“Jadi, mau kau apakan pria itu?” tanya Camaro.
Azura menatap Camaro dengan tajam. “Apa maksudmu?”
“Ya, apa rencanamu mengenai pria itu? Jika dia sadar, kau mau bagaimana?”
“Hah.” Azura menghela napasnya seraya menyandarkan tubuh di batang pohon besar.
“Mungkin aku akan mengantarnya untuk keluar dari sini,” jawab Azura.
“Memangnya kau tahu jalan keluarnya?” tanya Camari.
“Tentu saja tidak. Tapi aku bisa bertanya dengan kalian, bukan?”
“Kami tidak bisa menampakkan diri ke depan pria itu,” jelas Camari.
“Kenapa memangnya?” Azura mengangkat alisnya dengan penuh tanda tanya.
“A-a-ah i-it-.” Camari berusaha menjawab pertanyaan Azura, tetapi Camaro dengan cepat menyanggahnya.
“Karena aku terlalu tampan dan jenius untuk dilihat oleh pasang mata manusia asing ho ho.”
Azura seketika menampilkan muka yang datar.
“Aku sedang serius,” gumam Azura.
“Camaro, hentikan!” seru Camari.
“Ho ho, baiklah baik. Intinya kami tidak bisa menampakkan diri kepada manusia lain. Sudah, kau hanya harus tahu itu tanpa alasan apa pun lagi,” ucap Camaro.
“Lalu bagaimana aku dapat mengantarkan pria itu untuk keluar dari sini?”
“Kalau soal itu, mudah saja. Dari sini kau ambil jalan ke arah selatan, lalu saat ada pohon palem bercabang dua, kau bisa ambil arah barat dan lurus terus sampai bertemu pohon ceri merah. Terakhir, dari pohon ceri merah, kau bisa ambil arah timur,” jelas Camari.
“Hm, terdengar mudah, tetapi aku tidak yakin,” ujar Azura.
“Oh iya Azura,” ucap Camaro.
Azura menoleh dan menatap Camaro. “Ada apa?”
“Nanti kau mengantarkan pria itu keluar dari hutan ini, kan?”
“Ya.”
“Ya sudah, sekalian saja kau juga keluar dari sini.”
“Hah?” Azura terkaget bukan main saat mendengar perkataan Camaro.
“Aku rasa, kau harus menemukan guru lain selain kami berdua. Hal itu dapat meningkatkan kemampuan sihirmu.”
“Ta-ta-tapi bagaimana caranya? Aku sendirian mencari guru sihir gitu? Aku saja bukan makhluk asli sini,” sahut Azura.
“Soal itu, bukannya kau bisa minta bantuan pria asing yang terkapar itu?” tanya Camari.
“Iya, anggap saja simbiosis mutualisme,” timpal Camaro.
Azura terdiam sejenak. Pandangannya menatap kerlap-kerlip bintang yang menghiasi langit malam.
‘Keluar dari sini? Berpisah dengan kedua burung ini dan mencari guru sihir?’ tanya Azura di dalam hati.
Platak!
Azura seketika kaget saat sebuah batok kelapa tertendang oleh pria asing di depannya.
“Kau sudah sadar?” Tanya Azura sambil menghampiri pria asing itu.
Pria di depannya hanya terdiam membisu.
“Hei, kau bisa melihat dan mendengarku, kan?” tanya Azura.
“Kamu….”
“Azura. Namaku Azura.” Kata Azura sambil mengulurkan tangan kepada pria itu.
“Nama yang buruk,” gumam pria itu.
“Heh?” Kaget Azura sambil mengepalkan tangannya.
Pria itu memalingkan wajahnya dari pandangan Azura.
‘Menyebalkan sekali pria ini,’ umpat Azura di dalam hati.
“Mengapa kau menyelamatkanku?” tanya pria itu.
“Hah, kau masih saja bertanya soal itu. Jawabannya mudah, ya karena aku orang baik yang tidak ingin melihat manusia lain meninggal di depan mataku,” jawab Azura.
“Kalau begitu, mengapa kau tidak tinggalkan aku sendirian saja? Dengan begitu kau tidak melihatku mati, bukan?”
“Kau ini! Mengapa kau tidak bersyukur karena semesta masih membiarkanmu hidup?!” teriak Azura.
Pria itu tiba-tiba tersenyum sinis. “Untuk apa beban sepertiku masih hidup?”
Azura terdiam membisu.
‘Aku tidak tahu kejadian apa saja yang telah menimpanya. Akan tetapi, melihatnya, aku seperti melihat diriku yang dulu. Hidup dengan terpaksa dan berani mengambil kesempatan untuk mati,’ kata Azura di dalam hati.
Puk! Puk!
Azura menepuk pundak kanan pria di depannya.
“Aku tahu, kau kecewa dengan kejadian lalu. Akan tetapi, bukankah kau masih memiliki kesempatan lagi untuk berjuang dan mengubah kehidupanmu?” Tanya Azura sambil tersenyum tipis.
“Kau…,” lirih pria itu.
“Hah. Hidup memang begitu, bukan? Ada hal mengerikan, tetapi kita tidak boleh melewatkannya,” sambung Azura.
Pria itu menoleh dan menatap Azura dengan kedua bola matanya yang indah.
“Mengapa? Kau masih ingin mati juga?” tanya Azura kembali.
“E-elenio Damon. Ya, itu namaku.” Ucap pria asing itu sambil mengulurkan tangan kepada Azura.
Azura tertawa sinis. “Ha ha ha.”
“Mengapa kau tertawa?”
“Kau ini unik juga ya. Tadi aku ajak berkenalan tidak mau.”
“Ya sudah kalau kau memang tidak mau berteman denganku.” Ucap pria itu sambil menarik tangannya kembali.
“Ha ha, aku tidak bilang tidak ingin berteman denganmu. Omong-omong, nama panggilanmu siapa?”
“Terserah kau saja mau memanggilku apa.”
“Hm, Elen? Atau Nio?”
“Elen saja,” lirih pria itu.
“Hm, baiklah. Elen!”
Elenio hanya menganggukkan kepalanya perlahan.
“Oh iya, kau berasal dari mana?” tanya Azura dengan antusias.
“Hah? Kau tidak mengenalku? Ah tunggu, memang tadi kau tidak tahu namaku ya…. Sebenarnya kau yang berasal dari mana?” tanya balik Elenio.
“Heh?” Azura menyengir bingung.
“Aku adalah pangeran ketiga dari raja penguasa negeri ini. Aneh loh kau tidak tahu aku,” ujar Elenio.
‘Jadi pria yang aku tolong ini adalah pangeran ketiga? Wah sepertinya di negeri ini aku lebih beruntung,’ lega Azura di dalam hati.
“He he, aku berasal dari negeri lain,” jawab Azura.
“Oh begitu. Ah iya, kau sedang apa di hutan ini? Tapi tunggu, apa jangan-jangan kau juga sedang mencari batu rubi yang sakti itu ya?”
“Batu rubi?”
“Iya, batu rubi. Aku dengar, di hutan ini terdapat batu rubi yang dapat meningkatkan sihir. Maka dari itu, aku dan teman-temanku masuk ke hutan ini. Eh tapi kami malah diserang oleh serigala.”
‘Hm, batu rubi?’ tanya Azura di dalam hati.
“Aku ingin sekali mendapatkan batu itu untuk diletakkan di pedangku. Jadi, aku dapat memadupadankan seni bela diri pedang dan sihir. Aku akan menjadi pahlawan terkuat! Ho ho,” ujar Elenio.
Azura hanya tersenyum tipis. Sesekali dia mengadahkan kepalanya dan menatap Camaro yang bersembunyi di ranting pohon.
‘Mengapa Camaro tidak memberitahuku kalau di hutan ini ada peralatan yang dapat meningkatkan sihir?’ bingung Azura di dalam hati.
“Ah iya, Azura!” panggil Elenio dengan penuh semangat.
“Ya?”
“Kau mau jadi anggota kelompokku? Nanti kita akan meningkatkan kekuatan dan menjadi pahlawan yang paling hebat di negeri ini,” ajak Elenio.
“Hah?”
“Eh tidak deh, yang paling kuat harus aku. Jadi kau adalah yang terkuat kedua, bagaimana?”
Azura menggaruk rambutnya. “Y-y-ya, terserah kau saja.”
“Yippy! Kita akan berjuang bareng dan melawan pasukan iblis!”
Azura hanya menganggukkan kepalanya perlahan.
“Azura! Apakah kemampuanmu adalah sihir? Aku melihat sihirmu keren sekali saat melawan para serigala kemarin.” Tanya Elenio sambil menggenggam kedua tangan Azura.
“A-a-ah, aku masih pemula,” jawab Azura terbata.
“Bagus! Kau harus banyak belajar dariku, ho ho.” Ujar Elenio sambil bertolak pinggang.
‘Jelas-jelas kemampuanmu kemarin masih lebih pemula dariku,’ keluh Azura di dalam hati.
Syuu!
Tiba-tiba cahaya putih kecil menyerang Elenio hingga membuatnya pingsan seketika.
Bruk!
“Heh?” Bingung Azura sambil mengadahkan kepalanya menatap ranting pohon.
“Dia lemah dan banyak omong sekali.” Cibir Camaro sambil terbang menghampiri Azura.
“Camaro, kau yang membuatnya tidak sadar?” tanya Azura.
“Iya, aku kesal dengan tingkahnya,” kata Camaro.
“Dia juga bodoh. Mana ada di sini batu rubi sakti,” timpal Camari.
***
‘Setelah pohon ceri merah, ambil arah timur…,’ pikir Azura di dalam hati. “Hei Azura! Lihat!” Seru Elenio sambil menunjuk gapura kuno di depan. “Gapura…,” lirih Azura. “Yeay! Akhirnya kita bisa keluar dari hutan ini." Kata Elenio sambil meloncat penuh semangat.Azura terdiam dan hanya berkata di dalam hati. 'Aku kira keluar dari hutan ini membutuhkan perjalanan yang lama.'"Hup, Hah. Aku kira, aku tidak bisa merasakan udara di luar hutan lagi." Ujar Elenio sambil sesekali menghirup udara segar di sekelilingnya.Azura menoleh dan menatap Elenio dengan datar. “Memangnya kau pikir benaran akan mati?” “Tidak, bukan begitu." Sahut Elenio sambil menggelengkan kepala dengan cepat. "Lalu?" Azura memiringkan kepalanya penuh penasaran. "Saat aku dengan kelompokku waktu itu, kami sulit sekali menemukan jalan keluar. Konon, masyarakat mengenal Hutan Florestia itu adalah hutan kramat,” jelas Elenio.“Ha ha.” Azura lantas tertawa setelah mendengar perkataan Elenio yang menohok. “Kau menertawa
Syut! Syut! “Whoa, ternyata kau juga hebat dalam menggunakan pedang!” Puji Elenio sambil memperhatikan Azura dengan mata yang membulat sempurna. “Heh? Ah tidak, tidak. Aku belum pernah belajar seni bela diri pedang. Barusan yang kau lihat itu hanya sedikit adegan pertarungan yang aku baca dari komik kesukaanku,” sahut Azura. “Loh, komik? Apa itu?” Tanya Elenio sambil memiringkan kepalanya dengan penuh penasaran. “Komik it-.” Seketika seorang pria kekar menyanggah perkataan Azura. “Komik itu sejenis buku, tetapi ada gambarnya. Ya, semacam koran gitu, tetapi berisi cerita fiksi.” “Wah! Lion! Lama tidak berjumpa,” sapa Elenio dengan penuh semangat. “Halo Pangeran, bagaimana kabarmu? Kemana saja kau? Sepertinya kau membawa teman baru lagi?” tanya pria kekar bernama Lion tersebut. “He he iya, perkenalkan dia Azura,” ujar Elenio. “Azura Amalthea.” Ujar Azura sambil membungkukkan tubuh selama beberapa saat. “Ah iya, saya Lion, pemilik toko peralatan senjata ini. Senang bertemu denga
Azura terduduk di sebuah sofa abu-abu sambil memperhatikan sekelilingnya.‘Mengapa aku bisa ada di sini? Tugasku adalah menemukan guru sihir, bukan terlibat konflik kerajaan,’ kata Azura di dalam hati.“Selamat sore, Nona.” Sapa seorang pria berpakaian hitam yang lengkap dengan berbagai atribut khas kerajaan.“S-so-sore.” Ucap Azura seraya berdiri dan membungkukkan tubuhnya selama beberapa saat.“He he, senang bertemu denganmu. Silahkan duduk!” seru pria itu.Azura hanya menganggukkan kepalanya dan kembali duduk di kursi abu-abu.“Hah.” Sejenak pria itu menghela napasnya, lalu bersilang kaki dan terduduk santai.‘Siapa dia sebenarnya? Kalau dilihat-lihat dia mirip sekali dengan Elen,’ pikir Azura di dalam hati.“Ah ya. Maaf aku sampai lupa. Perkenalkan, aku Elzenath Damon.” Kata pria itu sambil tersenyum tipis.“Damon…,” lirih Azura.“Ha ha, iya itu nama ayahku. Apakah aku terlihat tidak mirip dengannya?” Pria bernama Elzenath itu bertanya sambil tertawa kecil.Azura dengan cepat meng
Seketika suasana hening. Sinar jingga menyusup masuk dan membiaskan tubuh Azura dan Elzenath.“Yah, kalau begitu, aku akan memanggil Elenio,” ujar Elzenath.Azura hanya menganggukkan kepalanya perlahan.“Aias, tolong bawa Elenio masuk!” teriak Elzenath.Brak.Elenio dengan cepat masuk ke dalam ruangan.“Hei Aias, berhenti memegangku!” seru Elenio.“Maaf Pangeran Zenath, saya telah membawa Pangeran Elenio,” ucap Aias.Elzenath menganggukkan kepalanya, lalu mengangkat kedua alisnya dan menunjuk pintu ruangan tanpa berkata apa pun.“Baik Pangeran.” Aias seolah mengerti isyarat yang diberikan oleh Elzenath. Pria berambut pirang itu pun keluar dari ruangan.“Duduk!” seru Elzenath.“Seenaknya sekali kau memerintahku.” Umpat Elenio sambil hendak duduk di sebelah Elzenath.Duk!Elzenath tiba-tiba menendang bokong Elenio.“Heh?” Azura tercengang melihat kelakuan kakak beradik di depannya.“Zenath bodoh! Apa yang kau lakukan? Mengapa kau menendangk-.”Elzenath dengan santainya langsung memotong
“Tinggi sekali.” Gumam Azura sambil mengadahkan kepalanya menatap sebuah menara runcing yang menjulang tinggi dari kejauhan. “Maaf membuatmu menunggu,” ucap Elzenath yang berada di sebelah kanan Azura. “Tidak apa-apa,” lirih Azura. “Mari kita ke sana!” seru Elzenath. Azura hanya menganggukkan kepalanya sambil mengikuti langkah kaki pangeran kedua di depannya. Terlihat lalu-lalang manusia dengan jubah hitam yang dilengkapi beberapa garis warna yang berbeda-beda setiap orang. “Selamat pagi, Pangeran Elzenath.” Sapa seorang wanita muda yang telah berdiri di depan pintu masuk. “Selamat pagi, Elizabeth.” Kata Elzenath sambil tersenyum tipis. “Anu…, Pangeran….” “Ah maaf aku sampai lupa ha ha. Perkenalkan, ini Azura,” ujar Elzenath. “Azura Amalthea.” Ucap Azura sambil mengulurkan tangan. “Saya Elizabeth, senang bertemu denganmu.” Seloroh Elizabeth sambil membalas uluran tangan Azura. “Sesuai janji temu yang aku buat kemarin, apakah Guru bersedia? Soalnya sampai saat ini, pengawal u
“Guru, sepertinya kau menakuti Azura he he,” kata Elzenath.La Gramarye mengalihkan tatapannya dari Azura, lalu ia bersandar di kursi kayu.“Lalu, apakah Pangeran mengajak Nona itu untuk menemui saya, hanya untuk bercerita mengenai pertemuannya dengan pangeran ketiga?” tanya La Gramarye.Prok!Elzenath bertepuk tangan dan tersenyum lebar. “Kau memang sangat pandai, Guru.”“Berhentilah basa-basi!” seru La Gramarye.“He he, maaf. Sabarlah, bukankah di usiamu yang sekarang, kau harus mengurangi amarahmu?” goda Elzenath kepada La Gramarye.La Gramarye hanya terdiam sambil menaikkan kedua alisnya.“Aku mengajak Azura kesini, selain memperkenalkannya kepadamu. Aku ingin merekomendasikan dia untuk menjadi muridmu.” Ucap Elzenath sambil tersenyum manis.“Saya menolak!” seru La Gramarye dengan tegas.“Wah Guru sangat bla
“Hah.” Azura menghela napas beratnya seraya membangkitkan tubuh dari dipan minimalis yang berada di sudut ruangan. Azura menoleh ke sisi kirinya dan menatap sinar jingga yang mendominasi langit. “Sudah sore saja, cepat sekali,” gumam Azura. Rasa bosan meliputi hati Azura saat ia berada di menara sihir. Sesuai kesepakatan, Azura bersedia untuk menaklukan labirin sihir yang akan dilakukan esok hari. “Kalau saja di dunia ini ada ponsel. Mungkin aku bisa bermain game online,” lirih Azura. Azura beranjak berdiri dan membuka jendela. Semilir angin tanpa permisi langsung mengibaskan rambut tanggungnya. “Hm, lumayan sejuk. Akan tetapi, aku bingung mau apa di sini. Mungkin aku berjalan-jalan saja deh.” Kata Azura sambil berjalan keluar dari kamar. Lorong panjang menyambut Azura dengan penuh kemistisan. “Seram juga,” gumam Azura. Ketika di tengah lorong, tiba-tiba Azura berpapasan dengan Elizabeth. “Hai Elizabeth!” sapa Azura dengan ceria. Elizabeth menghentikan langkahnya, lalu menat
Azura tercengang menatap serangkaian tumbuhan yang menjulang tinggi."Bagaimana, apakah kau ketakutan?" Cibir La Gramarye sambil menghisap lintingan tembakau yang ia pegang.Azura pun bertolak pinggang dan tersenyum tipis. "Tidak Guru, aku tidak mungkin takut."'Labirin seperti ini mah seperti wahana di tempat wisata,' decak Azura di dalam hati."Hoo saya apresiasi keberanianmu, Nona. Tapi, jangan panggil saya Guru, karena Anda belum resmi menjadi murid saya," sahut La Gramarye."Hm, baiklah. Yosh, jadi kapan aku mulai?" Tanya Azura sambil meregangkan kedua tangannya."Jangan terburu-buru, Nona Muda," ujar La Gramarye.Azura hanya terdiam menatap pria baya berkumis putih.'Lama banget sih,' umpat Azura di dalam hati. La Gramarye menoleh Elizabeth sambil memainkan alisnya sebagai isyarat. Elizabeth pun hanya menganggukkan kepalanya."Izinkan saya menjelaskan mekanismenya, Nona Azura," ucap Elizabeth."Ya.""Jadi, tujuan Anda melewati labirin sihir hanya satu Nona," tutur Elizabeth."S