Share

Bab 9. Toko Peralatan Senjata

Syut! Syut!

“Whoa, ternyata kau juga hebat dalam menggunakan pedang!” Puji Elenio sambil memperhatikan Azura dengan mata yang membulat sempurna.

“Heh? Ah tidak, tidak. Aku belum pernah belajar seni bela diri pedang. Barusan yang kau lihat itu hanya sedikit adegan pertarungan yang aku baca dari komik kesukaanku,” sahut Azura.

“Loh, komik? Apa itu?” Tanya Elenio sambil memiringkan kepalanya dengan penuh penasaran.

“Komik it-.”

Seketika seorang pria kekar menyanggah perkataan Azura. “Komik itu sejenis buku, tetapi ada gambarnya. Ya, semacam koran gitu, tetapi berisi cerita fiksi.”

“Wah! Lion! Lama tidak berjumpa,” sapa Elenio dengan penuh semangat.

“Halo Pangeran, bagaimana kabarmu? Kemana saja kau? Sepertinya kau membawa teman baru lagi?” tanya pria kekar bernama Lion tersebut.

“He he iya, perkenalkan dia Azura,” ujar Elenio.

“Azura Amalthea.” Ujar Azura sambil membungkukkan tubuh selama beberapa saat.

“Ah iya, saya Lion, pemilik toko peralatan senjata ini. Senang bertemu denganmu,” ucap pria kekar itu.

“Jadi, Lion ini adalah salah satu ahli persenjataan yang sangat hebat di Kota Terres,” timpal Elenio.

Azura hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum tipis.

“Omong-omong, barang apa yang ingin kau cari, Pangeran?” tanya Lion.

“Hm….” Elenio menopang dagunya dan terlihat berpikir keras.

“A-anu…, apakah kau punya peralatan yang dapat menunjang penyihir? Ah, maksudku seperti jubah atau semacamnya,” tanya Azura kepada Lion.

Lion terdiam sejenak. Matanya menatap Azura dengan dalam.

‘Apa yang sedang dia lakukan?’ tanya Azura di dalam hati.

“Jadi kau seorang penyihir ya?” Tanya Lion sambil mengusap dagunya dengan penuh pertimbangan.

“I-i-iya.” Kata Azura sambil menganggukkan kepalanya perlahan.

“Oh, ha ha ha.” Lion tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.

Azura dan Elenio pun saling menatap satu sama lain.

“Oh jadi, aura yang sejak tadi aku rasakan, itu adalah aura milikmu ya? Syukurlah, aku kira ada penyihir gila lagi yang memaksaku untuk memberikan peralatan secara gratis,” ujar Lion.

“Penyihir gila?” Azura mengangkat kedua alisnya dan menatap Lion dengan sangat bingung.

“Iya, biasa lah. Seperti sponsor gitu. Mereka bilang akan mempromosikan barangku jika aku memberikan gratis. Ya sudah, lupakan saja. Jadi kau perlu peralatan apa? Kau temannya Pangeran, bukan? Aku rasa kau tidak meminta gratis peralatanku ha ha ha.”

‘Cih, ternyata di dunia ini pun ada oknum yang memanfaatkan kekuatan untuk suatu hal yang gratis,’ kata Azura di dalam hati.

“Ini, coba dulu saja!” Seru Lion sambil memberikan Azura sebuah jubah berwarna hijau tua.

“Whoa jubah! Keren! Aku juga mau yang seperti itu Lion!” ujar Elenio.

“Mohon maaf, Pangeran. Jubah itu aku buat khusus untuk seorang penyihir. Aku menyisipkan batu zamrud sebagai kancing di sisi depannya.”

“Batu zamrud?” tanya Azura.

“Ya, batu zamrud. Batu itu berguna sebagai penyimpan mana. Kau bisa memindahkan mana milikmu ke dalam batu itu. Kemudian, disaat kau bertarung di tempat yang minim mana, kau dapat mengambil mana cadanganmu di dalam batu itu,” jelas Lion.

“Hebat sekali.” Gumam Azura sambil menatap batu zamrud dengan mata yang bergetar.

“Hei Lion, omong-omong berapa harga jubah itu?” tanya Elenio.

“Hm, biasanya aku menjual sekitar dua juta keping emas,” jawab Lion.

“Du-du-dua juta keping emas?” Elenio seketika tercengang setelah mendengar jawaban Lion.

‘Memangnya dua juta keping emas itu mahal?’ tanya Azura di dalam hati.

“Ha ha, mengapa kau terlihat kaget sekali, Pangeran? Bukankah kerajaan itu sangat kaya?”

“Kau ini! Kerajaan memang kaya, tetapi aku tidak bisa menggunakan kekayaan itu semua! Kau berharap aku dihukum penggal oleh Raja Damon V hah?!”

“Ha ha, sabar-sabar. Aku juga tidak akan membiarkan salah satu pelanggan setiaku mati dengan cara mengenaskan seperti itu.”

“Kalau begitu, turunkanlah harganya!” Seru Elenio sambil bertolak pinggang dan menatap tajam Lion.

“Ha ha, baiklah baik. Aku akan memberikanmu diskon lima puluh persen, bagaimana?”

Elenio dengan cepat menggelengkan kepalanya. “Tujuh puluh lima persen!”

“Ah, itu terlalu murahlah Pangeran.”

“Tidak, tujuh puluh lima persen! Atau aku tidak akan menjadi pelangganmu lagi!”

“Baiklah baik, tujuh puluh lima persen,” ucap Lion dengan nada yang lesu.

“Nah gitu dong.”

“Ada lagi barang yang kau cari?” tanya Lion.

“Hm, aku mencari pedang, tetapi yang lebih ringan dari yang sebelumnya,” jawab Elenio.

“Mungkin kau bisa menggunakan ini?” Saran Lion sambil memberikan sebuah pedang panjang berwarna perak kepada Elenio.

“Tidak, bukan yang seperti itu. Aku kurang cocok. Terlihat biasa saja, tidak ada keren-kerennya,” tolak Elenio.

“Hah, kalau begitu, mengapa kau tidak mencari excalibur saja?”

“E-excalibur?!” Elenio dan Azura kaget secara serempak.

Lion menganggukkan kepalanya dengan cepat.

“Di mana aku bisa dapatkan pedang itu?” Elenio bertanya dengan sangat antusias.

“Hah.” Lion menghela napasnya sejenak.

“Hei Lion, beritahu aku! Cepatlah!” Elenio mendesak jawaban dari Lion sambil menggoyang-goyangkan tubuh Lion.

“Konon pedang itu berada di Pegunungan Alpen dan dijaga oleh cerberus,” jawab Lion.

“Cerberus?” gumam Azura.

Elenio dengan cepat menoleh dan menatap Azura. “Apakah kau tahu cerberus itu seperti apa?”

“A-ah, yang aku tahu cerberus itu hewan mitologi berwujud anjing berkepala tiga,” jawab Azura.

“Whoa, keren sekali!” Elenio berteriak kagum.

“Hah, tapi itu baru katanya saja loh. Kenyataannya ada atau tidak, aku pun tidak tahu,” sahut Lion.

“Kalau memang seperti itu, mengapa kau tidak mengambil salah satu koleksi pedang disini saja dulu, Elen?” tanya Azura.

“Nah benar sekali, Nona yang cantik!” timpal Lion.

“Pedang excalibur seperti dongeng dari rakyat ke rakyat, bukan? Kau bisa mempercayainya, tetapi tidak bisa terlalu melibatkannya ke dalam kehidupan,” tutur Azura.

“Tentu saja, Nona yang cantik! Kau memang pintar!” sahut Lion.

“Berisik sekali kau Lion! Baiklah aku akan mengambil pedang yang ini saja!” Ucap Elenio sambil mengambil salah satu pedang yang terpampang di toko itu.

“Nah pilihan yang tepat, Pangeran,” kata Lion.

“Soal pembayaran seperti biasa ya,” ujar Elenio.

“Ya baik, saya dengan senang hati mengantarkan tagihan pembayarannya kepada kerajaan,” sahut Lion.

“Jangan kau lebih-lebihkan harganya!” ancam Elenio.

“Ya, ya, kau tenang saja, Pangeran.” Ucap Lion sambil tersenyum tipis.

Azura dan Elenio pun keluar dari toko peralatan senjata. Akan tetapi, tiba-tiba terlihat segerombolan pemuda kekar berpakaian putih keemasan mencegat jalan mereka.

“Hah, sudah aku duga akan seperti ini,” lirih Elenio.

‘Loh ada apa?’ tanya Azura di dalam hati.

Plak!

Seorang pria berambut pirang secara tiba-tiba menampar wajah Elenio.

“Heh?” Azura kaget bukan kepalang.

“Pangeran! Mohon maaf saya melakukan itu. Pangeran Zenath memerintah saya untuk menampar Anda, saat saya berhasil menemukan Anda,” kata pria berambut pirang itu dengan ritme yang sangat cepat.

Plak!

Elenio tidak segan-segan menampar balik pria berambut pirang itu.

“Bilang ke Zenath, jangan seenaknya menampar seseorang! Apalagi menitip tamparan seperti tadi! Kau juga, sebenarnya kau bekerja dengan siapa? Sebenarnya kau pengawal Zenath atau aku hah?!”

“Ma-maaf, Pangeran,” lirih pria berambut pirang itu.

“Hah.” Elenio menghela napasnya sejenak.

“Pangeran, selama ini Anda kemana saja? Satu kerajaan mengkhawatirkan Anda,” tanya pria berambut pirang.

“Bukan urusanmu, Aias,” jawab Elenio dengan santai.

“Apa?! Anda pikir bukan urusan saya?! Saya hampir saja dihukum mati oleh Raja karena tidak dapat menjaga Anda dengan baik!” Sahut pria pirang itu dengan sangat emosi.

“Eh, kau berani sekali memarahiku!” Ujar Elenio sambil menatap tajam pria pirang itu.

“Anda harus pulang sekarang!” seru Aias.

“Tidak, aku menolak!”

Tanpa basa-basi beberapa pengawal menarik paksa Elenio.

“Hei hei lepaslah! Azura tolonglah! Tolong aku!” Elenio merengek minta bantuan Azura. Akan tetapi, Azura hanya terdiam.

“Nona, bisakah Anda ikut kami?” tanya Aias.

“Heh?”

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status