uc

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status