Anzaya Arsyi Aetherion menjalani hidup yang penuh kesepian dan tekanan hingga suatu malam ia menyelamatkan seekor Griffin kecil bernama Leo, makhluk legendaris yang menjadi kunci ke dunia paralel bernama Heavenly. Dunia magis itu adalah surga yang kini terancam kehancuran akibat invasi Hoplites, pasukan yang dipimpin oleh Eren, seorang mantan sekutu ibunya, Enda, yang menghilang secara misterius di Heavenly bertahun-tahun lalu. Bersama Leo, Anza menemukan dirinya terhubung dengan konflik yang jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan, termasuk rahasia masa lalu ibunya yang kini menjadi pusat dari kekacauan ini. Dengan bantuan Hana, sahabat setianya, Lumi, makhluk Celestial yang misterius, dan Eldrin, seorang elf bijaksana, Anza belajar mengendalikan kekuatan ethereal dalam dirinya. Dalam perjalanan penuh bahaya ini, ia harus melindungi Heavenly dari kehancuran, menghadapi bayang-bayang masa lalu, dan menemukan keberanian untuk melawan takdirnya. Di tengah kehancuran dan harapan, Anza perlahan menyadari bahwa nasib Heavenly, serta jawaban tentang ibunya, ada di tangannya.
Lihat lebih banyakUdara malam menusuk kulit saat Anza menyesap sisa kopinya. Kafe itu sudah hampir kosong, hanya menyisakan seorang pelayan yang sibuk merapikan meja-meja yang berantakan. Cahaya hangat lampu gantung menyoroti cangkir kopinya yang tinggal separuh, menyisakan noda hitam di bagian dalam.
Di luar, hujan masih turun deras, membasahi trotoar dan jalanan yang kini berkilauan di bawah lampu jalan. Ia menatap ponselnya—layarnya memantulkan wajah lelahnya, dan di balik ikon-ikon aplikasi, tampak samar foto seorang wanita tersenyum lembut sebagai wallpaper. Ibunya. Sejenak, tatapan Anza mengeras, lalu berpindah ke deretan notifikasi yang belum terbaca, mencoba mengalihkan pikirannya dari segalanya. Notifikasi dari klien masih berjejer, pesan dari Hana belum ia balas, dan kepalanya semakin terasa berat. Jam hampir menunjukkan pukul setengah dua belas malam ketika pelayan terakhir mulai mematikan lampu di beberapa sudut kafe. Anza menghela napas, meraih jaketnya, dan beranjak keluar. Begitu pintu kaca tertutup di belakangnya, hawa dingin segera menyergap tubuhnya. Langkahnya cepat, berusaha menghindari genangan air yang tersebar di trotoar. Jaketnya sudah mulai lembap, dan sepatu ketsnya basah saat tanpa sengaja menginjak kubangan kecil di pinggir jalan. Lalu, di tengah suara hujan yang menutupi hampir semua suara lainnya, ia mendengar sesuatu. Bugh. Suara berat, seperti sesuatu yang jatuh ke tanah. Anza berhenti. Matanya menyapu sekitar, mencari sumber suara itu. Tidak ada siapa pun di jalan, hanya deretan lampu yang menerangi aspal basah dan etalase toko yang sudah tutup. Tapi suara itu terdengar lagi—lebih pelan, disertai napas berat yang terputus-putus. Ia menoleh ke arah gang kecil di sebelah kiri. Gelap dan sunyi. Pintu belakang beberapa toko berjajar di sepanjang lorong sempit itu, dan bau aspal basah bercampur samar aroma karat dari pipa-pipa tua di dinding. “Jangan terlibat, Anza,” katanya pada diri sendiri. Tapi rasa ingin tahunya tidak bisa ditahan. Sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa ada sesuatu—atau seseorang—di sana yang butuh bantuan. Dengan ragu, ia melangkah masuk ke dalam gang. Begitu matanya terbiasa dengan kegelapan, ia melihatnya. Sebuah sosok kecil tergeletak di tengah jalan setapak yang basah. Awalnya, ia mengira itu hanyalah seekor burung atau kucing liar. Tapi saat ia melangkah lebih dekat, napasnya tercekat. Makhluk itu bukan sesuatu yang pernah ia lihat sebelumnya. Tubuhnya mungil, hampir seukuran anak kucing, dengan bulu keemasan yang basah dan kusut karena bercampur darah. Sayap kecil terkulai di sisinya, lemas dan robek di beberapa bagian. Dan yang paling mencolok, sebuah anak panah kecil tertancap dalam di bahunya, kilauan peraknya menyilaukan di bawah pantulan lampu jalan yang redup. Anza menelan ludah. “Apa ini…?” bisiknya, matanya tidak bisa berpaling dari sosok mungil yang tampak lemah itu. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia mencoba mencari penjelasan rasional—mungkin ini hanya mimpi buruk? Atau efek kelelahan? Tapi tidak, ini nyata. Darah hangat merembes ke sepatunya, dan suara napas berat makhluk itu terdengar jelas di telinganya. Pelan, makhluk itu mengangkat kepalanya. Sepasang mata besar menatapnya—penuh rasa sakit, tapi juga tajam, seolah menembus pikirannya. Seketika, Anza merasakan sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Seperti ada sesuatu yang menghubungkan mereka, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pertemuan biasa. Makhluk itu mencoba bergerak, tapi hanya mampu mengerjapkan mata sebelum merosot ke tanah lagi, kehilangan tenaga. Anza berjongkok, mengulurkan tangan dengan ragu. Dari jarak sedekat ini, ia bisa melihat lebih jelas: bulu emas yang samar-samar berpendar seperti bintang, dan sayap yang meskipun kecil, memiliki pola yang terlihat hampir mistis. “Aku nggak tahu kau ini hewan, burung kecil, atau semacam makhluk dongeng…” gumamnya, setengah berbicara pada dirinya sendiri. “Tapi kau pasti butuh bantuan.” Makhluk itu mengeluarkan suara lirih—bukan suara binatang biasa, tapi sesuatu yang lebih dalam, seperti sebuah isyarat. Anza menggigit bibir, kemudian merogoh ponselnya dan mengetik pesan cepat ke Hana. Anza: "Hana, aku menemukan sesuatu. Aku butuh bantuan. Jangan tanya apa-apa. Aku di rumah sebentar lagi." Tanpa pikir panjang, ia melepas jaketnya dan membungkus makhluk kecil itu dengan hati-hati. Ia bisa merasakan kehangatan tubuh mungil itu yang mulai memudar, membuatnya semakin yakin bahwa ia harus bertindak cepat. Dengan hati-hati, ia mengangkatnya dan mendekapnya di dada. Hujan masih turun deras, membasahi wajah dan jaketnya, tapi ia tidak peduli. Ia harus membawa makhluk ini pulang. Apa pun ini, siapa pun yang mengejarnya, dan bagaimana pun ia bisa sampai di dunia ini—Anza tahu satu hal. Ia tidak bisa meninggalkannya begitu saja.Kereta berhenti di jalur batu yang berakhir di depan gerbang kayu besar. Rumah di depannya dikelilingi pagar tumbuhan merambat, menjulang rapi seperti tembok hijau. Udara di tempat ini lebih sejuk, angin berembus dari ladang luas yang mengelilinginya. Jauh dari hiruk-pikuk kota, hanya suara dedaunan dan denting alat pertanian yang terdengar samar dari kejauhan.Begitu mereka turun satu per satu, dua sosok muncul diam-diam di belakang Reinalt.Langkah mereka tak bersuara, seperti bagian dari bayangan rumah itu sendiri.Arra, elf bermata tajam dengan rambut perak sebahu dan katana panjang di punggungnya.Axxa, manusia setengah harimau dengan tubuh besar dan tenang, membawa pedang shotel yang tergantung di punggung.Anza, Hana, dan Haya terkejut, langkah mereka terhenti mendadak. Haya bahkan sempat mengangkat tombaknya sedikit.Reinalt hanya bergumam datar, “Sudah datang rupanya.”Hana langsung maju. “Bagaimana keadaan Eldrin?! Dia selamat, kan?!”“Apakah dia baik-baik saja?” sambung Hay
Roda kereta bergulir pelan, memantul lembut di atas jalanan berbatu yang menurun. Di dalam, ruang sempit terasa lebih hangat dibanding kota. Aroma kayu dan karpet tenun memenuhi kabin. Tapi tak ada yang bersandar nyaman.Reinalt duduk diam, Kael meringkuk tenang di sampingnya.Hana memeluk Lumi, yang sesekali menggeliat dalam selimut tipis.Haya bersandar di sisi kiri, menatap tirai yang tak sepenuhnya menutup jendela.Anza duduk paling pojok, Leo kecil terbaring lemah di pelukannya, napasnya lambat tapi stabil.Di depan mereka, Tarin duduk dengan tongkat disandarkan di lutut. Wajahnya tetap santai, tapi sorot matanya lebih serius sekarang."Kurasa ini waktu yang tepat untuk saling bertukar kabar," katanya, membuka pembicaraan.Reinalt menoleh cepat. “Apa yang kau tahu sejauh ini?”Tarin mengangguk. “Banyak. Dan belum semuanya bagus.”Ia menghela napas. “Jaringanku di istana bilang... Raja tak lagi sepenuhnya berdaulat. Sejak insiden Heavenly terakhir, Hoplites makin menekan. Dan seka
Tapak sepatu berdetak pelan di atas papan kereta. Tirai bergeser. Seseorang muncul. Seorang pria tua, tinggi, rambut putih diikat ke belakang, wajahnya dihiasi brewok tipis. Matanya biru terang, seperti danau yang tak bisa dibaca dalam sekali pandang. Ia memegang tongkat kayu gelap, dan pakaiannya sederhana, tapi jelas potongan bangsawan—rapi tanpa kesan pamer. Tubuhnya masih kekar untuk pria seusianya, dan setiap geraknya mantap, seperti orang yang tahu betul ke mana ia melangkah. Ia melihat kelima orang di depannya. Dan—tanpa aba-aba—tertawa keras. “HAHAHA! Lihat kalian! Wajah-wajah tegang seperti habis dikejar naga!” Reinalt refleks maju satu langkah. “Kau benar-benar—” Tarin mengangkat satu tangan. “Tenang, tenang. Jangan tarik pedangmu dulu, Reinalt. Masih ingat caraku menyapa?” Reinalt menggeram. “Kau tak pernah bisa masuk dengan cara normal, ya?” Sementara itu, Anza, Hana, dan Haya saling bertukar pandang—campuran bingung, siaga, dan siap bertindak. Tarin m
Udara siang menekan, padat dan penuh bisikan yang tak terdengar.Dari pintu kayu belakang rumah Bu Nirra, lima sosok berkerudung melangkah keluar tanpa suara. Langkah mereka menyusuri gang sempit, berbaur dengan bayangan tembok dan aroma roti madu yang perlahan memudar.Reinalt berjalan di tengah, jubahnya agak longgar karena di baliknya tersembunyi Kael, hippogriff kecil yang tidur nyenyak. Di depannya, Haya berjalan cepat, berbelok dan mengamati ujung gang lebih dulu sebelum memberi isyarat untuk lanjut. Hana di sisi kiri belakang, menjaga gerakan sambil memeluk Lumi erat di dalam tas. Anza berada paling belakang, menggendong Leo yang lemah dalam pelukannya.Tak ada yang bicara.Mereka tak perlu. Setiap napas diatur, setiap gerakan diperhitungkan.---Tembok keempat setelah belokan pertama membuat Reinalt berhenti.Di sana, tertempel selebaran.REINALT EVERHARTDICARIHIDUP-HIDUPKertas itu masih segar, cetakannya gelap. Di sudut bawah, cap kerajaan tercetak rapi, membuat pesan itu
Cahaya siang menyusup lembut melalui jendela kecil di ujung kamar. Udara yang masuk membawa aroma madu panggang dari dapur bawah—hangat, ringan, dan menenangkan.Anza membuka matanya perlahan.Langit-langit kayu menyambut pandangannya, bergoyang samar karena kepalanya masih terasa berat. Ia mencoba duduk… perlahan… dan berhasil tanpa bantuan, meski tubuhnya terasa seperti baru saja bangun dari mimpi yang terlalu dalam.Di sudut ruangan, Reinalt duduk di atas kursi rendah, tangan terlipat, pandangannya tertuju ke lantai. Tapi ia langsung menoleh ketika mendengar suara kasur berderit pelan.“Selamat datang kembali.” Suaranya pelan, tapi lega.Anza menatapnya sebentar. “Di mana… kita?”“Masih di ibukota,” sahut Reinalt. “Di rumah salah satu warga yang membantu. Kita aman untuk saat ini.”Anza hanya mengangguk perlahan. Ia memejamkan mata sebentar, mencoba mencerna segalanya. Lalu membuka lagi. “Leo?”Sebelum Reinalt menjawab, suara pelan dari belakang menjawab lebih dulu.“Masih lemas, t
Sinar terakhir dari portal memudar di udara—dan hanya sekejap setelahnya, keributan pasar pecah.“Wah! Mereka jatuh dari mana?!”“Pangeran?!”Keramaian pasar ibukota Heavenly yang biasanya dipenuhi canda dan obrolan kini berubah menjadi gumaman bingung dan langkah-langkah ragu. Di tengah jalan utama yang dibatasi kios-kios makanan, kerajinan tangan, dan gantungan bunga, empat sosok muncul tiba-tiba dari udara, mendarat dengan suara lembut di atas batu yang masih basah oleh embun pagi.Tak ada darah. Tak ada luka.Namun mereka jelas... terengah-engah, limbung, dan kelelahan.Reinalt berdiri dengan satu lutut menyentuh tanah, menahan tubuh Anza yang tak sadarkan diri di lengannya. Nafasnya masih berat, rambutnya sedikit berantakan, tapi matanya sigap menyapu sekeliling.Hana berlutut di samping mereka, memeluk Leo kecil yang tampak lemah, serta Lumi yang bersembunyi gemetar dalam pelukannya.Haya terduduk di sisi lain bersama Kael, hippogriff yang telah mengecil secara sadar dan duduk t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen