Dimas tak mampu mencegah senyumnya terus keluar. Pasalnya, sejak dia pulang, lontaran berupa pujian selalu dia dengar dari para tetangga. Dimas boleh berbangga hati, sebab Dimas si anak desa, anak petani miskin mampu meraih kesuksesan di usia muda. Dimas bisa membungkam banyak mulut nyinyir yang dulu menghinanya.“Hahaha, lihat kalian semua. Sekarang kalian memujiku, memakan makanan dari hasil keringatku. Padahal dulu tak jarang dari kalian menghinaku. Mengatakan si anak miskin, tidak akan mungkin jadi atlet. Hahaha. Kubungkam mulut kalian semu. Lihat ini? Di desa ini siapa anak muda yang lebih sukses dari aku? Gak ada!” batin Dimas. Sombong.Meski merasa puas bisa sombong pada orang-orang yang dulu sering mencibir dan menghinanya, Dimas tetap memasang wajah ramah dan senyum semringah.Yusman juga tak kalah bahagia. Dia benar-benar merasa bangga atas prestasi sang anak. Sayangnya, dia tak berpikir sombong seperti sang putra. Yusman tetap bersikap bersahaja."Kamu pasti bangga ya, Yus,
Dimas melihat pemandangan di desanya dengan hati tenang. Desa Bantarsari tempat dia dilahirkan dan dibesarkan memang selalu menawarkan rasa damai di hati Dimas. Di tanah inilah, dia sering bermain dengan teman-temannya. Menjelajah seluruh alam asri, memberinya banyak tempat untuk belajar dan memperkuat diri dengan segala medannya."Kamu pasti seneng balik kampung."Dimas menoleh. Dia tersenyum pada salah satu sahabat masa kecilnya, Yudi."Iya. Gak ada polusi, gak ada kebisingan kayak di kota.""Tapi duitnya gak sebanyak di kota," gurau Yudi.Keduanya tertawa. Lalu Dimas dan Yudi melanjutkan kegiatan lari pagi bersama. Selama mengelilingi kampung, Dimas harus bertemu dengan banyak orang. Dengan sopan dan ramah, dia meladeni sapaan semua orang. Ada yang hanya ingin salaman, foto hingga mengobrol, semua Dimas ladeni tanpa mengeluh."Artis sih kamu ya, Dim. Banyak fans-nya."Dimas hanya tertawa mendengar godaan sang kawan. Dia terus meladeni semua orang hingga tak sadar, tempat yang dia t
"Jadi Althaf udah main?"Anin mengangguk. "Sama orang tuanya?"Lagi. Anin mengangguk."Buat ngelamar kamu?"Anin menatap sahabatnya dengan tatapan tajam. Salsa tertawa lalu kembali menyeruput es kelapa muda miliknya. Anin dan Salsa sedang menikmati es kelapa muda di tempat favorit keduanya. Anin dan Salsa bukan hanya merupakan rekan kerja tapi teman satu SMA, makanya dekat. Mereka sering curhat masalah masing-masing seperti saat ini. Anin baru saja curhat kalau Althaf dan kedua orang tuanya datang ke rumahnya. Dia juga bercerita kalau mereka memutuskan menetap di Banjarnegara setelah Pramono pensiun. Rumah mereka yang di Purwokerto pinggiran dijual dan sebagian uangnya digunakan untuk membeli rumah minimalis di pusat kota Purwokerto karena Althaf diterima sebagai PNS di Pengadilan Negeri Purwokerto. Makanya, mereka sengaja membeli rumah untuk memudahkan sang putra. Sementara sebagian uangnya lagi digunakan untuk membeli rumah di Banjar. Pramono ingin menikmati masa pensiunnya di ko
Anin masih posisi rebahan di atas kasur. Hari ini mumpung hari minggu, jadi dia menggunakan hari ini untuk rebahan saja. Toh, mau keluar rumah pun dia malas. Para tetangga masih asik membicarakannya. Trauma didatangi oleh para wartawan juga masih membekas di ingatan. Anin beberapa kali terlihat gelisah. Sesekali untuk melepaskan rasa gelisahnya Anin akan duduk, berdiri, berjalan mondar-mandir di kamar lalu rebahan lagi. Begitu seterusnya hingga dia lelah dan beneran tidur.Anin baru bisa membuka matanya saat ada ketukan di pintu kamar. Dia bangun, menggeliat lalu berjalan menuju ke pintu. Saat pintu terbuka tampaklah sang bibi yang memberinya senyum hangat seperti biasa."Bi. Ada apa?""Ada tamu, mau ketemu kamu."Dahi Anin mengernyit. Dia merasa tak mempunyai janji dengan siapa pun."Siapa, Bi?""Lihat aja ke depan. Jangan lupa pakai kerudung yang benar sama bajunya juga." Iyah lalu berbalik ke arah ruang tamu lagi tanpa memberitahu siapa tamu yang datang.Anin pun makin penasaran de
Suara teriakan dan decitan ban mobil menggema disusul suara bunyi mobil yang menabrak tiang listrik. Anin berdiri gemetar. Dia tak bisa melakukan apa pun. Dia terlalu shock. Sementara itu, para wartawan dan orang-orang di sekitaran kini mulai menuju ke mobil Kijang Innova hitam. Bermaksud mencari tahu keadaan sang pengemudi. Salsa berlari ke arah sang sahabat. Dia khawatir."Nin! Anin! Kamu gak papa?" tanya Salsa. Dia melihat sang sahabat dari atas ke bawah. Memeriksa dengan teliti, takut sang sahabat terluka."Nin! Nin." Salsa mengguncang kedua bahu Anin.Anin rupanya masih shock. Sebab dia hampir saja celaka ditabrak mobil. "Nin," panggil Salsa. Dia masih khawatir karena sahabatnya belum merespon.Suara teriakan beberapa orang menggema. Anin akhirnya bisa sadar kalau dia sedang berada di mana dan kenapa.Anin mengedarkan pandangan. Tatapan matanya kini tertuju pada mobil Kijang Innova yang bagian depannya penyok akibat menabrak tiang listrik. Anin segera berlari menghampiri. Dia me
"Sudah gak usah kamu pikirkan, penting kamu fokus daftar P3K-nya!" saran Bu Yana. "Iya Bu, tapi tetep kepikiran. Mana sekarang banyak yang suka datang ke rumah. Kalau cuma chat atau lewat sosmed, saya gak masalah Bu Yana." Bu Yana salah satu guru senior di tempat Anin mengabdi ikut prihatin. Dia mengusap punggung rekan kerjanya penuh sayang. "Kamu yang sabar ya?" "Iya, Bu." "Pasrah saja, wong belum jodoh mau gimana lagi." "Iya, Bu." "Jodoh gak bakalan salah alamat. Mungkin dengan kejadian ini, kamu sedang dijauhkan dari kemudharatan. Bayangkan saja, kamu nunggu lama tapi gak ada kepastian. Ya gak mau, kan?" "Gak Bu." "Nah, kan?" Bu Yana lalu teringat akan keponakannya. "Nin." "Ya." "Apa kamu sama Althaf saja ya? Sudah PNS alhamdulillah. Jadi staf dibagian keuangan di Pengadilan Negeri Purwokerto." Mendengar nama Althaf, Anin sempat diam. Dia lalu menggeleng. "Gak, Bu. Sama Dimas aja saya dipecat jadi pacar apalagi sama Althaf." "Ish, kamu nih! Althaf gak segitunya kali