Share

Bab 7. Keluarga Kerajaan

“Jadi, mau kau apakan pria itu?” tanya Camaro.

Azura menatap Camaro dengan tajam. “Apa maksudmu?”

“Ya, apa rencanamu mengenai pria itu? Jika dia sadar, kau mau bagaimana?”

“Hah.” Azura menghela napasnya seraya menyandarkan tubuh di batang pohon besar.

“Mungkin aku akan mengantarnya untuk keluar dari sini,” jawab Azura.

“Memangnya kau tahu jalan keluarnya?” tanya Camari.

“Tentu saja tidak. Tapi aku bisa bertanya dengan kalian, bukan?”

“Kami tidak bisa menampakkan diri ke depan pria itu,” jelas Camari.

“Kenapa memangnya?” Azura mengangkat alisnya dengan penuh tanda tanya.

“A-a-ah i-it-.” Camari berusaha menjawab pertanyaan Azura, tetapi Camaro dengan cepat menyanggahnya.

“Karena aku terlalu tampan dan jenius untuk dilihat oleh pasang mata manusia asing ho ho.”

Azura seketika menampilkan muka yang datar.

“Aku sedang serius,” gumam Azura.

“Camaro, hentikan!” seru Camari.

“Ho ho, baiklah baik. Intinya kami tidak bisa menampakkan diri kepada manusia lain. Sudah, kau hanya harus tahu itu tanpa alasan apa pun lagi,” ucap Camaro.

“Lalu bagaimana aku dapat mengantarkan pria itu untuk keluar dari sini?”

“Kalau soal itu, mudah saja. Dari sini kau ambil jalan ke arah selatan, lalu saat ada pohon palem bercabang dua, kau bisa ambil arah barat dan lurus terus sampai bertemu pohon ceri merah. Terakhir, dari pohon ceri merah, kau bisa ambil arah timur,” jelas Camari.

“Hm, terdengar mudah, tetapi aku tidak yakin,” ujar Azura.

“Oh iya Azura,” ucap Camaro.

Azura menoleh dan menatap Camaro. “Ada apa?”

“Nanti kau mengantarkan pria itu keluar dari hutan ini, kan?”

“Ya.”

“Ya sudah, sekalian saja kau juga keluar dari sini.”

“Hah?” Azura terkaget bukan main saat mendengar perkataan Camaro.

“Aku rasa, kau harus menemukan guru lain selain kami berdua. Hal itu dapat meningkatkan kemampuan sihirmu.”

“Ta-ta-tapi bagaimana caranya? Aku sendirian mencari guru sihir gitu? Aku saja bukan makhluk asli sini,” sahut Azura.

“Soal itu, bukannya kau bisa minta bantuan pria asing yang terkapar itu?” tanya Camari.

“Iya, anggap saja simbiosis mutualisme,” timpal Camaro.

Azura terdiam sejenak. Pandangannya menatap kerlap-kerlip bintang yang menghiasi langit malam.

‘Keluar dari sini? Berpisah dengan kedua burung ini dan mencari guru sihir?’ tanya Azura di dalam hati.

Platak!

Azura seketika kaget saat sebuah batok kelapa tertendang oleh pria asing di depannya.

“Kau sudah sadar?” Tanya Azura sambil menghampiri pria asing itu.

Pria di depannya hanya terdiam membisu.

“Hei, kau bisa melihat dan mendengarku, kan?” tanya Azura.

“Kamu….”

“Azura. Namaku Azura.” Kata Azura sambil mengulurkan tangan kepada pria itu.

“Nama yang buruk,” gumam pria itu.

“Heh?” Kaget Azura sambil mengepalkan tangannya.

Pria itu memalingkan wajahnya dari pandangan Azura.

‘Menyebalkan sekali pria ini,’ umpat Azura di dalam hati.

“Mengapa kau menyelamatkanku?” tanya pria itu.

“Hah, kau masih saja bertanya soal itu. Jawabannya mudah, ya karena aku orang baik yang tidak ingin melihat manusia lain meninggal di depan mataku,” jawab Azura.

“Kalau begitu, mengapa kau tidak tinggalkan aku sendirian saja? Dengan begitu kau tidak melihatku mati, bukan?”

“Kau ini! Mengapa kau tidak bersyukur karena semesta masih membiarkanmu hidup?!” teriak Azura.

Pria itu tiba-tiba tersenyum sinis. “Untuk apa beban sepertiku masih hidup?”

Azura terdiam membisu.

‘Aku tidak tahu kejadian apa saja yang telah menimpanya. Akan tetapi, melihatnya, aku seperti melihat diriku yang dulu. Hidup dengan terpaksa dan berani mengambil kesempatan untuk mati,’ kata Azura di dalam hati.

Puk! Puk!

Azura menepuk pundak kanan pria di depannya.

“Aku tahu, kau kecewa dengan kejadian lalu. Akan tetapi, bukankah kau masih memiliki kesempatan lagi untuk berjuang dan mengubah kehidupanmu?” Tanya Azura sambil tersenyum tipis.

“Kau…,” lirih pria itu.

“Hah. Hidup memang begitu, bukan? Ada hal mengerikan, tetapi kita tidak boleh melewatkannya,” sambung Azura.

Pria itu menoleh dan menatap Azura dengan kedua bola matanya yang indah.

“Mengapa? Kau masih ingin mati juga?” tanya Azura kembali.

“E-elenio Damon. Ya, itu namaku.” Ucap pria asing itu sambil mengulurkan tangan kepada Azura.

Azura tertawa sinis. “Ha ha ha.”

“Mengapa kau tertawa?”

“Kau ini unik juga ya. Tadi aku ajak berkenalan tidak mau.”

“Ya sudah kalau kau memang tidak mau berteman denganku.” Ucap pria itu sambil menarik tangannya kembali.

“Ha ha, aku tidak bilang tidak ingin berteman denganmu. Omong-omong, nama panggilanmu siapa?”

“Terserah kau saja mau memanggilku apa.”

“Hm, Elen? Atau Nio?”

“Elen saja,” lirih pria itu.

“Hm, baiklah. Elen!”

Elenio hanya menganggukkan kepalanya perlahan.

“Oh iya, kau berasal dari mana?” tanya Azura dengan antusias.

“Hah? Kau tidak mengenalku? Ah tunggu, memang tadi kau tidak tahu namaku ya…. Sebenarnya kau yang berasal dari mana?” tanya balik Elenio.

“Heh?” Azura menyengir bingung.

“Aku adalah pangeran ketiga dari raja penguasa negeri ini. Aneh loh kau tidak tahu aku,” ujar Elenio.

‘Jadi pria yang aku tolong ini adalah pangeran ketiga? Wah sepertinya di negeri ini aku lebih beruntung,’ lega Azura di dalam hati.

“He he, aku berasal dari negeri lain,” jawab Azura.

“Oh begitu. Ah iya, kau sedang apa di hutan ini? Tapi tunggu, apa jangan-jangan kau juga sedang mencari batu rubi yang sakti itu ya?”

“Batu rubi?”

“Iya, batu rubi. Aku dengar, di hutan ini terdapat batu rubi yang dapat meningkatkan sihir. Maka dari itu, aku dan teman-temanku masuk ke hutan ini. Eh tapi kami malah diserang oleh serigala.”

‘Hm, batu rubi?’ tanya Azura di dalam hati.

“Aku ingin sekali mendapatkan batu itu untuk diletakkan di pedangku. Jadi, aku dapat memadupadankan seni bela diri pedang dan sihir. Aku akan menjadi pahlawan terkuat! Ho ho,” ujar Elenio.

Azura hanya tersenyum tipis. Sesekali dia mengadahkan kepalanya dan menatap Camaro yang bersembunyi di ranting pohon.

‘Mengapa Camaro tidak memberitahuku kalau di hutan ini ada peralatan yang dapat meningkatkan sihir?’ bingung Azura di dalam hati.

“Ah iya, Azura!” panggil Elenio dengan penuh semangat.

“Ya?”

“Kau mau jadi anggota kelompokku? Nanti kita akan meningkatkan kekuatan dan menjadi pahlawan yang paling hebat di negeri ini,” ajak Elenio.

“Hah?”

“Eh tidak deh, yang paling kuat harus aku. Jadi kau adalah yang terkuat kedua, bagaimana?”

Azura menggaruk rambutnya. “Y-y-ya, terserah kau saja.”

“Yippy! Kita akan berjuang bareng dan melawan pasukan iblis!”

Azura hanya menganggukkan kepalanya perlahan.

“Azura! Apakah kemampuanmu adalah sihir? Aku melihat sihirmu keren sekali saat melawan para serigala kemarin.” Tanya Elenio sambil menggenggam kedua tangan Azura.

“A-a-ah, aku masih pemula,” jawab Azura terbata.

“Bagus! Kau harus banyak belajar dariku, ho ho.” Ujar Elenio sambil bertolak pinggang.

‘Jelas-jelas kemampuanmu kemarin masih lebih pemula dariku,’ keluh Azura di dalam hati.

Syuu!

Tiba-tiba cahaya putih kecil menyerang Elenio hingga membuatnya pingsan seketika.

Bruk!

“Heh?” Bingung Azura sambil mengadahkan kepalanya menatap ranting pohon.

“Dia lemah dan banyak omong sekali.” Cibir Camaro sambil terbang menghampiri Azura.

“Camaro, kau yang membuatnya tidak sadar?” tanya Azura.

“Iya, aku kesal dengan tingkahnya,” kata Camaro.

“Dia juga bodoh. Mana ada di sini batu rubi sakti,” timpal Camari.

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Aniha
camaro kelewat kesel hehe
goodnovel comment avatar
Wind Weed
sialan camaro baru juga sadar udah di knock
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status