Syut! Syut!
“Whoa, ternyata kau juga hebat dalam menggunakan pedang!” Puji Elenio sambil memperhatikan Azura dengan mata yang membulat sempurna.
“Heh? Ah tidak, tidak. Aku belum pernah belajar seni bela diri pedang. Barusan yang kau lihat itu hanya sedikit adegan pertarungan yang aku baca dari komik kesukaanku,” sahut Azura.
“Loh, komik? Apa itu?” Tanya Elenio sambil memiringkan kepalanya dengan penuh penasaran.
“Komik it-.”
Seketika seorang pria kekar menyanggah perkataan Azura. “Komik itu sejenis buku, tetapi ada gambarnya. Ya, semacam koran gitu, tetapi berisi cerita fiksi.”
“Wah! Lion! Lama tidak berjumpa,” sapa Elenio dengan penuh semangat.
“Halo Pangeran, bagaimana kabarmu? Kemana saja kau? Sepertinya kau membawa teman baru lagi?” tanya pria kekar bernama Lion tersebut.
“He he iya, perkenalkan dia Azura,” ujar Elenio.
“Azura Amalthea.” Ujar Azura sambil membungkukkan tubuh selama beberapa saat.
“Ah iya, saya Lion, pemilik toko peralatan senjata ini. Senang bertemu denganmu,” ucap pria kekar itu.
“Jadi, Lion ini adalah salah satu ahli persenjataan yang sangat hebat di Kota Terres,” timpal Elenio.
Azura hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum tipis.
“Omong-omong, barang apa yang ingin kau cari, Pangeran?” tanya Lion.
“Hm….” Elenio menopang dagunya dan terlihat berpikir keras.
“A-anu…, apakah kau punya peralatan yang dapat menunjang penyihir? Ah, maksudku seperti jubah atau semacamnya,” tanya Azura kepada Lion.
Lion terdiam sejenak. Matanya menatap Azura dengan dalam.
‘Apa yang sedang dia lakukan?’ tanya Azura di dalam hati.
“Jadi kau seorang penyihir ya?” Tanya Lion sambil mengusap dagunya dengan penuh pertimbangan.
“I-i-iya.” Kata Azura sambil menganggukkan kepalanya perlahan.
“Oh, ha ha ha.” Lion tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.
Azura dan Elenio pun saling menatap satu sama lain.
“Oh jadi, aura yang sejak tadi aku rasakan, itu adalah aura milikmu ya? Syukurlah, aku kira ada penyihir gila lagi yang memaksaku untuk memberikan peralatan secara gratis,” ujar Lion.
“Penyihir gila?” Azura mengangkat kedua alisnya dan menatap Lion dengan sangat bingung.
“Iya, biasa lah. Seperti sponsor gitu. Mereka bilang akan mempromosikan barangku jika aku memberikan gratis. Ya sudah, lupakan saja. Jadi kau perlu peralatan apa? Kau temannya Pangeran, bukan? Aku rasa kau tidak meminta gratis peralatanku ha ha ha.”
‘Cih, ternyata di dunia ini pun ada oknum yang memanfaatkan kekuatan untuk suatu hal yang gratis,’ kata Azura di dalam hati.
“Ini, coba dulu saja!” Seru Lion sambil memberikan Azura sebuah jubah berwarna hijau tua.
“Whoa jubah! Keren! Aku juga mau yang seperti itu Lion!” ujar Elenio.
“Mohon maaf, Pangeran. Jubah itu aku buat khusus untuk seorang penyihir. Aku menyisipkan batu zamrud sebagai kancing di sisi depannya.”
“Batu zamrud?” tanya Azura.
“Ya, batu zamrud. Batu itu berguna sebagai penyimpan mana. Kau bisa memindahkan mana milikmu ke dalam batu itu. Kemudian, disaat kau bertarung di tempat yang minim mana, kau dapat mengambil mana cadanganmu di dalam batu itu,” jelas Lion.
“Hebat sekali.” Gumam Azura sambil menatap batu zamrud dengan mata yang bergetar.
“Hei Lion, omong-omong berapa harga jubah itu?” tanya Elenio.
“Hm, biasanya aku menjual sekitar dua juta keping emas,” jawab Lion.
“Du-du-dua juta keping emas?” Elenio seketika tercengang setelah mendengar jawaban Lion.
‘Memangnya dua juta keping emas itu mahal?’ tanya Azura di dalam hati.
“Ha ha, mengapa kau terlihat kaget sekali, Pangeran? Bukankah kerajaan itu sangat kaya?”
“Kau ini! Kerajaan memang kaya, tetapi aku tidak bisa menggunakan kekayaan itu semua! Kau berharap aku dihukum penggal oleh Raja Damon V hah?!”
“Ha ha, sabar-sabar. Aku juga tidak akan membiarkan salah satu pelanggan setiaku mati dengan cara mengenaskan seperti itu.”
“Kalau begitu, turunkanlah harganya!” Seru Elenio sambil bertolak pinggang dan menatap tajam Lion.
“Ha ha, baiklah baik. Aku akan memberikanmu diskon lima puluh persen, bagaimana?”
Elenio dengan cepat menggelengkan kepalanya. “Tujuh puluh lima persen!”
“Ah, itu terlalu murahlah Pangeran.”
“Tidak, tujuh puluh lima persen! Atau aku tidak akan menjadi pelangganmu lagi!”
“Baiklah baik, tujuh puluh lima persen,” ucap Lion dengan nada yang lesu.
“Nah gitu dong.”
“Ada lagi barang yang kau cari?” tanya Lion.
“Hm, aku mencari pedang, tetapi yang lebih ringan dari yang sebelumnya,” jawab Elenio.
“Mungkin kau bisa menggunakan ini?” Saran Lion sambil memberikan sebuah pedang panjang berwarna perak kepada Elenio.
“Tidak, bukan yang seperti itu. Aku kurang cocok. Terlihat biasa saja, tidak ada keren-kerennya,” tolak Elenio.
“Hah, kalau begitu, mengapa kau tidak mencari excalibur saja?”
“E-excalibur?!” Elenio dan Azura kaget secara serempak.
Lion menganggukkan kepalanya dengan cepat.
“Di mana aku bisa dapatkan pedang itu?” Elenio bertanya dengan sangat antusias.
“Hah.” Lion menghela napasnya sejenak.
“Hei Lion, beritahu aku! Cepatlah!” Elenio mendesak jawaban dari Lion sambil menggoyang-goyangkan tubuh Lion.
“Konon pedang itu berada di Pegunungan Alpen dan dijaga oleh cerberus,” jawab Lion.
“Cerberus?” gumam Azura.
Elenio dengan cepat menoleh dan menatap Azura. “Apakah kau tahu cerberus itu seperti apa?”
“A-ah, yang aku tahu cerberus itu hewan mitologi berwujud anjing berkepala tiga,” jawab Azura.
“Whoa, keren sekali!” Elenio berteriak kagum.
“Hah, tapi itu baru katanya saja loh. Kenyataannya ada atau tidak, aku pun tidak tahu,” sahut Lion.
“Kalau memang seperti itu, mengapa kau tidak mengambil salah satu koleksi pedang disini saja dulu, Elen?” tanya Azura.
“Nah benar sekali, Nona yang cantik!” timpal Lion.
“Pedang excalibur seperti dongeng dari rakyat ke rakyat, bukan? Kau bisa mempercayainya, tetapi tidak bisa terlalu melibatkannya ke dalam kehidupan,” tutur Azura.
“Tentu saja, Nona yang cantik! Kau memang pintar!” sahut Lion.
“Berisik sekali kau Lion! Baiklah aku akan mengambil pedang yang ini saja!” Ucap Elenio sambil mengambil salah satu pedang yang terpampang di toko itu.
“Nah pilihan yang tepat, Pangeran,” kata Lion.
“Soal pembayaran seperti biasa ya,” ujar Elenio.
“Ya baik, saya dengan senang hati mengantarkan tagihan pembayarannya kepada kerajaan,” sahut Lion.
“Jangan kau lebih-lebihkan harganya!” ancam Elenio.
“Ya, ya, kau tenang saja, Pangeran.” Ucap Lion sambil tersenyum tipis.
Azura dan Elenio pun keluar dari toko peralatan senjata. Akan tetapi, tiba-tiba terlihat segerombolan pemuda kekar berpakaian putih keemasan mencegat jalan mereka.
“Hah, sudah aku duga akan seperti ini,” lirih Elenio.
‘Loh ada apa?’ tanya Azura di dalam hati.
Plak!
Seorang pria berambut pirang secara tiba-tiba menampar wajah Elenio.
“Heh?” Azura kaget bukan kepalang.
“Pangeran! Mohon maaf saya melakukan itu. Pangeran Zenath memerintah saya untuk menampar Anda, saat saya berhasil menemukan Anda,” kata pria berambut pirang itu dengan ritme yang sangat cepat.
Plak!
Elenio tidak segan-segan menampar balik pria berambut pirang itu.
“Bilang ke Zenath, jangan seenaknya menampar seseorang! Apalagi menitip tamparan seperti tadi! Kau juga, sebenarnya kau bekerja dengan siapa? Sebenarnya kau pengawal Zenath atau aku hah?!”
“Ma-maaf, Pangeran,” lirih pria berambut pirang itu.
“Hah.” Elenio menghela napasnya sejenak.
“Pangeran, selama ini Anda kemana saja? Satu kerajaan mengkhawatirkan Anda,” tanya pria berambut pirang.
“Bukan urusanmu, Aias,” jawab Elenio dengan santai.
“Apa?! Anda pikir bukan urusan saya?! Saya hampir saja dihukum mati oleh Raja karena tidak dapat menjaga Anda dengan baik!” Sahut pria pirang itu dengan sangat emosi.
“Eh, kau berani sekali memarahiku!” Ujar Elenio sambil menatap tajam pria pirang itu.
“Anda harus pulang sekarang!” seru Aias.
“Tidak, aku menolak!”
Tanpa basa-basi beberapa pengawal menarik paksa Elenio.
“Hei hei lepaslah! Azura tolonglah! Tolong aku!” Elenio merengek minta bantuan Azura. Akan tetapi, Azura hanya terdiam.
“Nona, bisakah Anda ikut kami?” tanya Aias.
“Heh?”
***
"Sudah lama ya kita tidak duduk berdua seperti ini," ucap Azura."Yah kau saja yang terlalu sibuk." Sahut Elenio, lengkap dengan senyum sinisnya."Aku ada tugas misi, mau bagaimana lagi.""Tapi kau hebat, Azura," puji Elenio.Azura lantas menoleh dan menatap Elenio. "Hebat kenapa? Kau bicara apa, Elen?""Iya, kau sangat hebat tau!" Tutur Elenio sambil menganggukkan kepalanya."Mana ada," gumam Azura."Kau hebat, Azura. Aku mohon kau jangan menyangkal itu.""Sekarang, coba jelaskan, aku hebat karena apa?""Banyak hal yang kau lalui. Kau juga hebat bisa mengalahkan banyak iblis," jawab Elenio."Hah." Azura menghela napasnya sejenak.Syuuu.Pepohonan bergoyang diterpa semilir angin."Aku berkali-kali hampir mati. Perutku saja sampai bolong," ucap Azura."Bo-b-b-bolong?!" Elenio terkaget setelah mendengar perkataan Azura.Azura menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Iya bolong, perlu aku tunjukkan?""Mana? Aku mau lihat!""Tidak boleh!" larang Azura."Cih, tadi kau menawarkan.""Aku perem
"Memangnya kenapa aku tidak boleh ikut dalam misi itu?" Tanya Azura sambil menatap Pangeran Elzenath dengan tajam."Hola, semua!" Sapa Laurel dari kejauhan yang berhasil memecah suasana."Cih," desis Pangeran Elzenath."Kalian sedang bicara apa? Sepertinya asik sekali?" Tanya Laurel sambil merangkul pundak Pangeran Elzenath."Kau ini, datang di saat yang tidak tepat!" Decak Pangeran Elzenath sambil mengepalkan kedua tangannya."Loh, emang iya?""Pake nanya lagi!" bentak Pangeran Elzenath."Hue he he, maaf ya. Aku tidak tahu." Sahut Laurel sambil tertawa kecil."Kenapa kalian bekerja sama untuk mencegahku menjalankan misi dari Guru La Gramarye?" tanya Azura dengan tegas."Ho ho ho, misi apa? Memang si Kakek tua itu memberikanmu misi apa sih? Aku saja ti-.""Diam!" potong Azura.Laurel langsung terdiam."Aku tidak ingin basa-basi. Aku butuh kepastian! Mengapa kalian bekerja sama mencegahku menjalankan misi itu? Apa kalian memandangku dengan lemah? Apa menurut kalian, aku tidak mampu men
Azura berjalan menyusuri lorong menara sihir yang cukup gelap.'Aku seperti berjalan di film horor,' decak Azura di dalam hati.Syuu. Cletak.Hembusan angin yang kencang, berhasil membuka paksa jendela usang di sisi lorong."Tanpa permisi." Gumam Azura sambil melihat jauh ke luar jendela.Prak. Prak.Langkah kaki perlahan mendekati Azura."Elizabeth, apa kabar?" tanya Azura."Saya sungguh terpukau. Kau menyadari kehadiranku dengan cepat."Azura tersenyum tipis, lalu ia pun berbalik dan menatap Elizabeth."Bukankah kita teman?" seloroh Azura.Elizabeth tersenyum kecil, lalu ia memejamkan matanya beberapa saat."Kau belum menjawab pertanyaanku loh." Ucap Azura sambil berdekap tangan."Kabarku baik. Bagaimana denganmu?" Tanya Elizabeth sambil menatap nanar mata Azura."Aku baik. Meskipun beberapa kali berada di ambang kematian." Jawab Azura sambil menatap pemandangan di luar jendela."Syukurlah jika begitu," ujar Elizabeth.Puk. Puk."Jika kau mati, mungkin Guru akan depresi." Sambung El
"Hah, aku lemas sekali." Lirih Azura seraya berjalan dengan lunglai."Maaf, kita tidak bisa masak daging," ucap Laurel.Azura menunjuk Laurel sambil berkata. "Ini semua gara-gara kau!""Hah?" Laurel pun menyanggah dengan mulut yang lebar."Iya! Gara-gara kamu! Kamu sih masak dagingnya lama, jadi keburu ada iblis," ujar Azura."Heleh, bukankah ini semua gara-gara kau?!" Laurel seketika menghentikan langkahnya."Kok aku?!" Azura yang tidak mau kalah, langsung berbalik tanya dengan mata yang membulat sempurna."Iya kamu! Coba saja jika kamu tidak marah-marah dan ngambek selayaknya bocah, kita mungkin sudah membakar daging dan menikmatinya sebelum para iblis itu datang." Decak Laurel sambil bertolak pinggang seperti seorang ayah yang memarahi putrinya."Apa?! Kau ini sebenarnya laki-laki atau perempuan sih?! Seenaknya sekali menilai seseorang!""Aku? Menilai? Aku menilai kamu? Hei, aku bukan menilai, tapi aku berbi-."Belum sempat Laurel melanjutkan perkataannya, tiba-tiba sesuatu menimpa
“Hoam, aku tidak mengerti mengapa kau malah mengajakku jalan saat dini hari.” Ujar Azura seraya menguap.“Agar kita cepat sampai ke Ibu Kota Tirakia.” Jelas Laurel yang memimpin jalan.“Mengapa harus cepat-cepat? Santai saja tidak sih?” gerutu Azura.“Kalau sudah sampai mah enak,” sahut Laurel.“Tapi kalau jalan dini hari seperti tadi bisa-bisa kita bertemu iblis.”“Siang hari juga kita bisa bertemu iblis.”“Tapi besar kemungkinan kita bertemu iblis kalau gelap.”Laurel menghentikan langkahnya.Bruk!Azura yang selama ini berjalan mengantuk, seketika menabrak punggung Laurel.“Aduh! Punggungmu keras sekali,” decak Azura.“Lagi pula mengapa kau malah menabrakku? Jika mau memelukku, bilang saja,” sahut Laurel.“Cih, mana ada. Hoam.”Laurel menoleh dan menatap Azura.“Kau sungguh mengantuk?” tanya Laurel dengan khawatir.Azura menganggukkan kepalanya dengan cepat.“Ya sudah, kita beristirahat dulu saja di sini!” Seru Laurel sambil mengarahkan Azura untuk duduk di bawah pohon mangga yang
“Baik, kalau begitu saya permisi.” Ucap seorang perempuan berambut pendek seraya pergi.“Siapa itu? Muridmu?” tanya Azura.“Oh, itu?” Tanya balik Laurel sambil menoleh dan menatap Azura.“Iya, memang kau berpikir apa, hah?!” Sahut Azura sambil berdekap tangan.“Dia bukan muridku.” Jelas Laurel sambil tersenyum tipis.“Lalu?”“Nih, dia memberiku sebuah surat ini.” Kata Laurel sambil menyodorkan Azura sebuah amplop putih.“Surat cinta?” ledek Azura.“Kau berpikir apa sih, ha ha ha.”“Yah, lalu apa? Mengapa juga kau malah memberikan surat itu kepadaku?” heran Azura.Laurel langsung meraih tangan Azura dan meletakkan amplop putih itu di atas telapak tangan Azura.“Heh?” Azura semakin bingung dengan sikap Laurel.“Surat itu untukmu.” Kata Laurel sambil berpaling dari pandangan Azura.“Untukku? Untuk apa? Apa sih maksudmu? Tinggal bicara saja, mengapa harus ada surat begini?”“Itu bukan surat dariku,” lirih Laurel.“Heh? Lalu?” Azura menaikkan kedua alisnya.“Itu dari pengawal kerajaan,” uc