"Tunggu, Suster! Tolong jangan cabut kabel-kabel dan selang untuk penyangga kehidupan suamiku!" rengek Audrey Newman mengiba sembari memegangi lengan wanita paruh baya berseragam putih itu.
Perawat bernama Adeline Gustav itu menjawab dengan rasa simpati, "Maaf, Nyonya. Sebaiknya Anda temui saja langsung Dokter Carla, beliau yang memberikan instruksi. Saya akan menunggu hasilnya di ruangan ini!"
Dengan secepat kilat, Audrey berlari menuju ke lift lalu menekan tombol naik. Dia tahu di mana harus menemui Dokter Carla Kingsley. Suaminya telah koma selama setahun lebih dan uang untuk membiayai perawatan rumah sakit menguras seluruh harta mereka berdua hingga bangkrut.
Napas Audrey terengah-engah nyaris putus ketika dia sampai di ambang pintu ruang praktik Dokter Carla. "Permisi, Dokter!" ucapnya dengan suara sengau.
"Ya, masuklah, Nyonya Bergins. Silakan duduk!" jawab dokter spesialis saraf yang menangani suami Audrey.
"Tolong berikan saya waktu lagi untuk mengumpulkan uang biaya perawatan suami saya, Dok!" Audrey langsung bicara ke pokok masalahnya sambil menyeka air mata yang membasahi kedua pipinya.
Dokter Carla menghela napas. Dia pun berkata, "Ini keputusan rumah sakit, Ma'am. Tolong Anda mengerti, tunggakkan bill obat dan ruangan serta jasa medis sudah mencapai 15 ribu USD. Kami kuatir Anda kesulitan melunasinya, itu saja!"
"Tapi suami saya akan mati kalau tak ada oksigen dan alat-alat medis pendukung di tubuhnya!" Audrey membersit hidungnya dengan secarik tissu yang nyaris hancur karena sudah terlalu basah.
Dokter Carla hanya bisa menghela napas dan mengendikkan bahu. Dia tak dapat membantu selain merawat pasien yang entah kapan siuman.
Tiba-tiba ponsel Audrey di saku jaketnya berbunyi kencang. Ada telepon masuk, dia melihat id caller dan itu Harry Thompson. "Sebentar Dokter Carla, saya harus menjawab panggilan ini!" pamitnya sebelum menekan tombol jawab dan melangkah keluar dari ruang praktik dokter tersebut.
"Halo, Audrey. Kuharap permintaanmu waktu itu untuk mencarikan pria yang bisa membayar 20 ribu dolar semalam saja masih berlaku. Aku sudah mendapatkan orangnya!" ujar Harry Thompson via telepon dengan perasaan campur aduk. Wanita itu istri sobatnya dan dia harus menjual Audrey ke klien night club demi mendapat uang pengobatan.
"Halo. Thanks, Harry. Kau penyelamatku, aku sangat sangat butuh uang itu sekarang juga. Bisakah kau transfer dan aku akan melakukan pekerjaan itu sesuai permintaanmu!" jawab Audrey lega. Dia tak peduli bahwa nyatanya dia menjual dirinya sendiri ke pria asing klien Harry.
"Good. Aku akan mengirim uang itu separuh dan kau akan mendapat sisanya setelah selesai. Bagaimana?" sahut Harry dengan profesional. Itu bukan uang kecil.
Audrey pun setuju dan mengikuti petunjuk Harry Thompson tentang apa yang harus dilakukannya malam ini di Executive Club Majestic. Dia membayarkan langsung uang sepuluh ribu USD itu ke rumah sakit tempat suaminya dirawat. Setidaknya masih ada waktu untuk pria yang dicintainya bertahan lebih lama lagi di dunia.
Dengan taksi kuning di seberang rumah sakit, Audrey meluncur ke tempat yang disebutkan oleh Harry tadi. Dia tak mengetahui nama pria yang akan menjadi kliennya dan wajahnya pun tidak. Segalanya akan menjadi sebuah kencan buta yang berakhir di ranjang nantinya bagi mereka berdua.
Dalam tas kulit berukuran sedang yang dia bawa, Audrey menaruh kosmetik, parfum, dan pakaian ganti bersih. Namun, itu sama sekali tidak cocok untuk dikenakan sebagai wanita penghibur. Harry yang menyiapkan pakaian untuk Audrey di kamar yang ada di lantai 12 night club miliknya.
Jantung wanita itu berdebar kencang karena harus melakukan pekerjaan hina yang dahulu selalu dihindarinya sekalipun dia berprofesi sebagai model majalah dewasa dan brand ambassador produk pakaian dalam wanita. Kulit mulus dan tubuh sexy Audrey adalah dambaan kaum Adam.
"Miss, kita sudah sampai di tujuan!" ujar sopir taksi dan dia menerima beberapa lembaran uang dolar dari Audrey yang segera turun dari mobil.
Suara dentuman musik DJ dan lampu sorot yang berpendar dalam night club ramai itu menyambut kedatangan Audrey. Dia tak tahu di mana posisi Harry Thompson dan memutuskan bertanya kepada pria berotot yang nampaknya petugas sekuriti club. Segera Audrey diantarkan menemui bosnya.
"Hello, Dear! Ini kunci kamar di lantai 12, kau bisa memakai semua yang telah disiapkan anak buahku di sana, Audrey!" tutur Harry Thompson dengan ramah. Dia paham dengan situasi yang dihadapi wanita cantik tersebut.
Audrey memberikan pelukan bersahabat kepada Harry seraya berkata, "Kau penolongku, Harry. Terima kasih, aku tak akan pernah melupakan kebaikanmu ini. Okay, aku naik sekarang. Sampai nanti!"
Pria flamboyan itu melepas kepergian Audrey dengan tatapan sedih bercampur kekaguman. Dia tahu bahwa Audrey bukanlah wanita murahan yang menjajakan diri sembarangan demi kenyamanan hidup atau alasan remeh lainnya.
Di dalam lift yang melaju naik, Audrey menarik napas dalam-dalam beberapa kali berusaha meyakinkan dirinya bahwa segalanya akan baik-baik saja. Entah seperti apa penampilan kliennya, dia harus bersikap profesional.
"TING."
Dia pun melangkah keluar dari lift di lantai 12 dan mencari nomor pintu kamar sesuai keterangan di kartu akses yang dipegangnya; 1212. "I got it!" bisiknya lalu menempelkan kartu di mesin sensor pengunci pintu.
Audrey melangkah masuk dan segera menutup kembali pintu itu. Di atas ranjang berseprai putih itu ada sebuah gaun panjang berbahan satin licin warna maroon, dia memeriksanya dan menemukan bahwa gaun itu sangat terbuka dengan belahan di paha kanan dan kiri setinggi dekat panggulnya. Sebuah gstring warna senada berada di atas ranjang juga bersama secarik kain hitam penutup mata untuknya.
Dia menghela napas meyakinkan diri bahwa segalanya harus dilaluinya malam ini. Audrey segera membawa pakaian sexy itu ke kamar mandi dan membilas tubuhnya di bawah shower. Dia berkeringat tadi karena berlari-lari di rumah sakit.
Derai air shower mendinginkan tubuhnya yang panas dan gelisah. Audrey mengeringkan diri sebelum mengenakan lingerie maroon itu bersama gstring tipis yang tak mampu menutupi bagian pribadinya dengan sempurna. Dia menatap pantulan bayangannya di cermin wastafel dan nyaris menangis.
"Ohh come on, big girl don't cry!" ucapnya menghibur dirinya sendiri. Dia menghela napas panjang lalu membulatkan tekad untuk membubuhkan bedak ke wajah cantiknya dan lipstik ke bibir ranum yang menjanjikan hal manis.
Terakhir seusai menyisir rambut pirang cokelat mudanya yang panjang terurai sepinggang, Audrey menyemprotkan parfum favoritnya. Kemudian melapor kepada Harry Thompson bahwa dia telah siap.
"Okay, Audrey. Nikmati malam ini, pria yang kupilihkan ini spesial. Have fun!" jawab Harry sebelum mengakhiri telepon mereka.
"Spesial? Setidaknya pria itu bukan seorang psikopat yang menyukai percintaan sadis, aku akan sangat berterima kasih!" ujar Audrey pasrah lalu beranjak menuju tepi kaki ranjang untuk duduk tenang dan mulai memasang kain hitam penutup matanya.
Waktu bergulir terasa begitu lama dalam penantiannya, Audrey mulai merasakan AC ruangan yang agak terlalu dingin dan bergidik. "Ckk ... ke mana pria itu?" gerutunya pelan tanpa berniat membuka penutup matanya.
"Ceklek ... bumm!" Suara pintu terbuka dan langsung menutup cepat membuat Audrey menegang. Pria itu telah tiba!
Jonas Benneton memandangi angka di mesin lift yang berubah seiring lantai yang dilalui hingga berhenti di angka 12 dan berbunyi, "TING." Dia segera keluar dan mencari pintu nomor 1212, Harry Thompson mengatakan bahwa wanita yang telah dia bayar senilai 20 ribu USD itu telah siap menunggu di dalam kamar tersebut.Ada perasaan euforia yang menyerbu dirinya dan itu menyenangkan. Tanda clear warna hijau di mesin sensor kartu pengunci pintu muncul. Jonas pun segera menekan gagang pintu lalu masuk dan lekas menutupnya kembali. Sepasang mata berwarna turquois itu menyapu ruangan berpencahayaan remang-remang di hadapannya. Dan dia menemukan sosok yang diinginkan olehnya.Alas sepatu fantofel yang dikenakan Jonas mengetuk-ngetuk lantai kayu dan menimbulkan ketegangan yang menggantung di dalam sana. Dada pria itu naik turun dengan cepat karena jantungnya memompa lebih deras dan berdegup kencang. Jemarinya meraih dagu wanita cantik yang mengenakan lingerie maroon tanpa bra dengan belahan paha ga
Jonas terbangun lebih dahulu. Sekalipun enggan melepaskan partner kencan butanya tadi malam, dia sadar bahwa mereka harus berpisah tanpa ada kontak secara langsung. Ketika dirinya bangkit dari ranjang, tubuh polos di sampingnya turut bergerak. Maka dia pun berkata, "Selamat pagi, Honey. Terima kasih untuk pelayananmu semalam. Waktunya kita berpisah. Aku akan mengenakan pakaian lalu keluar duluan, tunggulah sebentar, okay?" Dengan mata yang masih mengenakan kain penutup mata, Audrey mengangguk paham lalu menjawab, "Sama-sama, Sir. Hati-hati di jalan!" Tak ada kata-kata rayuan atau semacamnya yang diberikan oleh Audrey. Dia bersikap profesional seperti wanita bayaran yang menjajakan tubuhnya ke klien."Hmm ... okay!" gumam Jonas sembari mengenakan kembali pakaiannya yang kusut teronggok di bawah tempat tidur. Dia menatap Audrey lekat-lekat seolah penasaran secantik apa wanita itu tanpa kain hitam yang menutupi matanya. Namun, Jonas sudah berjanji kepada Harry Thompson untuk tidak salin
"Miss Audrey Newman, perkenalkan saya Trevor MacKinsley, sekretaris Mister Jonas Benneton!" Pria muda dengan rambut tertata belahan pinggir rapi itu mengulurkan tangan kanannya di hadapan Audrey. Segera Audrey bangkit berdiri dari kursi dan menyambut uluran tangan Trevor. Dia terdiam dan membiarkan pria itu mengemukakan niatnya. "Anda dipanggil menghadap beliau sekarang juga. Ada beberapa hal penting yang harus dibicarakan. Mari ikut saya!" Trevor terbiasa tak berbasa-basi karena memang bosnya menuntut dia bekerja seperti demikian. "Baik, Sir, saya akan membawa tas karena ruangan ini kosong. Ada dompet dan ponsel saya di sini!" ujar Audrey dengan telapak tangan dingin gemetaran mencengkeram handel tas tangan berukuran medium itu.Trevor terkekeh geli memperhatikan kegugupan kentara wanita di hadapannya. "Boleh, bawa saja, Miss Audrey. Ayo kita naik ke lantai atas!" jawabnya seraya menemani Audrey masuk lift.Di dalam ruangan CEO yang luas dan sejuk oleh AC siang itu, Jonas tersenyu
"Miss Beans, kenapa Anda mengasari Audrey? Ini perintah langsung dari CEO yang menghendaki dia menjadi asisten pribadi!" tegur Mr. Ian Downhill menghalangi Fimela Beans agar tidak menyerang bawahannya lagi.Mata wanita bermake-up menor itu melotot tak terima. Dia berteriak kalap, "Itu karena wanita murahan bermuka lugu bernama Audrey Newman ini menggoda Jonas terang-terangan tadi. Bitch!" Fimela menatap tajam penuh permusuhan ke arah Audrey yang dibantu bangkit dari lantai oleh Rita."Hmm ... itu bukan urusan Anda. Lebih baik jangan mencampur adukkan hal pribadi dengan pekerjaan di kantor, Miss Beans. Tolong bersikaplah profesional, mulai besok pagi Audrey sudah pindah ke ruangan CEO di lantai dua puluh. Permisi!" Kepala HRD itu membawa map dokumen yang telah ditanda tangani oleh Audrey seraya bergegas menuju ke lift untuk kembali ke kantornya di lantai 15.Fimela menghampiri Audrey lalu mendesis kesal sambil bersedekap dan berkata, "Apa yang kau tawarkan ke Jonas, hahh?! Tubuhmu ya?"
"Apa kamu suka dengan steak itu, Audrey?" tanya Jonas yang mengamati wanita teman kencannya jauh lebih mempedulikan isi piring dibanding dirinya. Perawakan Audrey memang bisa dibilang kurus sekalipun Jonas masih teringat betapa lekuk-lekuk feminin wanita itu sanggup membuatnya terbakar gairah.Audrey memang kelaparan karena sejak pagi perutnya hanya terisi air mineral saja, tak ada makanan padat yang mengisi perutnya. "Ehh, iya steaknya lezat sekali, Sir. Terima kasih sudah mentraktir saya makan malam!" jawabnya tersipu malu karena piring lebar di hadapannya nyaris tandas.'Wanita ini lugu sekali, tetapi efek sentuhannya, tatapan mata, dan aroma tubuhnya membuat otakku kacau balau!' Jonas merutuk dirinya sendiri dalam hati."Lain kali aku tak akan membiarkanmu terlambat makan siang hingga petang seperti ini lagi, Audrey. Apa selama bekerja di perusahaan Grup Benneton gajimu terlalu rendah hingga harus berpuasa setengah hari?" ujar Jonas menyelidik, dia heran dengan kondisi Audrey yang
Pagi hari berikutnya Audrey sengaja bangun lebih awal, dia ingin mengunjungi suaminya di rumah sakit. Seharian kemarin dia tak sempat menjenguk Dicky Bergins sama sekali. Wanita cantik itu selalu berharap ada keajaiban yang bisa membuat sepasang mata cokelat teduh itu terbuka dan menatapnya kembali. "Selamat pagi, Mrs. Bergins. Dokter menitipkan pesan untuk Anda. Ini suratnya beserta hasil test CT Scan Mister Dicky!" Seorang perawat yang bernama Mary-Anne Flint menyerahkan sepucuk surat dan dokumen beramplop cokelat lebar kepada Audrey. 'Dear Mrs. Bergins, tim medis kami telah menganalisa kembali kondisi suami Anda. Hasilnya ada penimbunan cairan radang di rongga tengkorak dan otak, ini memperburuk kesadaran beliau sehingga tetap mengalami stadium koma. Saran medis yang dapat kami berikan yaitu pembedahan sekali lagi untuk evaluasi kondisi otak sisi kiri yang memang tadinya mengalami cedera serius akibat kecelakaan kendaraan di sirkuit tahun lalu. Perkiraan biayanya sekitar 25.000 U
"Audrey, kita pulang kantor tepat waktu. Kebetulan nanti malam aku ada acara keluarga. Beristirahatlah yang cukup agar besok pagi kamu bisa lebih semangat bekerja, okay!" Jonas menyunggingkan senyuman di wajah tampannya yang tercukur licin pagi tadi.Diam-diam Audrey menghela napas lega, dia pun punya acara penting demi 25.000 USD untuk operasi suaminya. Kemudian dia berjalan di belakang punggung Jonas dan menjawab, "Terima kasih, Sir. Semoga acara keluarga nanti malam menyenangkan. Sampai jumpa besok pagi!" Kali ini Jonas membiarkan wanita itu pulang sendiri dengan berjalan kaki sejauh beberapa puluh blok dari kantor. Dia sengaja menyuruh Donald untuk mengemudi pelan-pelan saja demi memastikan Audrey langsung pulang ke Westgate Sunflower Garden Apartement."Ke mana lagi tujuan kita sekarang, Master Jonas?" tanya Donald dari balik kemudi mobil."Pulang saja ke penthouseku, Don. Aku tak akan kembali ke tempat istriku, dia tak berguna dan hanya membuatku emosi setiap kali melihatnya!"
Sebuah kiss mark dibuat Jonas di leher sisi kiri wanita itu dengan sengaja, ketika Audrey belum terbangun pasca dia dera semalaman. 'Kenang-kanangan dariku, Audrey Darling. Aku akan senang melihat tanda merah ini di kantor nanti!' batin Jonas dengan bandel. Dia bergegas turun dari ranjang yang nampak bak kapal pecah. Suara sayup-sayup gemericik air shower terdengar di telinga Audrey. Dia masih mengenakan penutup matanya dan terbaring telanjang di bawah selimut. Bagian intimnya pegal karena terlalu banyak digunakan untuk memuaskan hasrat klien setianya itu hingga beberapa jam lalu."Ouch ... Bunny benar-benar seperti kelinci jantan yang gemar kawin!" gumam Audrey seiring rintihannya yang spontan meluncur. Namun, anehnya justru dia merasa sedikit terhibur dengan percintaan liar bersama pria misterius itu. Cepat-cepat Audrey menepis pikiran tersebut karena teringat tujuan awalnya mendapatkan 25.000 USD."Hai, selamat pagi, Cantik!" sapa Jonas dengan handuk melilit di pinggulnya ketika d